• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Produksi Plastik Komposit Campuran Pati Termoplastis dan Polietilen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Produksi Plastik Komposit Campuran Pati Termoplastis dan Polietilen"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

1 I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Secara umum, perkembangan industri plastik telah memberikan banyak sekali

keuntungan bagi kehidupan manusia. Sebagian besar peralatan yang digunakan oleh

manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan produk plastik seperti plastik

kemasan, peralatan listrik, sepatu, dan lain-lain. Dampak negatif kemudian muncul

pada saat produk tersebut tidak terpakai lagi dan kemudian dibuang ke lingkungan.

Fakta menyatakan bahwa gundukan sampah terus bertambah dan

mengakibatkan lahan-lahan menjadi tersita untuk dijadikan sebagai tempat

pembuangan sampah. Fakta lain juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya penduduk

dunia menggunakan 500 milyar kantong plastik; dan ini berarti ada satu juta kantong

plastik tiap menitnya. Sampah plastik dari sektor pertanian saja setiap tahun

mencapai 100 juta ton. Dengan jumlah sebanyak itu dapat membungkus bola bumi

sebanyak sepuluh kali lipat (Toshi, 2003). Berdasarkan total dari sampah rumah

tangga, plastik telah menjadi salah satu komponen sampah hingga 11%, dimana

sangat menyita tempat dibandingkan dengan bahan lainnya. Hal ini diperburuk

dengan sifat plastik yang tidak dapat terdegradasi secara alami yang membutuhkan

waktu hingga 1000 tahun untuk dapat terdekomposisi secara sempurna (Toshi,

2003). Cara yang mungkin diterapkan adalah menggunakan kembali plastik tersebut

atau membakarnya namun akan menyebabkan polusi terhadap udara. Tingginya

permintaan akan plastik yang terbuat dari sumber daya alam tidak terbaharui juga

telah menimbulkan efek yang negatif terhadap lingkungan. Limbah plastik ini lambat

laun menjadi masalah yang membutuhkan perhatian khusus untuk dicari jalan

keluarnya.

Permasalahan tentang ketersediaan bahan baku, eco-efficiency dan green

chemistry telah membawa kepada suatu penelitian yang mengacu kepada sumber

daya alam yang terbaharukan dan ramah lingkungan tentang plastik. Salah satu

solusinya yaitu membuat material pengemas yang berbahan baku sumber daya

pertanian dan kehutanan dimana apabila tidak diperlukan lagi dapat dibuang dan

akan terurai dengan sendirinya. Beberapa contoh plastik yang ramah lingkungan

telah dikembangkan, contohnya adalah poli asam laktat, poli kaprolakton, poli asam

(2)

2

polisakarida; dan yang terakhir adalah hasil modifikasi kimia bahan-bahan alami

seperti pati, selulosa, kitin, dan protein kedelai.

Salah satu hasil modifikasi kimia bahan alami yang mempunyai prospek

untuk dikembangkan lebih lanjut adalah pati. Pati dalam beberapa jenis telah tersedia

secara alami dan ketersediaanya dapat diperbaharui dengan cepat serta mudah

terdegradasi secara biologis. Pati tersebut diharapkan membentuk susunan matriks

plastik yang lebih rapuh strukturnya sehingga diharapkan struktur rantai kimia

plastik tersebut dapat hancur lebih cepat di dalam tanah. Plastik komposit yang akan

dibuat tidak sepenuhnya bahan alami karena akan tetap dicampurkan dengan bahan

plastik sintetis dengan tujuan untuk mempertahankan sifat positif dari plastik, akan

tetapi dengan adanya pencampuran bahan alami akan mengakibatkan plastik tersebut

menjadi lebih cepat terdekomposisi.

Harga bahan baku yang mahal juga telah menjadi tantangan yang paling

utama dalam memproduksi kemasan plastik yang dapat terurai secara alami,

sehingga untuk mereduksi harga produksinya harus ditemukan teknologi yang lebih

baik lagi untuk memproduksinya. Dengan menggunakan pati ubi kayu atau biasa

disebut sebagai tapioka dan pati sagu masing-masing akan dibuat pati termoplastis

(Termoplastic Starch / TPS) yang harganya diharapkan jauh lebih murah dan

memiliki karakteristik plastik yang baik pula. Kedua macam pati tersebut digunakan

karena ketersediaannya yang melimpah sehingga dapat meningkatkan nilai tambah

dari pertanian nasional Indonesia. Pemilihan pati ubi kayu dan pati sagu sebagai

bahan baku juga disebabkan karena tingginya kandungan amilosa dikedua jenis pati

tersebut, dimana kandungan amilosa yang tinggi akan memberikan dampak positif

terhadap karakteristik plastik komposit. Tentu saja pati tersebut harus dimodifikasi

terlebih dahulu untuk memperbaiki karakteristiknya dengan penambahan zat

pemlastis. Dengan penambahan pemlastis ini diharapkan agar sifat pati termoplastis

(3)

3 B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

Mengetahui karateristik pati sagu dan tapioka yang digunakan,

Mempelajari proses pembuatan plastik komposit dengan metode pencampuran

(blending) antara tapioka atau pati sagu termoplastis dan compt.-PE (LLDPE dan

HDPE),

Mengetahui karakteristik plastik komposit dari campuran tapioka atau pati sagu

(4)

4 II.TINJAUAN PUSTAKA

A. BIODEGRADABLE PLASTIC

Secara umum, kemasan biodegradable diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Istilah „biodegradable’ diartikan sebagai kemampuan komponen-komponen molekuler dari suatu material

untuk dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih kecil oleh mikroorganisme

hidup, sehingga zat karbon yang terkandung dalam material tersebut akhirnya dapat

dikembalikan kepada biosfer (Gould et al., 1990); sedangkan menurut Pranamuda

(2001), biodegradable plastic adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti

plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme

menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke

lingkungan. Seal (1994) menyatakan bahwa kemasan biodegradable plastic adalah

suatu material polimer yang dapat berubah menjadi senyawa dengan berat molekul

rendah, dimana paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui

metabolisme secara alami.

Biodegradable plastic dapat dibuat dari bahan polimer sintetis, polimer alami,

dan campuran antara polimer alami dengan polimer sintetis (Cole, 1990), sedangkan

menurut Griffin (1994), biodegradable plastic adalah suatu bahan dalam kondisi

tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang

mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri,

jamur, alga).

Polimer alami mempunyai sifat yang kurang baik, sedangkan polimer sintetis

mempunyai sifat yang unggul seperti lebih tahan air dan kekuatan mekaniknya yang

tinggi. Penggabungan antara polimer alami dan polimer sintetis sangat baik karena

diharapkan dapat menghasilkan material yang sifat fisiknya baik dan bersifat ramah

lingkungan (Wisojodharmo et al., 1998). Hal ini didukung dengan adanya pernyataan

dari Otey et al. (1987), pati yang sering digunakan sebagai bahan campuran polimer

adalah granula pati alami atau granula pati yang telah dimodifikasi secara kimiawi

untuk meningkatkan kesesuaian granula dengan matriks polimer sintetis yang

digunakan. Semakin kecil campuran konsentrasi pati akan memberikan pengaruh

(5)

5

Polimer-polimer yang mampu terdegradasi harus memenuhi beberapa

kriteria, yaitu mengandung salah satu dari jenis ikatan asetal, amida, atau ester,

memiliki berat molekul dan kritalinitas rendah, serta memiliki hidrofilitas yang

tinggi. Persyaratan ini tidak sesuai dengan spesifikasi teknis plastik yang diinginkan

dan dibutuhkan pasar sehingga perlu adanya pengoptimalan pengaruh berat molekul,

kritalinitas, dan biodegradabilitas serta sifat mekanik (Ulfa, 2009).

Kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan

biodegradable plastic yaitu (Latief, 2001):

- Campuran biopolimer dengan polimer sintetis. Bahan ini memiliki nilai

biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi yang sangat terbatas.

- Poliester. Biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologi atau fermentasi dengan

mikroba genus Alcaligenes dan dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri,

jamur, dan alga.

- Polimer pertanian. Polimer pertanian diantaranya yaitu cellophan, seluloasetat,

kitin, pullulan.

B. PATI

Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di

alam. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan, antara lain

di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas,

ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati digunakan untuk

menyimpan glukosa dalam proses metabolisme. Menurut Hart (1990), pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Sifat pada pati tergantung panjang rantai karbonnya, serta lurus atau bercabang rantai molekulnya.

Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut

disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Berat molekul pati

bervariasi tergantung pada kelarutan dan sumber patinya.

