• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

5. GDP 6. Inflasi

1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bank merupakan bagian dari lembaga keuangan yang memiliki sektor penting dalam pembangunan nasional dan berfungsi sebagai lembaga intermediasi diantara pihak yang kelebihan dana dan dengan pihak yang membutuhkan dana (Rivai et al., 2007:109).

Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank syariah sebagai lembaga intermediasi antara pihak investor yang menginvestasikan dananya di bank kemudian selanjutnya bank syariah menyalurkan dananya kepada pihak lain yang membutuhkan dana. Investor yang menempatkan dananya akan mendapatkan imbalan dari bank dalam bentuk bagi hasil atau bentuk lainnya yang disahkan dalam syariah Islam. Bank syariah menyalurkan dananya kepada pihak yang membutuhkan pada umumnya dalam akad jual beli dan kerja sama usaha. Imbalan yang diperoleh dalam margin keuntungan, bentuk bagi hasil, dan/atau bentuk lainnya sesuai dengan syariah Islam (Ismail, 2013:32).

Di Indonesia, bank syariah telah muncul semenjak awal tahun 1990-an dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Namun demikian, perkembangan bank syariah yang pesat baru terasa semenjak era reformasi pada akhir tahun 1990-an, setelah pemerintah dan Bank Indonesia memberikan komitmen besar

2

dan menempuh berbagai kebijakan untuk mengembangkan bank syariah, khususnya sejak perubahan Undang-undang Perbankan dengan UU No. 10 Tahun 1998. Perkembangan yang pesat tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1 sebagai berikut.

Tabel 1.1

Perkembangan Bank Syariah di Indonesia Kelompok Bank

Tahun

2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah Bank Umum

Syariah (BUS) 3 5 6 11 11 11

Jumlah bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS)

26 27 25 23 24 24

Sumber: Statistik Perbankan Syariah (2015)

Tabel 1.1 memberikan arti bahwa terjadinya peningkatan jumlah Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia selama kurun waktu empat tahun sebanyak 8 bank, yaitu dari 3 bank menjadi 11 bank umum syariah. Untuk bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah (UUS) terjadi penurunan dari 27 bank pada tahun 2008 menjadi 23 bank pada tahun 2010. Hal ini disebabkan karena terdapat 4 UUS yang melakukan spin off menjadi bank syariah, yaitu BRI, Bukopin, BCA dan BNI.

Sebagai lembaga yang penting dalam perekonomian maka perlu adanya pengawasan kinerja yang baik oleh regulator perbankan. Salah satu indikator untuk menilai kinerja keuangan suatu bank adalah melihat tingkat profitabilitasnya. Profitabilitas digunakan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba atau seberapa efektif pengelolaan perusahaan oleh manajemen (Syahyunan, 2013:92).

3

Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitas adalah Return on Asset (ROA). ROA penting bagi bank karena ROA menunjukkan laba yang diperoleh untuk setiap nilai asset dan mencerminkan kemampuan manajemen untuk menggunakan sumber daya bank dalam menghasilkan laba. Selain itu Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan aset yang dananya sebagian besar dari dana simpanan masyarakat.

ROA merupakan rasio antara laba bersih terhadap total asset. Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari penggunaan asset. Semakin kecil rasio ini mengindikasikan kurangnya kemampuan manajemen bank dalam hal mengelola aktiva untuk meningkatkan pendapatan dan atau menekan biaya (Rivai dan Arviyan, 2010:866). Menurut Bank Indonesia, ROA terbaik ialah 1,5% ke atas, semakin besar rasio ini mengidentifikasikan semakin baik kinerja bank tersebut.

Tinggi rendahnya profitabilitas sebuah bank dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal dari perbankan syariah tersebut. Faktor eksternal seperti tingkat inflasi perekonomian dan Gross

Domestic Product (GDP) yang terjadi di Indonesia berpengaruh baik secara

langsung ataupun tidak langsung terhadap nilai ROA. Faktor internal dinilai dari beberapa rasio keuangan perbankan seperti financing to deposit ratio (FDR) untuk mengukur pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga, non

4

syariah dan beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) untuk mengukur tingkat efisiensi bank.

