1 I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Secara umum, perkembangan industri plastik telah memberikan banyak sekali
keuntungan bagi kehidupan manusia. Sebagian besar peralatan yang digunakan oleh
manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan produk plastik seperti plastik
kemasan, peralatan listrik, sepatu, dan lain-lain. Dampak negatif kemudian muncul
pada saat produk tersebut tidak terpakai lagi dan kemudian dibuang ke lingkungan.
Fakta menyatakan bahwa gundukan sampah terus bertambah dan
mengakibatkan lahan-lahan menjadi tersita untuk dijadikan sebagai tempat
pembuangan sampah. Fakta lain juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya penduduk
dunia menggunakan 500 milyar kantong plastik; dan ini berarti ada satu juta kantong
plastik tiap menitnya. Sampah plastik dari sektor pertanian saja setiap tahun
mencapai 100 juta ton. Dengan jumlah sebanyak itu dapat membungkus bola bumi
sebanyak sepuluh kali lipat (Toshi, 2003). Berdasarkan total dari sampah rumah
tangga, plastik telah menjadi salah satu komponen sampah hingga 11%, dimana
sangat menyita tempat dibandingkan dengan bahan lainnya. Hal ini diperburuk
dengan sifat plastik yang tidak dapat terdegradasi secara alami yang membutuhkan
waktu hingga 1000 tahun untuk dapat terdekomposisi secara sempurna (Toshi,
2003). Cara yang mungkin diterapkan adalah menggunakan kembali plastik tersebut
atau membakarnya namun akan menyebabkan polusi terhadap udara. Tingginya
permintaan akan plastik yang terbuat dari sumber daya alam tidak terbaharui juga
telah menimbulkan efek yang negatif terhadap lingkungan. Limbah plastik ini lambat
laun menjadi masalah yang membutuhkan perhatian khusus untuk dicari jalan
keluarnya.
Permasalahan tentang ketersediaan bahan baku, eco-efficiency dan green
chemistry telah membawa kepada suatu penelitian yang mengacu kepada sumber
daya alam yang terbaharukan dan ramah lingkungan tentang plastik. Salah satu
solusinya yaitu membuat material pengemas yang berbahan baku sumber daya
pertanian dan kehutanan dimana apabila tidak diperlukan lagi dapat dibuang dan
akan terurai dengan sendirinya. Beberapa contoh plastik yang ramah lingkungan
telah dikembangkan, contohnya adalah poli asam laktat, poli kaprolakton, poli asam
2
polisakarida; dan yang terakhir adalah hasil modifikasi kimia bahan-bahan alami
seperti pati, selulosa, kitin, dan protein kedelai.
Salah satu hasil modifikasi kimia bahan alami yang mempunyai prospek
untuk dikembangkan lebih lanjut adalah pati. Pati dalam beberapa jenis telah tersedia
secara alami dan ketersediaanya dapat diperbaharui dengan cepat serta mudah
terdegradasi secara biologis. Pati tersebut diharapkan membentuk susunan matriks
plastik yang lebih rapuh strukturnya sehingga diharapkan struktur rantai kimia
plastik tersebut dapat hancur lebih cepat di dalam tanah. Plastik komposit yang akan
dibuat tidak sepenuhnya bahan alami karena akan tetap dicampurkan dengan bahan
plastik sintetis dengan tujuan untuk mempertahankan sifat positif dari plastik, akan
tetapi dengan adanya pencampuran bahan alami akan mengakibatkan plastik tersebut
menjadi lebih cepat terdekomposisi.
Harga bahan baku yang mahal juga telah menjadi tantangan yang paling
utama dalam memproduksi kemasan plastik yang dapat terurai secara alami,
sehingga untuk mereduksi harga produksinya harus ditemukan teknologi yang lebih
baik lagi untuk memproduksinya. Dengan menggunakan pati ubi kayu atau biasa
disebut sebagai tapioka dan pati sagu masing-masing akan dibuat pati termoplastis
(Termoplastic Starch / TPS) yang harganya diharapkan jauh lebih murah dan
memiliki karakteristik plastik yang baik pula. Kedua macam pati tersebut digunakan
karena ketersediaannya yang melimpah sehingga dapat meningkatkan nilai tambah
dari pertanian nasional Indonesia. Pemilihan pati ubi kayu dan pati sagu sebagai
bahan baku juga disebabkan karena tingginya kandungan amilosa dikedua jenis pati
tersebut, dimana kandungan amilosa yang tinggi akan memberikan dampak positif
terhadap karakteristik plastik komposit. Tentu saja pati tersebut harus dimodifikasi
terlebih dahulu untuk memperbaiki karakteristiknya dengan penambahan zat
pemlastis. Dengan penambahan pemlastis ini diharapkan agar sifat pati termoplastis
3 B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengetahui karateristik pati sagu dan tapioka yang digunakan,
Mempelajari proses pembuatan plastik komposit dengan metode pencampuran
(blending) antara tapioka atau pati sagu termoplastis dan compt.-PE (LLDPE dan
HDPE),
Mengetahui karakteristik plastik komposit dari campuran tapioka atau pati sagu
4 II.TINJAUAN PUSTAKA
A. BIODEGRADABLE PLASTIC
Secara umum, kemasan biodegradable diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Istilah „biodegradable’ diartikan sebagai kemampuan komponen-komponen molekuler dari suatu material
untuk dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih kecil oleh mikroorganisme
hidup, sehingga zat karbon yang terkandung dalam material tersebut akhirnya dapat
dikembalikan kepada biosfer (Gould et al., 1990); sedangkan menurut Pranamuda
(2001), biodegradable plastic adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti
plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme
menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke
lingkungan. Seal (1994) menyatakan bahwa kemasan biodegradable plastic adalah
suatu material polimer yang dapat berubah menjadi senyawa dengan berat molekul
rendah, dimana paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui
metabolisme secara alami.
Biodegradable plastic dapat dibuat dari bahan polimer sintetis, polimer alami,
dan campuran antara polimer alami dengan polimer sintetis (Cole, 1990), sedangkan
menurut Griffin (1994), biodegradable plastic adalah suatu bahan dalam kondisi
tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang
mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri,
jamur, alga).
Polimer alami mempunyai sifat yang kurang baik, sedangkan polimer sintetis
mempunyai sifat yang unggul seperti lebih tahan air dan kekuatan mekaniknya yang
tinggi. Penggabungan antara polimer alami dan polimer sintetis sangat baik karena
diharapkan dapat menghasilkan material yang sifat fisiknya baik dan bersifat ramah
lingkungan (Wisojodharmo et al., 1998). Hal ini didukung dengan adanya pernyataan
dari Otey et al. (1987), pati yang sering digunakan sebagai bahan campuran polimer
adalah granula pati alami atau granula pati yang telah dimodifikasi secara kimiawi
untuk meningkatkan kesesuaian granula dengan matriks polimer sintetis yang
digunakan. Semakin kecil campuran konsentrasi pati akan memberikan pengaruh
5
Polimer-polimer yang mampu terdegradasi harus memenuhi beberapa
kriteria, yaitu mengandung salah satu dari jenis ikatan asetal, amida, atau ester,
memiliki berat molekul dan kritalinitas rendah, serta memiliki hidrofilitas yang
tinggi. Persyaratan ini tidak sesuai dengan spesifikasi teknis plastik yang diinginkan
dan dibutuhkan pasar sehingga perlu adanya pengoptimalan pengaruh berat molekul,
kritalinitas, dan biodegradabilitas serta sifat mekanik (Ulfa, 2009).
Kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan
biodegradable plastic yaitu (Latief, 2001):
- Campuran biopolimer dengan polimer sintetis. Bahan ini memiliki nilai
biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi yang sangat terbatas.
- Poliester. Biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologi atau fermentasi dengan
mikroba genus Alcaligenes dan dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri,
jamur, dan alga.
- Polimer pertanian. Polimer pertanian diantaranya yaitu cellophan, seluloasetat,
kitin, pullulan.
B. PATI
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di
alam. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan, antara lain
di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas,
ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati digunakan untuk
menyimpan glukosa dalam proses metabolisme. Menurut Hart (1990), pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Sifat pada pati tergantung panjang rantai karbonnya, serta lurus atau bercabang rantai molekulnya.
Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, fraksi terlarut
disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Berat molekul pati
bervariasi tergantung pada kelarutan dan sumber patinya.
