• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. DATA DAN ANALISIS

4.1.2. Lanskap Sejarah

KCB Kotagede adalah salah satu kota kuno di Propinsi DI. Yogyakarta yang tetap hidup dan semakin berkembang, baik dalam segi kehidupan masyarakat maupun keruangannya. KCB Kotagede sebagai kota pusat pemerintahan meninggalkan warisan arkeologis berupa keraton atau kedhaton, alun-alun, baluwarti, jagang, cepuri, masjid, makam, dan pasar (Gambar 4). Komponen-komponen itu turut membentuk dan mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pendukungnya.

Sumber: Jogja Heritage Society, 2007 Gambar 4 Peta Wilayah Kerajaan Mataram

28 Komplek Kerajaan Mataram Islam dibangun sebagaimana komplek keraton kerajaan di Jawa pada umumnya, yaitu dengan menggunakan alun-alun sebagai pusat kota (Catur Gatra Tunggal). Komplek keraton ditempatkan sebelah selatan alun-alun dan Masjid Gede di sebelah barat alun-alun. Kemudian pasar yang digunakan sebagai pusat kegiatan ekonomi ditempatkan di sebelah utara alun-alun. Berikut adalah elemen sejarah yang terdapat pada komplek Kerajaan Mataram Islam dan masih dipelihara dan dilestraikan pada KCB Kotagede:

a. Kompleks Masjid Besar Mataram

Terletak di sebelah barat alun-alun dan dikelilingi oleh tembok setinggi 2.5 m. Dalam Babad Momana disebutkan bahwa masjid kerajaan ini selesai dibangun pada tahun 1511 Jawa (1589 M) atas perintah Panembahan Senopati. Pernah dipugar beberapa kali akibat gempa tahun 1867 dan kebakaran tahun 1919. Pemugaran terakhir dilakukan pada akhir tahun 2002 di bawah koordinasi Pemda DI Yogyakarta. Masjid ini memiliki bentuk arsitektur yang khas (beratap tajug tumpang), memiliki serambi dan pawestren, serta dikelilingi kolam (Gambar 5). Pada dinding tembok keliling di sebelah selatan terdapat gapura yang menghubungkan kompleks masjid dengan kompleks makam kerajaan. Kompleks makam kerajaan ini juga dibangun bersamaan dengan pembangunan kompleks masjid.

b. Komplek makam kerajaan

Kompleks makam kerajaan berada di belakang masjid dan untuk mencapainya harus melewati beberapa halaman (Gambar 8). Di sini dimakamkan para peletak dasar Kerajaan Mataram Islam, diantaranya Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Panembahan Sedang ing Krapyak. Selain itu juga terdapat makam Sri Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Adipati Pakualaman I, serta sejumlah besar makam keluarga raja Mataram lainnya (Gambar 6). Terdapat pula jirat makam Ki Ageng Mangir Wanabaya yang berada separuh di dalam dan di luar kompleks makam sebagai tanda bahwa dia adalah menantu sekaligus musuh Panembahan Senapati.

Gambar 6 Denah Komplek Makam

Pada tembok kelir menuju halaman makam terdapat beberapa buah prasasti yang menjelaskan bahwa Bangsal Duda di halaman itu dibangun pada masa Sultan Agung (1644 M) dan penjelasan mengenai perbaikan makam akibat gempa bumi pada tahun 1867. Adapun kegiatan pada tempat ini adalah berziarah yang dilakukan oleh pengunjung yang harus mengikuti ritual khusus dan menggunakan pakaian khusus (Gambar 7).

Keterangan makam: 1. Nyai Ageng Nis

2. Kanjeng pangeran Jayaprana (Inggih Mijil Ing Kadilangu, Putranipun Kanjeng Sunan Kalijaga)

3. Sinuwun Datuk Palembang (Sultan Pajang, Ingkang Kala Taksih Timur Asma Jaka Tingkir)

4. Kyai Ageng Mataram, Inggih Kyai Ageng Pamanahan

5. Nyai Ageng Mataram 6. Nyai Ageng Pati

7. Kyai Ageng Jurumartani, Inggih Kyai Ageng Mandaraka

8. Kanjeng Panembahan Senapati 9. Kanjeng Pangeran Gagakbani

47. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I

76. Nyai Wirakerta, Mangir

80. Kyai Ageng Wanabaya, Mangir Anggota keluarga kerajaan lainnya

30

Gambar 7 Wistawan yang Gambar 8 Gerbang masuk akan melakukan ziarah makam Raja-Raja Mataram c. Kompleks pemandian (sendang)

Terdapat dua kompleks sendang di tempat ini, yaitu kompleks Sendang Saliran dan kompleks Sendang Kemuning. Sendang Saliran memiliki empat buah kolam, masing-masing dua kolam untuk pria/kakung (utara) (Gambar 9) dan wanita/putri (selatan). Air di kolam pria dipercaya berasal dari makam Panembahan Senapati. Di kolam mini dipercaya terdapat beberapa ikan lele dan kura-kura putih kekuning-kuningan bernama Kyai Duda, Kyai Joko, dan Mbok Rara Kuning. Sendang ini disebut saliran karena berasal dari makam (badan=salira) panembahan Senapati. Pada kedua kolam terdapat sengkalan berangka tahun 1867. Kompleks Sendang Kemuning berada di sebelah barat luar tembok makam. Sendang ini dipercaya dibuat oleh Sunan Kalijaga.

d. Keraton

Di sebelah selatan kompleks Masjid Agung dan Kampung Alun-alun terdapat kampung bernama Kedhaton dan Dalem yang berada di dalam lingkupan reruntuhan cepuri. Dugaan kuat, Keraton Mataram dulu berada di tempat ini. Di tengah-tengah lokasi ini terdapat sebuah bangunan kecil yang di dalamnya terdapat Watu Gilang dan Watu Gatheng yang dikeramatkan dan dipercaya berasal dari masa Panembahan Senopati (Gambar 10). Hingga awal abad XX M tidak ada yang berani menempati tanah yang dahulu dikenal dengan nama siti sangar. Pada tahun 1934, atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dibangunlah kompleks makam bernama Hastorenggo yang digunakan sebagai tempat untuk memakamkan keluarga raja yang tidak biasa dimakamkan di Imogiri.

