• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Cuci Tangan

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit merupakan institusi kesehatan yang menyediakan pelayanan kuratif, rehabilitatif, dan preventif kepada semua orang. Rumah sakit merupakan suatu pemenuhan kebutuhan dan tuntutan pasien yang mengharapkan penyelesaian masalah kesehatannya pada rumah sakit karena dianggap rumah sakit mampu memberikan pelayanan medis sebagai upaya penyembuhan dan pemulihan rasa sakitnya dan pasien mengharapkan pelayanan yang siap, cepat, tanggap dan nyaman terhadap keluhan penyakitnya (Darmadi, 2008). Rumah sakit harus memiliki akomodasi yang adekuat dan berkualifikasi pada tenaga kesehatan yang berpengalaman untuk menyediakan pelayanan dengan kualitas yang baik. Rumah sakit bertujuan untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi rumah sakit juga dapat menjadi sumber infeksi. Saat ini infeksi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan merupakan penyebab utama kematian di beberapa bagian dunia (WHO, 2013).

Infeksi yang terjadi di rumah sakit disebut infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial dapat berasal dari proses penyebaran di pelayanan kesehatan, baik pasien, petugas kesehatan, pengunjung, maupun sumber lainnya (Septiari, 2012). Kejadian infeksi nosokomial sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pasien, lamanya masa perawatan dan masa penyembuhan yang panjang menambah pengeluaran pasien selama di rumah sakit (Potter & Perry, 2005).

Saat ini angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit. Berdasarkan Kepmenkes no. 129 tahun 2008,

standar kejadian infeksi nososkomial di rumah sakit sebesar ≤1,5%. Izin

operasional sebuah rumah sakit bisa dicabut karena tingginya angka kejadian infeksi nosokomial. Kepmenkes no. 129 tahun 2008 ditetapkan suatu standar minimal pelayanan rumah sakit, termasuk didalamnya pelaporan kasus infeksi nosokomial untuk melihat sejauh mana rumah sakit melakukan pengendalian terhadap infeksi ini. Data infeksi nosokomial dari surveilans infeksi nosokomial di setiap rumah sakit dapat digunakan sebagai acuan pencegahan infeksi guna meningkatkan pelayanan medis bagi pasien (Kepmenkes, 2008).

Presentase infeksi nosokomial di rumah sakit dunia mencapai 9% (variasi 3–21%) atau lebih 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia mendapatkan infeksi nosokomial. Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik menunjukkan adanya infeksi nosokomial dan untuk Asia Tenggara sebanyak 10,0% (WHO, 2013). Infeksi ini menempati posisi pembunuh keempat di Amerika Serikat dan terdapat 20.000 kematian tiap tahunnya akibat infeksi nosokomial ini. Kejadian infeksi nosokomial di Amerika Serikat sebesar 12,7% (Marwoto, 2007).

RS. Rasul Akram di Iran melaporkan sebesar 14, 2% pasiennya menderita infeksi nosokomial di bagian pediatrik dengan usia di bawah 2 tahun berisiko mengalami infeksi nosokomial (Masoumi, 2009). Penelitian yang dilakukan di 18

rumah sakit di Swiss menyebutkan bahwa prevalensi infeksi nosokomial sebesar 10,1% dengan kejadian terbanyak pada ruang ICU sebesar 29,7% (Hugo, 2002).

Data infeksi nosokomial di Indonesia sendiri dapat dilihat dari data surveilans yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013 di 10 RSU Pendidikan, diperoleh angka infeksi nosokomial cukup tinggi yaitu sebesar 6-16% dengan rata-rata 9,8%. Penelitian yang pernah dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2013 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat (Kemenkes, 2013).

Berdasarkan hasil survey penelitian yang dilakukan Sukartik (2009) di Rumah Sakit Sumatera Utara tentang kejadian infeksi nosokomial. Data di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Kota Medan Tahun 2009 terhadap infeksi nosokomial di ruang rawat inap sebesar 2,63% yang terdiri dari infeksi yang disebabkan oleh penggunaan jarum infus sebesar 1,8%, angka infeksi luka operasi sebesar 0,8%, dan transfusi darah sebesar 0,03%. Dan data yang diperoleh dari Rumah Sakit Putri Hijau melalui data rekam medik angka infeksi nosokomial tahun 2009 pada ruangan rawat inap sekitar 20%. Jadi dapat disimpulkan bahwa kejadian infeksi di ruangan rawat inap semakin meningkat, ini disebabkan kurangnya tindakan pengawasan pencegahan infeksi yang di lakukan oleh perawat dalam pelaksanaan tindakan pencucian tangan sesuai dengan standar pencegahan infeksi Rumah Sakit (WHO, 2013).