Umumnya pati tidak terdapat dalam keadaan murni karena terdapat bahan
antara misalnya protein dan lemak. Dapat dikatakan bahwa granula pati sedikitnya
mengandung tiga komponen yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara. Bahan
antara tersebut terdapat sekitar 5-10% (Banks dan Greenwood, 1975). Tiap jenis pati
mempunyai sifat yang tidak sama, karena hal ini dipengaruhi oleh panjang rantai
6
yang menyusun pati ada tiga, yaitu: amilosa, amilopektin dan bahan antara (seperti
protein dan lemak). Bahan antara tersebut biasanya terdapat 5-10% dari berat total
(Banks dan Greenwood, 1975). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan
dengan air panas. Fraksi terlarut tersebut disebut amilosa dan fraksi yang tidak
terlarut disebut amilopektin. Amilosa merupakan polimer rantai lurus yang dibangun oleh ikatan α-(1,4)-glikosidik dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa, sedangkan amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α -(1,4)-glikosidik dan ikatan α-(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya (dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2). Setiap cabang terdiri atas 25 - 30 unit D-glukosa
(Winarno, 1991).
Gambar 1. Struktur rantai molekul amilosa
Gambar 2. Struktur rantai molekul amilopektin
Menurut Flach (1993) amilopektin mempunyai ukuran yang lebih besar
daripada amilosa, tetapi mempunyai kekentalan yang lebih rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa struktur amilopektin lebih kompak bila terdapat dalam larutan.
Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa.
Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap sifat
kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Tabel 1 menyajikan perbandingan jumlah
7
Tabel 1. Rasio amilosa-amilopektin pada umbi-umbian
Umbi Amilosa (%) Amilopektin (%)
Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati.
Kandungan amilosa di dalam pati terdapat dalam jumlah kecil, sedangkan
amilopektin terdapat dalam jumlah yang lebih besar. Menurut Charley (1970),
butiran pati terdiri dari 1/4 bagian amilosa dan 3/4 bagian amilopektin. Apabila
konsentrasi amilosa lebih tinggi, maka pati akan bersifat kering, kurang lekat, dan
menyerap air lebih banyak (Wirakartakusumah, 1984). Amilosa dan amilopektin
mempunyai sifat fisik yang berbeda. Perbedaan antara amilosa dan amilopektin dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Perbandingan antara amilosa dan amilopektin
Properti Amilosa Amilopektin
Struktur umum Linear Bercabang
Ikatan α-1,4 α-1,4 dan α-1,6
Panjang rantai rata-rata ~103 20-25
Derajat polimerisasi ~103 104-105
Kompleks dengan iod Biru (~650 nm) Ungu-cokelat (~550 nm)
Produk hidrolisis dengan α
-Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan
penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai konsentrasi 30% dan peningkatan
volume granula pada selang suhu 55oC sampai 65oC masih memungkinkan granula
kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan yang luar biasa, dan
granula pati tidak dapat kembali ke keadaan semula, maka perubahan ini disebut
gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya
berbeda-beda tergantung pada jenis pati dan konsentrasinya (Winarno, 1991). Bentuk
granula pada pati sagu dan pati ubi kayu dapat dilihat pada Gambar 3.
Penelitian tentang pati sebagai bahan baku plastik telah dilakukan mulai dari
8
baik pada biodegradable plastic dan non-biodegradable plastic. Pemilihan proses
atas pati didasarkan pada produk akhir yang ingin dicapai. Selain itu penambahan
pati dalam pembuatan plastik juga ditujukan untuk meminimisasi biaya produksi
(Fabunmi et al. 2007).
a) b)
Gambar 3. Granula pati a) tapioka dan b) pati sagu (Anonim, 2000)
Potensi penggunaan pati sebagai bioplastik berkisar 85-90% dari pasar
bioplastik yang ada, termasuk polimer asam laktat yang diproduksi melalui
fermentasi pati. Diantara bioplastik tersebut mengunakan pati alami dan
modifikasinya dalam bentuk campuran polimer sintetik. Starch-based plastic
merupakan penggunaan pati dalam memproduksi bioplastik dengan keuntungan yaitu
harga murah, jumlah berlimpah dan dapat diperbaharui (Vilpoux dan Averous,
2006).
C. TAPIOKA
Tapioka adalah pati yang diekstrak dari ubi kayu. Dalam memperoleh pati
dari ubi kayu (tapioka), harus mempertimbangkan usia atau kematangan dari
tanaman ubi kayu. Usia optimum yang telah ditentukan dari hasil percobaan terhadap
salah satu varietas ubi kayu yang berasal dari Jawa yaitu San Pedro Preto adalah
sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika umbi ubi kayu dibiarkan di tanah, jumlah
pati akan meningkat hingga pada titik tertentu, lalu umbi akan menjadi keras dan
menyerupai kayu, sehingga umbi akan sulit untuk ditangani dan diolah. Komposisi
9
Bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta semakin cepat tercapai tetapi cepat
turun lagi. Sebaliknya, bila pH terlalu rendah, maka pembentukan pasta menjadi
lambat dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. The Tapioca
Institute of America (TIA) menetapkan standar pH tapioka sekitar 4,5-6,5 (Radley,
1976). Syarat mutu tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Syarat mutu tapioka menurut SNI 01-3451-1994
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
10
Dalam SNI, nilai pH tapioka tidak dipersyaratkan. Namun demikian,
beberapa institusi mensyaratkan nilai pH untuk mengetahui mutu tapioka berkaitan
dengan proses pengolahan. Salah satu proses pengolahan tapioka yang berkaitan
dengan pH adalah proses pembentukan pasta. Menurut Winarno (1991),
pembentukan gel optimum terjadi pada pH 4-7.
Kehalusan tepung juga penting untuk menentukan mutu tapioka. Tapioka
yang baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan memiliki kehalusan yang baik.
Dalam SNI, tidak dipersyaratkan mengenai kehalusan tapioka. Salah satu institusi
yang mensyaratkan kehalusan tapioka adalah The Tapioca Institute of America
(TIA), yang membagi tapioka menjadi tiga kelas berdasarkan kehalusannya yaitu
tingkat A, B, dan C dengan masing-masing ukuran ayakan sebesar 140 mesh (99%
lolos ayakan), 80 mesh (99% lolos ayakan), dan 60 mesh (95% lolos ayakan)
(Radley, 1976).
Tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi ubi kayu. Proses ekstraksi
umbi kayu relatif mudah karena kandungan protein dan lemaknya rendah. Jika proses
pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan berwarna putih
bersih (Mardipana dan Rony, 2004). Berdasarkan derajat keputihan, maka semakin
putih tapioka mutunya juga semakin baik. Hal ini terdapat dalam SNI 01-3451-1994
yang membagi tapioka menjadi tiga kelas mutu berdasarkan derajat keputihan seperti
yang tercantum pada Tabel 4.
D. PATI SAGU
Pati sagu dihasilkan dari tanaman sagu (Metroxylon sp.) yang dapat
ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pati sagu diperoleh dari proses
ekstraksi batang tanaman sagu, yang berupa granula berwarna putih, tidak berasa,
dan tidak berbau. Bentuk granula adalah bulat dengan permukaan datar dan ukuran
granula bervariasi antara 20-60 µm. Granula pati tidak larut dalam air dingin. Kadar
air pati sagu sekitar 11% dan pH suspensi adalah 6,0. Granula pati terdiri dari dua
komponen mayor utama yakni amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-80%), yang
keduanya merupakan unit polimer α-D-glukosa dalam konformasi 4C1 (Wurzburg,
1989).
Granula pati sagu terdapat pada bagian empulur batang sagu dalam bentuk
11
daun. Periode pertumbuhan pohon sagu diperkirakan 135-141 bulan atau 11,25-11,75
tahun, dengan jumlah ruas bekas daun diperkirakan 207 ruas (Flach, 1993). Granula
pati sagu berbentuk oval seperti telur atau oval truncated dan ukurannya relatif besar,
berkisar 5-65 µm, dengan ukuran rata-rata 30,0 µm (Swinkels, 1985 di dalam Van
Beynum dan Roels, 1985). Menurut Takahashi et al. (1995), ukuran granula pati
berkisar antara 10-65 µm, dengan ukuran rata-rata 31,0 µm. Tabel 5 menyajikan
syarat mutu pati sagu.
Tabel 5. Syarat mutu pati sagu menurut SNI 01-3729-1995
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
12 E. PATI TERMOPLASTIS
Pati termoplastis dihasilkan melalui pemrosesan pada suhu dan gesekan tinggi
sehingga pati bersifat termoplastik dan bisa dicetak. Pembentukan pati termoplastis
dipengaruhi oleh kondisi proses dan formulasi bahan yang digunakan. Selama proses
termoplastis, air akan masuk dalam pati dan bahan pemlastis akan berperan sangat
signifikan. Bahan pemlastis akan membentuk ikatan hidrogen dengan pati, sehingga
terjadi reaksi antara gugus hidroksi dan molekul pati yang membuat pati menjadi
lebih plastis. Dalam kondisi normal, air yang ditambahkan 10-20% dan secara
opsional dapat ditambahkan pelarut dan bahan aditif lainnya. Faktor-faktor yang
berpengaruh dalam pembentukan pati termoplastis yaitu (Morawietz, 2006):
- Parameter proses: kecepatan ulir, laju alir bahan dalam ekstruder, suhu dan profil
ekstruder, geometri ekstruder, dan jenis pelletizer.
