• Tidak ada hasil yang ditemukan

Addition of betel leaf meal (Piper betle L.) into ration for healing and preventing subclinical mastitis in dairy cow

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Addition of betel leaf meal (Piper betle L.) into ration for healing and preventing subclinical mastitis in dairy cow"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

ABDUL ALIM YAMIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

PENAMBAHAN TEPUNG DAUN SIRIH (

Piper Betle

L.) DALAM

RANSUM UNTUK MENGOBATI DAN MENCEGAH PENYAKIT

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penambahan tepung daun sirih (Piper betle L.) dalam ransum untuk mengobati dan mencegah penyakit mastitis subklinis pada sapi perah. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ABDUL ALIM YAMIN. Penambahan Tepung Daun Sirih (Piper betle L.) dalam Ransum untuk Mengobati dan Mencegah Penyakit Mastitis Subklinis pada Sapi Perah. Dibimbing oleh ASEP SUDARMAN dan DWIERRA EVVYERNIE.

Mastitis merupakan masalah yang menghabiskan biaya yang cukup tinggi di industri sapi perah, khususnya mastitis subklinis yang sulit dideteksi secara visual. Penggunaan antibiotik dalam mencegah dan mengobati mastitis subklinis memiliki kontribusi sebagai penyebab resistensi bakteri dan perpindahan residu dari ternak ke manusia. Antibakteri alternatif yang aman dibutuhkan untuk menggantikan penggunaan antibiotik sebagai feed aditif pada ternak ruminansia diantaranya daun sirih (Piper betle L.), tetapi kajian dalam alat pencernaan rumiansia belum dilakukan menggunakan daun sirih. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek dari penambahan tepung daun sirih (Piper betle L.) dalam ransum sapi perah sebagai upaya mencegah dan mengobati penyakit mastitis subklinis guna meningkatkan produksi susu.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu : 1) Kajian in vitro penggunaan tepung daun sirih sebagai antimastitis melalui pengujian fermentasi rumen dan viabilitas mikroorganisme rumen 2) Kajian in vivo penggunaan tepung daun sirih pada sapi perah laktasi penderita mastitis subklinis.

Kajian in vitro terdiri dari tiga jenis pengujian yaitu a) uji zona hambat tepung daun sirih terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus sp., b) uji pengaruh tepung daun sirih terhadap daya hidup mikroorganisme di dalam rumen, c) uji pengaruh tepung daun sirih terhadap fermentabilitas di dalam rumen. Lima level tepung daun sirih yaitu: 0, 2, 4, 6, dan 8% dari jumlah konsentrat, ditetapkan sebagai perlakuan, sedangkan sumber serat berupa rumput gajah, dengan pengulangan berupa pengambilan cairan rumen sebanyak empat kali. Variabel yang diukur yaitu: a) diameter zona hambat; b) jumlah populasi total protozoa dan bakteri rumen, dan c) produksi VFA, konsentrasi NH3, kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO). Pada kajian in vivo digunakan 12 ekor sapi perah laktasi ke-2 sampai ke-5 yang menderita mastitis subklinis berdasarkan identifikasi menggunakan IPB-1. Ternak tersebut dikelompokkan menjadi 5 perlakuan dengan masa penelitian selama 21 hari. Perlakuan level persentase penambahan tepung daun sirih di dalam ransum merupakan hasil optimasi dari kajian in vitro, dengan level pemberian sebagai berikut: 0, 2, dan 4% diberikan setiap hari; sedangkan level 2 dan 4% yang lain diberikan berselang satu hari. Parameter yang diukur adalah produksi susu, komposisi susu, jumlah sel somatis dan immunoglobulin (IgG) di dalam susu. Data uji zona hambat dianalisis berdasarkan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Data VFA, NH3, KCBK, KCBO, jumlah bakteri dan protozoa dianalisis berdasarkan rancangan acak kelompok dengan 5 perlakuan dan 4 kelompok. Sedangkan data produksi susu, jumlah sel somatis, komposisi susu, dan IgG dianalisis berdasarkan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan.

(5)

perlakuan. Peningkatan level tepung daun sirih nyata menurunkan jumlah protozoa rumen (P<0.05), namun tidak mempengaruhi populasi bakteri di dalam rumen. Produksi VFA nyata meningkat (P<0.05), namun tidak mempengaruhi konsentrasi NH3, KCBK, dan KCBO. Peningkatan produksi VFA disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang tinggi dengan penambahan 2% sehingga proses fermentasi berjalan optimal. Dari hasil ketiga uji in vitro tersebut diperoleh level terbaik yaitu 2% dan 4% yang akan digunakan dalam pengujian in vivo.

Hasil penelitian in vivo menunjukkan bahwa penambahan tepung daun sirih pada level 2% yang diberikan setiap hari nyata meningkatkan rata-rata produksi harian tidak terkoreksi lemak sedangkan pemberian berselang satu hari nyata (P<0.05) meningkatkan rata-rata produksi susu harian (FCM 4%). Penambahan tepung daun sirih nyata (P<0.05) menurunkan sel somatis. Selain itu, tepung daun sirih berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap komposisi susu, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap IgG. Penambahan tepung daun sirih dengan level 4 % setiap hari cenderung menurunkan rataan kualitas susu.

Dari hasil penelitian in vitro diperoleh level daun sirih yang terbaik yaitu bahwa level 2%. Dari hasil in vivo disimpulkan level pemberian 2% setiap hari dapat meningkatkan kualitas susu dan produksi susu tidak terkoreksi lemak sedangkan pemberian 2% selang sehari dapat meningkatkan produksi susu terkoreksi lemak (FCM 4%).

(6)

SUMMARY

ABDUL ALIM YAMIN. Addition of Betel Leaf Meal (Piper betle L.) into Ration for Healing and Preventing Subclinical Mastitis in Dairy Cow. Under Supervision of ASEP SUDARMAN and DWIERRA EVVYERNIE.

Mastitis is one of the most costly problems in dairy industry, particularly subclinical mastitis which is hard to be identified visually. The use of antibiotic to prevent and cure it had contribution on emergence of antibiotic resistant bacteria and their transmission from livestock to human. An alternative antibacterial compound is needed to replace antibiotic use as feed additive such as betel leaf (Piper betle L.), but it must be investigated its effect on rumen fermentation condition before it is fed to mastitis cow. The purpose of this research was to elaborate the addition of betel leaf in dairy cow ration as an effort to prevail over subclinical mastitis and increase milk production.

The research was consisted of two stages; 1) In vitro study of betel leaf meal (BLM) addition effect on antimastitis trough rumen fermentation test and viability of rumen microorganisms, 2) In vivo study of betel leaf meal addition into ration on lactating cow infected by subclinical mastitis. In vitro study consisted of three experiments i.e a) antibacterial activity test of BLM on Staphylococcus sp. growth, b) effect of BLM on rumen fermentation; and c) effect of BLM on viability of rumen microorganism. Five BLM level of 0, 2, 4, 6, and 8% in concentrate feed were used as treatment treatment and 4 rumen liquors were taken as replicates. Elephant grass was used as fiber source. Parameters observed were a) inhibition zone; b) number of rumen protozoa and bacteria; c) VFA production, NH3 concentration, dry matter (DM) and Organic Matter (OM) digestibility. In vivo study was conducted using 12 heads of lactating cows with lactation period 2 until 5. They were identified before using IPB-1 reagent. They were grouped into five treatments and treated for 21 days. The treatments were 0, 2% given daily, 4 % given daily, 2% given skip a day, and 4 % given skip a day.

The result showed that the highest the level of BLM addition, the highest the inhibition of BLM on Staphylococcus sp. growth before fermentation. Meanwhile addition of BLM did not differ among treatments after fermentation. The increment of BLM level significantly decreased rumen protozoa (P<0.05), but did not affect number of bacteria. VFA production significantly increase (P<0.01), but did not affect NH3 concentration, DM, and OM digestibility. The increment of VFA was due to the increment of bacteria population thus fermentation process optimally occurred when given 2% of BLM. The results of in vitro study indicated that 2% and 4% can be further used for in vivo experiment.

(7)

It is concluded that the best level of betel leaf in in vitro study is 2% of BLM in concentrate. Two percent of BLM daily can increase milk quality and milk production of fat-uncorrected meanwhile 2% addition given skip a day can increase milk production of fat-corrected (FCM 4%).

