• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakta di Lapangan dari Implementasi Seluruh Peraturan Perundangan yang

Verifikasi dan Validasi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Fakta di Lapangan dari Implementasi Seluruh Peraturan Perundangan yang

Terkait dengan PemberantasanPembalakan Liar atau Illegal Logging

Terkait dengan struktur hukum dari penegakan hukumnya atau law enforcement delik pidana pembalakan liar atau illegal logging, juga terjadi perbedaan persepsi tentang pengenaan perangkat hukum yang berlaku atau law acquaintance di antara lembaga penegak hukum yang satu dengan yang lainnya di tingkat penyidikan, juga ketika telah sampai ke sidang pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor manusia ataupun pemahaman terhadap peraturan perundangundangan menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan dalam kesuksesan implementasi peraturan perundangundangan.

Terkait dengan hal tersebut, maka di dalam penelitian ini yang terlihat adalah langkah yang dilakukan oleh Kapolri dan Kapolda Riau periode tahun 2007 dengan menerbitkan SP3 terhadap 13 dari 14 kasus-kasus pembalakan liar atau illegal logging di Propinsi Riau. Bukti

tersbut menunjukkan adanya kepolisian dengan kejaksaan pa

Sebenarnya, alur dan pro

loggingdi Indonesia dapat diliha

Gambar 5.4. Prose

Loggi (2003

Hasil pengamatan di la delik pidana pembalakan liar cukong, pemilik modal, oknum dan atau pendatang; (3) pemil IPHK yang bertindak sebaga proses penegakan hukum; dan jaringan kerja yang terorganis keuntungan dari praktek pem masuk kedalam pundi-pundi keterkaitan kelompok sindikat dalam Gambar 5.5.

ya perbedaan persepsi tentang unsur tindak n pada periode kepemimpinan yang berbeda di t

proses penyebab terjadinya kejahatan pembalaka dilihat pada Gambar 5.4

oses Perkembangan Kejahatan Pembalakan

ogging di Indonesia Sumber: Dudley dalamCo 2003)

lapangan dan hasil wawancara memperlihatka iar atau illegal logging ini dalam enam unsur oknum penguasa negara, oknum pejabat; (2) ma ilik pabrik moulding atau sawmill; (4) pemega gai pencuri atau penadah; (5) oknum aparat dan (6) pengusaha asing. Keenam unsur tersebut

nisir. Ditemukan bukti bahwa terjadi proses pe pembalakan liar atau illegal logging dapat sec pundi para pelakunya (Widodo, 2006). Sebaga kat pembalakan liar atau illegal logging di anta

102

k pidana dari pihak di tempat sama.

lakan liar atau illegal

n Liar atau Illegal Colfer dan Rsodarmo

hatkan bahwa pelaku ur pelaku, yaitu: (1) masyarakat setempat egang izin HPH atau at pemerintah dalam but memiliki struktur pembinaan sehingga secara berkelanjutan bagai gambaran dari ntara mereka tampak

Gambar 5.5. Kelompok

Ramdan (2008)

Lebih jauh, juga dapat di atau illegal logging yang te (Organisasi Tanpa Bentuk). K terhadap elit pemegang kekua pemerintahan pusat sampai pe dengan nama Mafia Perkayu terlibat memiliki kontribusiny itu tidak mengherankan bilama sulit diberantas. Praktik pem

ecocrime dimana memberi out

Manusia).

Berdasarkan hasil penga akar permasalahan sehingga m gagal berdasarkan beberapa fa

(1) Masih lemahn

Indonesia dalam kaitan pembe

(2) Tumpang-tindih

positif Indonesia yang ada;

(3) Indikasi terjadin

pok Sindikat Pembalakan Liar atau Illegal 2008))

at dilihat bahwa kerjasama praktek terorganisi terorganisir tersebut melalui rentang jaring . Kelompok OTB tersebut secara signifikan “ny kuasaan dan pembuat kekuasaan Indonesia, mul i pemerintahan daerah. Jaring atau network m yuan. Dalam jaringan mafia ini, masing-masi nya terhadap apa yang menjadi tanggung jawa

mana hingga saat ini praktik pembalakan liar a pembalakan liar atau illegal logging bermeta

outcome berbentuk ecocide serta pelanggaran

gamatan lapangan dan hasil wawancara dapa membuat penegakan hukum pembalakan liar a

aktor penyebab antara lain:

hnya produk perangkat perundangundanga berantasan pembalakan liar atau illegal logging

ndih dan inkonsistensi peraturan

perundang-dinya korupsi

103 gal Logging (Sumber:

nisir pembalakan liar ing kekuasaan OTB nyata” pengaruhnya mulai beroperasi dari mereka ini dikenal asing individu yang wabnya. Oleh karena atau illegal logging

etamorfosa menjadi an HAM (Hak Azazi

pat dilihat beberapa atau illegal logging

gan hukum positif

ogging;

104

(4) Integritas oknum penegak hukum (Polisi Hutan, Polri, Jaksa, TNI, Hakim) serta oknum pengacara atau advokat yang berpotensi melahirkan kompromi-kompromi dalam proses penegakan hukum;

