• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberhasilan proses pembelajaran tidak lepas dari kemampuan guru memilih dan menerapkan model-model pembelajaran yang tepat. Proses pembelajaran yang sesuai dengan keadaan kelas, sesuai dengan siswa, sesuai dengan karakter siswa diharapkan dapat mengaktifkan siswa saat proses pembelajaran serta membuat siswa senang sehingga dapat meraih hasil belajar yang optimal. Menurut Rusman (2011:134), sebelum menentukan model pembelajaran yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, ada beberapa hal yang dipertimbangkan diantaranya pertimbangan terhadap tujuan hendak dicapai, pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran, pertimbangan dari sudut peserta didik, pertimbangan lainnya yang bersifat nonteknis. Menurut Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana (2012:41), model pembelajaran merupakan salah satu pendekatan dalam rangka mensiasati perubahan perilaku peserta didik secara adaptif dan generatif. Mensiasati perubahan perilaku siswa tersebut diharapkan agar tujuan belajar tercapai dan hasil belajar siswa meningkat. Model pembelajaran ini sangat erat kaitannya dengan guru dan siswa, sehingga dapat dikatakan siswa juga berperan penting dalam mencapai tujuan belajar sehingga mencapaian hasil belajar yang optimal tidak hanya dari model pembelajaran yang tepat tetapi juga dari faktor siswa.

Menurut Dalyono (2010:55) beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian hasil belajar yaitu berasal dari dalam diri orang yang belajar dan ada pula dari luar dirinya. Faktor yang mempengaruhi pencapaian belajar yang berasal dari dalam diri orang yang belajar ialah kesehatan, minat dan motivasi, sedangkan faktor dari luar ialah keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan. Menurut Sardiman (2008:39), hubungannya dengan proses interaksi belajar-mengajar lebih menitikberatkan pada motivasi, sedangkan, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ini lebih ditekankan pada faktor internal. Menurut Aunurrahman (2012:115), motivasi dapat bersifat internal dan eksternal. Motivasi internal adalah dorongan dari dalam diri individu untuk melakukan suatu aktivitas. Motivasi ekternal adalah dorongan yang berasal dari luar diri individu. Motivasi eksternal melalui proses belajar dan interaksi individu dengan lingkungannya dapat berubah menjadi motivasi internal. Setiap siswa melakukan aktivitas belajar diharapkan didorong oleh motivasi intern, karena hal itu menjadi pertanda telah tumbuhnya kesadaran dari dalam diri siswa untuk belajar secara sungguh-sungguh. Namun, demikian tidak berarti bahwa motivasi eksternal tidak memiliki posisi yang penting bagi siswa, karena hasil-hasil penelitian banyak menunjukkan bahwa pemberian motivasi menjadi faktor yang memberi pengaruh besar bagi pencapaian hasil belajar atau kesuksesan seseorang, seperti apa yang dikatakan Aunurrahman (2012:116). Jadi, dapat dikatakan bahwa motivasi ekternal juga penting bagi pencapaian hasil belajar siswa. Selain dengan adanya

motivasi, dalam proses pembelajaran agar potensi siswa dapat dikembangkan secara optimal adalah dengan menumbuhkan keaktifan siswa. Keaktifan siswa dapat dilihat dengan siswa bertanya ataupun menanggapi konsep, ide yang diberikan oleh guru, dengan keaktifan ini siswa dapat lebih mengerti konsep dan ide yang diberikan karena siswa dapat menanyakan hal yang belum dipahaminya. Menurut Aunurrahman (2012:119), keaktifan belajar ditandai dengan adanya keterlibatan secara optimal baik intelektual, emosional, dan fisik. Ini berarti jika siswa memiliki keaktifan yang lebih maka siswa tersebut maka ia akan berpartisipasi dalam setiap aktivitas kegiatan pembelajaran.