(8)

\

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

ABDUL ALIM YAMIN

PENAMBAHAN TEPUNG DAUN SIRIH (

Piper Betle

L.) DALAM

RANSUM UNTUK MENGOBATI DAN MENCEGAH PENYAKIT

(11)
(12)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Penambahan Tepung Daun Sirih (Piper betle L.) dalam Ransum untuk Mengobati dan Mencegah Penyakit Mastitis Subklinis pada Sapi Perah

Nama : Abdul Alim Yamin NIM : D152100011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Asep Sudarman, MRurSc Ketua

Diketahui oleh

Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2012 ini ialah Penambahan Tepung Daun Sirih (Piper betle L.) dalam Ransum untuk Mengobati dan Mencegah Penyakit Mastitis Subklinis pada Sapi Perah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Asep Sudarman MRurSc dan Ibu Dr Ir Dwierra Evvyernie A MS MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan yang sangat berharga. Kepada Bapak Dr Ir Idat Galih Permana, MScAgr sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran untuk penyempurnaan karya ilmiah ini. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan bantuan penelitian melalui Hibah Strategis Nasional Tahun 2011 serta bantuan dana dari Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya, penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak H Mahfuddin yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di Peternakan Sapi Perah miliknya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak dan Ibu penulis serta Kakek dan Nenek tercinta serta seluruh keluarga besar yang setiap saat mendoakan dan menyayangi penulis semoga Allah SWT senantiasa menjaga dan memberikan kesehatan kepada mereka semua. Kepada teman-teman INP 2010, terima kasih atas kerja sama dan bantuannya selama ini dan semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa ditulis satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang yang membacanya.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 9

1.1 Latar Belakang 9

1.2 Tujuan Penelitian 3

2 METODE 4

2.1 Kajian In vitro 4

2.1.1 Lokasi dan Waktu Peneltitian 4

2.1.2 Materi Penelitian 4

2.1.3 Prosedur Penelitian 4

2.1.2 Parameter 8

2.1.2 Analisa Data 8

2.2 Kajian In Vivo 8

2.2.1 Lokasi dan Waktu Peneltitian 8

2.2.2 Materi Penelitian 8

2.2.3 Prosedur Penelitian 8

2.2.2 Parameter 9

2.2.2 Analisa Data 11

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

3.1 Kajian In vitro 12

3.1.1 Aktivitas Antibakteri Tepung Daun Sirih Terhadap

Staphylococcus sp 12

3.1.2 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap

Kadar VFA 13

3.1.3 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap

Kadar NH3 14

3.1.4 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KCBO) 15 3.1.5 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap

Mikroorganisme Rumen 16

3.2 Kajian In Vivo 17

3.2.1 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Sel Somatis 18 3.2.2 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Komposisi

Susu 19

3.2.3 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap

(15)

3.2.4 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap

Produksi Susu 23

4 SIMPULAN DAN SARAN 26

4.1 Simpulan 26

4.2 Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

RIWAYAT HIDUP 44

DAFTAR TABEL

1 S

ampel kwartir sapi yang terinfeksi mastitis subklinis 9

2 K

orelasi skor CMT dengan jumlah sel somatis 9

3

Rataan diameter zona hambat tepung daun sirih terhadap bakteri 122

4 R

ataan kecernaan in vitro dari penambahan tepung daun sirih dengan level berbeda dalam konsentrat pada fermentasi in vitro. 155

5 R

ataan jumlah mikroorganisme dan pH dari penambahan tepung daun Sirih dengan Level Berbeda dalam Konsentrat pada Fermentasi in vitro. 16 6

Pengaruh penambahan tepung daun sirih terhadap jumlah sel somatis (x

1000 sel) 18

7

Pengaruh penambahan tepung daun sirih terhadap rataan komposisi susu (Lemak, Protein, BK dan BKTL) dari Minggu I sampai dengan

Minggu III. 20

8

Pengaruh penambahan tepung daun sirih terhadap Immunoglobulin G 22

9 P

engaruh penambahan tepung daun sirih terhadap rataan produksi susu tidak terkoreksi lemak dan terkoreksi lemak (FCM 4%) per kwartir (ml) 23

10 P

erubahan produksi susu (%) tidak terkoreksi lemak dan terkoreksi lemak (FCM 4%) dengan perlakuan penambahan tepung daun sirih 24

(16)

1

Rataan Produksi VFA total pada fermentasi in vitro rumput gajah dengan konsentrat yang ditambahkan tepung daun sirih dengan level

yang berbeda. 13

2

Rataan kadar NH3 pada fermentasi in vitro rumput gajah dengan konsentrat yang ditambahkan tepung daun sirih dengan level yang

berbeda. 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 A

nalisis sidik ragam diamater zona hambat pra fermentasi 31

2 A

nalisis sidik ragam diamater zona hambat pasca fermentasi 31

3 A

nalisis sidik ragam konsentrasi VFA total 32

4 A

nalisis sidik ragam konsentrasi NH3 33

5 A

nalisis sidik ragam Kecernaan Bahan Kering (KCBK) 33

6 A

nalisis sidik ragam Kecernaan Bahan Organik (KCBO) 33

7 A

nalisis sidik ragam total bakteri rumen 34

8 A

nalisis sidik ragam protozoa 34

9 A

nalisis sidik ragam SCC minggu ke- 1 35

10 A

nalisis sidik ragam SCC minggu ke- 2 35

11 A

nalisis sidik ragam SCC minggu ke- 3 35

12 A

nalisis sidik ragam lemak susu 36

13 A

nalisis sidik ragam protein susu 37

14 A

nalisis sidik ragam bahan kering (BK) Susu 37

15 A

nalisis sidik ragam bahan kering tanpa lemak (BKTL) 38

16 A

nalisis sidik ragam immunoglobulin g (IgG) Minggu Ke-1 39

17 A

(17)

18 A nalisis sidik ragam immunoglobulin g (IgG) Minggu Ke-3 39

19 A

nalisis sidik ragam perubahan produksi susu tidak terkoreksi lemak 0 –

minggu ke- 1 40

20 A

nalisis sidik ragam perubahan produksi susu tidak terkoreksi lemak

minggu ke- 1 sampai dengan minggu ke- 2 41

21 A

nalisis sidik ragam perubahan produksi susu tidak terkoreksi lemak

minggu ke- 2 sampai dengan minggu ke- 3 41

22 A

nalisis sidik ragam perubahan produksi FCM 4% 0 – minggu ke- 1 42

23 A

nalisis sidik ragam perubahan produksi FCM 4% minggu ke- 1 sampai

dengan minggu ke- 2 42

24 A

nalisis sidik ragam perubahan produksi FCM 4% minggu ke- 2 sampai

(18)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri sapi perah di Indonesia semakin berkembang akhir-akhir ini, sehingga dapat membantu dalam menumbuhkan lapangan pekerjaan dan perekonomian masyarakat. Selain itu, peternakan sapi perah juga berperan dalam mencerdaskan bangsa dengan produk unggulannya berupa air susu yang sangat dibutuhkan oleh manusia, khususnya anak-anak di masa pertumbuhan dan perkembangannya. Air susu merupakan minuman yang mengandung zat-zat nutrisi yang lengkap serta dibutuhkan oleh tubuh seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin.

Saat ini, produksi susu lokal baru mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri sebesar 20-30%, sebagian besar 70-80% masih harus diimpor dari luar negeri, khususnya Australia. Hal ini tentu saja dapat menguras cadangan devisa negara. Rendahnya produksi susu dalam negeri dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya jumlah populasi sapi yang rendah, manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang kurang tepat, dan penanggulangan penyakit yang belum optimum.

Mastitis (Radang Ambing) merupakan salah satu penyebab yang besar terhadap penurunan nilai ekonomi, penderitaan ternak, penurunan kualitas susu, dan mengurangi kebersihan (hygine) produk (Leitner et al. 2004; Halasa et al. 2009; Apparao et al. 2009). Produksi susu yang berkelanjutan tidak hanya bermaksud untuk menghasilkan efek dari pengobatan penyakit mastitis tetapi juga mengimplementasikan pencegahan yang efisien (Chagunda et al. 2006), sehingga pencegahan merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk mengendalikan penyakit mastitis.

Mastitis adalah penyakit yang dikenal dengan istilah penyakit multifaktor yang dikontrol menggunakan berbagai macam manejemen dan melibatkan keterampilan khusus. Mastitis cenderung disebabkan oleh interaksi antara agen penyebab (bacteria), inang (host) dan lingkungan (Rodrigues et al. 2005). Mastitis pada sapi perah merupakan radang yang bisa bersifat akut, subakut maupun kronis, yang ditandai oleh kenaikan sel somatis di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai perubahan patologis pada kelenjar mammae (Rahayu 2010) dan peningkatan jumlah sel somatis. Sel somatis yang terdapat dalam susu sapi segar masih dikategorikan normal bila dalam jumlah sedikit (Harmon 1993), akan tetapi jumlahnya akan berlebih ketika terjadi infeksi oleh bakteri. Oleh karena itu, Perhitungan jumlah sel somatis digunakan secara luas untuk mendeteksi mastitis klinik dan subklinik (Green 2004).

(19)

2 susu yang dihasilkan. Sapi yang terinfeksi penyakit mastitis ditandai dengan penurunan produksi susu dan yang lebih merugikan adalah menurunnya kualitas air susu. Menurunnya kualitas air susu dapat dirasakan oleh konsumen dengan menurunnya cita rasa (flavor) dan meningkatnya sel somatis dalam susu. Kerugian terbesar terjadi karena rendahnya produksi susu, meningkatnya susu yang terbuang (cita rasa menurun), biaya obat-obatan dan dokter hewan, pengafkiran sapi muda yang semuanya memperbesar terjadinya kerugian (Rodrigues et al. 2005).

Penyakit mastitis di kalangan peternak sapi perah tidak asing lagi, khususnya yang bersifat klinis, dimana gejala-gejala penyakit ini nampak dengan jelas secara kasat mata yang ditandai dengan perubahan bentuk pada ambing yang tidak lazim seperti membesar, panas, berwarna merah, dan dirasakan nyeri oleh sapi. Sedangkan pada kasus mastitis subklinis, sapinya tidak menunjukkan gejala sakit, tapi terjadi penurunan produksi dan kualitas susu sehingga peternak sangat dirugikan dengan adanya kejadian penyakit tersebut.

