• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa industrialisasi di Indonesia sejak Pelita I

hingga saat ini telah mencapai hasil yang diharapkan dengan telah terjadinya

transformasi struktural di Indonesia. Pola pertumbuhan secara sektoral di Indonesia

sejalan dengan kecenderungan proses transformasi struktural yang terjadi di

berbagai negara yaitu terjadi penurunan kontribusi sektor pertanian yang sering

disebut sektor primer, sementara itu di sisi lain kontribusi sektor sekunder dan

tersier cenderung meningkat.

Selama 30 tahun sebelum terjadinya krisis keuangan dan ekonomi pada tahun

1997/1998, sektor industri Indonesia mengalami transformasi dan pertumbuhan

yang cepat. Tidak seperti negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia pada

pertengahan tahun 1960-an tidak banyak melakukan pembangunan sektor industri

moderen. Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an Indonesia

dikelompokkan sebagai salah satu negara di Asia Timur sebagai Negara Industri

Baru (Newly Industrializing Economies) oleh Bank Dunia bersama dengan

Malaysia dan Thailand. Sejak tahun 1980-an ketiga negara Asia Tenggara tersebut

mengalami suatu lompatan dalam ekspor produk-produk industri, walaupun dalam

skala yang lebih kecil seperti yang telah dicapai oleh empat macan Asia seperti

Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura (Bank Dunia, 1993 dalam Thee

Kian Wie, 2000).

Secara perlahan kontribusi sektor industri dalam pembentukan Produk

2

awal pembangunan ekonomi mendominasi perekonomian nasional. Pada tahun

1971, sektor pertanian masih memegang peranan yang dominan dalam struktur

perekonomian nasional dengan kontribusinya terhadap PDB mencapai 44.83

persen. Sementara itu, pada tahun yang sama sektor industri baru memberikan

kontribusi sekitar 8.36 persen. Pada tahun 2004 kontribusi sektor industri pada

PDB mencapai puncaknya menjadi 28.37 persen, sementara sektor pertanian turun

menjadi hanya 14.9 persen. Namun demikian, sektor industri terus menurun

kontribusinya dalam PDB yang pada tahun 2010 mencapai 25.76 persen (Badan

Pusat Statistik, 2011). Sementara itu, penelitian Hayashi (2005) menunjukkan

bahwa dari periode 1995-2000, sektor industri manufaktur Indonesia mengalami

peningkatan dalam pangsa produksi, penguatan orientasi ekspor, dan menurunnya

ketergantungan impor.

Laporan Bank Dunia (1993) menyimpulkan beberapa permasalahan

struktural pada industri Indonesia. Pertama, tingginya tingkat konsentrasi dalam

perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang terselubung maupun terang-

terangan pada pasar yang diproteksi. Kedua, dominasi kelompok bisnis pemburu

rente (rent seeking) ternyata belum memanfaatkan keunggulan mereka dalam skala

produksi dan kekuatan finansial untuk bersaing di pasar global. Ketiga, lemahnya

hubungan intra industri, sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya perusahaan yang

bersifat spesialis yang mampu menghubungkan klien bisnisnya yang berjumlah

besar secara efisien. Keempat, struktur industri Indonesia terbukti masih dangkal,

dengan minimnya sektor industri menengah. Kelima, masih kakunya BUMN

sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong kemajuan teknologi. Keenam,

investor asing masih cenderung pada orientasi pasar domestik (inward oriented),

Puncak dari keberhasilan sektor industri terjadi sampai dengan tahun 1997,

yaitu awal dimulainya krisis ekonomi yang dipicu dari krisis ekonomi yang terjadi

di Thailand dan Malaysia (Iriana dan Sjoholm, 2002). Pada saat itu pertumbuhan

sektor industri mencapai 12 persen per tahun melebihi pertumbuhan ekonomi

nasional yang mencapai 7-8 persen. Namun semenjak krisis ekonomi, kinerja

sektor industri masih belum bisa kembali seperti kondisi sebelum krisis. Sebagai

ilustrasi dalam periode tahun 2005 dan 2006, pertumbuhan sektor industri

(termasuk migas) masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan

industri pada tahun 2005 dan 2006 berturut-turut adalah 4.57 persen dan 4.63

persen, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5.68 persen dan

5.48 persen. Sementara itu, pertumbuhan sektor industri pada tahun 2010 baru

mencapai 5.09 persen di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6.1 persen

(Kementerian Perindustrian, 2011).

