• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

A. Latar Belakang

Secara umum, perkembangan industri plastik telah memberikan banyak sekali keuntungan bagi kehidupan manusia. Sebagian besar peralatan yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan produk plastik seperti plastik kemasan, peralatan listrik, sepatu, dan lain-lain. Dampak negatif kemudian muncul pada saat produk tersebut tidak terpakai lagi dan kemudian dibuang ke lingkungan.

Fakta menyatakan bahwa gundukan sampah terus bertambah dan mengakibatkan lahan-lahan menjadi tersita untuk dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Fakta lain juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya penduduk dunia menggunakan 500 milyar kantong plastik; dan ini berarti ada satu juta kantong plastik tiap menitnya. Sampah plastik dari sektor pertanian saja setiap tahun mencapai 100 juta ton. Dengan jumlah sebanyak itu dapat membungkus bola bumi sebanyak sepuluh kali lipat (Toshi, 2003). Berdasarkan total dari sampah rumah tangga, plastik telah menjadi salah satu komponen sampah hingga 11%, dimana sangat menyita tempat dibandingkan dengan bahan lainnya. Hal ini diperburuk dengan sifat plastik yang tidak dapat terdegradasi secara alami yang membutuhkan waktu hingga 1000 tahun untuk dapat terdekomposisi secara sempurna (Toshi, 2003). Cara yang mungkin diterapkan adalah menggunakan kembali plastik tersebut atau membakarnya namun akan menyebabkan polusi terhadap udara. Tingginya permintaan akan plastik yang terbuat dari sumber daya alam tidak terbaharui juga telah menimbulkan efek yang negatif terhadap lingkungan. Limbah plastik ini lambat laun menjadi masalah yang membutuhkan perhatian khusus untuk dicari jalan keluarnya.

Permasalahan tentang ketersediaan bahan baku, eco-efficiency dan green chemistry telah membawa kepada suatu penelitian yang mengacu kepada sumber daya alam yang terbaharukan dan ramah lingkungan tentang plastik. Salah satu solusinya yaitu membuat material pengemas yang berbahan baku sumber daya pertanian dan kehutanan dimana apabila tidak diperlukan lagi dapat dibuang dan akan terurai dengan sendirinya. Beberapa contoh plastik yang ramah lingkungan telah dikembangkan, contohnya adalah poli asam laktat, poli kaprolakton, poli asam glikolat, dan poli vinil alkohol; hasil kultivasi mikroba seperti golongan poliester dan

2

polisakarida; dan yang terakhir adalah hasil modifikasi kimia bahan-bahan alami seperti pati, selulosa, kitin, dan protein kedelai.

Salah satu hasil modifikasi kimia bahan alami yang mempunyai prospek untuk dikembangkan lebih lanjut adalah pati. Pati dalam beberapa jenis telah tersedia secara alami dan ketersediaanya dapat diperbaharui dengan cepat serta mudah terdegradasi secara biologis. Pati tersebut diharapkan membentuk susunan matriks plastik yang lebih rapuh strukturnya sehingga diharapkan struktur rantai kimia plastik tersebut dapat hancur lebih cepat di dalam tanah. Plastik komposit yang akan dibuat tidak sepenuhnya bahan alami karena akan tetap dicampurkan dengan bahan plastik sintetis dengan tujuan untuk mempertahankan sifat positif dari plastik, akan tetapi dengan adanya pencampuran bahan alami akan mengakibatkan plastik tersebut menjadi lebih cepat terdekomposisi.

Harga bahan baku yang mahal juga telah menjadi tantangan yang paling utama dalam memproduksi kemasan plastik yang dapat terurai secara alami, sehingga untuk mereduksi harga produksinya harus ditemukan teknologi yang lebih baik lagi untuk memproduksinya. Dengan menggunakan pati ubi kayu atau biasa disebut sebagai tapioka dan pati sagu masing-masing akan dibuat pati termoplastis (Termoplastic Starch / TPS) yang harganya diharapkan jauh lebih murah dan memiliki karakteristik plastik yang baik pula. Kedua macam pati tersebut digunakan karena ketersediaannya yang melimpah sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari pertanian nasional Indonesia. Pemilihan pati ubi kayu dan pati sagu sebagai bahan baku juga disebabkan karena tingginya kandungan amilosa dikedua jenis pati tersebut, dimana kandungan amilosa yang tinggi akan memberikan dampak positif terhadap karakteristik plastik komposit. Tentu saja pati tersebut harus dimodifikasi terlebih dahulu untuk memperbaiki karakteristiknya dengan penambahan zat pemlastis. Dengan penambahan pemlastis ini diharapkan agar sifat pati termoplastis tersebut menjadi lebih elastis dan tidak rapuh.