Kasus mastitis terutama mastitis subklinis di Indonesia pada tahun 2004, tercatat sekitar 65 - 75% dan terjadi peningkatan pada tahun 2006 menjadi sekitar 75% – 83% (Sudarwanto et al. 2006). Hal ini menunjukkan usaha pengendalian yang terstandar baik dari pemerintah, koperasi maupun individu peternak belum ada. Hampir 70% kerugian akibat penurunan produksi susu disebabkan mastitis subklinis. Kerugian ekonomis yang diakibatkan mastitis antara lain: a). Penurunan produksi susu per kwartir per hari antara 9%–45,5% (Sudarwanto et al. 1993; Sudarwanto 1999), b). Penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30%-40% (Sudarwanto 1999) dan penurunan kualitas hasil olahan susu (Hamman & Fehlings 2002; Hamann 2005). c). Peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal (Seegers et al. 2003; Shim et al. 2004).

Usaha pencegahan mastitis dapat dilakukan yaitu hyginitas proses pemerahan, kebersihan mesin pemerah harus selalu terjaga, teat dipping (dengan antiseptik) pasca pemerahan. Pengobatan mastitis yang dilakukan dari awal munculnya sampai sekarang yaitu dengan penggunaan antibiotik berspektrum luas. Pengobatan mastitis khusunya mastitis klinis dilakukan dengan menyuntikkan secara langsung pada puting atau dikenal istilah intramammary infusion. Namun penggunaan senyawa antibiotik sebagai bahan additive dalam pakan ternak di beberapa negara telah dilarang. Hal ini disebabkan karena adanya residu dari antibiotik yang dapat berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsi produk peternakan. Selain itu, antibiotik dapat menciptakan mikroorganisme yang resisten dalam tubuh manusia atau ternak terutama bakteri-bakteri patogen. Maka salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah bahan herbal yang aman dan alami untuk ternak dan manusia diantaranya daun sirih (Piper betle L.) yang dapat digunakan sebagai feed additive dalam ransum sapi perah.

(20)

3 sebagai feed additive yang diduga dapat menekan dan membunuh berbagai bakteri penyebab mastitis seperti Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. Penelitian sebelumnya telah mengamati efektifitas salep dari daun sirih yang dioleskan pasca pemerahan (sapi perah) untuk menggantikan fungsi dari antiseptik yang digunakan selama ini (Zalizar 2009). Oleh sebab itu, pemanfaatan daun sirih sebagai imbuhan pakan perlu dikaji untuk untuk menghindarkan sapi dari penyakit mastitis, khususnya mastitis subklinis.

Beberapa herbal yang berfungsi sebagai anti bakteri dapat mengakibatkan penurunan populasi mikroorganisme in vitro (Pattnaik et al. 1996). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian yang menggunakan minyak atsiri dimana tidak terjadi pengaruh produksi VFA, konsentrasi NH3, jumlah protozoa, dan aliran protein mikroba di dalam rumen (Wallace et al. 2002).

Penggunaan daun sirih selama ini hanya digunakan berupa ekstrak, belum digunakan sebagai suplemen di dalam ransum ternak ruminansia. Dalam penelitian ini dikaji sejauh mana daun sirih yang mengandung minyak atsiri tersebut dapat dimanfaatkan sebagai imbuhan pakan, melalui pengukuran aspek kinerja optimum mikroorganisme di dalam rumen secara in vitro. Hasil dari percobaan in vitro menjadi acuan untuk percobaan in vivo, untuk dapat mengkaji kemampuan daun sirih dalam menurunkan tingkat kejadian mastitis khususnya mastitis subklinis di peternakan rakyat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat member informasi mengenai pengobatan dan pencegahan serta metode pemberian tepung daun sirih untuk mengatasi mastitis subklinis yang lebih praktis tidak banyak mengeluarkan waktu dan biaya sehingga produksi susu meningkat.

1.2 Tujuan Penelitian

(21)

4

2

METODE

Penelitian ini terdiri atas 2 (dua) tahap yaitu : 1) Kajian penggunaan tepung daun sirih sebagai antimastitis di dalam rumen secara in vitro melalui pengujian fermentabilitas rumen dan viabilitas mikroorganisme rumen; 2) Kajian penggunaan tepung daun sirih in vivo pada sapi perah laktasi penderita mastitis subklinis. Kajian in vitro terdiri dari tiga jenis pengujian yaitu a) uji zona hambat tepung daun sirih terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus sp., b) efek tepung daun sirih terhadap fermentabilitas di dalam rumen. c) efek tepung daun sirih terhadap daya hidup mikroorganisme di dalam rumen. Lima level tepung daun sirih yaitu: 0, 2, 4, 6, dan 8% dari jumlah konsentrat, ditetapkan sebagai perlakuan, sedangkan sumber serat berupa rumput gajah, dengan pengulangan berupa pengambilan cairan rumen sebanyak empat kali.

2.1 Kajian Penggunaan Tepung Daun Sirih Sebagai Antimastitis di dalam Rumen Secara In vitro Melalui Pengujian Fermentabilitas Rumen dan

Viabilitas Mikroorganisme Rumen

2.1.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari bulan Juni sampai dengan September 2012. Pengujian aktivitas antibakteri untuk melihat efektivitas daun sirih dengan metode difusi disc di Laboratorium Mikrobiologi Fisiologi dan Biokimia Nutrisi dan pengujian fermentasi in vitro untuk melihat pengaruh daun sirih terhadap fermentabilitas rumen dan daya hidup bakteri rumen di Laboratorium Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

2.1.2 Materi Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung daun sirih, cairan rumen, Staphylococcus sp., Media agar, Phospate Buffer Solution (PBS), aquades, Mc Dougall, HgCl2, H2SO4 15%, Phenolpthalin, Na0H 0.5 N, Na2CO3, vaselin, asam borat Na2CO3, H2SO4 0.005 N, Mc Dougall, HgCl2, H2SO4 15% , Phenolpthalin, Na0H 0.5 N, Na2CO3, vaselin, asam borat, Na2CO3, H2SO4 0.005 N, pepsin-HCl 0,2%, TBFS dan gas CO2. Alat yang digunakan adalah incubator, mistar, ose, petri disc, shaker bath, tabung fermentor, ph meter, destilator, kertas saring Whatman No.41, cawan porselin, tanur listrik, counting chamber dan syrinc.

2.1.3 Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) pengujian yaitu :

(22)

5 Uji sensitivitas (Carter 1979) terdiri dari 5 (lima) level tepung daun sirih (0, 2, 4, 6 dan 8% dari konsentrat). Metode pembuatan suspensi bakteri Staphylococcus sp. dibiakkan terlebih dahulu pada media Blood Agar dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Jika terbentuk koloni, maka koloni bakteri tersebut diambil dengan ose steril kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi yang telah berisi lima mililiter PBS. Kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama dua jam, maka terbentuklah kekeruhan yang setara dengan standar Mc Farland 1 dengan konsentrasi bakteri 3 x 108 / ml. Jumlah bakteri telah memenuhi syarat untuk uji kepekaan yaitu : 105 – 108/ ml . Setelah itu, tepung daun sirih dan konsentrat yang dibuat sebelumnya dilarutkan dalam aquades (5 ml) kemudian diteteskan pada sumur pada media agar. Sedangkan pengujian pasca fermentasi selama 4 jam, cairan yang terbentuk disaring kemudian diteteskan pada media agar. Selanjutnya dinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 x 24 jam. Parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu terbentuknya daerah hambatan pertumbuhan bakteri yang ada di sekeliling sumur berupa ukuran diameter daerah jernih.

b) Pengaruh tepung daun sirih terhadap fermentabilitas rumen

Metode fermentasi in vitro diawali dengan menimbang konsentrat (mengandung daun sirih 0, 2, 4, 6 dan 8%) dan hijauan sebanyak 0.5 g yang telah dikeringkan pada suhu 60 oC ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam tabung fermentor, lalu dimasukkan dalam Shakker water bath suhu 39 oC. Kemudian ditambahkan larutan Mc Dougall (pH 8 – 8.3) sebanyak 40 ml dan cairan rumen sebanyak 10 ml. Selama percobaan, cairan rumen dialiri gas CO2 selama 30 detik lalu ditutup. Kemudian diinkubasi selama 4 jam. Setelah 4 jam, tabung fermentor diangkat dari shakker water bath, kemudian diberi larutan HgCl2 jenuh sebanyak 2 tetes. Lalu disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 4000 rpm. Setelah itu, pH cairan rumen diukur menggunakan pH meter. Substrat akan terpisah menjadi endapan di bawah untuk pengukuran VFA dan NH3.

Metode yang digunakan dalam pengujian VFA adalah Steam Destilation Method. Pertama, supernatan diambil sebanyak 5 ml, kemudian segera dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Setelah itu H2SO4 15% ditambahkan dan segera ditutup dengan tutup karet yang mempunyai lubang dan dihubungkan labu pendingin. Setelah itu, tabung destilasi dimasukkan ke dalam labu penyulingan yang berisi air mendidih (dipanaskan terus selama destilasi). Uap air panas akan akan mendesak VFA dan akan terkondensasi dalam pendingin. Air yang terbentuk ditampung dalam labur Erlenmeyer yang berisi 5 ml Na0H 0.5 N sampai mencapai 300 ml. Indikator PP (Phenolpthalin) ditambahkan sebanyak 2 – 3 tetes dan di titrasi dengan HCl 0.5 N sampai warna titrat berubah merah jambu menjadi tidak berwarna.