Menurunnya pertumbuhan sektor industri cukup mengkhawatirkan

mengingat sektor industri sangat diharapkan peranannya dalam mendorong

pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja

untuk mengurangi tingginya tingkat pengangguran. Penurunan pertumbuhan sektor

industri ini mengarah pada suatu gejala deindustrialisasi yaitu proses perubahan

sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh penurunan kapasitas atau aktivitas

industri dalam suatu wilayah atau negara.

Deindustrialisasi memiliki hubungan yang sangat erat dengan industrialisasi

karena deindustrialisasi merupakan antitesis dari industrialisasi. Deindustrialisasi

merupakan proses lebih lanjut dari industrialisasi. Namun pada tingkat

4

Sebuah negara yang mulai meningkat perekonomiannya melalui industrialisasi

akan memasuki fase pematangan industri (industrial maturity). Fase ini berkenaan

dengan evolusi perekonomian nasional suatu negara yang menyandarkan diri pada

sektor industri (Anwari, 2008).

Sejalan dengan perjalanan waktu dari satu titik perkembangan menuju titik

perkembangan yang lain, sektor industri makin meningkat kontribusinya terhadap

PDB. Jika hal ini terjadi, maka suatu negara diidentifikasi sedang berada dalam

taraf industrialisasi. Sebagai konsekuensinya, tidak ada industrialisasi ketika sektor

industri tidak lagi memiliki kontribusi secara signifikan terhadap PDB. Sebaliknya,

jika ternyata kontribusi sektor industri terhadap PDB mengalami penurunan secara

relatif dibandingkan sektor perekonomian yang lain, maka industrialisasi memasuki

fase titik balik. Ini berarti, perekonomian sebuah negara sedang memasuki fase

deindustrialisasi.

Deindustrialisasi merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindarkan ketika

sektor industri sudah tidak lagi mampu berperan sebagai basis terciptanya

kemakmuran suatu bangsa. Pengangguran muncul sebagai dampak dari

deindustrialisasi, yaitu akibat semakin lumpuhnya sektor industri dalam

peranannya sebagai penyedia lapangan kerja. Namun demikian, lahirnya terobosan-

terobosan cerdas memungkinkan terjadinya reindustrialisasi. Ini semua terkait

dengan sejarah industrialisasi dimana industrialisasi bermula dari berlangsungnya

transformasi untuk membawa masuk sektor primer ke dalam proses lebih lanjut

dalam kerangka industri. Di sisi lain, deindustrialisasi menjadi pertanda adanya

perkembangan lebih lanjut perekonomian ke arah pasca-industri. Inilah yang

kemudian dikenal sebagai kemunculan industri tersier, sebagaimana tercermin pada

pengetahuan (knowledge economy) sebagai penentu kecenderungan (Anwari,

2008).

Dari pemaparan di atas, maka deindustrialisasi mempunyai dua dimensi, bisa

berarti positif namun bisa pula berarti negatif. Dalam pengertian positif,

deindustrialisasi merupakan pertanda bahwa industrialisasi merupakan fase yang

berdiri di antara dua fase pertama dan ketiga dari perkembangan ekonomi. Fase

pertama adalah perkembangan ekonomi yang dilandaskan pada sektor primer,

sedangkan fase ketiga adalah sektor tersier. Industrialisasi dengan demikian dapat

dimaknai sebagai fase kedua dalam perkembangan ekonomi masyarakat dalam

fungsinya sebagai sektor sekunder. Dalam evolusi perekonomian seperti itu,

deindustrialisasi merupakan suatu keniscayaan. Deindustrialisasi semacam inilah

yang pernah berlangsung di Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Tiga negara

anggota OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) itu kini

memang telah dikenal sebagai garda depan perkembangan ekonomi tersier di

dunia, setelah sebelumnya berhadapan dengan realitas deindustrialisasi. Ini berarti,

deindustrialisasi benar-benar bermakna positif karena berbanding lurus dengan

kehadiran masyarakat pascaindustri. Deindustrialisasi semacam ini yang

mengawali hadirnya perekonomian yang bercorak teknologi tinggi seperti

munculnya Côte d’ Azur di Perancis, Silicon Valley di California (Amerika Serikat) serta timbulnya Silicon Glen di Inggris (Anwari, 2008).