3 B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

Mengetahui karateristik pati sagu dan tapioka yang digunakan,

Mempelajari proses pembuatan plastik komposit dengan metode pencampuran (blending) antara tapioka atau pati sagu termoplastis dan compt.-PE (LLDPE dan HDPE),

Mengetahui karakteristik plastik komposit dari campuran tapioka atau pati sagu termoplastis dan compt.-PE.

4 II.TINJAUAN PUSTAKA

A. BIODEGRADABLE PLASTIC

Secara umum, kemasan biodegradable diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Istilah „biodegradable’ diartikan sebagai kemampuan komponen-komponen molekuler dari suatu material untuk dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih kecil oleh mikroorganisme hidup, sehingga zat karbon yang terkandung dalam material tersebut akhirnya dapat dikembalikan kepada biosfer (Gould et al., 1990); sedangkan menurut Pranamuda (2001), biodegradable plastic adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Seal (1994) menyatakan bahwa kemasan biodegradable plastic adalah suatu material polimer yang dapat berubah menjadi senyawa dengan berat molekul rendah, dimana paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui metabolisme secara alami.

Biodegradable plastic dapat dibuat dari bahan polimer sintetis, polimer alami, dan campuran antara polimer alami dengan polimer sintetis (Cole, 1990), sedangkan menurut Griffin (1994), biodegradable plastic adalah suatu bahan dalam kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur, alga).

Polimer alami mempunyai sifat yang kurang baik, sedangkan polimer sintetis mempunyai sifat yang unggul seperti lebih tahan air dan kekuatan mekaniknya yang tinggi. Penggabungan antara polimer alami dan polimer sintetis sangat baik karena diharapkan dapat menghasilkan material yang sifat fisiknya baik dan bersifat ramah lingkungan (Wisojodharmo et al., 1998). Hal ini didukung dengan adanya pernyataan dari Otey et al. (1987), pati yang sering digunakan sebagai bahan campuran polimer adalah granula pati alami atau granula pati yang telah dimodifikasi secara kimiawi untuk meningkatkan kesesuaian granula dengan matriks polimer sintetis yang digunakan. Semakin kecil campuran konsentrasi pati akan memberikan pengaruh terhadap biodegradabilitas plastik yang semakin rendah pula.

5

Polimer-polimer yang mampu terdegradasi harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu mengandung salah satu dari jenis ikatan asetal, amida, atau ester, memiliki berat molekul dan kritalinitas rendah, serta memiliki hidrofilitas yang tinggi. Persyaratan ini tidak sesuai dengan spesifikasi teknis plastik yang diinginkan dan dibutuhkan pasar sehingga perlu adanya pengoptimalan pengaruh berat molekul, kritalinitas, dan biodegradabilitas serta sifat mekanik (Ulfa, 2009).

Kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan

biodegradable plastic yaitu (Latief, 2001):

- Campuran biopolimer dengan polimer sintetis. Bahan ini memiliki nilai biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi yang sangat terbatas.

- Poliester. Biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologi atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes dan dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur, dan alga.

- Polimer pertanian. Polimer pertanian diantaranya yaitu cellophan, seluloasetat, kitin, pullulan.

B. PATI

Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di alam. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan, antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses metabolisme. Menurut Hart (1990), pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Sifat pada pati tergantung panjang rantai karbonnya, serta lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Berat molekul pati bervariasi tergantung pada kelarutan dan sumber patinya.

