• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsumen tidak pernah lepas dari perkembangan zaman yang terus berubah dari waktu ke waktu. Hal ini membuat konsumen ingin menampilkan

diri dengan mengesankan gaya hidup yang “up to date”. Konsumen juga ingin

menjadi pusat perhatian dalam mengikuti trend masa kini. Gaya hidup seseorang biasanya tidak permanen dan cepat berubah menyesuaikan perubahan yang terjadi dalam hidupnya (Sumarwan, 2011). Oleh karena itu, tidak heran apabila kebanyakan dari konsumen memiliki gaya hidup yang semakin modern.

Saat ini, gaya hidup yang modern tidak hanya diukur melalui teknologi canggih yang digunakan sehari-hari. Akan tetapi, diukur melalui gaya berpenampilan seseorang dalam mengikuti perkembangan fashion masa kini. Seseorang yang mengubah kehidupannya atau mengikuti perkembangan, akan mengubah juga perilaku membeli barang dan jasa yang menjadi pilihannya (Kotler & Armstrong, 2012). Oleh karena itu, tidak jarang konsumen mengubah gaya fashion sehari-harinya dengan perkembangan yang lebih “up to date”.

Salah satu perkembangan fashion dalam beberapa waktu ini ialah sepatu lari (running shoes) yang menjadi fenomena tersendiri dalam dunia fashion. Hal ini dikarenakan sepatu lari tersebut bukan hanya untuk berolah raga

2

saja namun juga untuk bergaya sehari-hari (www.talkmen.com). Sepatu lari tersebut hadir dengan berbagai merek. Salah satu merek yang dikenal dunia ialah Nike.

Setiap produk Nike menjadi trend dan model sepatu yang selalu mengikuti perkembangan. Hampir seluruh individu di dunia ini mengenal Nike sebagai pilihan merek yang diminati oleh banyak konsumen karena keunggulannya dalam segi kualitas produk. Selain itu, inovasi yang diberikan juga menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemar Nike (www.kvltmagz.com). Oleh karena itu, produk Nike tetap menjadi pilihan fashion konsumen. Pada tahun 2013, perusahaan Nike semakin menunjukkan kelasnya sekaligus membuktikan bahwa sebuah inovasi akan menghasilkan sesuatu yang besar. Hal tersebut terbukti setelah Nike meluncurkan pembaharuan Running Shoes yang sampai saat ini pun masih menjadi perbincangan hangat (www.kvltmagz.com). Nike memiliki produk Running Shoes yang dibedakan secara khusus untuk laki-laki dan perempuan.Running Shoes tersebut memiliki berbagai model seperti Nike Air Max, Nike Free, Nike Zoom Air, dan Nike Zurarlon (www.nike.com) dengan keunikannya masing-masing.

Nike juga dipercaya menjadi pilihan merek bagi banyak konsumen. Hal ini dibuktikan dengan adanya persentase yang meningkat pada pembelian konsumen. Berdasarkan data perbandingan tahun top brand index (TBI) (www.topbrand-award.com), di tahun 2013 Nike menduduki peringkat pertama dengan persentase 13,8% dibandingkan dengan merek sepatu lari seperti Adidas yang hanya sebesar 10,9%. Di tahun 2014, Nike juga mendapat

3

persentase pembelian sebesar 17,9% dari total konsumen dibandingkan dengan Adidas yang hanya 4,9%. Selain itu pada tahun 2015, Nike juga mendapat persentase pembelian terbanyak sebesar 18,1% dibandingkan dengan Adidas yang memiliki persentase sebesar 5,4%. Hal ini membuktikan bahwa Nike merupakan sepatu lari yang menjadi pilihan konsumen dibandingkan dengan sepatu lari merek lain.

