• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karet alam merupakan salah satu komoditi industri hasil tanaman tropis yang prospektif. Komoditas karet alam memiliki berbagai macam kegunaan terutama sebagai bahan baku berbagai produk industri. Industri otomotif khususnya sektor industri pembuatan ban merupakan produk yang berbahan baku karet alam paling tinggi yakni berkisar 75 persen dan sisanya untuk produksi produk lainnya seperti benang karet, bahan jadi karet untuk industri otomotif, industri alas kaki, industri mobil, industri pesawat, kebutuhan kesehatan, properti/bangunan dan farmasi.

Pada dasarnya, industri karet terbagi atas dua jenis yakni karet alam dan karet sintesis. Walaupun karet alam jumlah produksi dan konsumsinya di bawah karet sintetis, tetapi sesungguhnya karet alam belum dapat digantikan oleh karet sintetis. Keunggulan yang dimiliki karet alam sulit ditandingi oleh karet sintetis sehingga beberapa industri seperti ban radial tetap memiliki ketergantungan yang besar terhadap pasokan karet alam. Bahkan, prospek perkaretan dunia diperkirakan akan semakin cerah dengan semakin kuatnya kesadaran akan lingkungan yang lebih sehat dan beberapa pabrik ban terkemuka dunia mulai memperkenalkan jenis ban “green tyres” yang kandungan karet alamnya lebih banyak (semula 30-40 persen menjadi 60-80 persen). Selain itu pula jumlah perusahaan industri polimer yang menggunakan bahan baku karet alam diperkirakan juga akan meningkat (Ditjenbun, 2008).

Makin pentingnya peranan karet alam dalam kebutuhan hidup manusia sehari-hari memicu perkembangan ekonomi karet alam dunia baik dari sisi produksi maupun konsumsi yang cenderung terus mengalami peningkatan. Produksi karet alam dunia dalam kurun waktu tahun 1995-2007 menunjukkan peningkatan sebesar 62 persen dari 6 040 ribu ton menjadi 9 782 ribu ton (IRSG, 2008). Peningkatan ini didorong oleh produksi karet Thailand, India dan Vietnam yang mengalami pertumbuhan produksi yang relatif tinggi, sedangkan Indonesia mengalami perkembangan yang fluktuatif. Di pihak lain, Malaysia mengalami penurunan produksi yang disebabkan beberapa faktor antara lain semakin mahalnya upah tenaga kerja dan semakin meningkatnya persaingan penggunaan lahan dengan komoditas lain terutama kelapa sawit.

Konsumsi agregat karet alam dunia meningkat hampir 64 persen selama periode tahun 1995-2007. Pada tahun 2007 tercatat konsumsi karet alam sekitar 9 833 ribu ton yang berarti lebih besar dari tingkat produksi pada tahun yang sama sebesar 9 782 ribu ton (IRSG, 2008). Konsumsi karet alam dunia yang meningkat terjadi karena didorong oleh perkembangan industri-industri barang jadi karet dunia. Peningkatan kebutuhan karet alam ini juga diperkuat oleh laju pertumbuhan konsumsi yang cukup signifikan seperti di RRC, India dan Malaysia yang disebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kawasan tersebut serta adanya relokasi industri barang jadi karet dari negara barat ke negara produsen karet alam. Bahkan menurut perkiraan International Rubber Study Group, proyeksi pada tahun 2020 permintaan dunia akan mencapai 10.9 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi per tahun sebesar 9 persen, sehingga akan terjadi

kekurangan pasokan karet bila produksi karet tidak mengalami pertumbuhan yang tinggi (diatas 9 persen).

Walupun terjadi excess demand namun kenyataannya harga riil karet alam cenderung berfluktuasi pada kisaran harga yang menurun. Hal ini terkait dengan proses pembentukan harga karet alam yang merupakan hasil akumulasi dari faktor fundamendal dan faktor teknis antara lain lebih dipengaruhi oleh hasil interaksi kekuatan pasar (permintaan dan penawaran), cadangan (stock) karet alam, cuaca, pergerakan nilai tukar, rasio harga karet sintetis dan karet alam, aktivitas pasar berjangka, intervensi pasar serta perkembangan ekonomi negara konsumen (Khin et al. 2008).

Melihat perkembangan harga karet alam dari tahun 1994-2008 memang menunjukkan tingkat fluktuasi harga yang cukup tinggi (Gambar 1). Puncak kenaikan harga karet alam terjadi pada awal tahun 1995 dan pertengahan tahun 2008 sedangkan penurunan harga karet alam mulai terjadi pada pertengahan tahun 1995 sampai awal tahun 2002. Penurunan harga yang terjadi pada awal tahun 1998 disebabkan krisis moneter yang dialami sebagian negara di kawasan Asia Tenggara, dimana pada saat itu nilai mata uang negara-negara produsen utama karet alam (seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia) terdepresiasi dengan nilai mata uang US Dollar (USD). Hal ini berimplikasi meningkatnya permintaan karet alam dari negara konsumen karena harga karet dinilai lebih murah oleh negara konsumen, sedangkan dari sisi produsen secara tidak langsung kondisi ini membuat harga nominal karet alam yang diterima juga mengalami peningkatan. Faktor inilah yang memacu peningkatan produksi karet negara produsen.