(5) ‘Hubungan kuat’ diantara oknum muspida di daerah, oknum elit pemerintah pusat, dan oknum pengusaha kehutanan;

(6) Ketidaktegasan arahan kebijakan lingkungan hidup negara yang pro kepada keberkelanjutan, terkait konsep pembangunan berkelanjutan atau sustainable development;

(7) Tidak dipakainya hak eksklusif dikresionair yang bersifat beshicking atau

terminate berupa Keppres oleh Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan cq Presiden Republik Indonesia terkait dengan percepatan pemberantasan pembalakan liar atau illegal logging yang berakibat antara lain terkait konteks upaya pemberantasan pembalakan liar atau

illegal logging di Provinsi Riau menimbulkan internal dispute diantara oknum aparat

penegak hukumnya ketika pada tanggal 23 Desember tahun 2008 berupa output ‘pembiaran’

terjadinya kasus dikeluarnya SP-3 oleh Mabes Polri atas intruksi Kapolri saat itu. Rujukan yang dipakai para saksi ahli pengadilan yang dirujuk oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kementrian Kehutanan RI (dulu Departemen Kehutanan RI) bertolak belakang dengan kebijakan Kapolda sebelumnya

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah mengatur bahwa bilamana permohonan izin memeriksa Kepala daerah sebuah wilayah administratif Tingkat I (Provinsi) maupun Tingkat II (Kabupaten dan Kota) kepada Kepala Negara yang sekaligus Kepala Pemerintahan cq Presien RI, telah melebihi 60 hari sejak surat permohonan izin pemeriksaan dari tim penyidik (dalam hal ini Polda Riau) dikirim untuk memeriksa elit birokrat atau pejabat negara (pemerintah daerah tertentu) yang diajukan melalui Sekretaris Kabinet sebagai ‘front door’ Presiden. Maka sebenarnya Polri, melalui Kapolri dan Kapoldanya, sejak saat lewat 60 hari tersebut sudah boleh mengambil sikap untuk memulai melakukan pemeriksaan terhadap birokrat pejabat pemerintahan yang terduga sebagai pelaku delik pidana yang dimaksud diatas.

Kapolri sebagai pemimpin tertinggi alat negara penegak hukum terkait pemeriksaan elit birokrat atau pejabat Negara, elit pimpinan daerah tertinggi Provinsi Riau, dapat segera memerintahkan Kapolda Riau (sebagai ujung tombak Polri di Provinsi Riau untuk langsung melakukan pemeriksaan terhadap elit birokrat atau pejabat negara (pemimpin tertinggi di Provinsi) yang diduga terlibat langsung dalam aktivitas delik pidana pembalakan liar atau

105

Sesuai dengan isi dari paragraf kelima UU No. 32 Tahun 2004 tentang Tindakan Penyidikan terhadap Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pasal 36 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, adalah sebagai berikut: (1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik; (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1, tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan; (3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksudkan didalam ayat 1 dan ayat 2.

Namun hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan, hingga kasus SP-3 untuk 13 dari 14 kasus pidana pembalakan liar atau illegal logging yang sedang menuju P-21 (kelengkapan pemberkasan perkara) diterbitkan, izin Presiden bagi pelaksanaan perintah pemeriksaan tidak pernah diterbitkan, sehingga sampai detik-detik terakhir di penghujung tahun 2007, sejak berkas hasil penyidikan mantan Kapolda Riau yang lalu diserahkan langsung ke Sekab (Sekretaris Kabinet) per tanggal 27 September 2007 guna diteruskan kepada Presiden RI sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, akhirnya SP-3 atas menjadi 13 dari 14 kasus pidana pembalakan liar atau illegal logging menjadi niscaya. Dalam hal ini POLRI sebagai alat negara penegak hukum yang sebenarnya mempunyai fungsi sebagai: (1) pengayom; dan (2) pelindung masyarakat berdasarkan UU 32 Tahun 2004 Pasal 1, 2, dan 3, memiliki kewenangan untuk langsung ‘menindak’ pihak yang diduga terlibat.

Keluarnya SP-3, berdampak buruk dalam upaya pemberantasan pembalakan liar atau

illegal logging di seluruh Indonesia sesuai dengan INPRES (Instruksi Presiden) No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia. Internal dispute seperti tersebut di atas sebenarnya tidak perlu terjadi bilamana pemerintah Indonesia memiliki keberpihakan tegas. Terutama didalam upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutanatau sustainable development-nya. Secara teori, Presiden sebagai Kepala Negara yang juga sekaligus Kepala Pemerintahan diperbolehkan melakukan intervensi dalam upaya memproteksi sumberdaya alam serta lingkungan hidup di wilayah negaranya. Oleh karena terkait Asas Forum Previlegiatum, melalui sebuah KEPPRES dan atau PERPPU dijamin keabsahannya dalam UUD 45, yang merupakan hak diskresioner yang dimiliki hanya oleh seorang Presiden RI yang sekaligus adalah sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.

106