Umumnya pati tidak terdapat dalam keadaan murni karena terdapat bahan

antara misalnya protein dan lemak. Dapat dikatakan bahwa granula pati sedikitnya

mengandung tiga komponen yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara. Bahan

antara tersebut terdapat sekitar 5-10% (Banks dan Greenwood, 1975). Tiap jenis pati

mempunyai sifat yang tidak sama, karena hal ini dipengaruhi oleh panjang rantai

(6)

6

yang menyusun pati ada tiga, yaitu: amilosa, amilopektin dan bahan antara (seperti

protein dan lemak). Bahan antara tersebut biasanya terdapat 5-10% dari berat total

(Banks dan Greenwood, 1975). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan

dengan air panas. Fraksi terlarut tersebut disebut amilosa dan fraksi yang tidak

terlarut disebut amilopektin. Amilosa merupakan polimer rantai lurus yang dibangun oleh ikatan α-(1,4)-glikosidik dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa, sedangkan amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α -(1,4)-glikosidik dan ikatan α-(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya (dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2). Setiap cabang terdiri atas 25 - 30 unit D-glukosa

(Winarno, 1991).

Gambar 1. Struktur rantai molekul amilosa

Gambar 2. Struktur rantai molekul amilopektin

Menurut Flach (1993) amilopektin mempunyai ukuran yang lebih besar

daripada amilosa, tetapi mempunyai kekentalan yang lebih rendah. Hal ini

menunjukkan bahwa struktur amilopektin lebih kompak bila terdapat dalam larutan.

Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa.

Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap sifat

kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Tabel 1 menyajikan perbandingan jumlah

(7)

7

Tabel 1. Rasio amilosa-amilopektin pada umbi-umbian

Umbi Amilosa (%) Amilopektin (%)

Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati.

Kandungan amilosa di dalam pati terdapat dalam jumlah kecil, sedangkan

amilopektin terdapat dalam jumlah yang lebih besar. Menurut Charley (1970),

butiran pati terdiri dari 1/4 bagian amilosa dan 3/4 bagian amilopektin. Apabila

konsentrasi amilosa lebih tinggi, maka pati akan bersifat kering, kurang lekat, dan

menyerap air lebih banyak (Wirakartakusumah, 1984). Amilosa dan amilopektin

mempunyai sifat fisik yang berbeda. Perbedaan antara amilosa dan amilopektin dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Perbandingan antara amilosa dan amilopektin

Properti Amilosa Amilopektin

Struktur umum Linear Bercabang

Ikatan α-1,4 α-1,4 dan α-1,6

Panjang rantai rata-rata ~103 20-25

Derajat polimerisasi ~103 104-105

Kompleks dengan iod Biru (~650 nm) Ungu-cokelat (~550 nm)

Produk hidrolisis dengan α

-Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan

penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai konsentrasi 30% dan peningkatan

volume granula pada selang suhu 55oC sampai 65oC masih memungkinkan granula

kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan yang luar biasa, dan

granula pati tidak dapat kembali ke keadaan semula, maka perubahan ini disebut

gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya

berbeda-beda tergantung pada jenis pati dan konsentrasinya (Winarno, 1991). Bentuk

granula pada pati sagu dan pati ubi kayu dapat dilihat pada Gambar 3.

Penelitian tentang pati sebagai bahan baku plastik telah dilakukan mulai dari

(8)

8

baik pada biodegradable plastic dan non-biodegradable plastic. Pemilihan proses

atas pati didasarkan pada produk akhir yang ingin dicapai. Selain itu penambahan

pati dalam pembuatan plastik juga ditujukan untuk meminimisasi biaya produksi

(Fabunmi et al. 2007).

a) b)

Gambar 3. Granula pati a) tapioka dan b) pati sagu (Anonim, 2000)

Potensi penggunaan pati sebagai bioplastik berkisar 85-90% dari pasar

bioplastik yang ada, termasuk polimer asam laktat yang diproduksi melalui

fermentasi pati. Diantara bioplastik tersebut mengunakan pati alami dan

modifikasinya dalam bentuk campuran polimer sintetik. Starch-based plastic

merupakan penggunaan pati dalam memproduksi bioplastik dengan keuntungan yaitu

harga murah, jumlah berlimpah dan dapat diperbaharui (Vilpoux dan Averous,

2006).

C. TAPIOKA

Tapioka adalah pati yang diekstrak dari ubi kayu. Dalam memperoleh pati

dari ubi kayu (tapioka), harus mempertimbangkan usia atau kematangan dari

tanaman ubi kayu. Usia optimum yang telah ditentukan dari hasil percobaan terhadap

salah satu varietas ubi kayu yang berasal dari Jawa yaitu San Pedro Preto adalah

sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika umbi ubi kayu dibiarkan di tanah, jumlah

pati akan meningkat hingga pada titik tertentu, lalu umbi akan menjadi keras dan

menyerupai kayu, sehingga umbi akan sulit untuk ditangani dan diolah. Komposisi

(9)

9

Bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta semakin cepat tercapai tetapi cepat

turun lagi. Sebaliknya, bila pH terlalu rendah, maka pembentukan pasta menjadi

lambat dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. The Tapioca

Institute of America (TIA) menetapkan standar pH tapioka sekitar 4,5-6,5 (Radley,

1976). Syarat mutu tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Syarat mutu tapioka menurut SNI 01-3451-1994

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

(10)

10

Dalam SNI, nilai pH tapioka tidak dipersyaratkan. Namun demikian,

beberapa institusi mensyaratkan nilai pH untuk mengetahui mutu tapioka berkaitan

dengan proses pengolahan. Salah satu proses pengolahan tapioka yang berkaitan

dengan pH adalah proses pembentukan pasta. Menurut Winarno (1991),

pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7.

Kehalusan tepung juga penting untuk menentukan mutu tapioka. Tapioka

yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan memiliki kehalusan yang baik.

Dalam SNI, tidak dipersyaratkan mengenai kehalusan tapioka. Salah satu institusi

yang mensyaratkan kehalusan tapioka adalah The Tapioca Institute of America

(TIA), yang membagi tapioka menjadi tiga kelas berdasarkan kehalusannya yaitu

tingkat A, B, dan C dengan masing-masing ukuran ayakan sebesar 140 mesh (99%

lolos ayakan), 80 mesh (99% lolos ayakan), dan 60 mesh (95% lolos ayakan)

(Radley, 1976).

Tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi ubi kayu. Proses ekstraksi

umbi kayu relatif mudah karena kandungan protein dan lemaknya rendah. Jika proses

pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan berwarna putih

bersih (Mardipana dan Rony, 2004). Berdasarkan derajat keputihan, maka semakin

putih tapioka mutunya juga semakin baik. Hal ini terdapat dalam SNI 01-3451-1994

yang membagi tapioka menjadi tiga kelas mutu berdasarkan derajat keputihan seperti

yang tercantum pada Tabel 4.

D. PATI SAGU

Pati sagu dihasilkan dari tanaman sagu (Metroxylon sp.) yang dapat

ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pati sagu diperoleh dari proses

ekstraksi batang tanaman sagu, yang berupa granula berwarna putih, tidak berasa,

dan tidak berbau. Bentuk granula adalah bulat dengan permukaan datar dan ukuran

granula bervariasi antara 20-60 µm. Granula pati tidak larut dalam air dingin. Kadar

air pati sagu sekitar 11% dan pH suspensi adalah 6,0. Granula pati terdiri dari dua

komponen mayor utama yakni amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-80%), yang

keduanya merupakan unit polimer α-D-glukosa dalam konformasi 4C1 (Wurzburg,

1989).

Granula pati sagu terdapat pada bagian empulur batang sagu dalam bentuk

(11)

11

daun. Periode pertumbuhan pohon sagu diperkirakan 135-141 bulan atau 11,25-11,75

tahun, dengan jumlah ruas bekas daun diperkirakan 207 ruas (Flach, 1993). Granula

pati sagu berbentuk oval seperti telur atau oval truncated dan ukurannya relatif besar,

berkisar 5-65 µm, dengan ukuran rata-rata 30,0 µm (Swinkels, 1985 di dalam Van

Beynum dan Roels, 1985). Menurut Takahashi et al. (1995), ukuran granula pati

berkisar antara 10-65 µm, dengan ukuran rata-rata 31,0 µm. Tabel 5 menyajikan

syarat mutu pati sagu.

Tabel 5. Syarat mutu pati sagu menurut SNI 01-3729-1995

No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

(12)

12 E. PATI TERMOPLASTIS

Pati termoplastis dihasilkan melalui pemrosesan pada suhu dan gesekan tinggi

sehingga pati bersifat termoplastik dan bisa dicetak. Pembentukan pati termoplastis

dipengaruhi oleh kondisi proses dan formulasi bahan yang digunakan. Selama proses

termoplastis, air akan masuk dalam pati dan bahan pemlastis akan berperan sangat

signifikan. Bahan pemlastis akan membentuk ikatan hidrogen dengan pati, sehingga

terjadi reaksi antara gugus hidroksi dan molekul pati yang membuat pati menjadi

lebih plastis. Dalam kondisi normal, air yang ditambahkan 10-20% dan secara

opsional dapat ditambahkan pelarut dan bahan aditif lainnya. Faktor-faktor yang

berpengaruh dalam pembentukan pati termoplastis yaitu (Morawietz, 2006):

- Parameter proses: kecepatan ulir, laju alir bahan dalam ekstruder, suhu dan profil

ekstruder, geometri ekstruder, dan jenis pelletizer.