Deindustrialisasi dalam maknanya yang negatif muncul secara mencolok

dalam perekonomian suatu negara yang PDB-nya masih terlampau besar

ditentukan oleh peran sektor industri. Perekonomian sebuah negara seperti

6

dalam pembentukan PDB. Perkembangan akhir-akhir ini memperlihatkan

merosotnya kontribusi sektor industri terhadap PDB. Dengan demikian berarti

industrialisasi berhenti sebelum mencapai tingkat kematangan dalam kontribusinya

pada pembentukan PDB. Hal ini terjadi karena munculnya beragam distorsi yang

menghadang kelanjutan peran sekktor industri. Jauh sebelum memiliki kemampuan

sebagai kontributor utama dalam terciptanya kemakmuran, sektor industri justru

mengalami penurunan kontribusi. Dengan konteks seperti ini, deindustrialisasi

memiliki makna negatif, berbeda dibandingkan dengan apa yang terjadi di

Perancis, Amerika Serikat maupun Inggris (Anwari, 2008).

Sementara itu, data menunjukkan bahwa beberapa sektor industri di dalam

negeri mengalami kemerosotan pertumbuhan selama tahun 2010. Secara empiris,

pertumbuhan beberapa cabang industri selama 2010 dapat dijelaskan seperti

berikut: tekstil, barang dari kulit, dan alat kaki tumbuh relatif kecil 2.73 persen;

barang kayu dan hasil hutan lainnya minus 3.50 persen; semen dan barang galian

bukan logam tumbuh relatif kecil 2.16 persen; logam dasar besi dan baja tumbuh

relatif kecil 2.56 persen; kertas dan barang cetakan tumbuh relatif kecil 1.64 persen

(Kementerian Perindustrian, 2011). Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa

gejala-gejala deindustrialisasi di Indonesia benar-benar berada dalam wujud yang

semakin nyata.

Bila faktor-faktor penyebab deindustrialisasi ini tidak diantisipasi,

dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia secara

makro seperti perkembangan output, input, harga, penyerapan tenaga kerja, PDB

riil, konsumsi rumah tangga, investasi, inflasi, kesempatan kerja, ekspor, impor,

dan neraca perdagangan serta kinerja sektor industri itu sendiri dilihat dari sisi

Perhatian dampak faktor-faktor penyebab deindustrialisasi pada sektor IKM

dan IB menarik untuk dikaji mengingat beberapa fakta empiris menunjukkan

bahwa IKM dan IB mempunyai respon yang berbeda dalam menghadapi berbagai

guncangan yang menerpa perekonomian Indonesia. Terbukti pada saat terjadinya

krisis ekonomi 1997-1998, usaha kecil menengah (termasuk IKM) mampu menjadi

penyelamat perekonomian Indonesia di saat usaha besar (termasuk IB) mengalami

kebangkrutan. Hasil studi Djaimi (2006) dengan menggunakan pendekatan Social

Accounting Matrix memperlihatkan bahwa peranan IKM lebih besar daripada

industri skala besar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja,

dan pemerataan pendapatan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian

Okuda (1997) yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan bermodal kecil

mampu beroperasi secara fleksibel dan efisien sehingga mampu meningkatkan

produksinya sekaligus memperbaiki produktivitasnya.

Di samping itu, dalam konteks pembangunan industri di Indonesia jelas

terlihat adanya dualisme dan lemahnya keterkaitan industri kecil menengah dengan

industri besar. Dualisme ini muncul karena orientasi industrialisasi berbasis pada

modal besar dan teknologi tinggi namun kurang berdasar atas kekuatan ekonomi

rakyat. Pengalaman Taiwan, sebagai perbandingan, justru menunjukkan

ekonominya dapat tumbuh pesat karena ditopang oleh sejumlah usaha kecil dan

menengah yang disebut community based industry. Perkembangan industri

moderen di Taiwan, yang sukses menembus pasar global, ternyata ditopang oleh

kontribusi usaha kecil dan menengah yang dinamis. Keterkaitan yang erat antara

usaha besar dan usaha kecil lewat program subcontracting terbukti mampu

8

Pelajaran ini sangat berharga dalam membangun industri khususnya peningkatan

peran IKM dalam perekonomian Indonesia.