Kelebihan dari produk Nike tersebut mendorong konsumen ingin membeli sepatu lari Nike. Keinginan berperilaku (behavioral intentions) atau niat dapat didefinisikan sebagai keinginan konsumen untuk berperilaku menurut cara tertentu dalam rangka memiliki, membuang, dan menggunakan produk atau jasa (Mowen & Minor, 2002). Niat atau keinginan seseorang merupakan prediksi perilaku. Menurut teori Reasoned Action pada Ajzen dan Fishbein (1980; dalam Peter & Olson, 1999) menyatakan bahwa mengukur niat membeli konsumen berarti memprediksi perilaku pembelian sebelum konsumen melakukan pembelian. Niat membantu konsumen untuk mampu merencanakan dan meramalkan perilaku pembeliannya. Peneliti melakukan survey pada tanggal 04 juli 2015 untuk melihat keinginan atau rencana konsumen membeli sepatu lari dengan pilihan merek tertentu. Survey dilakukan dengan mengisi kuesioner yang berisi 5 pilihan merek sepatu lari kepada 80 orangdan subjek diminta untuk memilih salah satu merek tersebut. Survey menunjukkan bahwa konsumen lebih memiliki niat membeli pada merek Nike dibandingkan merek sepatu lari lain. Nike memiliki persentase terbesar yaitu 58,75 %, Adidas sebesar 15 %, Reebok sebesar 12,5 %, New

4

Balance sebesar 8,75 % dan Puma memiliki persentase paling kecil sebesar 5 %.

Berkaitan dengan niat membeli konsumen terhadap sepatu Nike, peneliti juga telah melakukan wawancara pada tanggal 28 April 2015 kepada salah satu konsumen. Peneliti bertanya mengenai ada atau tidaknya keinginan untuk membeli sepatu lari Nike. Konsumen tersebut menjawab adanya keinginan dan rencana untuk membeli sepatu Nike. Suatu rencana yang dimiliki oleh konsumen meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku yang diniatkan tersebut akan dilaksanakan (Peter & Olson, 2013). Niat tersebut diperkuat dengan alasan konsumen yang mengatakan bahwa konsumen menyukai produk dan merek Nike. Selain itu, konsumen juga mengatakan bahwa merek Nike adalah merek yang sudah terkenal, produk-produk yang dikeluarkan

Nike bagus dari segi kualitas dan “up to date”. Kemudian konsumen mengatakan keinginan membeli muncul dikarenakan dirinya merasa cocok dengan produk dan merek Nike. Peneliti juga melakukan wawancara pada dua orang konsumen di tanggal 26 Mei 2015 dengan pertanyaan mengenai ada atau tidaknya niat membeli sepatu Nike. Kedua konsumen tersebut menjawab bahwa ada niat untuk membeli sepatu Nike. Kemudian, peneliti menanyakan kepada kedua konsumen mengenai apa yang mendasari konsumen untuk memilih Nike. Keduanya menjawab dengan hal yang serupa yaitu karena warna dan model sepatu Nike sesuai dengan selera. Salah satu konsumen juga mengatakan bahwa bentuk sepatu Nike juga cocok dengan kakinya. Hal

5

lainnya ialah merek Nike juga sudah terkenal membuat konsumen berkeinginan untuk membeli.

Niat pembelian merupakan bagian dari perilaku konsumen. Perilaku konsumen dalam memutuskan produk dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: atribut produk, merek, packaging, label, dan jasa pendukung produk (Kotler & Armstrong, 2012). Merek menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen ketika memilih suatu produk. Hal ini dikarenakan merek dapat menyampaikan pesan positif atau negatif pada konsumen mengenai produk (KimandChung, 1997; dalam Bhakar, Bhakar & Bhakar, 2013). Pesan tersebut kemudian akan memunculkan citra merek pada konsumen.

Keputusan individu dalam memilih merek berkaitan dengan munculnya niat pembelian yang ada pada konsumen. Pada umumnya, konsumen memutuskan untuk melakukan pembelian pada merek yang lebih disukai (Kotler & Armstrong, 2012). Konsumen juga melakukan tahap evaluasi dengan menggolongkan merek dan membentuk niat pembelian (Kotler & Armstrong, 2012). Terdapat juga hasil penelitian dari Tariq, Nawaz, Nawaz & Butt (2013) yang menunjukkan bahwa variabel citra merek, kualitas produk, pengetahuan produk, keterlibatan produk, atribut produk, dan loyalitas merek telah diteliti sebagai faktor dari niat pembelian konsumen dan telah ditemukan bahwa ada hubungan positif dengan niat pembelian.

Pada umumnya, merek adalah nama dan simbol (Mirabi, Akbariyeh, & Tahmasebifard, 2015). Menurut Keller (1993; dalam Bhakar et al., 2013) citra

6

merek sebagai asosiasi atau persepsi konsumen yang dibuat berdasarkan ingatan konsumen melalui produk. Sedangkan Arslan & Altuna (2010; dalam Tariq et al., 2013) mendefinisikan citra merek sebagai perasaan positif atau negatif mengenai merek ketika merek tersebut muncul dalam pikiran konsumen dengan tiba-tiba atau ketika konsumen mengingat kembali ingatan terhadap merek.