- Parameter formulasi: jenis pati, konsentrasi air, konsentrasi dan jenis zat

pemlastis, serta konsentrasi dan jenis aditif.

Pati termoplastis lebih tahan terhadap deformasi dikarenakan adanya bahan

pemlastis dan destrukturisasi granular menyebabkan deformasi hanya akan terjadi

disepanjang matriks dimana tegangan (stress) diberikan, sehingga kerusakan

permanen dapat diminimalkan (Ishiaku et al., 2002). Pati termoplastis memiliki

keunggulan dalam hal kemudahan proses, morfologi akhir yang lebih baik dan

penyebaran partikel yang lebih merata dengan adanya proses destrukturisasi. Namun

demikian, pati termoplastis sensitif terhadap air, memungkinkan terjadinya migrasi

bahan pemlastis dan rekristalisasi berlebih akan memberikan sifat rapuh (Huneault

dan Li, 2007).

Bahan pemlastis memegang peranan penting dalam pembuatan pati

termoplastis. Pemlastis adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang

ditambahkan untuk memperlemah kekakuan dari polimer, sekaligus meningkatkan

fleksibilitas dan eksentibilitas polimer (Julianti dan Nurminah, 2006). Adanya bahan

(13)

13 F. POLIETILEN (PE)

Polietilen atau polyethene paling banyak digunakan sebagai plastik kemasan

(kantong plastik belanja), dengan produksi tahunan sekitar 80 juta metrik ton.

Polietilen dibuat melalui proses polimerisasi etilen dan dapat diproduksi melalui

polimerisasi radikal, polimerisasi adisi anionik, dan polimerisasi adisi kationik.

Proses-proses tersebut dilakukan karena etilen tidak mempunyai kelompok

pensubtitusi yang dapat mempengaruhi stabilitas dari perambatan kepala polimer.

Polietilen diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yang berbeda berdasarkan pada

umumnya kepadatan dan percabangan rantainya. Sifat mekanis dari polietilen

bergantung pada variabel seperti luas dan jenis percabangan, struktur kristal dan

berat molekul. Jenis poletilen tersebut antara lain adalah (Piringer dan Baner, 2008):

Ultra high molecular weight polyethylene (UHMWPE)

Ultra low molecular weight polyethylene (ULMWPE or PE-WAX)

High molecular weight polyethylene (HMWPE)

High density polyethylene (HDPE)

High density cross-linked polyethylene (HDXLPE)

Cross-linked polyethylene (PEX or XLPE)

Medium density polyethylene (MDPE)

Low density polyethylene (LDPE)

Linear low density polyethylene (LLDPE)

Very low density polyethylene (VLDPE)

HDPE memiliki cabang yang pendek sehingga membuatnya mempunyai daya

intermolekul dan kuat tarik yang lebih kuat daripada LDPE. HDPE juga mempunyai

karakter yang lebih keras dan opak, serta dapat bertahan pada suhu yang lebih tinggi

(120°C/248°F untuk periode singkat, 110°C/230°F untuk periode lama). Kekurangan

dari sifatnya yang mempunyai cabang yang pendek harus disesuaikan dengan pilihan

katalisator (misalnya Ziegler-Natta katalis) dan kondisi reaksi. HDPE mengandung

unsur kimia karbon dan hidrogen. HDPE digunakan dalam produk dan kemasan

seperti susu juga, botol deterjen, margarine tubs, kontainer sampah dan pipa air

(14)

14

HDPE memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan

terhadap suhu tinggi. HDPE biasa dipakai untuk botol kosmestik, botol obat, botol

minuman, botol susu yang berwarna putih susu, tupperware, galon air minum, kursi

lipat, jerigen, pelumas, dan lain-lain. Walaupun demikian HDPE hanya

direkomendasikan untuk sekali pakai, karena pelepasan senyawa SbO3 (Antimon

Trioksida) terus meningkat seiring waktu. Bahan HDPE bila ditekan tidak kembali

kebentuk semula (Sidney dan Dubois, 1977).

Tabel 6. Karakteristik HDPE dan LLDPE

Karakteristik Nilai LLDPE Nilai HDPE

Density (g/cm3) 0,92 0,96

Surface hardness SD48 SD68

Tensile strength (MPa) 20 32

Dissipation factor 1kHz 909090 0,0005

Dielectric constant 1kHz 2,3 2,3

LLDPE adalah polimer linear substansial (polietilen), dengan sejumlah

cabang-cabang pendek, biasanya terbuat dari kopolimerisasi dari etilen dengan rantai

olefins yang lebih panjang. Secara umum, LLDPE diproduksi pada suhu dan tekanan

yang rendah dengan kopolimerisasi etilen dan alpha olefins yang lebih tinggi seperti

butana, heksana atau oktana. Proses kopolimerisasi yang menghasilkan suatu LLDPE

polimer yang memiliki distribusi berat molekul yang lebih kecil dari LDPE

(15)

15

sifat rheologinya (Sidney dan Dubois, 1977). LLDPE telah merambah hampir semua

pasar tradisional polietilen dan biasa digunakan untuk kantong plastik dan lembaran

(di tempat yang memungkinkan dengan ketebalan lebih rendah dibandingkan LDPE),

bungkus plastik, plastik wrap, mainan, pipa, ember dan kontainer, serta meliputi

kabel, geomembranes, dan terutama sistem pipa-pipa yang fleksibel (Harper, 1975).

Pemilihan bahan baku plastik sintetis HDPE dan LLDPE disebabkan karena

intensitas pemakaian kedua bahan polietilen tersebut yang tinggi dalam produksi

sebagai plastik komersial. Karakteristik kedua bahan tersebut dapat dilihat pada

Tabel 6.

G. BAHAN ADITIF

Penambahan bahan aditif terhadap plastik campuran memberikan pengaruh

positif karena pati bersifat polar dan hidrofilik, sedangkan polietilen bersifat

hidrofobik dan non-polar dimana penggabungan kedua bahan tersebut tanpa adanya

aditif tertentu akan menghasilkan produk yang tidak kompak dan mempunyai sifat

mekanik yang jelek.

Menurut Rabek (1980), kompatibilitas hasil campuran menggambarkan

kekuatan interaksi yang terjadi antara rantai-rantai polimer, sehingga membentuk

campuran yang homogen atau mendekati homogen. Semakin kompatibel suatu bahan

hasil pencampuran, maka bahan tersebut akan semakin homogen. Kekompatibelan

bahan hasil pencampuran dapat terlihat dengan cara membuat film tipis dari lelehan

bahan plastik campuran. Bercak-bercak pada film dan film yang buram menunjukan

hasil pencampuran yang terbentuk tidak kompatibel.

Bahan aditif yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu

compatibilizer (berfungsi untuk memadukan polimer yang tidak kompatibel menjadi

campuran yang stabil melalui ikatan intermolekuler) dan inisiator. Compatibilizer

yang digunakan adalah maleic anhydride / maleat anhidrida (MA), sedangkan

inisiator yang digunakan adalah dicumylperoxide / dikumil peroksida (DCP). Kedua

bahan aditif tersebut berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat plastik. Kedua bahan

tersebut merupakan bahan dengan berat molekul rendah, maksudnya yaitu

mempunyai sifat pemlastis, antioksidan, antiblok, antistatis, pelumas, penyerap sinar

(16)

16

G.1. Maleat anhidrida / maleic anhydryide (MA)

Maleat anhidrida (cis-butenadioat anhidrida, anhidrida toksilat, atau

dihidro-2,5-dioksofuran) adalah sebuah senyawa organik dengan rumus kimia C4H2O3.

Dalam keadaan murninya, ia tidak berwarna atau berwarna putih padat dengan bau

yang tajam. Maleat anhidrida secara tradisional diproduksi dari oksidasi benzena atau

senyawa aromatik lainnya. Sampai dengan tahun 2006, hanya beberapa pabrik yang

masih menggunakan benzena. Oleh karena kenaikan harga benzena, kebanyakan

pabrik menggunakan n-butana sebagai stok umpan:

2 CH3CH2CH2CH3 + 7 O2→ 2 C2H2(CO)2O + 8 H2O

Terdapat banyak reaksi kimia yang dapat dilakukan oleh maleat anhidrida:

Hidrolisis, menghasilkan asam maleat, cis-HO2CCH=CHCO2H. Dengan alkohol,

menghasilkan setengah ester, cis-HO2CCH=CHCO2CH3.

Maleat anhidrida merupakan dienofil dalam reaksi Diels-Alder

Maleat anhidrida (MA) adalah ligan yang baik untuk kompleks logam bervalensi

rendah, misalnya Pt (PPh3)2 (MA) dan Fe (CO)4 (MA).

