• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak tahun 2010, Indonesia telah mengalami pergeseran pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya di dominasi oleh sektor pertanian menjadi sektor industri/manufaktur serta sektor pelayanan jasa. Bahkan, daya produksi dari sektor industri/manufaktur lebih berkembang melebihi dua kali lipat dari sektor ekonomi lainnya. Trend pengangguran juga mengalami penurunan dengan berkembangnya sektor industri/manufaktur. Penurunan angka pengangguran diperkirakan mencapai 5,9% di bulan Agustus 2014 (International Labour Organization Key Indicators of the Labour Market, 2010).

Proses industrialisasi masyarakat Indonesia makin cepat dengan berdirinya perusahaan dan tempat kerja yang beraneka ragam. Perkembangan industri yang pesat ini diringi pula oleh adanya risiko bahaya yang lebih besar dan beraneka ragam karena adanya alih teknologi dimana penggunaan mesin dan peralatan kerja yang semakin kompleks untuk mendukung berjalannya proses produksi. Hal ini menimbulkan masalah keselamatan dan kesehatan kerja (Novianto,2010).

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan unsur perlindungan terhadap tenaga kerja, pengusaha dan aset perusahaan. Pengendalian secara teknis dan teknologis terhadap potensi bahaya terjadinya kecelakaan kerja adalah hal yang utama dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja dan peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. Setiap kecelakaan adalah suatu kerugian dan kerusakan yang selalu mengancam jiwa manusia dan harta benda baik tenaga

kerja, keluarganya maupun pengusaha. Maka upaya pencegahan kecelakaan merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar. Kesehatan kerja dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja, sehingga tenaga kerja sebagai pelaku usaha dapat merasakan dan menikmati hasilnya. (Tarwaka,2008).

Kejadian kerugian perusahaan akibat kecelakaan kerja dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Kecelakaan dan kerugiannya pun bervariasi, yang meliputi unsur manusia, mesin (material) dan lingkungan kerja. Orang yang ditimpa kecelakaan akan mengeluh dan menderita, tidak jarang berakibat luka – luka bahkan dapat berakibat cacat bagi penderita (Suma`mur, 1996).

Berdasarkan laporan mengenai kecelakaan kerja yang diperoleh dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menunjukkan statistik kecelakaan kerja hingga akhir tahun 2014 telah terjadi 105.383 kasus kecelakaan kerja di Indonesia. Dari jumlah tersebut, tercatat kasus cacat fungsi berjumlah 3.618 kasus, cacat sebagian 2.616 kasus, cacat total berjumlah 43 kasus dan meninggal dunia sebanyak 2.375 kasus. Tingginya angka kecelakaan tersebut menunjukkan belum optimalnya pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di Indonesia sebagai bentuk perlindungan terhadap tenaga kerja. (BPJS Ketenagakerjaan, 2014).

Salah satu upaya untuk mencegah suatu permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) diperlukan identifikasi bahaya yang bertujuan untuk mengetahui potensi bahaya yang ada di lingkungan kerja, penilaian risiko yang berfungsi untuk untuk mengevaluasi besarnya risiko serta skenario dampak yang

3

akan ditimbulkannya, agar organisasi dapat menetapkan keputusan, berdasarkan hasil dari analisis risiko sebelumnya, mengenai risiko mana yang memerlukan pengendalian & prioritas pengendaliannya. Berdasarkan OHSAS 18001, menjelaskan mengenai pentingnya identifikasi bahaya, penilaian risiko serta pengendalian risiko sebagai suatu persyaratan untuk melaksanakan perencanaan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) disuatu perushaan. (OHSAS 18001:2007)

Di Indonesia, pelaksanaan identifikasi bahaya dan penilaian risiko di tempat kerja mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Dimana dalam peraturan ini, identifikasi bahaya dan penilaian risiko adalah hal mutlak yang harus dilakukan suatu perusahaan dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK) serta tercapainya tempat kerja yang nyaman, efisien, dan produktif. Selain itu, identifikasi bahaya dan penilaian risiko merupakan suatu bentuk perencanaan K3 yang digunakan sebagai landasan disusunnya program maupun kebijakan K3. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 tahun 2012).

Pencegahan kecelakaan berdasarkan pengetahuan tentang penyebab kecelakaan. Sebab-sebab kecelakaan pada suatu perusahaan diketahui dengan mengadakan analisis setiap kecelakaan yang terjadi. Metode analisis penyebab kecelakaan harus betul-betul diketahui dan diterapkan sebagaimana mestinya. Selain analisis mengenai penyebab terjadinya suatu peristiwa kecelakaan, untuk pencegahan kecelakaan kerja sangat penting artinya dilakukannya identifikasi

bahaya yang terdapat dan mungkin menimbulkan insiden kecelakaan di perusahaan serta mengases (assessment) besarnya risiko bahaya (Suma’mur, 2009).