Strategi industrialisasi yang banyak mengandalkan akumulasi modal,

proteksi, dan teknologi tinggi telah menimbulkan polarisasi dan dualisme dalam

proses pembangunan di Indonesia. Fakta menunjukkan sektor industri yang

moderen hidup berdampingan dengan sektor pertanian yang tradisional dan kurang

produktif. Dualisme dalam sektor industri juga terjadi antara industri kecil dan

kerajinan rumah tangga yang berdampingan dengan industri menengah dan besar.

Sementara itu, di sisi lain industri kecil dan menengah memiliki peranan yang

cukup besar dalam sektor industri dilihat dari sisi jumlah unit usaha dan daya serap

tenaga kerja, namun lemah dalam menyumbang nilai tambah. Dari total unit usaha

manufaktur di Indonesia pada tahun 2007 sebanyak 3 234 764, ternyata 99.94

persen merupakan unit usaha IKM. Sementara itu, pada tahun 2007 IKM

menyediakan kesempatan kerja sebesar 85 persen dari total kesempatan kerja

sektor industri. Kendati demikian, sumbangan nilai tambah IKM pada tahun 2007

terhadap industri manufaktur hanya 23.9 persen. Banyaknya jumlah orang yang

bekerja pada IKM memperlihatkan betapa pentingnya peranan IKM dalam

membantu memecahkan masalah pengangguran dan pemerataan distribusi

pendapatan (Kementerian Koperasi dan UKM, 2008).

Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan berbagai

upaya deregulasi sebagai upaya penyesuaian struktural dan restrukturisasi

perekonomian. Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di bidang

perdagangan dan investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi perusahaan

kecil dan menengah, bahkan justru perusahaan besar dan konglomeratlah yang

tambah ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skala kecil, menengah dan besar,

namun justru perusahaan skala konglomerat dengan tenaga kerja lebih dari 1000

orang yang menikmati kenaikan nilai tambah secara absolut maupun per rata-rata

perusahaan (Kuncoro dan Abimanyu, 1995).

Dalam konteks inilah, perhatian untuk menumbuhkembangkan IKM

setidaknya dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, IKM menyerap banyak tenaga

kerja. Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak

IKM juga intensif dalam menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi, karena

lokasinya banyak di perdesaan, pertumbuhan IKM akan menimbulkan dampak

positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan,

pemerataan dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di perdesaan

(Simatupang et al., 1994; Kuncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, IKM jelas perlu

mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian

besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak dalam

pengentasan kemiskinan. Di perdesaan, peran penting IKM memberikan tambahan

pendapatan, merupakan seed-bed bagi pengembangan industri dan sebagai

pelengkap produksi pertanian bagi penduduk miskin (Kuncoro, 1997).

Kedua, IKM memegang peranan penting dalam ekspor non-migas, yang pada

tahun 2007 mencapai 17.82 persen dari total ekspor sektor industri manufaktur.

Ketiga, adanya urgensi untuk mengubah struktur ekonomi yang berbentuk piramida

menjadi semacam gunungan. Puncak piramida dipegang oleh usaha skala besar

dengan ciri-ciri : beroperasi pada stuktur pasar quasi monopoli oligopolistik,

hambatan masuk tinggi (adanya bea masuk, nontarif, modal, dan lain-lain),

10

dasar piramida didominasi oleh usaha skala menengah dan kecil yang beroperasi

dalam iklim yang sangat kompetitif, hambatan masuk rendah, margin keuntungan

rendah, dan tingkat drop out tinggi. Struktur ekonomi bentuk piramida terbukti

telah mencuatkan isu konsentrasi dan konglomerasi, serta banyak dituding

melestarikan dualisme dan neolibarisme dalam perekonomian Indonesia.

Dokumen terkait