(23)

6 kemudian ditempatkan di salah satu ujung alur cawan Conway. Setelah itu larutan Na2CO3 jenuh ditempatkan pada salah satu ujung cawan Conway bersebelahan dengan supernatan (tidak boleh dicampur). Selanjutnya larutan asam borat berindikator warna m erah sebanyak 1 ml ditempatkan dalam cawan Conway. Cawan yang telah diolesi vaselin ditutup rapat hingga kedap udara. Larutan Na2CO3 dicampur dengan supernatan hingga merata dengan cara menggoyang-goyangkan dan memiringkan cawan tersebut. Setelah itu, dibiarkan selama 24 jam dalam suhu kamar, setelah 24 jam pada suhu kamar tutup cawan dibuka, asam borat berindikator dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai terjadi perubahan warna dari merah menjadi biru.

Kecernaan bahan kering dan bahan organik dilakukan dengan teknik in vitro berdasarkan metode Tilley dan Terry (1963). Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0.5 gram sampel ditambahkan 40 ml larutan McDougall dan 10 ml cairan rumen. Tabung dimasukkan ke dalam shaker bath dengan suhu 39oC dan dialiri dengan CO2 selama 30 detik, cek pH (6.5-6.9) dan kemudian ditutup dengan karet berventilasi, dan difermentasi selama 48 jam. Setelah 48 jam, buka tutup karet fermentor dan ditambahkan 5 tetes HgCl2 jenuh untuk menghentikan aktivitas mikroba. Setelah aktivitas mikroba berhenti tabung fermentor dicentrifuge dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 min. Substrat (residu) akan terpisah menjadi endapan dibagian bawah dan supernatan yang bening berada dibagian atas.

Residu hasil centrifuge pada kecepatan 4.000 rpm selama 15 menit ditambahkan 50 ml larutan pepsin-HCl 0.2%. Campuran ini lalu diinkubasikan selama 48 jam tanpa tutup karet. Setelah 48 jam tabung fermentor dicentrifuge dengan kecepatan 4.000 rpm selama 15 menit. Residu disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 yang telah diketahui bobot kosongnya dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Bahan kering didapat dengan cara dikeringkan dalam oven 105oC selama 8 jam. Selanjutnya bahan dalam cawan dipijarkan atau diabukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450-600oC untuk mengetahui bahan organik yang tercerna. Sebagai blanko dipakai residu asal fermentasi tanpa sampel bahan pakan.

KCBK dan KCBO dihitung dengan formula :

KCBK = BK sampel (g) - [BK residue (g) – BK blanko (g)]

BK sampel x 100%

KCBO = BO sampel (g) - [BO residue (g) – BO blanko (g)]

(24)

7

c) Pengaruh Tepung Daun Sirih Terhadap Daya Hidup Mikroorganisme Rumen Populasi bakteri dihitung dengan metode pencacahan koloni bakteri hidup (Suryahadi, 1990). Prinsip kerjanya adalah cairan rumen diencerkan secara serial, lalu disimpan dalam tabung Hungate. Media tumbuh yang digunakan untuk menghitung populasi bakteri total adalah media Brain Heart Infusion (BHI). Pembuatan media BHI yaitu dengan cara mencampurkan bahan-bahan seperti BHI powder 3.7 g, glukosa 0.05 g, sellulobiosa 0.05, pati 0.05 g, cystein 0.05, hemin 100 µl, resazurin 0.005 dan agar 1.5, kemudian dimasukkan ke dalam botol yang telah disterilkan dengan autoclave. Campuran tersebut dipanaskan sampai terjadi perubahan warna dari coklat kekuningan menjadi coklat kemerahan dan berubah kembali menjadi coklat kekuningan, setelah itu didinginkan dan dialiri dengan gas CO2. Media BHI anaerob dimasukkan ke dalam tabung Hungate yang sebelumnya telah diisi bacto agar sebanyak 0.150 gram dengan volume masing-masing 4.9 ml. Sampel (cairan rumen yang telah mengalami perlakuan dan inkubasi 4 jam) dipipet 0.05 ml dimasukkan ke dalam media pengencer. Pengenceran dilakukan sebagai berikut: 0.05 ml kultur bakteri dimasukkan ke dalam 4,95 ml media pengencer. Selanjutnya dari media pengencer diambil kembali sebanyak 0.05 ml, lalu dimasukkan ke dalam 4.95 ml media pengencer berikutnya, sehingga terdapat pengenceran 10-1 10 -2

, 10-3, 10-4. Dari masing-masing seri tabung pengenceran diambil sebanyak 0.1 ml, kemudian dimasukkan ke media agar dan diputar sambil dialiri air pada roller, agar media dapat menjadi padat secara merata. Selanjutnya bakteri diinkubasi selama 24 jam. Setelah itu, setiap koloni bakteri dihitung pada setiap tabung menggu nakan marker.

Keterangan : x = Tabung seri pengenceran ke-x

Perhitungan protozoa dilakukan setelah fermentasi in vitro selama 4 jam, cairan rumen diambil dari setiap tabung fermentor 1 ml dan dimasukkan botol film yang telah diberikan larutan Tryphan Blue Formaline Salin (TBFS) sebanyak 1 ml. Setelah itu, masing-masing ditutup dan didiamkan selama satu malam. Kemudian dilakukan perhitungan dengan cairan rumen diambil dengan menggunakan syrinc dan diinjeksikan di antara counting chamber dan cover glass. Selanjutnya dilakukan perhitungan di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 x.

Keterangan : 0.2 = tinggi chamber

Protozoa = ∑ Protozoa

(25)

8 0.0625 = Lebar kotak Chamber

16 = Jumlah kotak Chamber 2.1.4 Parameter

Parameter yang diukur yaitu: a) diameter zona hambat; b) produksi VFA, konsentrasi NH3, kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO); c) jumlah populasi total protozoa dan bakteri rumen.

2.1.5 Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA), data aktivitas antibakteri dianalisis berdasarkan rancangan acak lengkap dan data VFA, NH3, KCBK, KCBO, total bakteri dan protozoa dianalisis berdasarkan rancangan acak kelompok. Jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (Gasperz, 1994).

2.2 Kajian Penggunaan Tepung Daun Sirih In Vivo Pada Sapi Perah Laktasi Penderita Mastitis Subklinis

2.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama satu bulan pada bulan Desember 2012. Percobaan in vivo ini dilakukan di peternakan sapi perah rakyat milik H. Mahfuddin di daerah Kebun Pedes, Bogor dan dilanjutkan di Laboratorium Kesmavet dan Mikrobiologi Medik Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

2.2.2 Materi Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung daun sirih, sapi perah (Tabel 1), pakan (rumput, ampas tahu, ampas tempe dan konsentrat), reagent IPB 1, pakan, butirometer, H2SO4, alkohol, IgG peroksidase, Phosphate buffered saline tween (PBST), anti IgG Bovine. Alat yang digunakan adalah paddle, gelas ukur, timbangan.

2.2.3 Prosedur Percobaan

Pada kajian in vivo digunakan 12 ekor sapi perah laktasi ke-2 sampai ke-5 yang menderita mastitis subklinis berdasarkan identifikasi menggunakan IPB-1. Perlakuan yang akan diterapkan berupa pemberian daun sirih yang dicampurkan ke dalam konsentrat dengan aras :

a) P1: tepung daun sirih 0 %

(26)

9 e) P 5: tepung daun sirih 4 %, pemberian dua hari sekali

Tabel 1 Sampel kwartir sapi yang terinfeksi mastitis subklinis

No. Sapi Kwartir Perlakuan

1 2 3 4

1 +++ +++ Tanpa perlakuan (0)

2 +++ +++ Tanpa perlakuan (0)

3 +++ +++ 2% setiap hari (2H)

4 +++ +++ 2% selang sehari (2S)

5 +++ +++ +++ 4 % selang sehari (4S)

6 +++ 4 % selang sehari (4S)

7 +++ 2% selang sehari 2S

8 +++ 4 % setiap hari (4H)

9 +++ +++ 4 % setiap hari (4H)

10 +++ 4 % setiap hari (4H)

11 +++ +++ 2% setiap hari (2H)

12 +++ 2% selang sehari (2S)

Simbol positif (+) menunjukkan derajat mastitis (skor mastitis) yang diderita.

Tabel 2 Korelasi skor CMT dengan jumlah sel somatis Skor CMT Rataan Jumlah Sel

Somatis per ml Keterangan Hasil Reaksi N (Negatif) 0 – 200.000 Tidak ada pengentalan, homogen. T (Sedikit) 200.000 – 400.000 Sedikit mengental, reaksi hilang

dalam 10 detik.

Positif 1 (+) 400.000 – 1.200.000 Mengental jelas, tidak ada pembentukan gumpalan (gel). Positif 2 (++) 1.200.000– 5.000.000 Mengental dengan cepat, mulai

membentuk gel (ada di dasar cup). Positif 3 (+++) > 5.000.000 Gel terbentuk naik ke permukaan,

dengan puncak di atas campuran. Sumber : McFadden (2011)

2.2.4 Parameter yang diukur

Pada penelitian in vivo parameter yang diukur adalah sebagai berikut : a) Produksi Susu

(27)

10

b) Pengujian Komposisi Air Susu

Pengujian kualitas dari komposisi air susu dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan tepung daun sirih terhadap kualitas susu sebab penyakit mastitis dapat menurunkan kualitas dari air susu. Pengujian meliputi kadar lemak, kadar protein, kadar bahan kering, dan bahan kering tanpa lemak.