Gambar 10 Suasana Kampung Dalem e. Watu Gilang dan Watu Gatheng

Watu Gilang adalah lempengan batu andesit yang dipercaya sebagai bekas singgasana Panembahan Senapati (Gambar 11). Pada permukaannya terdapat prasati berhuruf cetak dalam bahasa latin, Perancis, Belanda dan Italia. Pada salah satu sisinya terdapat cekungan yang dipercaya sebagai bekas benturan kepala Ki Ageng Mangir Wanabaya, musuh sekaligus menantu Panembahan Senapati. Watu Gatheng sendiri berupa tiga buah batu kalsit bulat berdiameter 31 cm, 27 cm dan 15 cm (Gambar 12). Ketiga batu tersebut dipercaya sebagai alat permainan Raden Rangga, putra Panembahan Senapati. Selain itu, masih terdapat tempayan (gentong) dari batu andesit. Seluruh benda

32 itu saat ini berada dalam sebuah bangunan kecil tertutup yang berada di tengah tanah lapang dengan dinaungi beberapa pohon beringin besar.

Gambar 11 Watu Gilang Gambar 12 Watu Gatheng f. Cepuri (benteng keraton)

Cepuri adalah tembok benteng yang dibuat mengelilingi kompleks kraton. Cepuri Kotagede ini dibangun oleh panembahan Senapati dan selesai pada tahun 1592/1593 M. Keseluruhan cepuri sudah tidak utuh lagi dan hanya berupa reruntuhan yang ada di beberapa tempat. Tembok yang tersusun atas bata dan batu putih ini tebalnya mencapai 120 cm dan pada beberapa tempat

(a) (b)

Gambar 13 Sisa-sisa benteng keraton (a) utara, (b) selatan.

ada yang tingginya mencapai 2 m. Cepuri ini sangat spesifik karena ternyata denahnya tidak simetris. Tembok keliling ini melengkung di sudut tenggara, sehingga masyarakat menyebutnya Bokong Semar (Gambar 13b). Daya tarik lainnya, pada sisi utara terdapat lubang selebar 1 m yang dipercaya masyarakat sebagai Bobolan Raden Rangga (Gambar 13a). Situs ini erat

kaitannya dengan legenda raden Rangga yang dihempaskan oleh ayahnya, Panembahan Senapati, hingga tubuhnya menjebol dinding cepuri.

g. Baluwarti (benteng kota)

Baluwarti adalah benteng yang mengelilingi kota, dibangun dengan mempertimbangkan kondisi alam Kotagede, antara lain tampak pada sisi barat dan timur yang masing-masing dibangun mengikuti alur Sungai Gajah Wong dan Sungai Manggisan. Saat ini, keberadaannya secara keseluruhan hanya bisa diketahui dari sumber sekunder. Sisa benteng hanya terdapat beberapa tempat dalam bentuk reruntuhan (Gambar 14). Beberapa sisa batu putih penyusun baluwarti ada yang dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai bahan bangunan rumah mereka.

Gambar 14 Sisa-sisa benteng kota (baluwarti) h. Parit keliling (jagang)

Kotagede dilengkapi pula dengan jagang (parit keliling), di sekeliling cepuri dan baluwarti yang dibangun pertama. Jagang dalam yang mengelilingi cepuri dibuat selebar 20-30 cm dengan dalam sekitar 1-3 m. Sisa jagang dalam hanya tampak di beberapa tempat, antara lain di sisi barat dan selatan. Jagang luar dibuat mengikuti alur baluwarti dengan ukuran yang hampir sama dengan jagang dalam. Khusus untuk baluwarti sisi barat dan timur tidak memiliki jagang buatan karena sudah memanfaatkan jagang alami berupa aliran Sungai Gajah Wong dan Sungai Manggisan. Sisa jagang saat ini hanya bisa dilihat di beberapa tempat dan sebagian besar telah berubah wajah menjadi persawahan dan pemukiman penduduk di sebelah timur Kompleks Masjid Agung dan mengisyaratkan bahwa di lokasi kampung itu berada dahulu merupakan sebuah alun-alun Kraton Kotagede (Gambar 15). Namun, tidak ada tanda-

34 tanda fisik lagi yang tersisa dan berganti dengan pemukiman penduduk yang cukup padat.

Gambar 15 Jagang yang telah direnovasi menjadi saluran drainase i. Pasar Gede

Pasar Kotagede ini sudah ada sejak wilayah ini dibuka oleh Ki Ageng Pemanahan pada abad XVI M dan diduga kuat masih berada di tempatnya yang asli sejak dulu. Pasar Kotagede adalah salah satu wilayah yang diurus bersama-sama oleh pihak Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sejak Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Pasar ini telah mengalami beberapa kali renovasi, sehingga wajahnya telah berubah menjadi seperti pasar pada umumnya (Gambar 16a dan 16b). Pasar Kotagede dibuka setiap hari dan puncaknya pada hari pasaran Legi. Pada hari pasaran Legi, situasi di pasar macet total, karena banyaknya pedagang dari beberapa tempat yang berjualan hingga ke badan jalan, terutama pedagang burung.

(a) (b) Gambar 16 Suasana Pasar (a) timur, (b) barat

Dokumen terkait