Menurut Sumanjaya et al. (2011:97), inflasi dapat diartikan sebagai kecenderungan kenaikan harga barang secara umum yang berlangsung sepanjang masa sehingga mengakibatkan jumlah uang yang beredar lebih besar dibandingkan dengan jumlah barang dan jasa yang tersedia atau nilai uang lebih rendah dihadapkan dengan nilai barang atau jasa. Ketika suatu negara mengalami kenaikan inflasi yang tinggi dan bersifat uncertainty (tidak menentu) maka resiko dari investasi dalam asset-aset keuangan akan meningkat dan kredibilitas mata uang domestik akan melemah terhadap mata uang global dan hal ini berpengaruh negatif terhadap profitabilitas bank (Ebert dan Griffin dalam Murhadi, 2013:72).

Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP) adalah total nilai pasar dari barang dan jasa akhir (final goods and services) yang dihasilkan di dalam suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun). Keterkaitan dengan dunia perbankan adalah dimana GDP terkait dengan tabungan

(saving). Jika GDP naik, maka akan diikuti peningkatan pendapatan masyarakat

sehingga kemampuaan untuk menabung (saving) juga ikut meningkat. Jika tingkat tabungan tinggi maka perekonomian akan mempunyai persediaan modal yang besar dan tingkat output yang tinggi sehingga tingkat profitabilitas juga tinggi. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa GDP berpengaruh positif terhadap profitabilitas suatu perusahaan (Mankiw, 2007:191).

Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah perbandingan antara pembiayaan

5

bank (Rivai dan Arviyan, 2010:784). Rasio ini berpengaruh positif pada tingkat profitabilitas, semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, karena semakin besar jumlah dana yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan maka dengan demikian, jumlah dana yang menganggur bekurang sehingga berdampak pada naiknya profitabilitas (Rivai dan Andria, 2008:243).

Pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) merupakan gambaran kinerja usaha pembiayaan yang diberikan. Timbulnya pembiayaan bermasalah diantaranya mengakibatkan hilangnya kesempatan memperoleh pendapatan dari pembiayaan yang diberikan, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi profitabilitas bank (Dendawijaya, 2005:88). Menurut Hidayat (2014:122), apabila tingkat NPF semakin rendah maka bank tersebut akan semakin mengalami keuntungan, sebaliknya apabila tingkat NPF tinggi maka bank tersebut akan mengalami kerugian yang diakibatkan tingkat pengembalian kredit macet. Berdasarkan dari uraian tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing) memiliki pengaruh negatif bagi profitabilitas bank.

Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) sering disebut rasio efisiensi merupakan perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional dalam mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Semakin kecil rasio biaya (beban) operasionalnya akan lebih baik, karena bank yang bersangkutan dapat menutup

6

biaya (beban) operasional dengan pendapatan operasionalnya (Rivai et al., 2007:722).

Di Indonesia ada 11 Bank Umum Syariah dan pada Tabel 1.2 diperlihatkan rata-rata inflasi, Gross Domestic Product (GDP), Financing to Deposit Ratio (FDR), Non Performing Financing (NPF), Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan Return on Asset (ROA) dari industri perbankan syariah di Indonesia.

Tabel 1.2

Inflasi, Gross Domestic Product, Financing to Deposit Ratio, Non Performing

Financing, Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional dan Return on Asset Tahun 2010 – 2014

(dalam persen)

No. Tahun Inflasi GDP FDR NPF BOPO ROA 1 2010 5.13 6.18 88.57 2.36 92.91 1.07 2 2011 5.38 6.17 105.79 1.91 85.03 1.95 3 2012 4.28 6.03 100.04 2.51 83.04 1.77 4 2013 6.97 5.58 99.31 2.57 86.34 1.69 5 2014 6.42 5.02 96.56 4.21 92.62 0.68 Sumber: Statistik Perbankan Syariah (Data Diolah)

Pada Tabel 1.2 terdapat beberapa data gap yang tidak sesuai dengan teori yang ada terutama pada pengaruh kondisi makro ekonomi terhadap profitabilitas yang diproksikan dengan ROA. Kenaikan tingkat inflasi pada tahun 2011 sebesar 5,38% justru diikuti dengan kenaikan profitabilitas sebesar 1,95%. Kemudian penurunan tingkat inflasi pada tahun 2012 sebesar 4,28% dan pada tahun 2014 sebesar 6,42% justru diikuti dengan penurunan profitabilitas yaitu sebesar 1,77% pada tahun 2012 dan 0,68% pada tahun 2014. Dari data tersebut dapat disimpulkan hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa ketika suatu negara mengalami kenaikan inflasi yang tinggi dan bersifat uncertainty (tidak menentu) maka resiko dari investasi dalam asset-aset keuangan akan meningkat

7

dan kredibilitas mata uang domestik akan melemah terhadap mata uang global dan hal ini berpengaruh negatif terhadap profitabilitas bank dan ketika suatu negara mengalami penurunan inflasi maka berpengaruh positif terhadap profitabilitas (Ebert dan Griffin dalam Murhadi, 2013:72).