- Parameter formulasi: jenis pati, konsentrasi air, konsentrasi dan jenis zat
pemlastis, serta konsentrasi dan jenis aditif.
Pati termoplastis lebih tahan terhadap deformasi dikarenakan adanya bahan
pemlastis dan destrukturisasi granular menyebabkan deformasi hanya akan terjadi
disepanjang matriks dimana tegangan (stress) diberikan, sehingga kerusakan
permanen dapat diminimalkan (Ishiaku et al., 2002). Pati termoplastis memiliki
keunggulan dalam hal kemudahan proses, morfologi akhir yang lebih baik dan
penyebaran partikel yang lebih merata dengan adanya proses destrukturisasi. Namun
demikian, pati termoplastis sensitif terhadap air, memungkinkan terjadinya migrasi
bahan pemlastis dan rekristalisasi berlebih akan memberikan sifat rapuh (Huneault
dan Li, 2007).
Bahan pemlastis memegang peranan penting dalam pembuatan pati
termoplastis. Pemlastis adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang
ditambahkan untuk memperlemah kekakuan dari polimer, sekaligus meningkatkan
fleksibilitas dan eksentibilitas polimer (Julianti dan Nurminah, 2006). Adanya bahan
13 F. POLIETILEN (PE)
Polietilen atau polyethene paling banyak digunakan sebagai plastik kemasan
(kantong plastik belanja), dengan produksi tahunan sekitar 80 juta metrik ton.
Polietilen dibuat melalui proses polimerisasi etilen dan dapat diproduksi melalui
polimerisasi radikal, polimerisasi adisi anionik, dan polimerisasi adisi kationik.
Proses-proses tersebut dilakukan karena etilen tidak mempunyai kelompok
pensubtitusi yang dapat mempengaruhi stabilitas dari perambatan kepala polimer.
Polietilen diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yang berbeda berdasarkan pada
umumnya kepadatan dan percabangan rantainya. Sifat mekanis dari polietilen
bergantung pada variabel seperti luas dan jenis percabangan, struktur kristal dan
berat molekul. Jenis poletilen tersebut antara lain adalah (Piringer dan Baner, 2008):
Ultra high molecular weight polyethylene (UHMWPE)
Ultra low molecular weight polyethylene (ULMWPE or PE-WAX)
High molecular weight polyethylene (HMWPE)
High density polyethylene (HDPE)
High density cross-linked polyethylene (HDXLPE)
Cross-linked polyethylene (PEX or XLPE)
Medium density polyethylene (MDPE)
Low density polyethylene (LDPE)
Linear low density polyethylene (LLDPE)
Very low density polyethylene (VLDPE)
HDPE memiliki cabang yang pendek sehingga membuatnya mempunyai daya
intermolekul dan kuat tarik yang lebih kuat daripada LDPE. HDPE juga mempunyai
karakter yang lebih keras dan opak, serta dapat bertahan pada suhu yang lebih tinggi
(120°C/248°F untuk periode singkat, 110°C/230°F untuk periode lama). Kekurangan
dari sifatnya yang mempunyai cabang yang pendek harus disesuaikan dengan pilihan
katalisator (misalnya Ziegler-Natta katalis) dan kondisi reaksi. HDPE mengandung
unsur kimia karbon dan hidrogen. HDPE digunakan dalam produk dan kemasan
seperti susu juga, botol deterjen, margarine tubs, kontainer sampah dan pipa air
14
HDPE memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan
terhadap suhu tinggi. HDPE biasa dipakai untuk botol kosmestik, botol obat, botol
minuman, botol susu yang berwarna putih susu, tupperware, galon air minum, kursi
lipat, jerigen, pelumas, dan lain-lain. Walaupun demikian HDPE hanya
direkomendasikan untuk sekali pakai, karena pelepasan senyawa SbO3 (Antimon
Trioksida) terus meningkat seiring waktu. Bahan HDPE bila ditekan tidak kembali
kebentuk semula (Sidney dan Dubois, 1977).
Tabel 6. Karakteristik HDPE dan LLDPE
Karakteristik Nilai LLDPE Nilai HDPE
Density (g/cm3) 0,92 0,96
Surface hardness SD48 SD68
Tensile strength (MPa) 20 32
Dissipation factor 1kHz 909090 0,0005
Dielectric constant 1kHz 2,3 2,3
LLDPE adalah polimer linear substansial (polietilen), dengan sejumlah
cabang-cabang pendek, biasanya terbuat dari kopolimerisasi dari etilen dengan rantai
olefins yang lebih panjang. Secara umum, LLDPE diproduksi pada suhu dan tekanan
yang rendah dengan kopolimerisasi etilen dan alpha olefins yang lebih tinggi seperti
butana, heksana atau oktana. Proses kopolimerisasi yang menghasilkan suatu LLDPE
polimer yang memiliki distribusi berat molekul yang lebih kecil dari LDPE
15
sifat rheologinya (Sidney dan Dubois, 1977). LLDPE telah merambah hampir semua
pasar tradisional polietilen dan biasa digunakan untuk kantong plastik dan lembaran
(di tempat yang memungkinkan dengan ketebalan lebih rendah dibandingkan LDPE),
bungkus plastik, plastik wrap, mainan, pipa, ember dan kontainer, serta meliputi
kabel, geomembranes, dan terutama sistem pipa-pipa yang fleksibel (Harper, 1975).
Pemilihan bahan baku plastik sintetis HDPE dan LLDPE disebabkan karena
intensitas pemakaian kedua bahan polietilen tersebut yang tinggi dalam produksi
sebagai plastik komersial. Karakteristik kedua bahan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 6.
G. BAHAN ADITIF
Penambahan bahan aditif terhadap plastik campuran memberikan pengaruh
positif karena pati bersifat polar dan hidrofilik, sedangkan polietilen bersifat
hidrofobik dan non-polar dimana penggabungan kedua bahan tersebut tanpa adanya
aditif tertentu akan menghasilkan produk yang tidak kompak dan mempunyai sifat
mekanik yang jelek.
Menurut Rabek (1980), kompatibilitas hasil campuran menggambarkan
kekuatan interaksi yang terjadi antara rantai-rantai polimer, sehingga membentuk
campuran yang homogen atau mendekati homogen. Semakin kompatibel suatu bahan
hasil pencampuran, maka bahan tersebut akan semakin homogen. Kekompatibelan
bahan hasil pencampuran dapat terlihat dengan cara membuat film tipis dari lelehan
bahan plastik campuran. Bercak-bercak pada film dan film yang buram menunjukan
hasil pencampuran yang terbentuk tidak kompatibel.
Bahan aditif yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu
compatibilizer (berfungsi untuk memadukan polimer yang tidak kompatibel menjadi
campuran yang stabil melalui ikatan intermolekuler) dan inisiator. Compatibilizer
yang digunakan adalah maleic anhydride / maleat anhidrida (MA), sedangkan
inisiator yang digunakan adalah dicumylperoxide / dikumil peroksida (DCP). Kedua
bahan aditif tersebut berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat plastik. Kedua bahan
tersebut merupakan bahan dengan berat molekul rendah, maksudnya yaitu
mempunyai sifat pemlastis, antioksidan, antiblok, antistatis, pelumas, penyerap sinar
16
G.1. Maleat anhidrida / maleic anhydryide (MA)
Maleat anhidrida (cis-butenadioat anhidrida, anhidrida toksilat, atau
dihidro-2,5-dioksofuran) adalah sebuah senyawa organik dengan rumus kimia C4H2O3.
Dalam keadaan murninya, ia tidak berwarna atau berwarna putih padat dengan bau
yang tajam. Maleat anhidrida secara tradisional diproduksi dari oksidasi benzena atau
senyawa aromatik lainnya. Sampai dengan tahun 2006, hanya beberapa pabrik yang
masih menggunakan benzena. Oleh karena kenaikan harga benzena, kebanyakan
pabrik menggunakan n-butana sebagai stok umpan:
2 CH3CH2CH2CH3 + 7 O2→ 2 C2H2(CO)2O + 8 H2O
Terdapat banyak reaksi kimia yang dapat dilakukan oleh maleat anhidrida:
Hidrolisis, menghasilkan asam maleat, cis-HO2CCH=CHCO2H. Dengan alkohol,
menghasilkan setengah ester, cis-HO2CCH=CHCO2CH3.
