Verifikasi dan Validasi
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.5 Fakta Lapangan Terkait Kondisi Kerusakan Lingkungan Hutan Tropis Akibat
Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging di Propinsi Riau (2007-2009)
Provinsi Riau yang memiliki kawasan seluas 9,45 juta hektar berdasarkan SK Menhut No.173/Kpts-II/1996 terus mengalami penyusutan akibat aktivitas ekonomi yang dilakukan dunia usaha dan aktivitas ilegal yang dilakukan di sana. JIKALAHARI (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) (2007) mencatat bahwa pada periode 2005-2007 kerusakan hutan rata-rata per tahun di Propinsi Riau sebesar 160 ribu hektar. Namun kegiatan pembalakan liar atau illegal logging itu berkurang dalam beberapa tahun terakhir, menyusul dilakukannya penegak hukum. Namun, bukan berarti bahwa kegiatan pembalakan liar atau illegal logging
di kawasan hutan gambut hilang sama sekali, karena masih terjadi hingga kini. Per tahun 2007 akhir tercatat hanya tersisa 1,6 juta hektare dari luas seluruh hutan gambut Provinsi Riau dari total sekitar empat juta hektare.
Kegiatan penebangan hutan ini berdampak terhadap deforestasi yang akhirnya menimbulkan degradasi lingkungan secara luas. Eksploitasi hutan menyebabkan perubahan-perubahan dari komposisi jenis, spesies-spesies dominan, dan perubahan-perubahan pada ekosistem hutan yang bersangkutan (Prastowo dan Kusnaryono 1992, Retnowati 1995). Soerianegara (1990) menyebutkan bahwa penebangan hutan alam akan berdampak terhadap enam hal, yaitu: (1) iklim; (2) geomorfologi; (3) keadaan tanah; (4) kondisi perairan/sungai; (5) keanekaragaman flora dan fauna; serta (6) sosial ekonomi.
Pembalakan liar atau illegal logging telah menimbulkan masalah multidimensional yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu: (1) fungsi produksi (ekonomi); (2) fungsi lingkungan (ekologi); serta (3) fungsi sosial (Iskandar, 2000). Fungsi sosial dari hutan dapat dilihat dengan adanya keterkaitan baik moral maupun spiritual antara hutan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, baik dalam hubungannya sebagai sumber mata pencaharian, hubungan religius, hubungan adat dan sebagainya.
Perubahan habitat dapat menghasilkan perubahan populasi fauna, gulma, kecepatan pertumbuhan yang lambat dari pohon-pohon yang secara ekonomis penting pada tegakan sisa, perubahan mikro fauna dan mikro flora dalam tanah (Kartawinata, 1977). Keberadaan hutan pada suatu DAS dapat mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi, sehingga dapat menghasilkan kualitas air yang tinggi. Luas hutan dan perlakuan pengelolaannya, secara langsung akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas air yang dihasilkan (Asdak 2003 dalam
107
Ramdan 2006). Penebangan hutan menyebabkan hilangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air, karena hilangnya tajuk pohon dan serasah. Terbukanya permukaaan tanah pada areal tebangan mengakibatkan tetesan air hujan yang besar langsung jatuh ke permukaan tanah dan menyebabkan tanah tererosi. Tingginya aliran permukaan membawa butiran-butiran tanah yang tererosi mengalir ke aliran sungai dan menjadi sedimen.
Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi yang masuk ke badan perairan. Keberadaan sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya dan transfer oksigen dari atmosfer keperairan, juga menghambat daya lihat organisme perairan. Sedimen juga menyebabkan hilangnya tempat memijah yang sesuai bagi ikan, karena sedimen menutupi substrat, sehingga organisme yang membutuhkan substrat sebagai tempat hidupnya dan sebagai tempat berlindung menjadi terganggu (Effendi, 2000).
Pada umumnya pengaruh dari kegiatan penebangan hutan terhadap tanah adalah tanah menjadi kurus dan berkurangnya daya menahan air (sehingga limpasan permukaaan dan erosi meningkat), lebih sering terjadi banjir, dan kekeringan (Soerianegara, 1990). Peralatan berat yang melintasi sekitar 50% areal tebangan menyebabkan kenaikan kerapatan isi tanah, penurunan kecepatan infiltrasi, kenaikan limpasan permukaan dan kandungan lempung. Memburuknya sifat-sifat fisik tanah, berpengaruh buruk pula pada fungsi hidrologis. Alat-alat berat menyebabkan tanah menjadi padat, struktur tanah memburuk dan aerasi tanah menurun (Hamzah, 1975 dan Elias, 2002). Banjir besar yang terjadi di Sumatera Utara di penghujung 2001 dan awal 2002 dengan kerugian ratusan milyar rupiah disebabkan oleh pengrusakan hutan yang besar-besaran karena pemberian Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu oleh Pemda di Era Otonomi Daerah (Alikodra dan Syaukani, 2004).
