• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 + 1.4 Keterangan : L = Kadar lemak (%)

1.1 Latar Belakang

Industri sapi perah di Indonesia semakin berkembang akhir-akhir ini, sehingga dapat membantu dalam menumbuhkan lapangan pekerjaan dan perekonomian masyarakat. Selain itu, peternakan sapi perah juga berperan dalam mencerdaskan bangsa dengan produk unggulannya berupa air susu yang sangat dibutuhkan oleh manusia, khususnya anak-anak di masa pertumbuhan dan perkembangannya. Air susu merupakan minuman yang mengandung zat-zat nutrisi yang lengkap serta dibutuhkan oleh tubuh seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin.

Saat ini, produksi susu lokal baru mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri sebesar 20-30%, sebagian besar 70-80% masih harus diimpor dari luar negeri, khususnya Australia. Hal ini tentu saja dapat menguras cadangan devisa negara. Rendahnya produksi susu dalam negeri dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya jumlah populasi sapi yang rendah, manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang kurang tepat, dan penanggulangan penyakit yang belum optimum.

Mastitis (Radang Ambing) merupakan salah satu penyebab yang besar terhadap penurunan nilai ekonomi, penderitaan ternak, penurunan kualitas susu, dan mengurangi kebersihan (hygine) produk (Leitner et al. 2004; Halasa et al. 2009; Apparao et al. 2009). Produksi susu yang berkelanjutan tidak hanya bermaksud untuk menghasilkan efek dari pengobatan penyakit mastitis tetapi juga mengimplementasikan pencegahan yang efisien (Chagunda et al. 2006), sehingga pencegahan merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk mengendalikan penyakit mastitis.

Mastitis adalah penyakit yang dikenal dengan istilah penyakit multifaktor yang dikontrol menggunakan berbagai macam manejemen dan melibatkan keterampilan khusus. Mastitis cenderung disebabkan oleh interaksi antara agen penyebab (bacteria), inang (host) dan lingkungan (Rodrigues et al. 2005). Mastitis pada sapi perah merupakan radang yang bisa bersifat akut, subakut maupun kronis, yang ditandai oleh kenaikan sel somatis di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai perubahan patologis pada kelenjar mammae (Rahayu 2010) dan peningkatan jumlah sel somatis. Sel somatis yang terdapat dalam susu sapi segar masih dikategorikan normal bila dalam jumlah sedikit (Harmon 1993), akan tetapi jumlahnya akan berlebih ketika terjadi infeksi oleh bakteri. Oleh karena itu, Perhitungan jumlah sel somatis digunakan secara luas untuk mendeteksi mastitis klinik dan subklinik (Green 2004).

Pencegahan merupakan kunci dalam mengendalikan mastitis. Beberapa tindakan pencegahan yang telah dilakukan adalah perbaikan manajemen khususnya kebersihan kandang, kebersihan sapi dan pengelolaan peternakan. Kandang yang selalu bersih setidaknya mengurangi kemungkinan pencemaran ambing oleh kuman (Subronto 2003). Kerugian dari penyakit ini sangat dirasakan oleh peternak karena sangat berdampak negatif pada produksi dan kualitas air

2 susu yang dihasilkan. Sapi yang terinfeksi penyakit mastitis ditandai dengan penurunan produksi susu dan yang lebih merugikan adalah menurunnya kualitas air susu. Menurunnya kualitas air susu dapat dirasakan oleh konsumen dengan menurunnya cita rasa (flavor) dan meningkatnya sel somatis dalam susu. Kerugian terbesar terjadi karena rendahnya produksi susu, meningkatnya susu yang terbuang (cita rasa menurun), biaya obat-obatan dan dokter hewan, pengafkiran sapi muda yang semuanya memperbesar terjadinya kerugian (Rodrigues et al. 2005).

Penyakit mastitis di kalangan peternak sapi perah tidak asing lagi, khususnya yang bersifat klinis, dimana gejala-gejala penyakit ini nampak dengan jelas secara kasat mata yang ditandai dengan perubahan bentuk pada ambing yang tidak lazim seperti membesar, panas, berwarna merah, dan dirasakan nyeri oleh sapi. Sedangkan pada kasus mastitis subklinis, sapinya tidak menunjukkan gejala sakit, tapi terjadi penurunan produksi dan kualitas susu sehingga peternak sangat dirugikan dengan adanya kejadian penyakit tersebut.