Maleat anhidrida merupakan dienofil dalam reaksi Diels-Alder
Maleat anhidrida (MA) adalah ligan yang baik untuk kompleks logam bervalensi
rendah, misalnya Pt (PPh3)2 (MA) dan Fe (CO)4 (MA).
Maleat anhidrida yang berperan sebagai compatibilizer berperan melalui
sebuah proses reaktif, misalnya teknik grafting, atau melalui ikatan hidrogen
berbasiskan polaritas material. Compatibilizer juga berfungsi seperti surfaktan yang
mampu menstabilkan campuran air-minyak dalam satu atau dua komponen utama
dalam campuran. Fungsi lainnya dalam campuran polimer yaitu memperbaiki
adhesivitas antar fasa (Stevens, 2007). Karakteristik dari maleat anhidrida dapat
17
Tabel 7. Karakteristik maleat anhidrida
Sifat (berlaku pada suhu dan tekanan standar (25°C, 100 kPa))
Rumus molekul C4H2O3
Massa molar 98,06 g/mol
Penampilan kristal putih
Densitas 1,314 g/cm3
Titik leleh 60 °C, 333 K, 140 °F
Titik didih 202 °C, 475 K, 396 °F
Kelarutan dalam air 40 g/100 ml
Bahaya Korosif (C)
Sumber: Stevens (2007)
Prinsip kerja maleat anhidrida merupakan kombinasi dari mekanisme berikut,
yaitu mengikatkan bahan compatibilizer tersebut pada satu komponen campuran
melalui grafting kimiawi dan membentuk „polymeric tail‟ yang larut dalam
komponen lain. Compatibilizer bisa melakukan penetrasi pada kedua fasa dari
campuran yang immiscible, dengan mengasumsikan segmen A dari blok kopolimer
atau grafting identik dengan polimer A dan segmen B identik dengan polimer B.
Kondisi ini diduga akan terjadi penetrasi segmen A terhadap polimer A dan segmen
B terhadap polimer B. Setelah stabil, akan terbentuk daerah penyebaran yang lebih
merata karena adanya penurunan energi permukaan dan ikatan permukaan akan
semakin kuat dengan membentuk ikatan kovalen pada fasa-fasa yang terpisah (Mehta
dan Jain, 2007).
G.2. Dicumyl peroxide (DCP)
Gaylord dan Metha (1982) mengemukakan beberapa jenis inisiator yaitu
dikumil peroksida (DCP), tert-Butyl Peroxy Benzoat, Benzoyl Peroxide (BP), dan
Dimethyl Formamide (DMF). Kemudian Bremner dan Rudin (1993) menambahkan
bahwa peroksida organik memiliki peranan penting sebagai inisiator dari mekanisme
degradasi radikal bebas dalam polietilen untuk memodifikasi struktur dan sifat
18
efektif dalam mengintroduksi cabang rantai panjang menjadi linear polietilen. Pada
konsentrasi rendah mampu dengan baik mengubah distribusi berat molekul,
sedangkan pada konsentrasi tinggi menyebabkan terjadinya ikatan silang polietilen.
Peran DCP disini adalah sebagai inisiator memiliki karakteristik seperti dapat
bertahan pada suhu tinggi (180oC), memiliki sensitivitas oksigen yang rendah
dibandingkan dengan peroxide group carboxyl serta sensitif terhadap asam. Tensile
strength, breaking elongation, dan modulus young dari komposit meningkat seiring
dengan peningkatan konsentrasi radikal inisiator dalam hal ini DCP yang optimal
(Febrianto (1999).
H. ZAT PEMLASTIS: GLISEROL
Zat pemlastis dalam konsep sederhana dapat didefinisikan sebagai pelarut
organik dengan titik didih yang tinggi atau suatu padatan dengan titik leleh rendah.
Apabila ditambahkan ke dalam resin yang kaku dan atau keras seperti karet atau
plastik, maka akumulasi gaya intramolekuler pada rantai panjang akan menurun
sehingga kelenturan atau fleksibilitas, kelunakan (softness), dan pemanjangan
(elongation) bertambah (Mellan, 1963). Hammer (1978) menambahkan bahwa zat
pemlastis dapat didefinisikan sebagai bahan kimia yang dapat mengurangi kekakuan
dari suatu resin termoplastik yang amorf. Prinsip dasar kerja suatu zat pemlastis
adalah berinteraksi dengan rantai polimer dalam tingkat molekul, sehingga
menyebabkan peningkatan viskoelastisitas polimer.
Interaksi tingkat molekul tersebut dijelaskan oleh Darusman et al. (1999)
dapat berupa gaya van der waals yaitu gaya tarikan lemah antara molekul dalam
senyawa akibat adanya dwikutub-dwikutub terinduksi, ataupun karena adanya ikatan
hidrogen yaitu gaya tarik elektrostatik antara atom O, N, dan F. Interaksi antara
polimer dengan zat pemlastis tersebut menimbulkan peningkatan mobilitas molekul
dari rantai polimer dan menyebabkan turunnya suhu transisi gelas (Tg). Suatu
polimer dengan Tg yang rendah (memiliki lebih banyak rantai elastis) memiliki
tingkat kekakuan yang lebih kecil, sehingga lebih mudah untuk diproses. Sebaliknya,
jika polimer memiliki Tg yang tinggi dan viskositas lelehan yang tinggi pula,
kemudahan proses didapatkan dengan tanpa perubahan yang berarti pada kekakuan
19
Harus sesuai dengan besarnya molekul bahan yang akan diberi pemlastis, hal ini
dimaksudkan agar besarnya bobot polimer yang terbentuk tetap terjaga.
Harus memiliki Tg yang cukup rendah, sehingga secara efisien akan menurunkan
Tg dari polimer yang terbentuk dan membuat polimer menjadi lebih elastis.
Memiliki bobot molekul (BM) yang cukup tinggi. Dengan BM yang tinggi, zat
pemlastis tersebut memiliki tekanan uap yang rendah dan laju difusi yang rendah
pula di dalam polimer yang terbentuk, sehingga mengakibatkan suhu ruang zat
pemlastis tersebut tidak mudah menguap dan tetap terjaga keberadaannya di
dalam polimer.
Umumnya plasticizer diperlukan dalam edible film dari polisakarida dan
protein. Plasticizer merupakan bahan dengan berat molekul kecil sehingga dapat
bergabung ke dalam matriks protein dan polisakarida untuk meningkatkan sifat
fleksibilitas dan kemampuan membentuk film. Plasticizer meningkatkan volume
bebas atau mobilitas molekul primer dengan mengurangi ikatan hidrogen antar rantai
polimer. Komposisi, ukuran, dan bentuk dari plasticizer mempengaruhi
kemampuannya untuk menganggu ikatan rantai hidrogen, termasuk juga
kemampuannya untuk mengikat air ke dalam sistem protein yang mengandung
plasticizer tersebut (Sothornvit dan Krotchta, 2000a).
Gliserol adalah rantai alkohol trihidrik dengan susunan molekul C3H8O3 yang
sangat bermanfaat dalam bidang kimia organik. Nama gliserol diartikan sebagai
bahan kimia murni, namun dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama gliserin.
Dalam kondisi yang murni, gliserol tidak berbau, tidak berwarna, dan berbentuk
cairan kental dengan rasa manis. Gliserol bersifat larut dengan sempurna di dalam air
dan alkohol, serta dapat terlarut dalam pelarut tertentu (misalnya eter, etil asetat, dan
dioxane), namun bersifat tidak larut dalam hidrokarbon. Berat molekul gliserol
adalah 92,10; massa jenisnya 1,23 g/cm3 dan titik didihnya 204oC (Winarno, 1991).
Gliserol berfungsi sebagai penyerap air, pembentuk kristal, dan zat pemlastis.
Gliserol merupakan cairan dengan rasa pahit-manis yang memiliki kelarutan tinggi
yaitu 71 g/100 g air pada suhu 25oC. Biasanya digunakan untuk mengatur kandungan
air dalam makanan untuk mencegah kekeringan pada makanan (Igoe dan Hui, 1994).
Gliserol didapatkan dengan cara sintetis maupun diperoleh dari hasil samping
pembuatan sabun dan produksi oleokimia yang menggunakan minyak dan lemak
20
lemak terkandung gliserol dan tiga molekul asam lemak. Pada umumnya, lemak
mengandung kurang lebih 11% gliserol di dalamnya. Ada dua prosedur dalam
memproduksi gliserol dari lemak yaitu melalui metode saponifikasi dan
transesterifikasi (Tovbin et al., 1976).