Nike memiliki nama merek dan simbol yang telah dikenal oleh dunia. Hal ini dikatakan pada sebuah majalah online (www.kvltmagz.com) bahwa Nike adalah perusahaan sepatu, pakaian dan alat-alat olahraga Amerika Serikat yang merupakan salah satu terbesar di dunia. Nike juga memiliki logo yang simple, unik dan khas sehingga mudah dikenal konsumen. Berdasarkan produk dan logo yang terkenal tersebut, konsumen membangun sebuah citra atau gambaran pada merek Nike.

Melalui wawancara pada tanggal 03 Juni 2015, peneliti meminta tiga konsumen yang telah memiliki dan menggunakan sepatu Nike untuk menyebutkan sifat atau karakteristik yang ada pada Nike. Sifat-sifat tersebut antara lain nyaman, stylish, up-to-date, santai, energic, sporty, dan fashionable. Meenaghan (1995; dalam Tariq et al., 2013) menjelaskan

kaitannya antara citra merek dengan sikap konsumen terhadap merek tertentu, bahwa citra merek membantu konsumen memikirkan cara dan mengarahkan konsumen untuk membuat produk pilihannya berbeda dari yang lain. Konsumen memutuskan untuk memilih dan membeli sepatu Nike dikarenakan merek Nike memiliki keunikan dan kelebihan dibandingkan berbagai merek

7

lainnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa membangun citra merek mampu mengarahkan konsumen pada keputusan pembelian.

Menurut Kotler & Armstrong (2012), perilaku pembelian konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, yaitu kebudayaan, sosial, personal, dan karakteristik psikologis. Faktor kebudayaan terdiri dari budaya, sub-budaya, dan kelas sosial. Faktor sosial terdiri dari kelompok referensi, keluarga, peranan dan status. Faktor personal terdiri dari usia dan tahap daur hidup, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri. Sedangkan pada faktor psikologis terdiri dari motivasi, persepsi, pembelajaran, keyakinan dan sikap. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi niat membeli konsumen. Salah satunya adalah faktor personal, khususnya mengenai kepribadian dan konsep diri.

Kepribadian adalah karakteristik unik secara psikologis yang membedakan seseorang atau kelompok. Kepribadian dapat berguna dalam menganalisis perilaku konsumen untuk memilih merek atau menentukan produk. Banyak pemasar yang menggunakan salah satu aspek kepribadian, yaitu konsep diri seseorang (Kotler & Armstrong, 2012). Konsumen lebih suka memilih merek dengan kepribadian yang cocok dengan dirinya. Konsumen juga biasanya melakukan pembelian dengan mengkaitkan antara citra dirinya dengan barang atau jasa yang akan dibelinya. Citra diri termasuk ke dalam bagian dari konsep diri yaitu mengenai identitas diri. Oleh karena itu, barang-barang yang dimiliki konsumen menyumbang dan merefleksikan

8

identitas mereka, yaitu “kita adalah apa yang kita punya” (Kotler & Armstrong, 2012).

Menurut Schiffman & Kanuk (2010) citra diri individu ialah unik, berkembang dari latar belakang dan pengalaman yang dimiliki individu. Hal ini menunjukkan bahwa setiap konsumen memiliki gambaran terhadap diri yang berbeda-beda. Pandangan tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada munculnya niat individu dalam membeli. Citra diri tidak hanya mencakup fisik seseorang tetapi evaluasi dan definisi diri seseorang seperti kuat, jujur, humoris, canggih, pendiam, adil, bersalah, serta beribu-ribu gambaran lainnya dan itu merefleksikan di setiap tindakan manusia, termasuk pembelian barang dan jasa (Evan & Westfall, 1961; dalam Birdwell, 1968). Konsumen cenderung mempertimbangkan suatu merek atau produk dengan gambaran diri yang dimiliki. Hal tersebut dilakukan agar konsumen membeli produk dan merek yang sesuai atau cocok dengan dirinya. Penelitian yang dilakukan oleh Schembri, Merrilees, dan Kristiansen (2010; dalam Mocanu, 2013) menunjukkan bagaimana konsumen menggunakan kekhususan dari merek sebagai teks narasi untuk mengkomunikasikan siapa mereka.