Sektor minyak dan gas bumi (migas) masih menjadi andalan utama perekonomian Indonesia, baik sebagai penghasil devisa maupun pemasok kebutuhan energi dalam negeri (Biro Riset LM FEUI). Perkembangan sektor minyak dan gas juga diikuti dengan perkembangan usaha penunjang migas baik usaha jasa penunjang migas maupun usaha industri penunjang migas. (Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 tahun 2008). Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, saat ini jumlah perusahaan yang bergerak dalam usaha penunjang migas mencapai 2.883 perusahaan. Terdiri dari 749 perusahaan jasa pemboran, inspeksi dan transportasi, 2.000 perusahaan jasa konsultan kegiatan operasi migas serta 134 perusahaan yang memproduksi barang dan peralatan penunjang migas seperti wellhead, christmastree, bahan kimia pemboran,pipa salur, rig, platform, OCTGN, pumping unit, valve, ketel uap dan peralatan lainnya. Dari 134 perusahaan yang memproduksi barang dan peralatan penunjang migas, sudah hampir semua perusahaan mampu memproduksi spesifikasi produk minimal yang dibutuhkan dalam kegiatan operasi migas. (Bisnis Indonesia, 2015)

Kota Batam adalah salah satu kota industri di Indonesia. Pada dekade 1970-an sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973, Kota Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri. Kota Batam sebagai salah satu daerah industri sangat diuntungkan oleh geografisnya yang strategis, yakni

5

berbatasan dengan Singapura dan Malaysia, serta terletak di Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran sibuk di dunia. Dengan keuntungan tersebut, maka banyak perusahaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang menjadikan Kota Batam sebagai tempat beroperasi kegiatan produksi dari perusahaan tersebut. Salah satu jenis industri yang saat ini berkembang di Kota Batam adalah usaha industri penunjang minyak dan gas yang termasuk kedalam jenis industri berat.

PT X Kota Batam merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa penunjang migas yakni jasa pelaksanaan konstruksi migas. Jenis proyek yang dilaksanakan PT X Kota Batam merupakan proyek Engineering Procurement and Construction (EPC). Proyek EPC adalah suatu proyek dimana kontraktor mengerjakan proyek dengan ruang lingkup tanggung jawab penyelesaian pekerjaan meliputi studi desain, pengadaan material dan konstruksi serta perencanaan dari ketiga aktivitas tersebut. Dalam proyeknya PT X Kota Batam memiliki client dari perusahaan migas ternama di dunia seperti Exxon Mobile, Chevron, KS Energy, Kellog Joint Venture (KJV), Boskalis Australia PTY,Ltd (BKA), Murray & Robert, Marine & Civil Joint Venture (MMJV) dan sebagainya. Produknya ialah rig, stinger, platform dan lain-lain.

Dalam pelaksanaan proyek untuk menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, tentunya digunakan mesin-mesin dan peralatan canggih yang juga memiliki potensi bahaya bagi pekerja. Dengan adanya penggunaan berbagai peralatan tersebut dan interaksi dengan manusia sebagai pekerja memungkinkan untuk memicu terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK) yang akan merugikan pekerja maupun pihak perusahaan.

Pada proses kerjanya, PT X Kota Batam memberlakukan prosedur ijin kerja atau permit to work dalam penyelesaian suatu pekerjaan. Sistem Permit to Work atau sistem ijin kerja adalah sistem tertulis resmi yang digunakan untuk mengontrol jenis pekerjaan tertentu yang diidentifikasikan sebagai pekerjaan yang berpotensi berbahaya. Ini juga merupakan sarana komunikasi antara manajemen instalasi/site, plant supervisor dan operator serta mereka yang melakukan pekerjaan. Tujuan dari sistem Permit to Work adalah menyakinkan bahwa perencanaan yang tepat dan mempertimbangkan risiko yang ada pada pekerjaan tertentu. Ada tiga macam permit to work, yakni hot work permit, cold work permit dan confined space. Proses yang termasuk dalam hot work permit adalah pengelasan (welding), pemotongan (cutting), penggerindaan (grinding), pencongkelan (gouging), pembakaran (burning) dan pemanasan (preheating). Sedangkan yang termasuk dalam cold work permit yakni hydrotest, commisioning, scaffolding, mechanical, electrical, lifting, blasting, dan working at hieght. Selanjutnya, confined space merupakan pekerjaan yang dilakukan di ruang terbatas.