Maleat anhidrida yang berperan sebagai compatibilizer berperan melalui

sebuah proses reaktif, misalnya teknik grafting, atau melalui ikatan hidrogen

berbasiskan polaritas material. Compatibilizer juga berfungsi seperti surfaktan yang

mampu menstabilkan campuran air-minyak dalam satu atau dua komponen utama

dalam campuran. Fungsi lainnya dalam campuran polimer yaitu memperbaiki

adhesivitas antar fasa (Stevens, 2007). Karakteristik dari maleat anhidrida dapat

(17)

17

Tabel 7. Karakteristik maleat anhidrida

Sifat (berlaku pada suhu dan tekanan standar (25°C, 100 kPa))

Rumus molekul C4H2O3

Massa molar 98,06 g/mol

Penampilan kristal putih

Densitas 1,314 g/cm3

Titik leleh 60 °C, 333 K, 140 °F

Titik didih 202 °C, 475 K, 396 °F

Kelarutan dalam air 40 g/100 ml

Bahaya Korosif (C)

Sumber: Stevens (2007)

Prinsip kerja maleat anhidrida merupakan kombinasi dari mekanisme berikut,

yaitu mengikatkan bahan compatibilizer tersebut pada satu komponen campuran

melalui grafting kimiawi dan membentuk „polymeric tail‟ yang larut dalam

komponen lain. Compatibilizer bisa melakukan penetrasi pada kedua fasa dari

campuran yang immiscible, dengan mengasumsikan segmen A dari blok kopolimer

atau grafting identik dengan polimer A dan segmen B identik dengan polimer B.

Kondisi ini diduga akan terjadi penetrasi segmen A terhadap polimer A dan segmen

B terhadap polimer B. Setelah stabil, akan terbentuk daerah penyebaran yang lebih

merata karena adanya penurunan energi permukaan dan ikatan permukaan akan

semakin kuat dengan membentuk ikatan kovalen pada fasa-fasa yang terpisah (Mehta

dan Jain, 2007).

G.2. Dicumyl peroxide (DCP)

Gaylord dan Metha (1982) mengemukakan beberapa jenis inisiator yaitu

dikumil peroksida (DCP), tert-Butyl Peroxy Benzoat, Benzoyl Peroxide (BP), dan

Dimethyl Formamide (DMF). Kemudian Bremner dan Rudin (1993) menambahkan

bahwa peroksida organik memiliki peranan penting sebagai inisiator dari mekanisme

degradasi radikal bebas dalam polietilen untuk memodifikasi struktur dan sifat

(18)

18

efektif dalam mengintroduksi cabang rantai panjang menjadi linear polietilen. Pada

konsentrasi rendah mampu dengan baik mengubah distribusi berat molekul,

sedangkan pada konsentrasi tinggi menyebabkan terjadinya ikatan silang polietilen.

Peran DCP disini adalah sebagai inisiator memiliki karakteristik seperti dapat

bertahan pada suhu tinggi (180oC), memiliki sensitivitas oksigen yang rendah

dibandingkan dengan peroxide group carboxyl serta sensitif terhadap asam. Tensile

strength, breaking elongation, dan modulus young dari komposit meningkat seiring

dengan peningkatan konsentrasi radikal inisiator dalam hal ini DCP yang optimal

(Febrianto (1999).

H. ZAT PEMLASTIS: GLISEROL

Zat pemlastis dalam konsep sederhana dapat didefinisikan sebagai pelarut

organik dengan titik didih yang tinggi atau suatu padatan dengan titik leleh rendah.

Apabila ditambahkan ke dalam resin yang kaku dan atau keras seperti karet atau

plastik, maka akumulasi gaya intramolekuler pada rantai panjang akan menurun

sehingga kelenturan atau fleksibilitas, kelunakan (softness), dan pemanjangan

(elongation) bertambah (Mellan, 1963). Hammer (1978) menambahkan bahwa zat

pemlastis dapat didefinisikan sebagai bahan kimia yang dapat mengurangi kekakuan

dari suatu resin termoplastik yang amorf. Prinsip dasar kerja suatu zat pemlastis

adalah berinteraksi dengan rantai polimer dalam tingkat molekul, sehingga

menyebabkan peningkatan viskoelastisitas polimer.

Interaksi tingkat molekul tersebut dijelaskan oleh Darusman et al. (1999)

dapat berupa gaya van der waals yaitu gaya tarikan lemah antara molekul dalam

senyawa akibat adanya dwikutub-dwikutub terinduksi, ataupun karena adanya ikatan

hidrogen yaitu gaya tarik elektrostatik antara atom O, N, dan F. Interaksi antara

polimer dengan zat pemlastis tersebut menimbulkan peningkatan mobilitas molekul

dari rantai polimer dan menyebabkan turunnya suhu transisi gelas (Tg). Suatu

polimer dengan Tg yang rendah (memiliki lebih banyak rantai elastis) memiliki

tingkat kekakuan yang lebih kecil, sehingga lebih mudah untuk diproses. Sebaliknya,

jika polimer memiliki Tg yang tinggi dan viskositas lelehan yang tinggi pula,

kemudahan proses didapatkan dengan tanpa perubahan yang berarti pada kekakuan

(19)

19

Harus sesuai dengan besarnya molekul bahan yang akan diberi pemlastis, hal ini

dimaksudkan agar besarnya bobot polimer yang terbentuk tetap terjaga.

Harus memiliki Tg yang cukup rendah, sehingga secara efisien akan menurunkan

Tg dari polimer yang terbentuk dan membuat polimer menjadi lebih elastis.

Memiliki bobot molekul (BM) yang cukup tinggi. Dengan BM yang tinggi, zat

pemlastis tersebut memiliki tekanan uap yang rendah dan laju difusi yang rendah

pula di dalam polimer yang terbentuk, sehingga mengakibatkan suhu ruang zat

pemlastis tersebut tidak mudah menguap dan tetap terjaga keberadaannya di

dalam polimer.

Umumnya plasticizer diperlukan dalam edible film dari polisakarida dan

protein. Plasticizer merupakan bahan dengan berat molekul kecil sehingga dapat

bergabung ke dalam matriks protein dan polisakarida untuk meningkatkan sifat

fleksibilitas dan kemampuan membentuk film. Plasticizer meningkatkan volume

bebas atau mobilitas molekul primer dengan mengurangi ikatan hidrogen antar rantai

polimer. Komposisi, ukuran, dan bentuk dari plasticizer mempengaruhi

kemampuannya untuk menganggu ikatan rantai hidrogen, termasuk juga

kemampuannya untuk mengikat air ke dalam sistem protein yang mengandung

plasticizer tersebut (Sothornvit dan Krotchta, 2000a).

Gliserol adalah rantai alkohol trihidrik dengan susunan molekul C3H8O3 yang

sangat bermanfaat dalam bidang kimia organik. Nama gliserol diartikan sebagai

bahan kimia murni, namun dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama gliserin.

Dalam kondisi yang murni, gliserol tidak berbau, tidak berwarna, dan berbentuk

cairan kental dengan rasa manis. Gliserol bersifat larut dengan sempurna di dalam air

dan alkohol, serta dapat terlarut dalam pelarut tertentu (misalnya eter, etil asetat, dan

dioxane), namun bersifat tidak larut dalam hidrokarbon. Berat molekul gliserol

adalah 92,10; massa jenisnya 1,23 g/cm3 dan titik didihnya 204oC (Winarno, 1991).

Gliserol berfungsi sebagai penyerap air, pembentuk kristal, dan zat pemlastis.

Gliserol merupakan cairan dengan rasa pahit-manis yang memiliki kelarutan tinggi

yaitu 71 g/100 g air pada suhu 25oC. Biasanya digunakan untuk mengatur kandungan

air dalam makanan untuk mencegah kekeringan pada makanan (Igoe dan Hui, 1994).

Gliserol didapatkan dengan cara sintetis maupun diperoleh dari hasil samping

pembuatan sabun dan produksi oleokimia yang menggunakan minyak dan lemak

(20)

20

lemak terkandung gliserol dan tiga molekul asam lemak. Pada umumnya, lemak

mengandung kurang lebih 11% gliserol di dalamnya. Ada dua prosedur dalam

memproduksi gliserol dari lemak yaitu melalui metode saponifikasi dan

transesterifikasi (Tovbin et al., 1976).

Proses saponifikasi dan proses transesterifikasi tersebut akan menghasilkan

senyawa gliserol mentah yang masih banyak mengandung bahan pengotor seperti

sisa katalis dan asam lemak bebas. Penggunaan gliserol mentah secara langsung

dapat menimbulkan terjadinya proses dekomposisi, polimerisasi, dan masalah

lainnya, sehingga penggunaan gliserol secara langsung tanpa melakukan

pretreatment terlebih dahulu pada proses karbonasi akan menghasilkan komposisi

produk yang tidak stabil dan daya konversi yang rendah (Noureddidini et al., 1998).