Proses saponifikasi dan proses transesterifikasi tersebut akan menghasilkan
senyawa gliserol mentah yang masih banyak mengandung bahan pengotor seperti
sisa katalis dan asam lemak bebas. Penggunaan gliserol mentah secara langsung
dapat menimbulkan terjadinya proses dekomposisi, polimerisasi, dan masalah
lainnya, sehingga penggunaan gliserol secara langsung tanpa melakukan
pretreatment terlebih dahulu pada proses karbonasi akan menghasilkan komposisi
produk yang tidak stabil dan daya konversi yang rendah (Noureddidini et al., 1998).
Penggunaan pemlastis seperti gliserol lebih unggul karena tidak ada gliserol
yang menguap dalam proses dibandingkan dengan dietilena glikol monometil eter
(DEGMENT), etilena glikol (ET), dietilena glikol (DEG), trietilena glikol (TEG),
dan tetraetilena glikol. Hal ini disebabkan karena titik didih gliserol cukup tinggi
(290oC) jika dibandingkan dengan bahan pemlastis lainnya, lalu didukung dengan
tidak adanya interaksi gliserol dan molekul protein di dalam bahan baku plastik
(Noureddidini et al., 1998).
I. KARAKTERISTIK BIODEGRADABLE PLASTIC
Pengujian yang penting dari suatu bahan polimer antara lain densitas, titik
leleh (Tm), glass transition temperature (Tg), rheologi, konduktifitas, kekuatan tarik,
permeabilitas gas, ketahanan terhadap reaksi kimia, dan sebagainya (Knapczyk dan
Simon, 1992). Untuk mengetahui karakterisasi plastik komposit diperlukan beberapa
pengujian. Analisis yang dilakukan adalah uji kuat tarik dan perpanjang putus, uji
sifat termal, uji morfologi dan uji biodegradabilitas.
I.1. Karakterisasi sifat mekanik
Sifat mekanik sangat diperlukan peranannya dalam melindungi produk dari
faktor-faktor mekanis seperti tekanan fisik (jatuh dan gesekan), adanya getaran, serta
benturan antar bahan dengan alat atau wadah selama penyimpanan/distribusinya.
Sifat mekanik ini tergantung pada jenis bahan pembentuknya, terutama sifat
kohesinya. Sifat ini merupakan hasil kemampuan polimer untuk membentuk
21
Kekuatan tarik timbul sebagai reaksi dari ikatan polimer antara atom-atom
atau ikatan sekunder antara rantai polimer terhadapa gaya luar yang diberikan (Van,
1991). Untuk melakukan pengujian sifat mekanik diperlukan tipe spesimen yang
tepat agar didapatkan nilai sifat mekanis yang terbaik. Tipe-tipe spesimen
dikategorikan menjadi lima dan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel8. Tipe spesimen untuk pengujian sifat mekanik
Spesimen “Rigidity Case” Keterangan Ketebalan
Tipe I Rigid Spesimen yang telah ditentukan. <7 mm (0,28 in)
Tipe II Rigid Digunakan apabila spesimen dengan
tipe I tidak didapatkan nilanya. <7 mm (0,28 in)
Tipe III Rigid/Nonrigid - >7 mm (0,28 in)
spesimen untuk uji pada ASTM D412.
<4 mm (0,16 in)
Kekuatan tarik merupakan salah satu sifat mekanik dari bahan. Kekuatan tarik
menggambarkan ketegangan maksimum spesimen untuk menahan gaya yang
diberikan (Billmeyer, 1984). Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari Stevens
(2007), kuat tarik sebagai ukuran besarnya beban atau gaya yang dapat ditahan
sebelum suatu contoh rusak atau putus. Kekuatan tarik diukur dengan menarik polimer pada dimensi yang seragam. Tegangan tarik (σ) adalah gaya yang diaplikasikan (F) dibagi dengan luas penampang (A), sedangkan perpanjangan tarik (ε, elongation) adalah perubahan panjang contoh yang dihasilkan oleh ukuran tertentu panjang spesimen akibat gaya yang diberikan (Billmeyer, 1984).
Karakterisasi sifat mekanik ini mengacu kepada ASTM D-638 mengenai
22
dari spesimen dan pengukuran dari spesimen yang diuji. Dengan adanya dimensi
spesimen, berat, dan defleksi makan didapatkan kurva stress-strain dimana sifat
mekanik dari spesimen akan diketahui pula (Anonim, 2001).
a) b)
Gambar 4. a) Kurva tegangan-regangan plastik dan b) kurva tegangan- regangan untuk bahan plastik yang getas (Anonim, 2001)
Berdasarkan Gambar 4 yang memperlihatkan kurva tegangan regangan pada
suatu bahan polimer. Pada kurva tegangan-regangan (Gambar 4a), elastisitas akan
terus meningkat dari titik nol hingga mencapai suatu titik hingga plastik mengalami
deformasi. Sebelum mencapai titik deformasi tersebut, plastik masih mempunyai
kemampuan untuk kembali kebentuk asalnya, akan tetapi apabila telah mencapai titik
deformasi, maka plastik tersebut telah mencapai kondisi yield (maksimum)
perpanjangan hingga pada akhirnya plastik akan patah pada titik break. Titik awal
dimulainya grafik elastisitas hingga mencapai titik break dinamakan sebagai
perpanjangan pada patah. Gambar 4b menunjukkan grafik tegangan-regangan untuk
bahan plastik yang bersifat getas. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada saat
elastisitas terjadi hingga pada titik deformasi, pada saat itu juga plastik tersebut
mencapai titik break. Hal tersebut membuktikan bahwa plastik tersebut mempunyai
nilai perpanjangan yang kecil.
23
I.2. Uji morfologi dengan menggunakan SEM (scanning electrone microscope)
Teknik SEM pada hakekatnya merupakan analisis dan pemeriksaan
permukaan bahan. SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan
spesime secara makroskopik (Sutiani, 1997).
Data yang dihasilkan adalah data dari permukaan atau lapisan bahan yang
memiliki ketebalan sekitar 20µm dari permukaan. Gambar yang dihasilkan
merupakan gambar topografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada
permukaan. Gambar topografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang
dipancarkan oleh spesimen/bahan. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan
ditangkap oleh detektor kemudian diteruskan ke monitor. Selanjutnya monitor akan
menghasilkan gambar khas yang menggambarkan permukaan bahan (Sutiani, 1997).
I.3. Uji biodegradabilitas
Biodegradasi adalah penurunan sifat-sifat dikarenakan oleh aksi
mikroorganisme alam seperti bakteri dan fungi. Biasanya disebabkan adanya
serangan kimia oleh enzim yang dihasilkan oleh organisme sehingga dapat
menyebabkan pemutusan rantai polimer (Alger, 1990).
Di dalam tanah terdapat berbaai macam komponen organik maupun
komponen anorganik dan juga terdapat mikroorgaisme. Mikroorganisme mempunyai
peranan penting dalam penguraian semua material organik termasuk biopolimer.
Mikroorganisme yang mempunyai peranan dalam perombakan bahan-bahan organik
kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana antara lain bakteri, fungi, dan
aktinomisetes (Schnabel, 1981).
Pengujian bidegradasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan metode
penguburan tanah dan degradasi mikrobial dengan mikroorganisme. Biodegradasi
dalam lingkungan dapat dideskripsikan dengan persamaan kimia seperti berikut
(Mark, 1985):
Polimer + O2 CO2 + H2O + biomassa + residu
I.4. Sifattermal
Analisis termal mengacu kepada metode kerja ASTM D-3418 dimana
menyediakan metode untuk mengukur transisi dari morfologi atau perubahan kimia
24
yang spesifik. Perubahan dalam kapasitas panas, aliran panas, dan suhu menentukan
transisi tersebut. Differential Scanning Calorimetry (DSC) digunakan untuk
membantu mengidentifikasikan polimer tertentu yang spesifik, polimer alloys, dan
polimer yang telah diberi aditif tertentu yang ketiganya mempunyai transisi termal.
Reaksi kimia yang disebabkan oleh transisi tertentu telah diukur dengan teknik utama
ini, seperti reaksi oksidasi, resin thermosetting yang dibaharukan, dan termal
dekomposisi. Metode ini dapat diaplikasikan pada polimer dalam bentuk granula atau
bentuk lainnya dimana dapat dilakukan preparasi pemotongan pada spesimen
25 III. METODOLOGI PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN
1. Bahan
Bahan baku pembuatan pati termoplastis terdiri atas tapioka dan pati sagu yang
diperoleh dari pengolahan masyarakat secara tradisional dari daerah Cimahpar
(Kabupaten Bogor). Bahan lainnya yaitu zat pemlastis (akuades dan gliserol). Bahan
utama pembuatan compatibilized polietilen (compt.-PE) pada penelitian ini adalah
polietilen jenis LLDPE (Linear Low Density Poliethylene) dan HDPE (High Density
Poliethylene) dalam bentuk resin yang diperoleh dari PT. Super Exim Sari. Bahan
compatibilizer yaitu maleat anhidrida (MA) dan inisiator yaitu dikumil peroksida
(DCP) diperoleh dari Merck Schuchardt Hohenbrunn, Germany.