Kasus mastitis terutama mastitis subklinis di Indonesia pada tahun 2004, tercatat sekitar 65 - 75% dan terjadi peningkatan pada tahun 2006 menjadi sekitar 75% – 83% (Sudarwanto et al. 2006). Hal ini menunjukkan usaha pengendalian yang terstandar baik dari pemerintah, koperasi maupun individu peternak belum ada. Hampir 70% kerugian akibat penurunan produksi susu disebabkan mastitis subklinis. Kerugian ekonomis yang diakibatkan mastitis antara lain: a). Penurunan produksi susu per kwartir per hari antara 9%–45,5% (Sudarwanto et al. 1993; Sudarwanto 1999), b). Penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30%-40% (Sudarwanto 1999) dan penurunan kualitas hasil olahan susu (Hamman & Fehlings 2002; Hamann 2005). c). Peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal (Seegers et al. 2003; Shim et al. 2004).

Usaha pencegahan mastitis dapat dilakukan yaitu hyginitas proses pemerahan, kebersihan mesin pemerah harus selalu terjaga, teat dipping (dengan antiseptik) pasca pemerahan. Pengobatan mastitis yang dilakukan dari awal munculnya sampai sekarang yaitu dengan penggunaan antibiotik berspektrum luas. Pengobatan mastitis khusunya mastitis klinis dilakukan dengan menyuntikkan secara langsung pada puting atau dikenal istilah intramammary infusion. Namun penggunaan senyawa antibiotik sebagai bahan additive dalam pakan ternak di beberapa negara telah dilarang. Hal ini disebabkan karena adanya residu dari antibiotik yang dapat berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsi produk peternakan. Selain itu, antibiotik dapat menciptakan mikroorganisme yang resisten dalam tubuh manusia atau ternak terutama bakteri-bakteri patogen. Maka salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah bahan herbal yang aman dan alami untuk ternak dan manusia diantaranya daun sirih (Piper betle L.) yang dapat digunakan sebagai feed additive dalam ransum sapi perah.

Daun sirih sejak dahulu dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai obat maupun untuk memperbaiki katahanan tubuh sebab daun sirih mengandung 4,2% minyak atsiri yang sebagian besar terdiri dari betephenol yang merupakan isomer Euganol allypyrocatechine, Cineol methil euganol, Caryophyllen (siskuiterpen), kavikol, kavibekol, estragol dan terpinen (Sastroamidjojo 1997; Muhlisah 2008). Adanya beberapa bukti empiris dan ilmiah mengenai kandungan antibakteri daun sirih menghantarkan peluang penggunaan daun sirih dalam ransum sapi perah

3 sebagai feed additive yang diduga dapat menekan dan membunuh berbagai bakteri penyebab mastitis seperti Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. Penelitian sebelumnya telah mengamati efektifitas salep dari daun sirih yang dioleskan pasca pemerahan (sapi perah) untuk menggantikan fungsi dari antiseptik yang digunakan selama ini (Zalizar 2009). Oleh sebab itu, pemanfaatan daun sirih sebagai imbuhan pakan perlu dikaji untuk untuk menghindarkan sapi dari penyakit mastitis, khususnya mastitis subklinis.

Beberapa herbal yang berfungsi sebagai anti bakteri dapat mengakibatkan penurunan populasi mikroorganisme in vitro (Pattnaik et al. 1996). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian yang menggunakan minyak atsiri dimana tidak terjadi pengaruh produksi VFA, konsentrasi NH3, jumlah protozoa, dan aliran protein mikroba di dalam rumen (Wallace et al. 2002).

Penggunaan daun sirih selama ini hanya digunakan berupa ekstrak, belum digunakan sebagai suplemen di dalam ransum ternak ruminansia. Dalam penelitian ini dikaji sejauh mana daun sirih yang mengandung minyak atsiri tersebut dapat dimanfaatkan sebagai imbuhan pakan, melalui pengukuran aspek kinerja optimum mikroorganisme di dalam rumen secara in vitro. Hasil dari percobaan in vitro menjadi acuan untuk percobaan in vivo, untuk dapat mengkaji kemampuan daun sirih dalam menurunkan tingkat kejadian mastitis khususnya mastitis subklinis di peternakan rakyat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat member informasi mengenai pengobatan dan pencegahan serta metode pemberian tepung daun sirih untuk mengatasi mastitis subklinis yang lebih praktis tidak banyak mengeluarkan waktu dan biaya sehingga produksi susu meningkat.

Dokumen terkait