Nilai ekosistem hutan yang beragam telah banyak direduksi. Bahkan umumnya publik mengapresiasikan nilai hutan masih identik dengan kayu (timber) semata, sehingga potensi non kayu dan jasa lingkungan yang sangat besar dalam menunjang sistem kehidupan masyarakat cenderung diabaikan. Kekayaan alamiah hutan secara riil belum tergambarkan secara nyata dalam pendapatan nasional. Sumbangan sektor kehutanan terhadap pembangunan masih terpaku pada nilai produk hutan yang tangible seperti kayu dan turunannya. Sedangkan jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem hutan terhadap pembangunan belum dihitung.
108
Masih banyak peranan hutan yang belum dinilai, sehingga penghitungan kontribusi hutan terhadap pembangunan sebenarnya belum menunjukkan nilai sebenarnya dari sumberdaya hutan. Sistem pasar dan akuntansi publik Indonesia belum memasukkan jasa lingkungan sebagai bagian dari neraca sumberdaya yang harus diperhitungkan, walaupun pendekatan environmental accounting systems telah dijalankan di beberapa perusahaan trans-nasional di luar negeri. Akibat perhitungan nilai hutan yang hanya didasarkan atas tangible goods saja menyebabkan nilai hutan yang tergambarkan jauh di bawah nilai yang sebenarnya, menyebabkan publik cenderung kurang peduli dengan keberlanjutan hutan tersebut.
Sejauh ini kelompok yang diduga terlibat dalam sindikat pembalakan liar atau illegal logging adalah: (1) para pekerja dari masyarakat di kawasan-kawasan hutan dan juga banyak orang yang dibawa ke tempat itu dari tempat lainnya; (2) para oknum investor, termasuk para pedagang, pemegang HPH, atau pemegang Izin Pemanfaatan kayu (IPK) legal, dan pembeli kayu ilegal dari industri pengolahan; (3) para oknum pejabat pemerintah (sipil dan militer), (4) para oknum penegak hukum, serta (5) para oknum legislatif (DPR RI & DPRD I & II).
Di Provinsi Riau, para pelaku pembalakan liar atau illegal logging merambah hingga memasuki wilayah hutan lindung. Dimana di dalam aktivitasnya, diduga para oknum pemegang HPH diindikasi sering menggambar ulang peta wilayah dimana mereka dizinkan untuk melakukan aktivitas kehutanannya. Karena lahan kayu yang diizinkan semakin lama semakin berkurang, padahal mereka secara kontinyu memerlukan bahan baku utama untuk industri pulp and paper-nya. Aktivitas para perambah liar atau illegal logger tersebut merupakan delik pidana, yang masuk ke dalam pasal pidana pemalsuan dokumen di dalam Pasal 263 KUHP.
Berdasarkan data Polda Riau sampai dengan bulan Juni 2007 jenis pembalakan liar atau
illegal logging terbanyak dalam langkah sidik dan lidik Polda Riau dilakukan dengan sengaja oleh perambah liar atau illegal logger pada area hutan produksi yang sejak awal ditujukan untuk konservasi. Dari hasil penyidikan tersebut, pembalakan liar atau illegal logging
dilakukan oleh 13 perusahan anak perusahaan PT. RAPP dan PT. IKPP.
Gumaay (2007) menjelaskan bahwa dalam UU No. 41 Tahun 1999 pelaku pembalakan
illegal logging adalah mereka yang dengan sengaja melakukan penebangan, membawa, menguasai, dan mengangkut kayu tanpa izin-izin yang sah. Sehingga seluruh aktivitas yang dimaksud di atas tidak pernah terlihat langsung dilakukan oleh para pelaku intelektualnya. Kekebalan para pelaku utama pembalakan liar atau illegal logging terhadap hukum diduga pula karena keterkaitan yang sangat kuat dengan institusi pemerintah serta oknum pejabat
sipil dan militer yang menjadi yang mengikutinya, yaitu PP
Hutan yang diamanatkan oleh UU
5.6 Uji Coba Verifikasi dan V