Bahan-bahan kimia yang dibutuhkan untuk analisis yaitu H2SO4, NaOH,
aseton/alkohol, etanol, indikator phenolphthalein (PP), indikator kanji, HCl, Luff
Scroll, KI, sodium tiosulfat, asam asetat, larutan iod, dan akuades.
2. Alat
Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah rheocord mixer
(rheomix) 3000 HAAKE dengan kapasitas 200-250 g untuk membuat pati
termoplastis dan plastik komposit. Ekstruder dua ulir simulator (spesifikasi: panjang
barrel 30 cm, diameter ulir 30 mm, dan kecepatan rotor maksimum 150 rpm)
digunakan untuk pembuatan compt.-PE. Alat yang digunakan untuk karakterisasi
plastik antara lain adalah Universal Testing Machine (UTM) untuk pengujian kuat
tarik dan elongasi, mikroskop cahaya terpolarisasi untuk melihat sifat birefringent
pati termoplastis, Differential Scanning Calorimeter (DSC) untuk analisa termal,
Scanning Electrone Microscopy (SEM) untuk analisa morfologi permukaan,
hydraulic heat press untuk pembuatan spesimen uji kuat tarik dan perangkat untuk
pengujian biodegradabilitas. Peralatan yang digunakan untuk pengujian dapat dilihat
pada Lampiran 1. Peralatan lain yang diperlukan untuk penganalisaan adalah cawan
alumunium, oven, tanur, desikator, erlenmeyer, autoclave, kertas saring, pendingin
26 B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini telah dilakukan sejak bulan Februari 2009 dan berakhir pada
bulan Juli 2009. Tempat penelitian ini dilakukan yaitu:
1. Laboratorium Teknologi Kimia, Departemen Teknologi Industri Pertanian – Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
2. Laboratorium Polimer, Laboratory and Technical Services – PERTAMINA – Jakarta.
3. Laboratorium Mikologi, Balai Pengkajian Bioteknologi – BPPT, Puspitek, Tanggerang.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap yaitu (i) persiapan dan karakterisasi
pati, (ii) pembuatan pati termoplastis, (iii) pembuatan compt.-PE, (iv) pembuatan
plastik komposit, dan (v) karakterisasi plastik komposit.
C.1. Persiapan dan karakterisasi pati
Persiapan bahan pada tahap ini dilakukan dengan pengeringan terlebih
dahulu. Pengeringan dilakukan secara terpisah dengan cara penjemuran sehingga
didapatkan kadar air masing-masing pati sebesar 8-12%. Pati yang telah dikeringkan
tersebut kemudian dilakukan pengecilan ukuran sehingga diperoleh pati yang lolos
ayakan berukuran 200 mesh. Persiapan bahan ini dilakukan dengan tujuan untuk
menyeragamkan kondisi pati yang akan dipakai untuk pembuatan pati termoplastis.
Pati dikarakterisasi dengan tujuan untuk mengetahui sifat fisiko kimia dari
tapioka dan pati sagu sebelum dilakukan proses pencampuran dengan plastik sintetis.
Pengujian karakteristik pati dilakukan dengan melakukan analisis kadar air, kadar
abu, kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar, bentuk dan ukuran granula pati,
kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin. Prosedur pengujian tersebut
27
C.2. Pembuatan pati termoplastis
Dalam pembuatan pati termoplastis dilakukan pencampuran beberapa bahan
antara lain pati, 20% gliserol (dari bobot pati), dan akuades (ditambahkan hingga
kadar air pati mencapai 25% dari bobot pati kering). Pati yang digunakan yaitu
tapioka dan pati sagu, dimana masing-masing pati akan dilakukan proses
pencampuran yang terpisah dengan bahan lainnya. Proses pembuatan pati
termoplastis (modifikasi metode Zhang et al. 2007) dilakukan dengan pencampuran
terlebih dahulu antar fasa cair (akuades dengan gliserol) hingga merata selama 5
menit, kemudian dilanjutkan dengan pencampuran antara fasa cair dengan
masing-masing pati dan dilakukan pengadukan selama 45 menit hingga homogen. Apabila
pencampuran tersebut telah merata, langkah selanjutnya yaitu dilakukan pemeraman
(aging) selama 4 hari. Langkah terakhir dalam pembuatan pati termoplastis yaitu
pemrosesan di dalam rheomix selama 8 menit dengan suhu 90oC dan kecepatan rotor
100 rpm. Pati termoplastis yang telah jadi akan berbentuk bongkahan sehingga harus
dilakukan pengecilan ukuran hingga berbentuk seperti pellet. Pellet tersebut akan
digunakan untuk proses pembuatan plastik. Pati termoplastis ini juga dilihat di bawah
mikroskop cahaya terpolarisasi untuk melihat sifat birefringent pada pati
termoplastis.
C.3. Pembuatan compt.- polietilen
Pembuatan compt.-PE dilakukan dengan memodifikasi polietilen. Kedua
plastik, yaitu LLDPE dan HDPE, masing-masing ditambahkan 1% compatibilizer
(maleat anhidrida atau MA) dan 0,1% inisiator (dikumil peroksida atau DCP). Proses
dilakukan di dalam ekstruder dua ulir simulator secara terpisah dengan kondisi
proses meliputi kecepatan rotor 10 rpm dan suhu 180oC, yakni dimana suhu MA
bereaksi. Polietilen yang telah dimodifikasi ini disebut compt.-LLDPE dan
compt.-HDPE dimana berbentuk pellet. Pellet ini harus dikeringkan terlebih dahulu di dalam
oven bersuhu 90oC selama 15 menit yang bertujuan untuk menguapkan air yang
28
C.4. Pembuatan plastik komposit
Pembuatan plastik komposit dilakukan melalui pencampuran antara pellet
pati termoplastis dengan compt.-PE. Pencampuran antara kedua bahan ini merupakan
modifikasi dari metode yang digunakan oleh Huneault dan Li (2007). Pencampuran
dilakukan secara terpisah antara pati sagu termoplastis atau tapioka termoplastis
dengan compt.-LLDPE atau compt.-HDPE. Proses yang dimodifikasi adalah
pencampuran kedua bahan tersebut dilakukan di dalam alat rheomix dengan
menggunakan komposisi compt.-PE dan pati termoplastis yaitu 80% : 20%. Kondisi
proses yang digunakan pada saat pencampuran yaitu dengan suhu 210oC, kecepatan
rotor 100 rpm, dan waktu yang digunakan adalah 3 menit. Plastik yang telah jadi
berbentuk bongkahan, maka dari itu dilakukan pengecilan ukuran bongkahan
tersebut hingga berbentuk seperti pellet. Pellet tersebut akan digunakan untuk
melakukan uji karakterisasi plastik. Percobaan dilakukan dengan dua kali ulangan.
C.5. Karakterisasi plastik komposit
Analisis untuk mengetahui karakterisasi plastik yang telah dibuat meliputi:
- Sifat mekanik sesuai dengan ASTM D-638 (1991) mengukur kekuatan tarik dan
perpanjangan putus menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM).
- Sifat termal sesuai dengan ASTM D-3418 (1991) menggunakan alat Differential Scanning Calorimeter (DSC).
- Analisis biodegradabilitas dibagi menjadi pengujian secara kualitatif yang
merupakan hasil modifikasi ASTM G-2170 (1980) dan pengujian secara
kuantitatif dengan penggunaan enzim α-amilase.
- Analisis morfologi sesuai ASTM E-2015 (1991) menggunakan alat Scanning
Electrone Microscopy (SEM).
Prosedur pengujian analisis dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Gambar 5
30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggunaan produk plastik berbahan baku polietilen telah memberikan
banyak sekali keuntungan terhadap kehidupan manusia, akan tetapi penggunaan
plastik juga telah mengancam kelestarian lingkungan hidup. Kualitas lingkungan
semakin memburuk, meningkatkan pencemaran, dan menjadi salah satu penyebab
meningkatnya pemanasan global. Sulitnya molekul plastik untuk terurai secara alami
sehingga menjadi salah satu penyebab diperlukan adanya plastik yang ramah
lingkungan dengan harga yang terjangkau. Teknologi proses yang tengah diteliti
adalah pembuatan plastik komposit berbasiskan pati dengan pencampuran polietilen.