Pada bulan Januari PT X Kota Batam telah menerima dan mulai melaksanakan proyek dari client . Proyek ini merupakan modifikasi rig yang digunakan untuk pengeboran minyak di daratan (onshore). Rig adalah serangkaian peralatan khusus yang digunakan untuk membor sumur atau mengakses sumur baik offshore maupun onshore. Modifikasi rig yang dilakukan dengan fabrikasi, yakni dilakukan pembuatan secara bertahap, sehingga dalam proses pengerjaannya tidak semua jenis pekerjaan berdasarkan permit to work

7

dilaksanakan. Hanya beberapa jenis tahap pekerjaan tahap awal terlebih dahulu yang akan dilaksanankan dengan jangka waktu 2 bulan setelah proyek diterima. Adapun jenis proses yang dimulai yakni, pengelasan (welding), pemotongan (cutting), penggerindaan (grinding) pencongkelan (gouging), pembakaran (burning), pemanasan (preheating), perancah (scaffolding) dan pengangkatan (lifting).

Penelitian terdahulu yang dilakukan Wahyu (2013), yang dilakukan pada bagian double bottom pembangunan kapal di PT X Surabaya mengidentifikasi bahaya pekerjaan pengelasan (welding) dengan menggunakan metode Job Safety Analysis. Bahaya yang teridentifikasi paling banyak terdapat pada jenis pengelasan SMAW dan MAG yaitu tersengat listrik. Hasil penilaian risiko murni jenis pengelasan SMAW dan MAG terdapat 38 risiko murni dengan kategori risiko terbanyak adalah risiko tinggi sebanyak 89,5%.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti pada saat survei pendahuluan, terdapat 3 proses kerja proses yang memiliki potensi bahaya yang lebih tinggi. Adapun proses tersebut ialah pengelasan (welding), penggerindaan (grinding), dan perancah (scaffolding). Ketiga proses tersebut dapat menimbulkan kefatalan dan juga kerusakan yang luas di lingkungan kerja. Pada proses pengelasan (welding) yang menggunakan jenis las Shielded Metal Arc Welding (SMAW) dimana jenis las ini merupakan pengelasan yang menggunakan energi listrik sebagai sumber panasnya. Potensi bahaya yang dominan pada proses pengelasan ini merupakan tersengat listrik. Paparan sinar UV selama proses pengelasan juga dapat memberikan efek buruk bagi mata. Selain itu, fume yang

berasal dari pengelasan juga dapat menyebabkan Metal Fume Fever bagi pekerja pengelasan (welder).

Pada proses penggerindaan (grinding) menggunakan peralatan gerinda tangan yang digunakan untuk mengurangi partikel bahan yang semula kasar menjadi ukuran yang lebih halus. Dapat menimbulkan getaran sehingga dapat menyebabkan gangguan muskoskeletal, kelelahan otot dan lainnya. Disamping itu, dikarenakan proses ini menggunakan disk sebagai pemotongnya jika terdapat kesalahan prosedur dalam pengoperasiannya atau human error dapat menyebabkan disk terhempas sehingga dapat menyebabkan bagian tubuh terpotong, bahaya ini dapat menyebabkan kefatalan bagi pekerja jika disk yang tajam tersebut terhempas ke bagian leher hingga kepala. Pada proses perancah (scaffolding), karena proses kerja ini berhubungan dengan melakukan pekerjaan pada suatu struktur sementara hingga mencapai ketinggian tertentu sesuai dengan spesifikasi rig maka potensi bahaya yang dapat terjadi pada scaffolder yakni terjatuh dan tertimpa material yang dapat mengakibatkan kecacatan ataupun kematian bagi para pekerja.

Hal ini juga sejalan dengan laporan tahunan HSE Performance PT X Kota Batam hingga bulan Agustus 2015 terdapat kejadian yang tidak diinginkan, yakni insiden kerja. Berdasakan data sekunder, diketahui perfoma keselamatan dan kesehatan kerja PT X Kota Batam dari tahun 2007-2015 adalah sebagai berikut :

9

Gambar 1.1 HSE Performance PT X Kota Batam Sumber : PT X Kota Batam

Berdasarkan uraian diatas dan masih jarangnya penelitian yang dilakukan pada jenis industri fabrikasi rig, maka peneliti tertarik untuk melakukan identifikasi bahaya dan penilaian risiko pada proses pengelasan (welding), penggerindaan (grinding) dan perancah (scaffolding) di PT X Kota Batam.

Dokumen terkait