Kadar lemak susu diukur dengan menggunakan metode Gerber (Sanjaya et al. 2009). Sebanyak 10 ml H2SO4 pekat (91–92%) dimasukkan ke dalam tabung butirometer, melalui dinding tabung tersebut, secara perlahan-lahan dimasukkan susu sebanyak 10.75 ml, kemudian ditambahkan 1 ml alkohol. Tabung ditutup dengan sumbat karet kemudian dikocok dengan memutar seperti angka delapan sampai homogen. Selanjutnya tabung disentrifuse selama 3 menit dengan putaran 1200 rpm, kemudian direndam dalam penangas air panas 65 oC selama 5 menit. Kadar lemak susu dibaca pada skala butirometer dalam satuan persen.

Terdapat korelasi antara kadar lemak dan kadar protein susu, maka perhitungan kadar protein susu dapat dihitung jika kadar lemak diketahui dengan rumus sebagai berikut (Sanjaya et al. 2009) :

Kadar bahan kering (BK) susu dihitung dengan persamaan Fleischmann (Sanjaya et al. 2009) diperlukan data kadar lemak dan berat jenis susu 27.5 oC. Rumus yang digunakan adalah :

Keterangan : L = Kadar lemak susu (%) BJ = Berat jenis susu pada 27.5 oC

Kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu dihitung dengan rumus sebagai berikut :

c) Perhitungan sel somatis

Perhitungan sel somatis dilakukan untuk mengetahui jumlah sel somatis dari pengaruh perlakuan yang diberikan, sehingga dapat diketahui efektivitas dari

Produksi Susu = (0.4 x Produksi susu) + (15 X Produksi lemak)

BKTL = Bahan kering susu (%) – Lemak susu (%) BK = (1.311 x L) + 2.738 x 100 (BJ – 1) BJ

Kadarprotein (%) = L

2 + 1.4

(28)

11 tepung daun sirih dalam mengurangi jumlah sel somatis dalam susu sebagai indikator adanya infeksi bakteri penyebab mastitis subklinis. Metode Breed dilakukan dengan mengambil 0.01 ml sampel susu (menggunakan pipet Breed), disebarluaskan di atas bidang 1 cm2 (di atas gelas objek bebas lemak). Preparat ditunggu kering, lalu difiksasi di atas nyala api. Selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan Breed. Setelah dikeringkan, JSS/ml dapat dihitung dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran 1000 x (Sudarwanto dan Sudarnika 2008).

d) Pengujian konsentrasi Immunoglobulin G

Pengukuran konsentrasi immunoglobulin bertujuan untuk mengetahui adanya peningkatan level IgG dari selama perlakuan tepung daun sirih. Konsentrasi immunogobulin diuji dengan metode ELISA (Burgess 1995). Plate dicoating dengan anti IgG Bovine 1 : 5000 dalam buffer bicarbonate pH 9.6, selanjutnya diinkubasi semalam pada tempratur 4 oC. Masing-masing sumuran dicuci tiga kali dengan 300 µl 0.05 % Phosphate buffered saline tween (PBST) 20, kemudian diblok dengan 0.5 % skim milk sebanyak 100 µl PBS, lalu diinkubasi 1 jam pada tempratur 37 oC. Kemudian dicuci tiga kali dengan 300 µl 0.05 % PBST20. Selanjunya, ditambahkan sampel yang telah diencerkan (1 : 1000 dalam PBS), sebagai blanko digunakan PBS. Setelah itu, diinkubasi pada tempratur 37 oC selama 1 jam. Kemudian dicuci tiga kali dengan 300 µl 0.05 % PBST20. Selanjunya conjugat (anti IgG peroksidase) sebanyak 100 µl dan diinkubsai pada tempratur 37 oC selama 1 jam. Setelah itu, dicuci tiga kali dengan 300 µl 0.05 % PBST20. Selanjutnya, ditambahkan subtrat dan diinkubasi selama1 jam. Hasil dibaca dengan mikroplat reader pada panjang gelombang 492 nm. 2.2.5 Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA berdasarkan rancangan acak lengkap. Jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan (Gasperz, 1994).

Rancangan Acak Lengkap (RAL), selanjutnya tiap perlakuan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (Gaspersz, 1991). Model linier yang digunakan sebagai berikut :

Yij = µ + I + ɛij Keterangan :

Yij : Rata-rata Hasil Pengamatan dari Parameter pada ke–i dengan ulangan j µ : Rata-rata pengamatan

I : Pengaruh Perlakuan ke – i

(29)

12

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kajian In vitro Penambahan Tepung Daun Sirih Dalam Ransum Sapi Perah Sebagai Antimastitis Terhadap Aktivitas Antibakteri, Fermentabilitas

dan Daya Hidup Mikroorganisme Rumen

3.1.1 Aktivitas antibakteri Tepung Daun Sirih Terhadap Staphylococcus sp. Perlakuan level tepung daun sirih dalam ransum berpengaruh nyata (P<0.05) pada pengujian daya hambat terhadap Staphylococcus sp. sebelum fermentasi. Hasil pengujian aktivitas antibakteri tepung daun sirih dengan level 0, 2, 4, 6, dan 8% dalam masing-masing menghasilkan diameter hambat 0.0, 3.9, 15.9, 18.1, dan 22.0 mm. Diameter hambat tersebut seiring dengan penambahan level tepung daun sirih (Tabel 2). Adanya diameter hambat tersebut diakibatkan oleh zat aktif yang terkandung dalam daun sirih yang bersifat antibakteri.

Tabel 3 Rataan diameter zona hambat tepung daun sirih terhadap bakteri Staphylococcus sp.

Pra Fermentasi Rumen Pasca Fermentasi Rumen Level Tepung

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

(30)

13 Setelah dilakukan fermentasi in vitro, level 2% menghasilkan diameter hambat tertinggi di antara perlakuan (tepung daun sirih dalam konsentrat), demikian pula bila dibandingkan dengan kontrol (0 %). Sedangkan perlakuan 4, 6, dan 8% menghasilkan diameter zona bening yang sama pasca fermentasi yaitu masing-masing berturut-turut 15.3, 15.8, dan 14.6 mm. Peningkatan diameter zona hambat perlakuan 2% setelah fermentasi diduga disebabkan oleh terlepasnya zat aktif dalam proses fermentasi sehingga potensi untuk membunuh bakteri menjadi lebih tinggi. Sedangkan penurunan diameter zona hambat pada perlakuan 4, 6, dan 8% disebabkan oleh adaptasi bakteri rumen ketika level ditingkatkan sehingga aktivititas antibakteri daun sirih menurun setelah fermentasi. Penurunan tersebut disebabkan oleh degradasi minyak atsiri di dalam rumen. McIntosh et al. (2003) melaporkan bahwa terjadi resistensi dan sensitivitas pada bakteri rumen ketika ditumbuhkan pada media yang mengandung minyak atsiri.

3.1.2 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Produksi Volatile Fatty Acid (VFA)

Hasil pengukuran VFA total terhadap pada fermentasi in vitro dengan pemberian rumput gajah dan konsentrat sapi perah yang ditambahkan dengan tepung daun sirih dengan level yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 1. Penambahan level tepung daun sirih memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap rata-rata produksi VFA total di antara perlakuan. Kadar VFA yang tertinggi yaitu pada perlakuan 2%, tetapi kadar VFA menurun seiring dengan penambahan level tepung daun sirih pada level 4, 6, dan 8%.

Penurunan kadar VFA total pada perlakuan 4, 6, dan 8% disebabkan oleh kandungan zat aktif antibakteri dari daun sirih yang lebih banyak. Salah satu kandungan zat aktif yang dominan dan memiliki kemampuan menghambat bakteri adalah eugenol (Benchaar et al. 2007). Lebih lanjut Benchaar et al. (2008)

(31)

14 mengemukakan bahwa eugenol minyak atsiri tidak berpengaruh terhadap konsentrasi VFA total kecuali pada dosis yang tinggi. Penggunaan pada dosis tinggi dapat menurunkan konsentrasi VFA total. Castillejos et al. (2006) melaporkan bahwa eugenol dan thymol menurunkan total konsentrasi VFA dan mengubah profil VFA, selanjutnya penggunaan eugenol 500 mg/L mengubah profil VFA dengan meningkatkan proporsi propionat sebesar 31%.

Senyawa aktif thyme, oregano, cinnamon juga dapat mempengaruhi ekologi rumen dengan menghambat perkembangan bakteri pendegradasi serat khususnya Fibrobacter succinogenes dan Ruminococcus flavefaciens sehingga dapat menurunkan produk fermentasi jika penggunaannya dalam jumlah yang besar (Lin et al. 2012). Pada level tertentu penambahan tepung daun sirih dapat memberikan efek positif dan dan efek negatif. Pada level yang tinggi tepung daun sirih dapat membunuh bakteri dan pada level yang rendah dapat memodulasi dan berinteraksi dengan bakteri. Peningkatan bakteri rumen dapat berpengaruh positif terhadap produksi VFA dan produk fermentasi lainnya, sehingga penggunaannya pada ternak ruminansia perlu dioptimalkan untuk hasil yang lebih baik.

3.1.3 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Produksi Amonia (NH3)

Hasil pengukuran produksi NH3 terhadap fermentasi in vitro dengan rumput gajah dan konsentrat sapi perah yang ditambahkan dengan tepung daun sirih dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang nyata terhadap rataan kadar NH3 dengan pemberian tepung daun sirih.