Perawat memiliki peranan penting dalam pengendalian infeksi di rumah sakit, melalui tindakan mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan asuhan keperawatan dapat mengurangi angka kejadian infeksi nosokomial di

rumah sakit. Cuci tangan merupakan salah satu penerapan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial, dimana kebersihan tangan adalah suatu prosedur tindakan membersihkan tangan dengan menggunakan sabun/antiseptik dibawah air mengalir atau dengan menggunakan handdrub yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran dari kulit secara mekanis dan mengurangi jumlah mikroorgansme sementara (Perdalin, 2010).

Menurut Sumurti (2008), cuci tangan dilakukan untuk mengangkat mikroorganisme yang ada ditangan, mencegah infeksi silang, menjaga kondisi steril, melindungi diri dan pasien dari infeksi, dan memberikan perasaan segar dan bersih. Prosedur cuci tangan dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Pencegahan infeksi yang di lakukan perawat pelaksana dengan melakukan tindakan pencucian tangan mampu menghilangkan 92% organisme penyebab infeksi di tanggan dan 70% kasus infeksi bisa di cegah (Kemenkes, 2013). Tingginya angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan sebagai salah satu tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit, untuk itu tindakan pencegahan infeksi nosokomial ini sangat penting diperhatikan oleh setiap pemberi layanan kesehatan di rumah sakit (Septiari, 2012).

Mutu pelayanan rumah sakit harus dilakukan oleh semua jajaran manajemen rumah sakit, Salah satu organisasi dengan sentralisasi yang tinggi adalah kepala ruangan, dimana kepala ruangan merupakan bagian fungsi pengawasan yang mempunyai peran untuk mempertahankan agar segala kegiatan yang telah terprogram dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Kepala ruangan dalam keperawatan bukan hanya sekedar kontrol, tetapi mencakup penentuan

kondisi-kondisi personal maupun material yang diperlukan untuk tercapainya suatu tujuan asuhan keperawatan secara efektif dan efisien (Marquis & Huston, 2010). Dengan demikian setiap pengawasan yang dilakukan oleh kepala ruangan harus dapat mencegah terjadinya infeksi pada pasien. Pelaksanaan pengawasan setiap prosedur yang dilakukan oleh kepala ruangan dengan tepat, akan mencerminkan sikap pengarahan ke pada perawat dalam pencegahan infeksi.

Pelaksanaan pengawasan setiap prosedur yang dilakukan oleh kepala ruangan dengan tepat, akan mencerminkan sikap ketaatan perawat dalam pencegahan infeksi dalam pelaksanaan tindakan pencucian tangan. Pernyataan di atas sejalan dengan hasil penelitian Sutoyo (2012) menyatakan bahwa pengawasan kepala ruangan dalam pelaksanaan prosedur tindakan mencuci tangan dalam pencegahan infeksi ke pada perawat diperoleh sebesar 6,64%. Dalam pengarahan pelaksanaan prosedur pengawasan yang dilakukan kepala ruangan dalam mencegah terjadinya infeksi sangat mempengaruhi ketaatan perawatan yang mana di jelaskan dalam hasil penelitian Winston (2011) menyatakan bahwa pelaksanaan prosedur pengawasan kepala ruangan dalam pencegahan infeksi ke pada ketaatan perawat dalam tindakat mencuci tangan sebesar 94,62%.

Secara umum kepala ruangan merupakan pengamatan yang dilakukan oleh atasan, terhadap pekerjaan yang dilakukan bawahan untuk memberikan bantuan jika ditemukan masalah pada pekerjaan yang dilakukan (Suarli, 2009). Kepala ruangan perlu terus-menerus membina perawat agar program kerja yang telah di sepakati dapat tercapai semaksimal mungkin, selain itu juga didalam pencapaian program kerja tersebut terdapat program kerja yang prioritas, salah satunya

terdapat program kerja pengendalian infeksi melalui tindakan mencuci tangan. Namun, tampaknya belum semua kepala ruangan memahami upaya tersebut secara tepat. Ini tercermin dari belum optimalnya upaya kepala ruangan dalam meningkatkan pengawasan pengendalian infeksi di ruangan rawat inap, khususnya dalam menjalankan peran dan fungsi kepala ruangan sebagai bagian dari tim PPIRS (Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit). Oleh kartena itu di perlukan adanya dorongan yang lebih lanjut terhadap kepala ruangan dalam pengawasan pengendalian infeksi khususnya tindakan mencuci tangan.

Tindakan mencuci tangan dapat mencegah terjadinya penularan infeksi nosokomial di Rumah Sakit. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 28 Juli 2015 di Rumah Sakit Mitra Sejati Medan. Didapatkan data infeksi tindakan mencuci tangan 15%. Maka berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan Pengawasan Kepala Ruangan Dengan Tindakan Cuci Tangan Perawat di Rumah Sakit Mitra Sejati Medan Tahun 2015”.

Dokumen terkait