Penggunaan pemlastis seperti gliserol lebih unggul karena tidak ada gliserol

yang menguap dalam proses dibandingkan dengan dietilena glikol monometil eter

(DEGMENT), etilena glikol (ET), dietilena glikol (DEG), trietilena glikol (TEG),

dan tetraetilena glikol. Hal ini disebabkan karena titik didih gliserol cukup tinggi

(290oC) jika dibandingkan dengan bahan pemlastis lainnya, lalu didukung dengan

tidak adanya interaksi gliserol dan molekul protein di dalam bahan baku plastik

(Noureddidini et al., 1998).

I. KARAKTERISTIK BIODEGRADABLE PLASTIC

Pengujian yang penting dari suatu bahan polimer antara lain densitas, titik

leleh (Tm), glass transition temperature (Tg), rheologi, konduktifitas, kekuatan tarik,

permeabilitas gas, ketahanan terhadap reaksi kimia, dan sebagainya (Knapczyk dan

Simon, 1992). Untuk mengetahui karakterisasi plastik komposit diperlukan beberapa

pengujian. Analisis yang dilakukan adalah uji kuat tarik dan perpanjang putus, uji

sifat termal, uji morfologi dan uji biodegradabilitas.

I.1. Karakterisasi sifat mekanik

Sifat mekanik sangat diperlukan peranannya dalam melindungi produk dari

faktor-faktor mekanis seperti tekanan fisik (jatuh dan gesekan), adanya getaran, serta

benturan antar bahan dengan alat atau wadah selama penyimpanan/distribusinya.

Sifat mekanik ini tergantung pada jenis bahan pembentuknya, terutama sifat

kohesinya. Sifat ini merupakan hasil kemampuan polimer untuk membentuk

(21)

21

Kekuatan tarik timbul sebagai reaksi dari ikatan polimer antara atom-atom

atau ikatan sekunder antara rantai polimer terhadapa gaya luar yang diberikan (Van,

1991). Untuk melakukan pengujian sifat mekanik diperlukan tipe spesimen yang

tepat agar didapatkan nilai sifat mekanis yang terbaik. Tipe-tipe spesimen

dikategorikan menjadi lima dan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel8. Tipe spesimen untuk pengujian sifat mekanik

Spesimen Rigidity Case Keterangan Ketebalan

Tipe I Rigid Spesimen yang telah ditentukan. <7 mm (0,28 in)

Tipe II Rigid Digunakan apabila spesimen dengan

tipe I tidak didapatkan nilanya. <7 mm (0,28 in)

Tipe III Rigid/Nonrigid - >7 mm (0,28 in)

spesimen untuk uji pada ASTM D412.

<4 mm (0,16 in)

Kekuatan tarik merupakan salah satu sifat mekanik dari bahan. Kekuatan tarik

menggambarkan ketegangan maksimum spesimen untuk menahan gaya yang

diberikan (Billmeyer, 1984). Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari Stevens

(2007), kuat tarik sebagai ukuran besarnya beban atau gaya yang dapat ditahan

sebelum suatu contoh rusak atau putus. Kekuatan tarik diukur dengan menarik polimer pada dimensi yang seragam. Tegangan tarik (σ) adalah gaya yang diaplikasikan (F) dibagi dengan luas penampang (A), sedangkan perpanjangan tarik (ε, elongation) adalah perubahan panjang contoh yang dihasilkan oleh ukuran tertentu panjang spesimen akibat gaya yang diberikan (Billmeyer, 1984).

Karakterisasi sifat mekanik ini mengacu kepada ASTM D-638 mengenai

(22)

22

dari spesimen dan pengukuran dari spesimen yang diuji. Dengan adanya dimensi

spesimen, berat, dan defleksi makan didapatkan kurva stress-strain dimana sifat

mekanik dari spesimen akan diketahui pula (Anonim, 2001).

a) b)

Gambar 4. a) Kurva tegangan-regangan plastik dan b) kurva tegangan- regangan untuk bahan plastik yang getas (Anonim, 2001)

Berdasarkan Gambar 4 yang memperlihatkan kurva tegangan regangan pada

suatu bahan polimer. Pada kurva tegangan-regangan (Gambar 4a), elastisitas akan

terus meningkat dari titik nol hingga mencapai suatu titik hingga plastik mengalami

deformasi. Sebelum mencapai titik deformasi tersebut, plastik masih mempunyai

kemampuan untuk kembali kebentuk asalnya, akan tetapi apabila telah mencapai titik

deformasi, maka plastik tersebut telah mencapai kondisi yield (maksimum)

perpanjangan hingga pada akhirnya plastik akan patah pada titik break. Titik awal

dimulainya grafik elastisitas hingga mencapai titik break dinamakan sebagai

perpanjangan pada patah. Gambar 4b menunjukkan grafik tegangan-regangan untuk

bahan plastik yang bersifat getas. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada saat

elastisitas terjadi hingga pada titik deformasi, pada saat itu juga plastik tersebut

mencapai titik break. Hal tersebut membuktikan bahwa plastik tersebut mempunyai

nilai perpanjangan yang kecil.

(23)

23

I.2. Uji morfologi dengan menggunakan SEM (scanning electrone microscope)

Teknik SEM pada hakekatnya merupakan analisis dan pemeriksaan

permukaan bahan. SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan

spesime secara makroskopik (Sutiani, 1997).

Data yang dihasilkan adalah data dari permukaan atau lapisan bahan yang

memiliki ketebalan sekitar 20µm dari permukaan. Gambar yang dihasilkan

merupakan gambar topografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada

permukaan. Gambar topografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang

dipancarkan oleh spesimen/bahan. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan

ditangkap oleh detektor kemudian diteruskan ke monitor. Selanjutnya monitor akan

menghasilkan gambar khas yang menggambarkan permukaan bahan (Sutiani, 1997).

I.3. Uji biodegradabilitas

Biodegradasi adalah penurunan sifat-sifat dikarenakan oleh aksi

mikroorganisme alam seperti bakteri dan fungi. Biasanya disebabkan adanya

serangan kimia oleh enzim yang dihasilkan oleh organisme sehingga dapat

menyebabkan pemutusan rantai polimer (Alger, 1990).

Di dalam tanah terdapat berbaai macam komponen organik maupun

komponen anorganik dan juga terdapat mikroorgaisme. Mikroorganisme mempunyai

peranan penting dalam penguraian semua material organik termasuk biopolimer.

Mikroorganisme yang mempunyai peranan dalam perombakan bahan-bahan organik

kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana antara lain bakteri, fungi, dan

aktinomisetes (Schnabel, 1981).

Pengujian bidegradasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan metode

penguburan tanah dan degradasi mikrobial dengan mikroorganisme. Biodegradasi

dalam lingkungan dapat dideskripsikan dengan persamaan kimia seperti berikut

(Mark, 1985):

Polimer + O2 CO2 + H2O + biomassa + residu

I.4. Sifattermal

Analisis termal mengacu kepada metode kerja ASTM D-3418 dimana

menyediakan metode untuk mengukur transisi dari morfologi atau perubahan kimia

(24)

24

yang spesifik. Perubahan dalam kapasitas panas, aliran panas, dan suhu menentukan

transisi tersebut. Differential Scanning Calorimetry (DSC) digunakan untuk

membantu mengidentifikasikan polimer tertentu yang spesifik, polimer alloys, dan

polimer yang telah diberi aditif tertentu yang ketiganya mempunyai transisi termal.

Reaksi kimia yang disebabkan oleh transisi tertentu telah diukur dengan teknik utama

ini, seperti reaksi oksidasi, resin thermosetting yang dibaharukan, dan termal

dekomposisi. Metode ini dapat diaplikasikan pada polimer dalam bentuk granula atau

bentuk lainnya dimana dapat dilakukan preparasi pemotongan pada spesimen

(25)

25 III. METODOLOGI PENELITIAN

A. ALAT DAN BAHAN

1. Bahan

Bahan baku pembuatan pati termoplastis terdiri atas tapioka dan pati sagu yang

diperoleh dari pengolahan masyarakat secara tradisional dari daerah Cimahpar

(Kabupaten Bogor). Bahan lainnya yaitu zat pemlastis (akuades dan gliserol). Bahan

utama pembuatan compatibilized polietilen (compt.-PE) pada penelitian ini adalah

polietilen jenis LLDPE (Linear Low Density Poliethylene) dan HDPE (High Density

Poliethylene) dalam bentuk resin yang diperoleh dari PT. Super Exim Sari. Bahan

compatibilizer yaitu maleat anhidrida (MA) dan inisiator yaitu dikumil peroksida

(DCP) diperoleh dari Merck Schuchardt Hohenbrunn, Germany.

Bahan-bahan kimia yang dibutuhkan untuk analisis yaitu H2SO4, NaOH,

aseton/alkohol, etanol, indikator phenolphthalein (PP), indikator kanji, HCl, Luff

Scroll, KI, sodium tiosulfat, asam asetat, larutan iod, dan akuades.