Penggunaan 2% tepung daun sirih dalam konsentrat cenderung meningkatkan kadar NH3 (10.17 mM) dibandingkan dengan kontrol (9.88 mM) (Gambar 2). Pada level 4, 6, dan 8% cenderung lebih rendah dari pada kontrol, masing-masing menghasilkan rataan NH3 yaitu 9.65 mM, 9.02 mM, dan 8.62 mM. Benchaar et al. (2008) melaporkan bahwa saat ini beberapa penelitian telah menunjukkan faktor seperti komposisi kimia dan dosis minyak atsiri dapat mempengaruhi minyak atsiri terhadap metabolisme N rumen.

(32)

15

Faktor yang menyebabkan penurunan kadar NH3 pada penggunaan tepung daun sirih akibat banyak bakteri Hyper-Ammonia Production (HAP) terbunuh sehingga degradasi protein pakan di dalam rumen menurun. Sebagaimana diungkapkan oleh Patra (2011) dan Russell & Houlihan (2003) bahwa penurunan konsentrasi NH3 dan aktivitas deaminase disebabkan oleh penurunan jumlah bakteri, khususnya bakteri HAP. Wallace et al. (2002) melaporkan bahwa bakteri yang paling sensitif terhadap minyak atsiri adalah spesies HAP, yaitu Prevotella spp. dan Ruminobacter amylophilus dimana bakteri HAP memiliki kemampuan yang tinggi menghasilkan NH3 dari protein pakan. Namun penurunan degradasi protein pakan oleh minyak atsiri dapat meningkatkan protein by-pass sehingga meningkatkan suplai protein total pada ternak (Lin et al. 2012). Dengan demikian, penggunaan minyak atsiri pada ternak ruminansia memiliki efek yang positif sepanjang tidak menurunkan produk fermentasi dalam jumlah yang besar.

3.1.4 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KCBO) Data pengaruh penambahan tepung daun sirih terhadap KCBK dan KCBO dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata di antara perlakuan terhadap KCBK dan KCBO. Namun rataaan KCBK dan KCBO dengan penambahan tepung daun sirih dalam konsentrat lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (0%). Level daun sirih 2% dari konsentrat lebih tinggi dari pada 4, 6, dan 8% dengan kata lain peningkatan level daun sirih dapat menurunkan KCBK dan KCBO.

Nilai KCBK dan KCBO cenderung lebih tinggi dengan level daun sirih yang rendah. Hasil penelitian Castillejos et al. (2006) melaporkan bahwa penggunaan Eugenol 50 mg/L dapat meningkatkan KCBK dan KCBO, nilai yang diperoleh adalah 53.90 dan 51.40% dibandingkan dengan kontrol (51.0 dan 49.3%). Patra dan Yu (2012) melaporkan bahwa penggunaan minyak atsiri tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering dan neutral detergent fiber (NDF), tetapi penggunaan minyak atsiri dengan dosis yang tinggi dapat menurunkan kecernaan.

Tabel 4 Rataan Kecernaan in vitro dari Penambahan Tepung Daun Sirih dengan Level Berbeda dalam Konsentrat pada Fermentasi in vitro

Kecernaan in vitro

Level Tepung Daun Sirih

0% 2% 4% 6% 8%

(33)

16 Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan tepung daun sirih tidak memodifikasi fermentabilitas rumen. Namun pola yang terjadi pada kecernaan in vitro sama dengan hasil VFA, yang mana dengan penggunaan 2% cenderung lebih tinggi dengan perlakuan lainnya. Oleh sebab itu, penggunaan tepung daun sirih hanya dapat dan aman digunakan pada level 2%.

3.1.5 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Mikroorganisme Rumen dan Derajad Keasaman (pH)

Data pengaruh penambahan tepung daun sirih terhadap total bakteri, derajad keasaman (pH) dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai pH rumen tidak dipengaruhi oleh penambahan tepung daun sirih pada percobaan in vitro. Pada fermentasi in vitro nilai rataan pH cairan rumen yaitu 6.7 pada setiap perlakuan sehingga nilai pH tersebut dapat mendukung kehidupan mikroorganisme dalam rumen. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian Lin et al. (2012) bahwa pH rumen tidak dipengaruhi oleh dosis dan jenis minyak atsiri.

Tabel 5 Rataan pH dan Total Bakteri Rumen dari Penambahan Tepung DaunSirih dengan Level Berbeda dalam Konsentrat pada Fermentasi in vitro

Parameter Level Tepung Daun Sirih

0% 2% 4% 6% 8%

pH 6.7 6.7 6.7 6.7 6.7

∑ Bakteri (cfu/mL) 7.5x106 1.2x107 6.4x106 2.8x106 3.8x106 ∑ Protozoa (cfu/ml) 2.3x105a 7.9x104b 8.3x104b 5.5x104b 4x104b a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Asam yang diproduksi dalam fermentasi secara teori mampu menurunkan pH cairan rumen menjadi 2.5–3.0, namun pada kondisi normal pH dapat dipertahankan pada nilai 5.5–6.5 (McDonald et al. 1981). Nilai pH normal yaitu 5.5–6.5 (dengan pakan biji-bijian/konsentrat) dan 6–7 (pakan hijauan). Pitt et al. (1996) melaporkan bahwa pH rumen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, kecernaan dan konsentrasi VFA.

(34)

17 (McDonald et al. 1981) sedangkan menurut Koike dan Kobayashi (2009) jumlah bakeri rumen 1010–1011 per ml cairan rumen.

Patra dan Yu (2012) melaporkan bahwa penggunaan minyak atsiri dalam level yang rendah dan medium dapat meningkatkan populasi bakteri akan tetapi jika digunakan pada level yang tinggi cenderung akan menurunkan populasi bakteri. Acamovic dan Brooker (2005), melaporkan bahwa metabolit sekunder tanaman termasuk minyak atsiri dapat berinteraksi dengan berbagai macam komponen sel yang dapat memodulasi respon dari targetnya. Senyawa-senyawa tersebut memiliki kemampuan memodulasi sejumlah besar target seluler. Sebagian besar minyak atsiri menggunakan aktivitas antimikrobanya dengan berinteraksi dengan proses yang berkaitan dengan membran sel bakteri termasuk transport elektron, gradien ion, translokasi protein, fosforilasi, dan reaksi yang tergantung dengan jenis dan ketersedian enzim (Dorman dan Deans 2000). Selanjutnya, Benchaar et al. (2008) melaporkan bahwa penggunaan kandungan bahan aktif dari minyak atsiri dalam jumlah tertentu berdampak positif terhadap aktivitas mikroorganisme rumen.

Pengujian tepung daun sirih terhadap jumlah protozoa rumen disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis keragaman memperlihatkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata (P<0.01) terhadap jumlah protozoa. Peningkatan level daun sirih juga mampu menurunkan total protozoa. Pada perlakuan kontrol, jumlah protozoa sebesar 2.3x105 sedangkan perlakuan 2%, 4%, 6% dan 8% masing-masing 7.9x104, 8.3x104, 5.5x104, dan 5.4x104. Penurunan tersebut membuktikan bahwa tepung daun sirih mampu membunuh protozoa rumen dengan pemberian level tinggi. Namun dengan penggunaan level yang rendah cenderung meningkatkan jumlah protozoa.

Jumlah protozoa yang menghuni rumen lebih sedikit dari pada bakteri yiatu 106/ml (McDonald et al. 1981). Lebih lanjut McDonald et al. (1981) mengungkapkan bahwa ruminan tanpa protozoa dapat hidup normal, sehat, dan berdampak positif. Bahkan defaunasi (protozoa) menjadi objek kajian para ahli mikrobiologi (Wallace et al. 2002). Lin et al. (2012) melaporkan bahwa kombinasi minyak atsiri dapat menurunkan 50-90% protozoa dan fungi. Penurunan jumlah protozoa mampu mengurangi aktivitas deaminasi dan menurunkan amonia rumen dan degradasi protein pakan (Szumacher-Strabel et al. 2010). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tepung daun sirih juga dapat dimanfaatkan sebagai agen defaunasi.

3.2 Kajian In Vivo Penambahan Tepung Daun Sirih Dalam Ransum Sapi Perah Sebagai Antimastitis

(35)

18 tetapi menurunkan jumlah protozoa sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agen defaunasi. Dari hasil percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan tepung daun sirih terbaik adalah level 2%. Dalam penelitian ini level 2 dan 4% dicampurkan dengan konsentrat dan diberikan ke sapi kemudian responnya diamati.

3.2.1 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Jumlah Sel Somatis Susu

Jumlah sel somatis merupakan parameter yang sangat penting untuk mengetahui status kesehatan ambing, sebab jumlah sel somatis dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan tingkat kejadian mastitis (Green et al. 2004). Sapi perah positif (+++) menderita mastitis subklinis melalui pengujian menggunakan reagen IPB1, diberikan perlakuan tepung daun sirih dalam ransumnya. Hasil yang diperoleh memiliki pengaruh yang positif terhadap penurunan jumlah sel somatis susu. Jumlah sel somatis dalam susu menurun dengan perlakuan 2 d dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 5). Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan tepung daun sirih terhadap jumlah sel somatis menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap jumlah sel somatis susu pada minggu terakhir perlakuan.

Perlakuan 2d pada minggu I jumlah sel somatis sebesar 1800 x 103 sel/ml dan mengalami penurunan sebesar 390 x103 sel/ml pada minggu II sampai dengan 303 x 103 sel/ml pada minggu III. Sedangkan pada perlakuan 0, 4d, 2s, dan 4s juga mengalami penurunan namun penurunan tersebut tidak stabil, seperti terlihat pada perlakuan 2s dan 4s yang mengalami peningkatan jumlah sel somatis pada minggu II, tetapi pada minggu III kembali menurun.