Konsumen cenderung berperilaku ke arah pembelian jika suatu merek tertentu mampu perhatian konsumen untuk menyukai dan memilih merek tersebut. Menurut Schiffman & Kanuk (2010), produk dan merek memiliki nilai simbolis yang dapat dievaluasikan oleh individu untuk membentuk kesesuaian (kongruen) antara produk dan merek dengan gambaran atau citra personal yang dimiliki konsumen. Evaluasi yang dihasilkan konsumen

9

tersebut akan berdampak pada munculnya niat pembelian sepatu Nike. Model citra diri kongruen menyatakan bahwa konsumen memilih produk ketika atribut barang tersebut cocok dengan beberapa aspek yang ada pada diri konsumen (Solomon, 2009).

Terdapat penelitian mengenai perilaku konsumen yang menunjukkan bahwa konsumen menggunakan suatu produk untuk nilai fungsional dan simbolis (Sirgy, Grzeskowiak & Su, 2005; Solomon, 1983; dalam Kumar & Nayak, 2014). Menurut Kressman et al. (2006; dalam Kumar & Nayak, 2014), kesesuaian fungsional sebagai kecocokan antara harapan ideal konsumen dengan persepsi konsumen mengenai fitur-fitur atau hal-hal yang sesuai dengan penilaian konsumen terhadap suatu merek dan produk. Ketika konsumen ingin memilih sepatu Nike, konsumen melakukan kesesuaian pada apa yang diharapkan konsumen dengan persepsi yang dimiliki konsumen mengenai sepatu Nike tersebut. Saleki, Saki, & Nekooi (2014) menyatakan bahwa kesesuaian fungsional didasarkan pada fitur atau hal-hal secara fungsional pada produk yang dianggap relevan dengan fitur yang diinginkan konsumen.

Konsumen lebih cenderung mengevaluasi merek dengan atribut simbolis terlebih dahulu, yang kemudian diikuti oleh evaluasi atribut fungsional pada merek (Kressman, Sirgy, Hermann, Huber, & Lee, 2006). Setelah merek diterima berdasarkan atribut simbolis, konsumen menjadi sangat terlibat dengan produk (O'Cass, 2000; Zaichkowsky, 1985; dalam Kressman et al., 2006). Dijelaskan pula oleh (Heet & Scott, 1988; dalam Aghdaie & Khatami,

10

2014) bahwa konsumen membeli produk dan merek yang mereka percaya untuk memproses gambaran simbolis yang mirip atau melengkapi citra diri mereka, yang nantinya akan mencapai kesesuaian diri. Sirgy et al. (1991) dan Sirgy dan Su (2000; dalam Kumar & Nayak, 2014) juga mengemukakan bahwa kesesuaian diri memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan kesesuaian fungsional. Dengan kata lain, konsumen menemukan kesesuaian yang lebih besar antara citra produk dan citra diri yang selanjutnya akan mendorong konsumen untuk mengevaluasi kesesuaian fungsional dari sebuah produk ke arah yang positif. Pada saat konsumen berniat membeli sepatu Nike untuk digunakan bergaya sehari-hari, konsumen lebih cenderung melakukan kesesuaian antara sepatu Nike dengan citra dirinya. Ketika konsumen memiliki perasaan cocok dengan sepatu Nike tersebut, secara langsung konsumen akan melakukan evaluasi positif terkait fungsi dari sepatu Nike yang dipilihnya.

Sirgy (1982) menyatakan bahwa konsumen berpikir untuk lebih memilih produk dengan gambaran yang kongruen dengan konsep diri mereka. Hal itu melibatkan proses pertimbangan terkait citra merek yang telah dimiliki konsumen terhadap suatu produk dengan citra diri yang dimiliki konsumen. Penelitian Sirgy (1982; dalam Aghdaie & Khatami, 2014) menunjukkan bahwa konsumen membeli dan mengkonsumsi barang jika mereka melihat ada kesatuan citra diri mereka dan citra terhadap merek.

Lefkoff-Hagius & Mason (1993; dalam Klipfel, Barclay, & Bockorny, 2014) menjelaskan mengenai functional congruity dimana

11

konsumen menginginkan produk yang bukan untuk menunjang secara fisik tetapi secara manfaat ketika produk tersebut digunakan. Dari penjelasan tersebut menekankan bahwa self congruity lebih sesuai dalam hubungannya dengan niat beli konsumen terhadap sepatu Nike pada penelitian ini.

Dokumen terkait