2. Alat

Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah rheocord mixer

(rheomix) 3000 HAAKE dengan kapasitas 200-250 g untuk membuat pati

termoplastis dan plastik komposit. Ekstruder dua ulir simulator (spesifikasi: panjang

barrel 30 cm, diameter ulir 30 mm, dan kecepatan rotor maksimum 150 rpm)

digunakan untuk pembuatan compt.-PE. Alat yang digunakan untuk karakterisasi

plastik antara lain adalah Universal Testing Machine (UTM) untuk pengujian kuat

tarik dan elongasi, mikroskop cahaya terpolarisasi untuk melihat sifat birefringent

pati termoplastis, Differential Scanning Calorimeter (DSC) untuk analisa termal,

Scanning Electrone Microscopy (SEM) untuk analisa morfologi permukaan,

hydraulic heat press untuk pembuatan spesimen uji kuat tarik dan perangkat untuk

pengujian biodegradabilitas. Peralatan yang digunakan untuk pengujian dapat dilihat

pada Lampiran 1. Peralatan lain yang diperlukan untuk penganalisaan adalah cawan

alumunium, oven, tanur, desikator, erlenmeyer, autoclave, kertas saring, pendingin

(26)

26 B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini telah dilakukan sejak bulan Februari 2009 dan berakhir pada

bulan Juli 2009. Tempat penelitian ini dilakukan yaitu:

1. Laboratorium Teknologi Kimia, Departemen Teknologi Industri Pertanian – Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

2. Laboratorium Polimer, Laboratory and Technical Services – PERTAMINA – Jakarta.

3. Laboratorium Mikologi, Balai Pengkajian Bioteknologi – BPPT, Puspitek, Tanggerang.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap yaitu (i) persiapan dan karakterisasi

pati, (ii) pembuatan pati termoplastis, (iii) pembuatan compt.-PE, (iv) pembuatan

plastik komposit, dan (v) karakterisasi plastik komposit.

C.1. Persiapan dan karakterisasi pati

Persiapan bahan pada tahap ini dilakukan dengan pengeringan terlebih

dahulu. Pengeringan dilakukan secara terpisah dengan cara penjemuran sehingga

didapatkan kadar air masing-masing pati sebesar 8-12%. Pati yang telah dikeringkan

tersebut kemudian dilakukan pengecilan ukuran sehingga diperoleh pati yang lolos

ayakan berukuran 200 mesh. Persiapan bahan ini dilakukan dengan tujuan untuk

menyeragamkan kondisi pati yang akan dipakai untuk pembuatan pati termoplastis.

Pati dikarakterisasi dengan tujuan untuk mengetahui sifat fisiko kimia dari

tapioka dan pati sagu sebelum dilakukan proses pencampuran dengan plastik sintetis.

Pengujian karakteristik pati dilakukan dengan melakukan analisis kadar air, kadar

abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar, bentuk dan ukuran granula pati,

kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin. Prosedur pengujian tersebut

(27)

27

C.2. Pembuatan pati termoplastis

Dalam pembuatan pati termoplastis dilakukan pencampuran beberapa bahan

antara lain pati, 20% gliserol (dari bobot pati), dan akuades (ditambahkan hingga

kadar air pati mencapai 25% dari bobot pati kering). Pati yang digunakan yaitu

tapioka dan pati sagu, dimana masing-masing pati akan dilakukan proses

pencampuran yang terpisah dengan bahan lainnya. Proses pembuatan pati

termoplastis (modifikasi metode Zhang et al. 2007) dilakukan dengan pencampuran

terlebih dahulu antar fasa cair (akuades dengan gliserol) hingga merata selama 5

menit, kemudian dilanjutkan dengan pencampuran antara fasa cair dengan

masing-masing pati dan dilakukan pengadukan selama 45 menit hingga homogen. Apabila

pencampuran tersebut telah merata, langkah selanjutnya yaitu dilakukan pemeraman

(aging) selama 4 hari. Langkah terakhir dalam pembuatan pati termoplastis yaitu

pemrosesan di dalam rheomix selama 8 menit dengan suhu 90oC dan kecepatan rotor

100 rpm. Pati termoplastis yang telah jadi akan berbentuk bongkahan sehingga harus

dilakukan pengecilan ukuran hingga berbentuk seperti pellet. Pellet tersebut akan

digunakan untuk proses pembuatan plastik. Pati termoplastis ini juga dilihat di bawah

mikroskop cahaya terpolarisasi untuk melihat sifat birefringent pada pati

termoplastis.

C.3. Pembuatan compt.- polietilen

Pembuatan compt.-PE dilakukan dengan memodifikasi polietilen. Kedua

plastik, yaitu LLDPE dan HDPE, masing-masing ditambahkan 1% compatibilizer

(maleat anhidrida atau MA) dan 0,1% inisiator (dikumil peroksida atau DCP). Proses

dilakukan di dalam ekstruder dua ulir simulator secara terpisah dengan kondisi

proses meliputi kecepatan rotor 10 rpm dan suhu 180oC, yakni dimana suhu MA

bereaksi. Polietilen yang telah dimodifikasi ini disebut compt.-LLDPE dan

compt.-HDPE dimana berbentuk pellet. Pellet ini harus dikeringkan terlebih dahulu di dalam

oven bersuhu 90oC selama 15 menit yang bertujuan untuk menguapkan air yang

(28)

28

C.4. Pembuatan plastik komposit

Pembuatan plastik komposit dilakukan melalui pencampuran antara pellet

pati termoplastis dengan compt.-PE. Pencampuran antara kedua bahan ini merupakan

modifikasi dari metode yang digunakan oleh Huneault dan Li (2007). Pencampuran

dilakukan secara terpisah antara pati sagu termoplastis atau tapioka termoplastis

dengan compt.-LLDPE atau compt.-HDPE. Proses yang dimodifikasi adalah

pencampuran kedua bahan tersebut dilakukan di dalam alat rheomix dengan

menggunakan komposisi compt.-PE dan pati termoplastis yaitu 80% : 20%. Kondisi

proses yang digunakan pada saat pencampuran yaitu dengan suhu 210oC, kecepatan

rotor 100 rpm, dan waktu yang digunakan adalah 3 menit. Plastik yang telah jadi

berbentuk bongkahan, maka dari itu dilakukan pengecilan ukuran bongkahan

tersebut hingga berbentuk seperti pellet. Pellet tersebut akan digunakan untuk

melakukan uji karakterisasi plastik. Percobaan dilakukan dengan dua kali ulangan.

C.5. Karakterisasi plastik komposit

Analisis untuk mengetahui karakterisasi plastik yang telah dibuat meliputi:

- Sifat mekanik sesuai dengan ASTM D-638 (1991) mengukur kekuatan tarik dan

perpanjangan putus menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM).

- Sifat termal sesuai dengan ASTM D-3418 (1991) menggunakan alat Differential Scanning Calorimeter (DSC).

- Analisis biodegradabilitas dibagi menjadi pengujian secara kualitatif yang

merupakan hasil modifikasi ASTM G-2170 (1980) dan pengujian secara

kuantitatif dengan penggunaan enzim α-amilase.

- Analisis morfologi sesuai ASTM E-2015 (1991) menggunakan alat Scanning

Electrone Microscopy (SEM).

Prosedur pengujian analisis dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Gambar 5

(29)
(30)

30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan produk plastik berbahan baku polietilen telah memberikan

banyak sekali keuntungan terhadap kehidupan manusia, akan tetapi penggunaan

plastik juga telah mengancam kelestarian lingkungan hidup. Kualitas lingkungan

semakin memburuk, meningkatkan pencemaran, dan menjadi salah satu penyebab

meningkatnya pemanasan global. Sulitnya molekul plastik untuk terurai secara alami

sehingga menjadi salah satu penyebab diperlukan adanya plastik yang ramah

lingkungan dengan harga yang terjangkau. Teknologi proses yang tengah diteliti

adalah pembuatan plastik komposit berbasiskan pati dengan pencampuran polietilen.

Walaupun tidak dapat terurai secara sempurna, akan tetapi plastik komposit tersebut

setidaknya menjadi jauh lebih cepat terurai bila dibandingkan dengan plastik sintetis

saja. Oleh karena kedua bahan mempunyai sifat yang sangat berlawanan, maka

dibutuhkan suatu zat dan proses modifikasi yang dapat menjembataninya. Plastik

komposit yang terbentuk dilakukan beberapa uji untuk diketahui karakteristiknya,

sehingga diharapkan plastik yang dihasilkan memiliki kekuatan mekanis, sifat

termal, sifat biodegradabilitas, dan uji morfologi permukaan yang baik.

A. Persiapan dan Karakterisasi Pati

Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di

alam. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan, antara lain

di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas,

ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Dengan beragamnya sumber

pati serta ketersediaannya di alam, maka pemanfaatan sumber-sumber pati tersebut

harus dilakukan. Sumber pati yang dipilih untuk penelitian ini adalah pati yang

berasal dari ubi kayu (Manihot utilissima) dan sagu (Metroxylon sp.).