Tabel 6 Pengaruh penambahan tepung daun sirih terhadap jumlah sel somatis (x1000 sel)

Perlakuan Pengamatan Minggu Ke-

1 2 3 Penurunan 1–2 (%)

0 4185±3863a 1450±1421a 1020±1305a -88.68 2 d 1800±1961a 390±2175a 303±4839a -494.05 4 d 5230±4036a 4260±5865a 8000±7389b +34.62 2 s 3310±1595a 7750±9566a 2360±1389a -40.25 4 s 1750±1058a 5570±2789a 1520±1245a 15.25 a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

(36)

19 normal mengandung sel somatis sebanyak 0 – 200.000 sel/ml. Sel sel tersebut terdiri dari sel mononuclear besar (65-70%), netrofil (0-8%), limfosit (lebih kurang 5%) dan kadang-kadang juga monosit. Hal tersebut terjadi akibat kandungan tepung daun sirih mampu membunuh bakteri penyebab mastitis subklinis sehingga infeksi terhadap sel-sel ambing dapat menurun dan mengurangi peluruhan sel dan peningkatan sel darah putih. Hasil tersebut didukung oleh percobaan in vitro yang menunjukkan bahwa tepung daun sirih mampu menghambat bakteri Staphylococcus sp. pasca fermentasi in vitro dengan cairan rumen terutama pada level 2%. Poeloengan et al. (2006) melaporkan bahwa minyak atsiri daun sirih pada konsentrasi 50%, 25% dan 12,5% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus epidermidis, tetapi pada konsentrasi 50% dan 25% hanya menghambat bakteri Staphylococcus aureus.

Sel somatis susu merupakan peluruhan leukosit (sel darah putih) termasuk makrofag, limfosit, neutrofil dan peluruhan sel eiptel (Harmon 1994). Mobilisasi leukosit merupakan mekanisme pertahanan tubuh alami dalam menanggulangi pembentukan koloni kuman-kuman yang berhasil masuk ke dalam sisterna (Subronto 2003) sehingga tingkat infeksi kuman pada sapi berbanding lurus dengan peningkatan jumlah sel somatis dalam susu (Sudarwanto 1999). Hasil penelitian Leitner et al. (2004) pada domba yang diinfeksi dengan bakteri Staphylococcus menunjukkan peningkatan sel somatis. Pemeriksaan sel somatis perlu dilakukan secara berkala untuk mendeteksi dini penyakit mastitis subklinis menggunakan reagent (mastitis test), sehingga kejadian mastitis pada suatu peternakan dapat diatasi tetapi hal tersebut memerlukan tambahan biaya dan waktu.

3.2.2 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Komposisi Susu Susu dari sapi yang diberi tepung daun sirih dalam ransum menunjukkan perubahan komposisi susu yang meliputi kandungan lemak, protein, bahan kering, dan bahan kering tanpa lemak. Şonea et al. (2009) melaporkan bahwa terjadi penurunan lemak susu sebesar 11 % pada sapi yang terinfeksi mastitis subklinis. Perlakuan level dan metode pemberian tepung daun sirih pada sapi yang menderita mastitis subklinis memperlihatkan perubahan rataan kandungan lemak (Tabel 6). Komposisi lemak susu berbeda nyata (P<0.05) di antara perlakuan. Kadar lemak susu kontrol (2.63) tidak berbeda jauh dengan perlakuan pemberian tepung daun sirih 2d dan 4d (2.56 dan 2.58). Sedangkan perlakuan 4s nyata lebih rendah (P<0.05) dari pada perlakuan lainnya. Perlakuan 2s dan 4s (1.38 dan 1.87) yang diberikan sekali dua hari cenderung menurunkan rataan kandungan lemak susu.

(37)

20 Perlakuan 2s dan 4s (1.38 dan 1.87) yang diberikan sekali dua hari cenderung menurunkan rataan kandungan lemak susu.

Pembentukan lemak susu tergantung dari pakan hijauan yang diberikan kepada ternak sebab hijauan yang mengandung selulosa dan hemiselulosa yang difermentasi di dalam rumen dan menghasilkan asam lemak terbang (VFA) terutama asam asetat. Asam asetat merupakan precursor yang langsung digunakan untuk pembentukan lemak susu (Tyler dan Ensminger, 2006).

Tabel 7 Pengaruh penambahan tepung daun sirih terhadap rataan komposisi susu (Lemak, Protein, BK dan BKTL) dari Minggu I sampai Minggu III

Perlakuan Parameter

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Hasil percobaan in vitro menunjukkan bahwa penggunaan 2% tepung daun sirih dalam konsentrat dapat meningkatkan total VFA dibandingkan dengan tanpa pemberian (kontrol), sedangkan pemberian 4, 6, dan 8% tepung daun sirih menurunkan total VFA. Kandungan eugenol minyak atsiri dapat menurunkan dan mengubah profil VFA (Castillejos et al. 2006), sebab eugenol dapat membunuh bakteri pencerna serat. Oleh sebab itu, penurunan bakteri pencerna secara tidak langsung berpengaruh terhadap kandungan lemak susu.

Kandungan protein juga tidak berpengaruh nyata dengan penambahan tepung daun sirih (Tabel 6) dibandingkan dengan kontrol. Namun ditinjau dari rataan dari setiap perlakuan, perlakuan 4d lebih tinggi (2.73%) dan diikuti oleh perlakuan 2d (2.68%) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (2.66%). Perlakuan 2s dan 4s lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Badan Standar Nasional (SNI) 01-3141-1998 tentang syarat susu segar menetapkan kadar protein susu yaitu 2.70% sehingga dari hasil penelitian ini masih memenuhi standar. Perlakuan yang memenuhi syarat SNI adalah 4d sebesar 2.73%, dibandingkan dengan perlakuan lainnya, masih dibawah standar. Susanty (2011) melaporkan bahwa susu sapi penderita mastitis subklinis tidak mengalami perubahan kandungan protein yang tinggi, tetapi terjadi penurunan kasein sedangkan whey meningkat, sebab whey disintesis secara de novo sehingga resisten terhadap aktifitas proteolitik (Raluca dam Gavan 2010). Berbeda dengan hasil penelitian Kifaro et al. (2009) bahwa mastitis nyata menurunkan protein, lemak mentega dan persentase chloride tetapi tidak mempengaruhi kandungan laktosa.

(38)

21 menurunkan total protein (Forsbäck et al. 2011). Protein sangat penting dalam sintesis laktosa susu, α-lactalbumin dan β-lactoglobulin merupakan fraksi protein susu serta bagian dari enzim lactose synthase. Fungsi enzim tersebut adalah menggabungkan molekul glukosa dan galaktosa menjadi laktosa susu, sedangkan laktosa susu sangat mempengaruhi produksi susu.

Hasil percobaan fermentasi in vitro, dengan penambahan 2% dalam konsentrat menghasilkan kadar NH3 lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sehingga masih mendukung suplai N untuk pembentukan dinding sel mikroba sebagai protein sel tunggal. Protein susu tergantung kualitas bahan pakan khususnya kandungan dari protein dan N pakan. Pada ternak ruminasia, pakan protein diberikan dalam dua bentuk yaitu rumen degradable protein (RDP) dan rumen undegradable protein (RUP). Kecukupan dari RDP sangat penting dalam mendukung pertumbuhan mikroba rumen, sekitar 60 – 75% dari laju aliran asam amino ke usus halus (Agricultural Research Council 1980 dalam Mikolayunas-Sandrock et al. 2009). Kalscheur et al. (2006) melaporkan bahwa sapi yang diberikan ransum formula yang mengandung RDP dibawah kebutuhan yang direkomendasikan NRC dapat menurunkan produksi susu, lemak susu, dan protein susu, sebab kekurangan RDP dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen.

Lemak, laktosa, dan protein sangat mempengaruhi bahan kering (BK) susu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian daun sirih berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan kandungan BK susu. Kandungan BK susu cenderung meningkat pada perlakuan 2d dan 4d. BK susu sangat dipengaruhi oleh kandungan lemak susu, semakin tinggi lemak susu maka semakin tinggi BK susu. BK susu yang dihasilkan berkisar antara 9.39% sampai dengan 10.39%.

Selain BK, komposisi susu yang penting lainnya adalah kandungan bahan kering tanpa lemak (BKTL) meliputi kandungan laktosa dan protein. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan daun sirih berpengaruh terhadap peningkatan BKTL (Tabel 6), dari rataan perlakuan kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan penambahan tepung daun sirih. Pada perlakuan kontrol menghasilkan BKTL lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 2d, 4d, 2s, dan 4s, sehingga perlakuan daun sirih tidak mempengaruhi komposisi BKTL. Hasil penelitian Raluca dan Gavan (2010) mengkaji pengaruh jumlah sel somatis terhadap komposisi susu melaporkan bahwa peningkatan jumlah sel somatis susu dapat menurunkan BKTL. Badan Standar Nasional (SNI) 01-3141-1998 tentang syarat susu segar menetapkan kandungan BKTL minimal 8.0% sehingga rataan BKTL yang diperoleh dari penelitian ini masih memenuhi syarat.