Sumber: Gapkindo, 2008.

Namun demikian, karena peningkatan produksi pada negara produsen menyebabkan ekspor dari negara-negara produsen melebihi penyerapan konsumsi karet alam dunia hingga pada akhirnya mengakibatkan harga kembali turun. Harga terendah terjadi pada akhir tahun 2001 yakni mencapai 45.50 USC/kg dan perkembangan positif harga karet alam mulai terjadi kembali pada pertengahan tahun 2002.

Bahkan, pertengahan tahun 2008 harga mencapai puncak tertinggi sepanjang sejarah harga karet alam yakni 329.75 USC/kg. Peningkatan harga yang terjadi pada karet alam ini lebih dikarenakan kenaikan harga minyak mentah dunia yang juga merupakan bahan baku pembuatan karet sintesis. Karet sintesis merupakan komoditas komplementer dan juga sebagai subsitusi karet alam sehingga ketika harga karet sintesis naik secara tidak langsung ikut mendorong peningkatan harga karet alam di pasar internasional.

Kemudian pada akhir tahun 2008 harga karet kembali turun yang diakibatkan terjadinya krisis ekonomi global yang menyebabkan melemahnya industri otomotif sebagai basis utama industri karet alam. Hingga dampaknya secara nyata mengakibatkan permintaan karet alam dunia melemah dan menimbulkan trend harga yang cenderung menurun di pasar internasional pada kisaran harga 172.50 USC/kg pada bulan Oktober bahkan pada Desember 2008 harga karet alam hanya 112 USC/kg.

Indonesia merupakan negara produsen sekaligus pengekspor karet nomor dua terbesar di dunia dengan luas areal tanaman perkebunan mencapai 3.4 juta ha pada tahun 2007. Hampir 86-88 persen produksi karet tersebut diperuntukkan untuk ekspor hingga menjadikan Indonesia menguasai 35 persen dari total pangsa

ekspor karet alam dunia. Akan tetapi pengembangan karet di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan rakyat yang mencapai 85 persen dan menjadi tumpuan mata pencaharian lebih dari 15 juta jiwa, sedangkan sisanya diusahakan oleh perkebunan besar milik negara maupun perkebunan besar milik swasta. Hal inilah yang menjadikan pasokan karet alam Indonesia riskan terhadap jaminan mutu produk dan kontinuitas produksi.

Karet alam sebagai komoditi strategis yang berorientasi pada pasar ekspor menjadikan harga karet alam Indonesia dipengaruhi dan ditentukan oleh perkembangan harga di luar negeri. Untuk itulah Indonesia memiliki kepentingan besar atas setiap perubahan harga karet alam. Ancaman pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia akibat krisis keuangan juga memberikan tekanan yang cukup besar terhadap kinerja ekspor komoditas karet alam, padahal dalam persaingan komoditi yang sama di pasar internasional, Indonesia harus berkompetisi dengan sesama negara produsen karet alam yang memiliki keunggulan komparatif sama.

Rendahnya harga karet saat ini dan cenderung berfluktuasi merupakan tantangan industri karet Indonesia. Apalagi kekuatan Indonesia dalam penetapan harga karet masih sangat lemah karena harga tidak hanya ditentukan oleh harga di tingkat industri berbahan dasar karet alam tetapi juga oleh konsumen akhir produk berbahan dasar karet alam. Hal ini dikarenakan ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor Indonesia masih terbatas dan umumnya masih didominasi produk primer (raw material) dan produk setengah jadi yakni sebagian besar produk karet Indonesia diolah menjadi karet remah (crumb rubber) dengan kodifikasi “Standard Indonesian Rubber” (SIR), sedangkan lainnya diolah dalam bentuk Ribbed Smoked Sheets (RSS).

Oleh karena itu salah satu untuk upaya untuk mengurangi risiko harga yakni melalui pasar berjangka komoditi. Namun, sampai saat ini perdagangan karet alam Indonesia masih bertumpu pada kegiatan di pasar fisik dengan keharusan untuk menyerahkan atau menerima secara fisik pada saat jatuh tempo dan belum menyentuh perdagangan dengan penyerahan berjangka secara resmi. Tidak berkembangnya pasar berjangka karet di Indonesia disinyalir terkait dengan keragaan sektor hulu industri karet yang didominasi oleh perkebunan rakyat dimana sangat riskan dalam jaminan mutu dan kontinuitas jumlah pasokan. Sedangkan untuk parameter perkembangan harga karet di dalam negeri mengacu pada bursa komoditas karet di luar negeri, seperti Singapore Commodity Exchange (SICOM), Tokyo Commodity Exchange (TOCOM), Agricultural Future Trading of Thailand (AFET) dan Shanghai Future Exchange (SHFE).

Maka dari itu seiring berkembangnya pasar komoditas berjangka karet yang secara tidak langsung sangat mempengaruhi pasar fisik karet di Indonesia karena harga di pasar berjangka dapat digunakan sebagai dasar pergerakan dan sinyal harga karet di pasar fisik dimasa depan. Dengan demikian sangatlah penting untuk mengkaji lebih jauh mengenai pasar karet alam antara pasar fisik di Indonesia dengan pasar berjangka karet di dunia.