Umumnya pati tidak terdapat dalam keadaan murni karena terdapat bahan antara misalnya protein dan lemak. Dapat dikatakan bahwa granula pati sedikitnya mengandung tiga komponen yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara. Bahan antara tersebut terdapat sekitar 5-10% (Banks dan Greenwood, 1975). Tiap jenis pati mempunyai sifat yang tidak sama, karena hal ini dipengaruhi oleh panjang rantai karbonnya dan perbandingan antara molekul yang lurus dan bercabang. Komponen

6

yang menyusun pati ada tiga, yaitu: amilosa, amilopektin dan bahan antara (seperti protein dan lemak). Bahan antara tersebut biasanya terdapat 5-10% dari berat total (Banks dan Greenwood, 1975). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut tersebut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa merupakan polimer rantai lurus yang dibangun oleh ikatan α-(1,4)-glikosidik dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D- glukosa, sedangkan amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α- (1,4)-glikosidik dan ikatan α-(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya (dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2). Setiap cabang terdiri atas 25 - 30 unit D-glukosa (Winarno, 1991).

Gambar 1. Struktur rantai molekul amilosa

Gambar 2. Struktur rantai molekul amilopektin

Menurut Flach (1993) amilopektin mempunyai ukuran yang lebih besar daripada amilosa, tetapi mempunyai kekentalan yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa struktur amilopektin lebih kompak bila terdapat dalam larutan. Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Tabel 1 menyajikan perbandingan jumlah amilosa dan amilopektin yang berbeda-beda dalam setiap jenis pati.

7

Tabel 1. Rasio amilosa-amilopektin pada umbi-umbian

Umbi Amilosa (%) Amilopektin (%)

Ubi jalar 17,0 83,0 Ubi kayu 18,0 82,0 Talas 18,0 82,0 Kimpul 21,2 78,8 Ganyong 18,9 81,1 Suweg 18,3 81,7 Uwi 23,6 76,4 Gembili 24,3 75,7 Sumber: Hayati (2004)

Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati. Kandungan amilosa di dalam pati terdapat dalam jumlah kecil, sedangkan amilopektin terdapat dalam jumlah yang lebih besar. Menurut Charley (1970), butiran pati terdiri dari 1/4 bagian amilosa dan 3/4 bagian amilopektin. Apabila konsentrasi amilosa lebih tinggi, maka pati akan bersifat kering, kurang lekat, dan menyerap air lebih banyak (Wirakartakusumah, 1984). Amilosa dan amilopektin mempunyai sifat fisik yang berbeda. Perbedaan antara amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Perbandingan antara amilosa dan amilopektin

Properti Amilosa Amilopektin

Struktur umum Linear Bercabang

Ikatan α-1,4 α-1,4 dan α-1,6

Panjang rantai rata-rata ~103 20-25

Derajat polimerisasi ~103 104-105

Kompleks dengan iod Biru (~650 nm) Ungu-cokelat (~550 nm)

Produk hidrolisis dengan α- amilase

Maltotriosa, glukosa, maltosa, oligosakarida

Gula pereduksi (sedikit), oligosakarida (dominan) Sumber: Anonim (2000)

Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai konsentrasi 30% dan peningkatan volume granula pada selang suhu 55oC sampai 65oC masih memungkinkan granula kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan yang luar biasa, dan granula pati tidak dapat kembali ke keadaan semula, maka perubahan ini disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya berbeda-beda tergantung pada jenis pati dan konsentrasinya (Winarno, 1991). Bentuk granula pada pati sagu dan pati ubi kayu dapat dilihat pada Gambar 3.

Penelitian tentang pati sebagai bahan baku plastik telah dilakukan mulai dari penggunaan pati alami, pati termodifikasi, dan pati termoplastis untuk ditambahkan

8

baik pada biodegradable plastic dan non-biodegradable plastic. Pemilihan proses atas pati didasarkan pada produk akhir yang ingin dicapai. Selain itu penambahan pati dalam pembuatan plastik juga ditujukan untuk meminimisasi biaya produksi (Fabunmi et al. 2007).

a) b)

Gambar 3. Granula pati a) tapioka dan b) pati sagu (Anonim, 2000)

Potensi penggunaan pati sebagai bioplastik berkisar 85-90% dari pasar bioplastik yang ada, termasuk polimer asam laktat yang diproduksi melalui fermentasi pati. Diantara bioplastik tersebut mengunakan pati alami dan modifikasinya dalam bentuk campuran polimer sintetik. Starch-based plastic

merupakan penggunaan pati dalam memproduksi bioplastik dengan keuntungan yaitu harga murah, jumlah berlimpah dan dapat diperbaharui (Vilpoux dan Averous, 2006).