Walaupun tidak dapat terurai secara sempurna, akan tetapi plastik komposit tersebut
setidaknya menjadi jauh lebih cepat terurai bila dibandingkan dengan plastik sintetis
saja. Oleh karena kedua bahan mempunyai sifat yang sangat berlawanan, maka
dibutuhkan suatu zat dan proses modifikasi yang dapat menjembataninya. Plastik
komposit yang terbentuk dilakukan beberapa uji untuk diketahui karakteristiknya,
sehingga diharapkan plastik yang dihasilkan memiliki kekuatan mekanis, sifat
termal, sifat biodegradabilitas, dan uji morfologi permukaan yang baik.
A. Persiapan dan Karakterisasi Pati
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di
alam. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan, antara lain
di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas,
ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Dengan beragamnya sumber
pati serta ketersediaannya di alam, maka pemanfaatan sumber-sumber pati tersebut
harus dilakukan. Sumber pati yang dipilih untuk penelitian ini adalah pati yang
berasal dari ubi kayu (Manihot utilissima) dan sagu (Metroxylon sp.).
Sagu dan ubi kayu merupakan komoditas tanaman pangan yang dapat
dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang potensial di Indonesia. Potensi
pengembangan kedua tanaman ini cukup besar, mengingat kedua tanaman ini dapat
tumbuh di tempat dimana tanaman lain tidak dapat tumbuh baik, tidak diperlukan
pemupukan dan perawatan yang intensif. Pemanfaatan kedua tanaman ini baru
sebatas untuk produksi pangan ataupun pembuatan bahan kimia pendukung, akan
tetapi dengan adanya pengembangan lebih lanjut pada kedua jenis tanaman ini
31
sedang dilakukan yaitu pemanfaatannya sebagai bahan baku pembuatan plastik
komposit walaupun perlu dilakukan modifikasi terlebih dahulu agar dapat bercampur
dengan baik pada polietilen.
Persiapan pati ini diawali dengan melakukan penjemuran. Penjemuran
bertujuan agar didapatkan kadar air yang seragam. Tahap berikutnya dilakukan
pengecilan ukuran hingga berukuran 200 mesh. Pengecilan ukuran ini akan
memberikan efek positif terhadap dispersi dari pati di dalam matriks plastik komposit
yang dihasilkan. Selanjutnya, pati yang telah siap ini dilakukan karakterisasi baik
dari segi kualitas ataupun mutu dan komposisi penyusun pati. Karakterisasi ini akan
menentukan aplikasi pencampurannya dalam penelitian ini. Standar yang dipakai
dalam pengujian karakteristik pati ini merupakan standar yang ditetapkan apabila
pati digunakan sebagai bahan pangan, hal ini disebabkan tidak adanya standar baku
pati untuk pembuatan plastik komposit. Dengan adanya karakteristik pati ini
menunjukkan bahwa pati yang digunakan merupakan pati yang berkualitas tinggi.
A.1. Mutu pati
Kedua macam pati ini selain berfungsi sebagai bahan pangan tradisional
untuk sumber karbohidrat utama, dapat juga dijadikan sebagai bahan baku industri
lainnya, maka dari itu standar mutu kedua pati tersebut harus dijaga dan memenuhi
standar yang telah ditentukan. Analisis mutu pati sagu yang dilakukan pada
penelitian ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, lolos saringan 80 mesh,
dan derajat asam. Hasil analisis mutu tersebut dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan
hasil analisis keseluruhannya dapat dilihat pada Lampiran 4. Persyaratan utama yang
digunakan sebagai acuan pada tapioka adalah SNI 01-3451-1994 dan SNI
32
Tabel 9. Karakterisasi mutu tapioka dan pati sagu hasil penelitian
Standar Mutu Persyaratan Hasil Penelitian*
Tapioka 1) Pati Sagu 2) Tapioka Pati Sagu
*Data rata-rata dari tiga kali ulangan
1)
SNI 01-3451-1994
2)
SNI 01-3729-1995
Kadar air yang terdapat di dalam pati ditentukan oleh proses pengolahan
dalam pengekstrakan pati hingga pengeringan dan penyimpanannya. Proses
pengeringan di bawah sinar matahari merupakan salah satu tahapan proses
pengolahan pati yang sangat menentukan mutu akhirnya. Apabila pengeringan tidak
dilakukan hingga kering atau dapat dikatakan memiliki kadar air yang tinggi akan
memicu tumbuhnya jamur dan bau asam sehingga kerusakan produk menjadi cepat.
Menurut Azudin dan Noor (1992), kadar air pati sangat penting berkenaan dengan
stabilitasnya selama penyimpanan.
Kadar air yang berlebihan akan menyebabkan pati teraglomerasi dan
memberikan efek negatif terhadap interaksi interfacial antara pati dengan polimer.
Demikian pula kadar air yang rendah akan mengurangi aglomerasi granula pati
selama proses pencampuran plastik (Favis et al., 2005). Air yang berlebih pada
pembuatan pati termoplastis akan menimbulkan gelembung pada produk sehingga
akan mengurangi sifat mekanisnya.
Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa tepung tapioka dan pati sagu
mempunyai nilai yang sesuai dengan SNI (maksimum 15,0% untuk tapioka dan
13,0% untuk sagu) yaitu 8,57% untuk tapioka dan 10,47% untuk pati sagu. Adanya
air di dalam pati juga dapat menyebabkan hidrolisis pati baik secara enzimatis dan
kimiawi menjadi molekul-molekul glukosa. Kelembaban (RH) pada tempat
penyimpanan produk pati harus sesuai karena apabila kelembaban yang rendah dapat
mengakibatkan produk pati mengeluarkan uap air, begitu pula sebaliknya
kelembaban yang tinggi akan membuat produk pati menjadi menyerap air. Oleh
karena itu, dalam kondisi atmosfer normal, kebanyakan pati komersial mengandung
33
akan memperpanjang umur simpannya, pengujian kadar air ini berfungsi untuk
mengetahui jumlah air yang terkandung di dalam pati dimana akan mempengaruhi
penambahan air dalam komposisi pembuatan pati termoplastis.
Nilai derajat asam pada pati menunjukkan tingkat kerusakannya. Semakin
kecil nilai derajat asamnya, maka semakin baik pula kualitas dari pati tersebut.
Begitu juga sebaliknya semakin besar nilai derajat asam menunjukkan bahwa pati
tersebut semakin rendah kualitasnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua pati
tersebut mempunyai nilai yang masih sesuai dengan SNI (ml NaOH 0,1 N/100 g
bahan) yaitu 2,30 untuk tapioka dan 0,61 untuk pati sagu. Walaupun masih berada di
bawah nilai SNI, tetapi dapat dilihat bahwa kadar derajat asam pada sagu lebih kecil
daripada tapioka sehingga terlihat bahwa kualitas pati sagu masih lebih baik daripada
tapioka. Hal ini disebabkan karena tapioka sering ditambahkan sulfit dalam proses
ekstraksinya.
Kadar abu berfungsi untuk mengetahui bahan organik yang terkandung dalam
pati yang dipengaruhi oleh lingkungan tumbuhnya. Abu yang terdapat dalam pati
dapat berasal dari mineral yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hasil analisis,
kedua pati tersebut mempunyai kadar abu yang rendah sekali yaitu 0,09% pada
tapioka dan 0,08% pada pati sagu; yang menandakan bahwa tapioka maupun pati
sagu mempunyai kualitas yang baik.
Pengujian kadar abu dan nilai derajat asam tidak akan memberikan pengaruh
terhadap kondisi pembuatan pati termoplastis. Kedua pengujian ini berfungsi sebagai
standar yang telah ditetapkan apabila pati akan digunakan sebagai bahan pangan.
Dengan adanya kedua pengujian ini membuktikan bahwa pati sagu maupun tapioka
mempunyai kualitas yang baik walaupun akan digunakan sebagai campuran plastik
komposit nantinya.
Setiap pati pasti berbentuk bubuk yang memiliki ukuran tertentu. Dalam
penelitian ini dilakukan pengecilan ukuran hingga 200 mesh dengan tujuan agar
pencampuran dengan polimer sintetis menjadi homogen. Adanya pengecilan ukuran
kembali juga bertujuan untuk menyeragamkan ukuran pati karena pati yang
merupakan produk olahan tradisional. Hasil analisis menunjukkan bahwa ukuran
bubuk tapioka maupun pati sagu yang lolos saringan 80 mesh adalah 100%. Semakin
kecil ukuran partikel pati tersebut akan memberikan pengaruh yang baik bagi sifat
34
Kadar serat kasar yang melebihi standar menandakan proses ekstraksi yang
tidak baik dan tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh SNI. Hasil analisis
menunjukan bahwa kadar serat kasar pada tapioka telah memenuhi syarat yaitu
0,085%, akan tetapi untuk pati sagu ternyata melebihi nilai SNI yaitu 0,28%. Pada
penelitian ini, kadar serat yang tinggi memberi keuntungan tersendiri bagi plastik
yang akan dihasilkan. Adanya serat dalam pati yang akan dicampurkan memberikan
pengaruh yang positif karena mampu meningkatkan sifat mekanik pada plastik
komposit (Corradini et al. 2007).