3.2.3 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Immunoglobulin G (IgG)

(39)

22 1.186, 1.273, 1.166, 1.214, dan 1.202. pada minngu kedua juga terlihat sama seperti pada minngu II yaitu 1.252, 1.213, 1.272, 1.084, dan 1.256. namun pada Minggu III cenderung menurun pada semua perlakuan, masing-masing yaitu 0.949, 0.968, 0.902, 0.924, dan 0.854.

Pada Minggu pertama dan kedua peningkatan IgG mungkin disebabkan oleh “stress” yang dialami oleh semua ternak akibat pemberian tepung daun sirih, sehingga terjadi peningkatan antibodi alami dalam tubuh ternak. Namun pada minggu ketiga terjadi adaptasi akibatnya terjadi penurunan IgG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung daun sirih dalam ransum sapi perah yang terinfeksi mastitis subklinis tidak memberikan pengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh. Menurut Maunsell et al. (1998) bahwa transport selektif IgG sel epitel kelenjar mamae lebih tinggi selama pembentukan kolostrum dibandingkan dengan infeksi kelenjar mamae, sebab infeksi kelenjar mamae menurunkan beberapa fungsi sel sekretori yang ada dalam mengatur reseptornya sehingga menurunkan massa total IgG yang ditransporkan.

Tabel 8 Pengaruh penambahan tepung daun sirih terhadap Immunoglobulin G (µg/ml)

Perlakuan Pengamatan Minggu Ke-

1 2 3

Batavani et al. (2007) melaporkan bahwa sapi penderita mastitis subklinis (+++) meningkat immunoglobulinnya sebesar 48.20%. Susu normal mengandung immunoglobulin 7.43 % sedangkan susu yang berasal dari sapi mastitis subklinis mengandung 26.86 %. Peningkatan konsetrasi IgG berhubungan erat dengan peningkatan jumlah sel somatis, semakin tinggi jumlah sel somatis maka semakin tinggi konsentrasi IgG sebab peningkatan IgG merupakan respon tubuh dalam menginaktifasikan antigen berupa bakteri. Namun peningkatan tersebut tidak setara dengan IgG kolostrum. Akan tetapi dalam penelitian ini kadar IgG tidak berpengaruhnya nyata sehingga penurunan jumlah sel somatis tidak dipengaruhi oleh IgG.

(40)

23

3.2.4 Pengaruh Penambahan Tepung Daun Sirih Terhadap Produksi Susu Hasil percobaan in vivo dengan tujuan melihat pengaruh penambahan tepung daun sirih dalam ransum sapi perah terhadap rataan produksi susu tidak terkoreksi lemak dan terkoreksi lemak 4% disajikan pada Tabel 8. Pengaruh perlakuan terhadap rataan produksi susu harian yang tidak dikoreksi lemak menunjukkan perbedaan pada setiap minggu. Pada minggu pertama produksi susu tertinggi pada perlakuan 4s sedangkan perlakuan terendah pada perlakuan 0 (kontrol). Pada minggu kedua, terjadi penurunan pada semua perlakuan, tetapi peningktan terjadi pada minggu ketiga khususnya pada perlakuan 2d.

Tabel 9 Pengaruh penambahan tepung daun sirih terhadap rataan produksi susu tidak terkoreksi lemak dan terkoreksi lemak 4% (FCM 4%) per kwartir (ml)

Perlakuan Awal Pengamatan Minggu Ke-

1 2 3

Produksi susu (ml) Tidak Terkoreksi

0 2400 ± 81 2466 ± 73 2458 ± 91 2477 ± 73 2 d 3118 ± 23 3365 ± 41 3935 ± 50 4797 ± 39 4 d 3688 ± 108 3741 ± 40 2752 ± 71 2824 ± 128 2 s 3125 ± 250 3171 ± 260 3615 ± 745 4255 ± 861 4 s 4500 ± 204 4372 ± 55 3643 ± 539 4370 ± 403 FCM 4%

0 2218 ± 441 2270 ± 396 1907 ± 363 1624 ± 136 2 d 3279 ± 869 3534 ± 914 2611 ± 245 2819 ± 159 4 d 3171 ± 499 3211 ± 524 2157 ± 433 2187 ± 210 2 s 1928 ± 148 1964 ± 184 2001 ± 403 2555 ± 401 4 s 3029 ± 339 2945 ± 328 2656 ± 631 2404 ± 222

Pengaruh perlakuan terhadap rataan produksi susu harian yang terkoreksi lemak 4 % dari minggu ke minggu terjadi perbedaan di antara perlakuan (Tabel 8). Perlakuan 2d merupakan pada minggu pertama terhadap rata-rata produksi susu, sedangkan pada minggu kedua terjadi penurunan pada setiap perlakuan kecuali pada perlakuan 2s. Pada minggu ketiga produksi susu tertinggi dengan pemberian tepung daun sirih 2% setiap hari.

(41)

24 dan 20.88%, tetapi pada perlakuan 2d dan 2s terjadi peningkatan masing-masing sebesar 14.47% dan 9.77%. Pada minggu ketiga, terjadi peningkatan rata-rata produksi susu tidak terkoreksi lemak di antara perlakuan. Peningkatan produksi susu tertinggi terjadi pada perlakuan 2d sebesar 17.96%. Pemberian 2% tepung daun sirih setiap hari meningkatkan produksi rata-rata sebesar 34.99% dari produksi awal sampai dengan minggu ketiga pada sapi yang terinfeksi mastitis subklinis.

Tabel 10 Pengaruh penambahan tepung daun sirih terhadap perubahan produksi susu tidak terkoreksi lemak dan terkoreksi lemak 4% (FCM 4%) per kwartir (ml)

Perlakuan Perubahan Produksi Susu per kwartir (%) dari minggu ke-

0 – 1 1 – 2 2 – 3 0 – 3

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Peningkatan produksi susu (FCM 4%) sebesar 7.29% dengan perlakuan 2d pada minggu pertama terjadi, tetapi dengan perlakuan 4s menyebabkan penurunan produksi sebesar 2.88%. Sedangkan perlakuan 4d dan 2s terjadi peningkatan sebesar 1% dan kontrol sebesar 2.52%. Pada minggu kedua terjadi penurunan pada semua perlakuan kecuali pada perlakuan 2s, peningkatan tersebut sebesar 0.31%. Pada minggu ketiga terjadi peningkatan dengan perlakuan 2s sebesar 20.85% diikuti dengan perlakuan 2d (6.89%) dan 4d (1.45%). Pemberian 2% tepung daun sirih selang sehari meningkatkan rata-rata produksi susu FCM 4% sebesar 34.99% dari produksi awal sampai dengan minggu ketiga pada sapi yang terinfeksi mastitis subklinis.

(42)

25 Penurunan produksi susu sebesar -29.4% disebabkan oleh mastitis (Kifaro et al. 2009) akibatnya menimbulkan kerugian pada peternak. Selain itu, Sudarwanto et al. (2006) melaporkan bahwa tingkat kejadian masitits subklinis dapat mencapai 75% – 83% sehingga mempengaruhi produksi susu nasional.

(43)

26

4

SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Dari hasil penelitian in vitro diperoleh level daun sirih yang terbaik yaitu bahwa level 2%. Dari hasil in vivo disimpulkan level pemberian 2% setiap hari dapat meningkatkan kualitas susu dan produksi susu tidak terkoreksi lemak sedangkan pemberian 2% selang sehari dapat meningkatkan produksi susu terkoreksi lemak (FCM 4%).

4.2 Saran

Gambar

Tabel 1  Sampel kwartir sapi yang terinfeksi mastitis subklinis
Gambar 1 Rataan Produksi VFA total pada fermentasi   in vitro rumput gajah dengan konsentrat yang ditambahkan tepung daun sirih dengan level yang berbeda
Gambar 2 Rataan kadar NH 3 pada fermentasi in vitro rumput gajah dengan konsentrat yang ditambahkan tepung daun sirih dengan level yang berbeda
Tabel 4  Rataan Kecernaan in vitro dari Penambahan Tepung Daun Sirih dengan   Level Berbeda dalam Konsentrat pada Fermentasi in vitro
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alat kajian yang digunakan dalam kajian ini ialah bentuk soal selidik yang mengandungi sejumlah soalan yang berkaitan dengan tahap pengetahuan guru terhadap peranan Pusat

Visoko radioaktivni odpadki ali VRAO K tej vrsti radioaktivnih odpadkov uvrščamo izrabljeno jedrsko gradivo IJG Mele, 2013, vendar le takrat, ko ga ne nameravamo več predelati

Quantum Learning merupakan orkestrasi bermacam-macam interaksi yang di dalam dan sekitar momen belajar atau suatu pembelajaran yang mempunyai misi utama untuk mendesain

Pada siklus I nilai rata-rata yang diperoleh dari sikap guru berdiskusi melalui supervise akademik adalah 79,38 kategori “cukup”,sedangkan pada siklus II nilai

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama yang menyatakan bahwa variabel LDR, IPR, NPL, IRR, PDN, BOPO, FBIR, NIM dan ROA secara bersama-sama mempunyai

Sistem informasi supplay Chain Management (SCM) berfungsi untuk mengatur hal hal yang berhubungan dengan hal tersebut. Sistem informasi SCM memberikan data data yang

Pemberian pre test pada saat penelitian berlangsung menggunakan instrumen yang telah mendapat validasi dari validator instrumen. Pemberia pre test bertujuan

a) Pelanggaran: Pelaku perdagangan orang, dengan merekrut sembilan TKI yang diduga ilegal. Benediktus Bliti, warga Lewomada merekrut dua orang wanita untuk bekerja di Papua