Peneliti melakukan observasi di SMP Kanisius Muntilan. Observasi ini bertujuan untuk mengetahui proses pembelajaran di dalam kelas, untuk mengetahui keadaan sekolah termasuk sarana prasarana, serta untuk mengetahui permasalah-permasalah yang muncul ketika proses pembelajaran berlangsung. SMP Kanisius Muntilan ini salah satu SMP Swasta Katholik di kecamatan Muntilan. SMP Kanisius Muntilan ini memiliki fasilitas yang lengkap dan halamannya cukup luas. Peneliti melakukan observasi di kelas VII A, terlihat proses pembelajaran matematika masih menggunakan metode ceramah. Melalui observasi yang telah dilakukan peneliti, terlihat bahwa guru sudah melakukan mengajaran dengan baik dengan mempersiapkan materi, membawa buku pelajaran, serta membawa alat pembelajaran serta melihat kesiapan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Guru dalam mengajar mencoba mengaktifkan

siswa dengan meminta siswa membacakan materi hari itu, memberikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi tersebut, serta memberikan contoh soal dan dibahas secara bersama-sama. Terkadang terlihat guru mengulangi pembahasan agar siswa benar-benar mengerti dengan materi tersebut. Proses pembelajaran pada awalnya menyenangkan, siswa terlihat aktif dan antusias. Akan tetapi, sekitar 25 menit proses pembelajaran berlangsung terlihat beberapa siswa kurang fokus dan ribut sendiri dengan teman sebangkunya. Lama kelamaan siswa semakin mengacuhkan pelajaran dengan berjalan-jalan di kelas, menguap serta siswa kurang berani maju untuk mengerjakan soal. Keadaan siswa yang ribut sendiri membuat keadaan kelas menjadi kurang kondusif, sehingga proses pembelajaran menjadi kurang maksimal. Pembelajaran yang kurang maksimal seperti ini membuat materi yang disampaikan juga terhambat karena siswa berulang kali bertanya dengan pertanyaan yang sama kepada guru tersebut. Selain itu, Ketika mengerjakan soal-soal siswa kurang mampu, padahal soal yang diberikan guru merupakan soal yang sederhana.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana motivasi, keaktifan, dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran kooperatif. Menurut Sugiyanto (2010:37), pembelajaran kooperatif (Cooperative learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan

belajar. Dengan demikian, penerapan pembelajaran kooperatif tersebut diharapkan siswa dapat bekerjasama dengan baik, sehingga semua siswa dapat ambil bagian dalam proses pembelajaran. Selain itu, siswa dapat secara aktif dan tidak malu mengutarakan pendapatnya karena mereka sebaya dan kemampuan akademik yang relatif sama sehingga mereka termotivasi oleh teman sekelompoknya untuk dapat memecahkan persoalan. Menurut Trianto (2009:67-83), beberapa variasi dalam model cooperative learning ialah Student Team Achievement Division (STAD), Jigsaw, Jigsaw tipe II, Investigasi Kelompok (Grup Investigation), Think Pair Share (TPS), Numbered Head Together (NHT), Teams Games Tournament (TGT).

Jigsaw II didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab peserta didik terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Peserta didik tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian peserta didik saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan (Lie, 2008 dalam buku Donni Juni Priansa, 2015:262). Jadi, diharapakan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II siswa dapat bertanggung jawab terhadap materi yang didapatkan dalam kelompok ahli agar dikelompok asal dapat menjelaskan dengan baik dan dapat diterima oleh anggota kelompok yang lain. Selain itu, siswa dapat mengutarakan pendapatnya dalam diskusi

kelompok serta siswa berani bertanya ketika ada soal atau materi yang belum dimengerti baik dalam diskusi kelompok maupun klasikal. Salah satu kelebihan tipe Jigsaw II ialah meningkatkan motivasi belajar. Dengan kerja dalam kelompok kecil diharapkan siswa dapat termotivasi oleh teman sebayanya, siswa dapat bekerja sama, serta siswa dapat terbuka menyampaikan pendapatnya sehingga dengan motivasi yang meningkat, hasil belajarnya pun dapat meningkat. Hal tersebutlah yang mendasari peneliti memilih pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II.

Dokumen terkait