A.2. Komponen penyusun pati
Komposisi kimia dan ukuran granula secara sinergi akan sangat menentukan
sifat fungsionalnya (Zhou et al., 1998). Hasil analisis dari sifat fisiko-kimia dan
fungsional pati secara rinci disajikan pada Tabel 10, sedangkan hasil analisis
keseluruhannya dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil komponen penyusun pati yang
didapatkan secara sinergi akan mempengaruhi hasil pencampuran dengan polimer
sintetis. Secara spesifik, sifat fisik dan komponen penyusun pati ini akan
berpengaruh terhadap kualitas sifat mekanik, kehomogenan pencampuran, dan sifat
termal dari plastik komposit yang telah dihasilkan.
Tabel 10. Sifat fisiko-kimia dan fungsional pati hasil penelitian
Standar Mutu Pustaka Hasil Penelitian*
Tapioka Pati Sagu Tapioka Pati Sagu
Bentuk granula Oval 1) Oval 2) Oval Oval
*Data rata-rata dari tiga kali ulangan
1)
Sifat fisik pati juga dapat dijelaskan melalui bentuk dan ukuran granula pati.
Bentuk granula tapioka adalah oval dengan ukuran yang lebih kecil yaitu 5-25 µm
dibandingkan dengan pati sagu yang berbentuk oval dengan ukuran granula yang
relatif besar yaitu 9,40-91,5 µm. Ukuran granula yang besar akan mempengaruhi
pengembangan granula pati, mempunyai pengaruh pada sifat mekanik produk plastik
35
granula yang kecil akan meningkatkan kemampuan biodegradasi plastik komposit
(Nikazar et al. 2005).
Kadar pati menunjukkan tingkat kemurnian hasil ekstraksi. Pati terdiri atas
dua komponen utama yaitu komponen mayor (amilosa dan amilopektin) dan
komponen minor (lemak dan protein). Hasil analisis kadar pati menunjukkan bahwa
tapioka mempunyai kadar pati yang lebih tinggi yaitu 85,74% dibandingkan data
penelitian yang telah dilakukan oleh Theresia (2003) yaitu 84%. Hal ini didukung
dengan proses ekstraksi yang baik sehingga didapatkan kadar pati yang tinggi,
sedangkan kadar pati pada pati sagu (88,80%) mempunyai nilai yang berada di
bawah nilai kadar pati pada penelitian yang dilakukan oleh Yuliasih (2008) yaitu
96,12%.
Hasil analisis kadar amilosa yang didapatkan dalam penelitian ini cukup
tinggi hingga mencapai 27,98% bk untuk tapioka dan 30,95% bk untuk pati sagu.
Kandungan amilosa yang tinggi memiliki kecenderungan untuk membentuk film
yang kuat dibandingkan amilopektin (Thomas dan Atwell, 1999). Menurut Thomas
dan Atwell (1999), untuk membentuk film dan gel yang kuat harus digunakan pati
dengan kandungan amilosa yang tinggi. Film amilosa tahan terhadap beberapa
pelarut, minyak pelumas, dan mempunyai sifat yang tidak tembus oksigen. Sifat fisik
campuran pati dengan polietilen sebagian besar akan dipengaruhi oleh jumlah rasio
dari amilosa dan amilopektin yang terkandung di dalamnya. Aplikasi yang
membutuhkan viskositas, stabilitas dan kekuatan mengental yang baik, digunakan
pati dengan amilopektin yang tinggi, sedangkan untuk membentuk film dan gel yang
kuat digunakan pati dengan kandungan amilosa tinggi. Ciri film amilosa yaitu
isotrop, tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, tidak berbahaya, buram, dan
absorbable (Thomas dan Atwell, 1999).
Komponen minor yang terdapat di dalam pati adalah protein dan lemak
dengan jumlah antara 5-10% dari bobot total, tetapi dengan jumlah yang kecil
tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat fungsional dari pati tersebut.
Semakin kecil kadar lemak dan kadar protein di dalam pati menunjukkan bahwa
semakin baik pula kualitas dari pati tersebut karena dengan adanya kadar protein dan
lemak yang tinggi akan memberikan sifat yang hidrofobik di sekeliling granula
sehingga menyebabkan terhambatnya pengikatan air oleh granula pati. Hal ini
36
membuat pati menjadi hidrofobik sehingga kadar air yang diinginkan sulit untuk
tercapai. Hasil analisis dari kadar protein maupun kadar lemak membuktikan bahwa
tapioka dan pati sagu mempunyai jumlah komponen minor yang jauh lebih kecil
dibandingkan dengan pustaka yang ada yaitu masing-masing 0,23% dan 0,045%
untuk tapioka serta 0,31% dan 0,0088% untuk pati sagu. Hal tersebut didukung
dengan adanya hasil penelitian Wang dan Liu (2002) yang menyatakan bahwa
adanya penghilangan protein pada pati beras menyebabkan dispersi pati lebih
meningkat. Adanya protein dalam pati beras meningkatkan interaksi antara granula
pati sehingga menghalangi penyebaran pati yang dicampurkan ke dalam matriks
polietilen.
B. Pembuatan Pati Termoplastis
Pembuatan pati termoplastis dilakukan dengan perlakuan panas tinggi yang
disertai dengan gesekan yang tinggi pula pada waktu tertentu. Menurut Corradini et
al. (2007), pati yang mengalami perlakuan panas disertai gesekan pada kisaran suhu
90-180oC dengan tambahan plasticizer seperti gliserol akan bertransformasi
membentuk molten plastic atau thermoplastic starch. Kalambur dan Rizvi (2006)
menambahkan selama proses termoplastisasi, air akan masuk dalam pati dan bahan
pemlastis akan berperan sangat penting yaitu membentuk ikatan hidrogen dengan
pati sehingga terjadi reaksi antara gugus hidroksil dan molekul pati dimana pati
tersebut akan menjadi lebih plastis.
Bahan pemlastis yaitu air dan gliserol masuk ke dalam molekul pati lalu akan
membentuk suatu bantalan di dalam molekul pati tersebut sehingga membuat pati
menjadi plastis. Pemlastis juga akan melindungi molekul pati tersebut dimana
membuat pati menjadi lebih tahan panas dan tahan gesekan pada saat pemrosesan
dengan suhu dan gesekan yang tinggi. Kadar air yang digunakan termasuk ke dalam
kadar air rendah. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa untuk membuat pati
termoplastis diperlukan kadar air rendah dengan tingkat destrukturisasi yang tinggi.
Pada keadaan tersebut pati akan menjadi plastis, meleleh, dan mengalami
depolimerisasi. Akibat yang ditimbulkan karena pati yang terganggu ini akan
menyebabkan granula pati tidak lagi bersifat semikristalin tapi berubah menjadi
37
Gambar 6. Pengaruh kadar air dan tingkat destrukturisasi pada pati (Ulfa,
2009)
Pada Gambar 7 dapat dilihat gambaran molekul pati setelah menjadi pati
termoplastis. Dari hasil pengujian tampak bahwa dengan kondisi proses 90oC, 100
rpm, dengan lama pencampuran 8 menit memperlihatkan bentuk granula yang tetap
utuh dan tidak kehilangan sifat birefringent pati tersebut. Pudarnya cahaya pada saat
diberikan cahaya polar menunjukkan bahwa terjadi pengembangan ukuran molekul
dari ukuran granula awal. Pengembangan pati terjadi karena adanya difusi bahan
pemlastis ke dalam granula. Rendahnya kadar lemak dan protein dalam pati
memberikan efek yang positif karena tidak ada yang menghalangi absorbsi air dan
gliserol oleh granula pati. Semakin rendah kadar protein suatu pati akan memberikan
efek positif terhadap sifat mekanik plastik komposit. Gambar 7 (a) dan (b)
menunjukkan molekul tapioka termoplastis, sedangkan Gambar 7 (c) dan (d) pada
molekul pati sagu termoplastis. Roti dan Makanan
Reinforced Plastic
Pati Mengembang
Pati Terdestruk- turisasi
Pati Tergelatinisasi
Pati Termoplastis