Pada tahun 2011 terjadi penurunan Gross Domestic Product (GDP) di Indonesia yaitu sebesar 6,17% dan ROA mengalami kenaikan sebesar 1,95%. Dari data tersebut disimpulkan hal ini tidak sesuai dengan teori Mankiw yang menyatakan bahwa jika GDP naik, maka akan diikuti peningkatan pendapatan masyarakat sehingga kemampuaan untuk menabung (saving) juga ikut meningkat. Jika tingkat tabungan tinggi maka perekonomian akan mempunyai persediaan modal yang besar dan tingkat output yang tinggi sehingga tingkat profitabilitas juga tinggi sedangkan jika tingkat GDP rendah maka tingkat profitabilitas juga rendah (Mankiw, 2007:191). Menurut hasil penelitian Sahara (2013), inflasi dan PDB berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA. Sedangkan menurut Stiawan (2009) dan Hendrayanti (2013), inflasi dan GDP tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA.

Nilai FDR rata-rata perbankan syariah di Indonesia pada tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 105,79% dan ROA mengalami kenaikan sebesar 1,95%. Pada tahun 2012 FDR rata-rata perbankan syariah di Indonesia mengalami penurunan sebesar 100,04% sampai pada tahun 2014 sebesar 96,56% dan ROA juga mengalami penurunan sebesar 1,77% pada tahun 2012 dan 0,68% pada tahun 2014. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hal ini sesuai dengan teori Rivai dan Andria (2008:243) yang menyatakan bahwa rasio ini berpengaruh

8

positif pada tingkat profitabilitas, semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan karena semakin besar jumlah dana yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan maka dengan demikian, jumlah dana yang menganggur bekurang sehingga berdampak pada naiknya profitabilitas. Hal ini didukung oleh penelitian Stiawan (2009) yang menyatakan FDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas tetapi berbeda dengan penelitian Benget (2010) yang menyatakan FDR tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap profitabilitas.

Nilai NPF rata-rata perbankan syariah di Indonesia pada tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 1,91% yang justru diikuti dengan kenaikan profitabilitas sebesar 1,95%. Pada tahun 2012 NPF rata-rata perbankan syariah di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 2,51% sampai pada tahun 2014 sebesar 4,21% dan ROA mengalami penurunan sebesar 1,77% pada tahun 2012 dan 0,68% pada tahun 2014. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hal ini sesuai dengan teori Hidayat (2014:122) yang menyatakan bahwa apabila tingkat NPF semakin rendah maka bank tersebut akan semakin mengalami keuntungan, sebaliknya apabila tingkat NPF tinggi maka bank tersebut akan mengalami kerugian yang diakibatkan tingkat pengembalian kredit macet. Menurut hasil penelitian Stiawan (2009), NPF berpengaruh negatif signifikan terhadap profitabilitas. Sedangkan menurut penelitian Rahman dan Ridha (2012) dan Benget (2010), NPF memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas.

9

Pada tahun 2012 penurunan BOPO sebesar 83.04% justru diikuti dengan penurunan profitabilitas sebesar 1,77%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hal ini tidak sesuai dengan teori Rivai, et al. (2007:722) yang menyatakan semakin kecil rasio biaya (beban) operasionalnya akan lebih baik, karena bank yang bersangkutan dapat menutup biaya (beban) operasional dengan pendapatan operasionalnya. Menurut hasil penelitian Stiawan (2009) dan Benget (2010), BOPO memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap profitabilitas. Sedangkan menurut penelitian Ramdany (2012), BOPO memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas.

Berdasarkan dari uraian sebelumnya dengan hasil yang tidak konsisten dari data inflasi, GDP, NPF, BOPO, FDR dan ROA yang penulis sajikan pada Tabel 1.2 diatas, membuat peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Pengaruh inflasi, Gross Domestic Product (GDP), Financing to Deposit Ratio (FDR), Non

Performing Financing (NPF) dan Biaya Operasional terhadap Pendapatan

Operasional (BOPO) terhadap Profitabilitas Bank Syariah di Indonesia”.

Dokumen terkait