Sagu dan ubi kayu merupakan komoditas tanaman pangan yang dapat

dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang potensial di Indonesia. Potensi

pengembangan kedua tanaman ini cukup besar, mengingat kedua tanaman ini dapat

tumbuh di tempat dimana tanaman lain tidak dapat tumbuh baik, tidak diperlukan

pemupukan dan perawatan yang intensif. Pemanfaatan kedua tanaman ini baru

sebatas untuk produksi pangan ataupun pembuatan bahan kimia pendukung, akan

tetapi dengan adanya pengembangan lebih lanjut pada kedua jenis tanaman ini

(31)

31

sedang dilakukan yaitu pemanfaatannya sebagai bahan baku pembuatan plastik

komposit walaupun perlu dilakukan modifikasi terlebih dahulu agar dapat bercampur

dengan baik pada polietilen.

Persiapan pati ini diawali dengan melakukan penjemuran. Penjemuran

bertujuan agar didapatkan kadar air yang seragam. Tahap berikutnya dilakukan

pengecilan ukuran hingga berukuran 200 mesh. Pengecilan ukuran ini akan

memberikan efek positif terhadap dispersi dari pati di dalam matriks plastik komposit

yang dihasilkan. Selanjutnya, pati yang telah siap ini dilakukan karakterisasi baik

dari segi kualitas ataupun mutu dan komposisi penyusun pati. Karakterisasi ini akan

menentukan aplikasi pencampurannya dalam penelitian ini. Standar yang dipakai

dalam pengujian karakteristik pati ini merupakan standar yang ditetapkan apabila

pati digunakan sebagai bahan pangan, hal ini disebabkan tidak adanya standar baku

pati untuk pembuatan plastik komposit. Dengan adanya karakteristik pati ini

menunjukkan bahwa pati yang digunakan merupakan pati yang berkualitas tinggi.

A.1. Mutu pati

Kedua macam pati ini selain berfungsi sebagai bahan pangan tradisional

untuk sumber karbohidrat utama, dapat juga dijadikan sebagai bahan baku industri

lainnya, maka dari itu standar mutu kedua pati tersebut harus dijaga dan memenuhi

standar yang telah ditentukan. Analisis mutu pati sagu yang dilakukan pada

penelitian ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, lolos saringan 80 mesh,

dan derajat asam. Hasil analisis mutu tersebut dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan

hasil analisis keseluruhannya dapat dilihat pada Lampiran 4. Persyaratan utama yang

digunakan sebagai acuan pada tapioka adalah SNI 01-3451-1994 dan SNI

(32)

32

Tabel 9. Karakterisasi mutu tapioka dan pati sagu hasil penelitian

Standar Mutu Persyaratan Hasil Penelitian*

Tapioka 1) Pati Sagu 2) Tapioka Pati Sagu

*Data rata-rata dari tiga kali ulangan

1)

SNI 01-3451-1994

2)

SNI 01-3729-1995

Kadar air yang terdapat di dalam pati ditentukan oleh proses pengolahan

dalam pengekstrakan pati hingga pengeringan dan penyimpanannya. Proses

pengeringan di bawah sinar matahari merupakan salah satu tahapan proses

pengolahan pati yang sangat menentukan mutu akhirnya. Apabila pengeringan tidak

dilakukan hingga kering atau dapat dikatakan memiliki kadar air yang tinggi akan

memicu tumbuhnya jamur dan bau asam sehingga kerusakan produk menjadi cepat.

Menurut Azudin dan Noor (1992), kadar air pati sangat penting berkenaan dengan

stabilitasnya selama penyimpanan.

Kadar air yang berlebihan akan menyebabkan pati teraglomerasi dan

memberikan efek negatif terhadap interaksi interfacial antara pati dengan polimer.

Demikian pula kadar air yang rendah akan mengurangi aglomerasi granula pati

selama proses pencampuran plastik (Favis et al., 2005). Air yang berlebih pada

pembuatan pati termoplastis akan menimbulkan gelembung pada produk sehingga

akan mengurangi sifat mekanisnya.

Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa tepung tapioka dan pati sagu

mempunyai nilai yang sesuai dengan SNI (maksimum 15,0% untuk tapioka dan

13,0% untuk sagu) yaitu 8,57% untuk tapioka dan 10,47% untuk pati sagu. Adanya

air di dalam pati juga dapat menyebabkan hidrolisis pati baik secara enzimatis dan

kimiawi menjadi molekul-molekul glukosa. Kelembaban (RH) pada tempat

penyimpanan produk pati harus sesuai karena apabila kelembaban yang rendah dapat

mengakibatkan produk pati mengeluarkan uap air, begitu pula sebaliknya

kelembaban yang tinggi akan membuat produk pati menjadi menyerap air. Oleh

karena itu, dalam kondisi atmosfer normal, kebanyakan pati komersial mengandung

(33)

33

akan memperpanjang umur simpannya, pengujian kadar air ini berfungsi untuk

mengetahui jumlah air yang terkandung di dalam pati dimana akan mempengaruhi

penambahan air dalam komposisi pembuatan pati termoplastis.

Nilai derajat asam pada pati menunjukkan tingkat kerusakannya. Semakin

kecil nilai derajat asamnya, maka semakin baik pula kualitas dari pati tersebut.

Begitu juga sebaliknya semakin besar nilai derajat asam menunjukkan bahwa pati

tersebut semakin rendah kualitasnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua pati

tersebut mempunyai nilai yang masih sesuai dengan SNI (ml NaOH 0,1 N/100 g

bahan) yaitu 2,30 untuk tapioka dan 0,61 untuk pati sagu. Walaupun masih berada di

bawah nilai SNI, tetapi dapat dilihat bahwa kadar derajat asam pada sagu lebih kecil

daripada tapioka sehingga terlihat bahwa kualitas pati sagu masih lebih baik daripada

tapioka. Hal ini disebabkan karena tapioka sering ditambahkan sulfit dalam proses

ekstraksinya.

Kadar abu berfungsi untuk mengetahui bahan organik yang terkandung dalam

pati yang dipengaruhi oleh lingkungan tumbuhnya. Abu yang terdapat dalam pati

dapat berasal dari mineral yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hasil analisis,

kedua pati tersebut mempunyai kadar abu yang rendah sekali yaitu 0,09% pada

tapioka dan 0,08% pada pati sagu; yang menandakan bahwa tapioka maupun pati

sagu mempunyai kualitas yang baik.

Pengujian kadar abu dan nilai derajat asam tidak akan memberikan pengaruh

terhadap kondisi pembuatan pati termoplastis. Kedua pengujian ini berfungsi sebagai

standar yang telah ditetapkan apabila pati akan digunakan sebagai bahan pangan.

Dengan adanya kedua pengujian ini membuktikan bahwa pati sagu maupun tapioka

mempunyai kualitas yang baik walaupun akan digunakan sebagai campuran plastik

komposit nantinya.

Setiap pati pasti berbentuk bubuk yang memiliki ukuran tertentu. Dalam

penelitian ini dilakukan pengecilan ukuran hingga 200 mesh dengan tujuan agar

pencampuran dengan polimer sintetis menjadi homogen. Adanya pengecilan ukuran

kembali juga bertujuan untuk menyeragamkan ukuran pati karena pati yang

merupakan produk olahan tradisional. Hasil analisis menunjukkan bahwa ukuran

bubuk tapioka maupun pati sagu yang lolos saringan 80 mesh adalah 100%. Semakin

kecil ukuran partikel pati tersebut akan memberikan pengaruh yang baik bagi sifat

(34)

34

Kadar serat kasar yang melebihi standar menandakan proses ekstraksi yang

tidak baik dan tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh SNI. Hasil analisis

menunjukan bahwa kadar serat kasar pada tapioka telah memenuhi syarat yaitu

0,085%, akan tetapi untuk pati sagu ternyata melebihi nilai SNI yaitu 0,28%. Pada

penelitian ini, kadar serat yang tinggi memberi keuntungan tersendiri bagi plastik

yang akan dihasilkan. Adanya serat dalam pati yang akan dicampurkan memberikan

pengaruh yang positif karena mampu meningkatkan sifat mekanik pada plastik

komposit (Corradini et al. 2007).

A.2. Komponen penyusun pati

Komposisi kimia dan ukuran granula secara sinergi akan sangat menentukan

sifat fungsionalnya (Zhou et al., 1998). Hasil analisis dari sifat fisiko-kimia dan

fungsional pati secara rinci disajikan pada Tabel 10, sedangkan hasil analisis

keseluruhannya dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil komponen penyusun pati yang

didapatkan secara sinergi akan mempengaruhi hasil pencampuran dengan polimer

sintetis. Secara spesifik, sifat fisik dan komponen penyusun pati ini akan

berpengaruh terhadap kualitas sifat mekanik, kehomogenan pencampuran, dan sifat

termal dari plastik komposit yang telah dihasilkan.