C. TAPIOKA

Tapioka adalah pati yang diekstrak dari ubi kayu. Dalam memperoleh pati dari ubi kayu (tapioka), harus mempertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman ubi kayu. Usia optimum yang telah ditentukan dari hasil percobaan terhadap salah satu varietas ubi kayu yang berasal dari Jawa yaitu San Pedro Preto adalah sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika umbi ubi kayu dibiarkan di tanah, jumlah pati akan meningkat hingga pada titik tertentu, lalu umbi akan menjadi keras dan menyerupai kayu, sehingga umbi akan sulit untuk ditangani dan diolah. Komposisi kimia tapioka dapat dilihat pada Tabel 3.

9

Tabel 3. Komposisi kimia tapioka

Komposisi Jumlah Serat (%) 0,5 Air (%) 15 Karbohidrat (%) 85 Protein (%) 0,5-0,7 Lemak (%) 0,2 Energi (kalori/100 g) 307 Sumber: Grace (1977)

Bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta semakin cepat tercapai tetapi cepat turun lagi. Sebaliknya, bila pH terlalu rendah, maka pembentukan pasta menjadi lambat dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. The Tapioca Institute of America (TIA) menetapkan standar pH tapioka sekitar 4,5-6,5 (Radley, 1976). Syarat mutu tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Syarat mutu tapioka menurut SNI 01-3451-1994

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II Mutu III

1. Kadar air % Maks. 15,0 Maks. 15,0 Maks. 15,0

2. Kadar abu % Maks. 0,6 Maks. 0,6 Maks. 0,6

3. Serat dan benda

asing % Maks. 0,6 Maks. 0,6 Maks. 0,6

4. Derajat putih (BaSO4=100%) % Min. 94,5 Min. 92,0 < 92,0 5. Derajat asam ml NaOH 1N/100 g

Maks. 3,0 Maks. 3,0 Maks. 3,0

6. Cemaran logam -Timbal -Tembaga -Seng -Raksa -Arsen mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks.0,05 Maks. 0,5 Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks.0,05 Maks. 0,5 Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks.0,05 Maks. 0,5 7. Cemaran mikroba -Angka lempeng total -E. coli -Kapang koloni/g koloni/g koloni/g Maks. 1,0 x 106 - Maks. 1,0 x 104 Maks. 1,0 x 106 - Maks. 1,0 x 104 Maks. 1,0 x 106 - Maks. 1,0 x 104

10

Dalam SNI, nilai pH tapioka tidak dipersyaratkan. Namun demikian, beberapa institusi mensyaratkan nilai pH untuk mengetahui mutu tapioka berkaitan dengan proses pengolahan. Salah satu proses pengolahan tapioka yang berkaitan dengan pH adalah proses pembentukan pasta. Menurut Winarno (1991), pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7.

Kehalusan tepung juga penting untuk menentukan mutu tapioka. Tapioka yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan memiliki kehalusan yang baik. Dalam SNI, tidak dipersyaratkan mengenai kehalusan tapioka. Salah satu institusi yang mensyaratkan kehalusan tapioka adalah The Tapioca Institute of America

(TIA), yang membagi tapioka menjadi tiga kelas berdasarkan kehalusannya yaitu tingkat A, B, dan C dengan masing-masing ukuran ayakan sebesar 140 mesh (99% lolos ayakan), 80 mesh (99% lolos ayakan), dan 60 mesh (95% lolos ayakan) (Radley, 1976).

Tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi ubi kayu. Proses ekstraksi umbi kayu relatif mudah karena kandungan protein dan lemaknya rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan berwarna putih bersih (Mardipana dan Rony, 2004). Berdasarkan derajat keputihan, maka semakin putih tapioka mutunya juga semakin baik. Hal ini terdapat dalam SNI 01-3451-1994 yang membagi tapioka menjadi tiga kelas mutu berdasarkan derajat keputihan seperti yang tercantum pada Tabel 4.

Dokumen terkait