Tabel 10. Sifat fisiko-kimia dan fungsional pati hasil penelitian

Standar Mutu Pustaka Hasil Penelitian*

Tapioka Pati Sagu Tapioka Pati Sagu

Bentuk granula Oval 1) Oval 2) Oval Oval

*Data rata-rata dari tiga kali ulangan

1)

Sifat fisik pati juga dapat dijelaskan melalui bentuk dan ukuran granula pati.

Bentuk granula tapioka adalah oval dengan ukuran yang lebih kecil yaitu 5-25 µm

dibandingkan dengan pati sagu yang berbentuk oval dengan ukuran granula yang

relatif besar yaitu 9,40-91,5 µm. Ukuran granula yang besar akan mempengaruhi

pengembangan granula pati, mempunyai pengaruh pada sifat mekanik produk plastik

(35)

35

granula yang kecil akan meningkatkan kemampuan biodegradasi plastik komposit

(Nikazar et al. 2005).

Kadar pati menunjukkan tingkat kemurnian hasil ekstraksi. Pati terdiri atas

dua komponen utama yaitu komponen mayor (amilosa dan amilopektin) dan

komponen minor (lemak dan protein). Hasil analisis kadar pati menunjukkan bahwa

tapioka mempunyai kadar pati yang lebih tinggi yaitu 85,74% dibandingkan data

penelitian yang telah dilakukan oleh Theresia (2003) yaitu 84%. Hal ini didukung

dengan proses ekstraksi yang baik sehingga didapatkan kadar pati yang tinggi,

sedangkan kadar pati pada pati sagu (88,80%) mempunyai nilai yang berada di

bawah nilai kadar pati pada penelitian yang dilakukan oleh Yuliasih (2008) yaitu

96,12%.

Hasil analisis kadar amilosa yang didapatkan dalam penelitian ini cukup

tinggi hingga mencapai 27,98% bk untuk tapioka dan 30,95% bk untuk pati sagu.

Kandungan amilosa yang tinggi memiliki kecenderungan untuk membentuk film

yang kuat dibandingkan amilopektin (Thomas dan Atwell, 1999). Menurut Thomas

dan Atwell (1999), untuk membentuk film dan gel yang kuat harus digunakan pati

dengan kandungan amilosa yang tinggi. Film amilosa tahan terhadap beberapa

pelarut, minyak pelumas, dan mempunyai sifat yang tidak tembus oksigen. Sifat fisik

campuran pati dengan polietilen sebagian besar akan dipengaruhi oleh jumlah rasio

dari amilosa dan amilopektin yang terkandung di dalamnya. Aplikasi yang

membutuhkan viskositas, stabilitas dan kekuatan mengental yang baik, digunakan

pati dengan amilopektin yang tinggi, sedangkan untuk membentuk film dan gel yang

kuat digunakan pati dengan kandungan amilosa tinggi. Ciri film amilosa yaitu

isotrop, tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, tidak berbahaya, buram, dan

absorbable (Thomas dan Atwell, 1999).

Komponen minor yang terdapat di dalam pati adalah protein dan lemak

dengan jumlah antara 5-10% dari bobot total, tetapi dengan jumlah yang kecil

tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat fungsional dari pati tersebut.

Semakin kecil kadar lemak dan kadar protein di dalam pati menunjukkan bahwa

semakin baik pula kualitas dari pati tersebut karena dengan adanya kadar protein dan

lemak yang tinggi akan memberikan sifat yang hidrofobik di sekeliling granula

sehingga menyebabkan terhambatnya pengikatan air oleh granula pati. Hal ini

(36)

36

membuat pati menjadi hidrofobik sehingga kadar air yang diinginkan sulit untuk

tercapai. Hasil analisis dari kadar protein maupun kadar lemak membuktikan bahwa

tapioka dan pati sagu mempunyai jumlah komponen minor yang jauh lebih kecil

dibandingkan dengan pustaka yang ada yaitu masing-masing 0,23% dan 0,045%

untuk tapioka serta 0,31% dan 0,0088% untuk pati sagu. Hal tersebut didukung

dengan adanya hasil penelitian Wang dan Liu (2002) yang menyatakan bahwa

adanya penghilangan protein pada pati beras menyebabkan dispersi pati lebih

meningkat. Adanya protein dalam pati beras meningkatkan interaksi antara granula

pati sehingga menghalangi penyebaran pati yang dicampurkan ke dalam matriks

polietilen.

B. Pembuatan Pati Termoplastis

Pembuatan pati termoplastis dilakukan dengan perlakuan panas tinggi yang

disertai dengan gesekan yang tinggi pula pada waktu tertentu. Menurut Corradini et

al. (2007), pati yang mengalami perlakuan panas disertai gesekan pada kisaran suhu

90-180oC dengan tambahan plasticizer seperti gliserol akan bertransformasi

membentuk molten plastic atau thermoplastic starch. Kalambur dan Rizvi (2006)

menambahkan selama proses termoplastisasi, air akan masuk dalam pati dan bahan

pemlastis akan berperan sangat penting yaitu membentuk ikatan hidrogen dengan

pati sehingga terjadi reaksi antara gugus hidroksil dan molekul pati dimana pati

tersebut akan menjadi lebih plastis.

Bahan pemlastis yaitu air dan gliserol masuk ke dalam molekul pati lalu akan

membentuk suatu bantalan di dalam molekul pati tersebut sehingga membuat pati

menjadi plastis. Pemlastis juga akan melindungi molekul pati tersebut dimana

membuat pati menjadi lebih tahan panas dan tahan gesekan pada saat pemrosesan

dengan suhu dan gesekan yang tinggi. Kadar air yang digunakan termasuk ke dalam

kadar air rendah. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa untuk membuat pati

termoplastis diperlukan kadar air rendah dengan tingkat destrukturisasi yang tinggi.

Pada keadaan tersebut pati akan menjadi plastis, meleleh, dan mengalami

depolimerisasi. Akibat yang ditimbulkan karena pati yang terganggu ini akan

menyebabkan granula pati tidak lagi bersifat semikristalin tapi berubah menjadi

(37)

37

Gambar 6. Pengaruh kadar air dan tingkat destrukturisasi pada pati (Ulfa,

2009)

Pada Gambar 7 dapat dilihat gambaran molekul pati setelah menjadi pati

termoplastis. Dari hasil pengujian tampak bahwa dengan kondisi proses 90oC, 100

rpm, dengan lama pencampuran 8 menit memperlihatkan bentuk granula yang tetap

utuh dan tidak kehilangan sifat birefringent pati tersebut. Pudarnya cahaya pada saat

diberikan cahaya polar menunjukkan bahwa terjadi pengembangan ukuran molekul

dari ukuran granula awal. Pengembangan pati terjadi karena adanya difusi bahan

pemlastis ke dalam granula. Rendahnya kadar lemak dan protein dalam pati

memberikan efek yang positif karena tidak ada yang menghalangi absorbsi air dan

gliserol oleh granula pati. Semakin rendah kadar protein suatu pati akan memberikan

efek positif terhadap sifat mekanik plastik komposit. Gambar 7 (a) dan (b)

menunjukkan molekul tapioka termoplastis, sedangkan Gambar 7 (c) dan (d) pada

molekul pati sagu termoplastis. Roti dan Makanan

Reinforced Plastic

Pati Mengembang

Pati Terdestruk- turisasi

Pati Tergelatinisasi

Pati Termoplastis

Gambar

Tabel 6. Karakteristik HDPE dan LLDPE
Tabel 7. Karakteristik maleat anhidrida
Tabel 8. Tipe spesimen untuk pengujian sifat mekanik
Gambar 4. a) Kurva tegangan-regangan plastik dan b) kurva tegangan-
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam upaya perlindungan anak untuk menjamin, melindungi dan pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai

Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kuffah, kota yang berada ditengah-tengah kebudayaan Parsi

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola konsumsi rumah tangga dalam mengonsumsi beras siger, atribut-atribut beras siger

RKA - SKPD 2.2.1 Rincian Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah.. RKA - SKPD 3.1 Rincian Penerimaan Pembiayaan Daerah

Upaya pendampingan yang akan dilakukan adalah membangun kesadaran masyarakat tentang pengelolaan lahan kosong yang tidak dimanfaatkan, untuk menjadi salah satu sektor

Periode waktu yang digunakan Reid juga menggunakan pendekatan waktu geografis seperti Braudel, di mana peradaban di kawasan Asia Tenggara meliputi semua aspek dalam

dari upaya membangun hubungan hangat dengan siswa yang berdampak kepada terciptanya iklim belajar yang menyenangkan, 2) mengenalkan diri jika merupakan awal guru mengajar

Terdapat 36 orang anak dengan gizi lebih (obesitas) dari kelompok tersebut, maka diperoleh 36 orang anak dengan gizi baik secara acak.Setelah dilakukan uji analisis