• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Kepustakaan

2. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga ini melalui jalan dan proses yang panjang. Hal ini dimulai ketika dideklarasikannya tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1967. Deklarasi ini memuat hak dan kewajiban perempuan berdasarkan persamaan hak dengan laki-laki.

Dengan disahkannya Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Pemerintah Republik Indonesia melahirkan sebuah aturan hukum mengenai perlindungan hak-hak perempuan dimulai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

45

M. Hamdan, op. cit., hlm. 44.

46

Dasar dari diratifikasinya deklarasi tersebut sebab dalam pemungutan suara pada konvensi tersebut, Indonesia memberikan suara setuju sebagai perwujudan keinginan Indonesia untuk berpartispasi dalam usaha-usaha Internasional menghapus diskriminasi terhadap wanita karena isi konvensi tersebut sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.47

Dalam perkembangan selanjutnya, melalui resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 48/104 tanggal 20 Desember 1993

mengesahkan Deklarasi Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Dalam deklarasi ini, kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak, prinsip-prinsip, dan kebebasan dasar perempuan serta

bertentangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kekerasan terhadap perempuan diartikan sebagai setiap tindakan beedasarkan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologi, termasuk ancaman tindakan-tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang- wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.48 Dengan adanya deklarasi tersebut, dunia internasional memberikan perhatian serius pada tindak kekerasan terhadap perempuan sehingga dilahirkan sebuah deklarasi yang secara jelas menentang terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun diseluruh dunia.

47

Bagian Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

48

Di Indonesia, dengan adanya deklarasi dan lahirnya peraturan perundang- undangan yang meratifikasi deklarasi tersebut pada kenyataannya belumlah dapat mengurangi angka diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga.

Persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang korban utamanya adalah perempuan pada saat ini tidak lagi dipandang sebagai persoalan biasa dan aturan- aturan hukum yang termuat dalam pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan masyarakat dalam melindungi hak-hak perempuan. Oleh karena itulah diperlukan sebuah aturan hukum yang bersifat khusus untuk mengatur secara spesifik

mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut dengan memperhatikan terhadap hak-hak dan perlindungan korban.

Akibat keprihatinan dari tingginya angka kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga, maka sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (Ormas) Perempuan yang tergabung dalam Jangkar (1998-1999) yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, Rifka An-Nisa, Kalyanamitra, Mitra Perempuan, Fatayat dan Muslimat Nadhlatul Ulama (NU), Gembala Baik, Savy Amira, SPeAK, LBH-Jakarta dan Derapwarapsari yang kemudian gabungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat ini melebur menjadi Jangka PKTP (Jaringan Kebijakan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan), ditambah dengan lembaga profesional seperti lembaga advokat mempelopori dan

mengadvokasi lahirnya ketentuan hukum khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap perempuan.49

Pada tahun 2001, Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dicanangkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Dan pada tahun 2002, ditandatangani sebuah Surat Kesepakatan Bersama (SKB) antara Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kesepakatan ini menyangkut pelayanan terpadu bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang dilaksanakan dalam bentuk pengobatan dan perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum.50

Pada perkembangan selanjutnya, perjuangan dalam advokasi Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya komisi VII, fraksi TNI, dan Golkar, juga bekerjasama dengan Forum Parlemen soal bagaimana sosialisasi itu bisa dilakukan terhadap anggota Dewan yang akan me-loading Rancangan Undang- Undang ini melalui jalur inisiatif. Sosialisasi ke masyarakat dilakukan dengan bekerjasama dengan LSM-LSM yang mendampingi program Kekerasan Dalam Rumah Tangga, juga bekerjasama dengan akademisi, anggota DPRD, dan pemerintah setempat serta penegak hukum.51

49

Ratna Batara Munti, Suara Apik: Lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Sebuah Bentuk Terobosan Hukum dan Implikasinya Terhadap Hukum Nasional”, LBH APIK, Jakarta, 2005, hlm. 3.

50

Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 Rumah, Pekarangan, dan Kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan 2005, Komnas Perempuan, Jakarta, 2005, hlm. 17.

51

Afriendi, Persfektif Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pascasarjana Ilmu Hukum Unand, Padang, 2011, hlm. 8.

Rancangan yang terdiri dari 14 bab dan 115 pasal dibuat dengan tarik ulur, yang disebabkan karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) tidak memuat jenis kekerasan dalam rumah tangga dalam pasal-pasalnya. Setelah melalui berbagai proses legislasi yang alot, Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut akhirnya berhasil disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 22 September 2004 dengan nama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).52

Tujuan utama dari dilahirkannya undang-undang ini adalah untuk:53 a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga

b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga d. Memelihara keutuhan rumah tangga

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindakan kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Dalam undang-undang ini selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga denga unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan dalam Kitab

52

Ibid., hlm. 9.

53

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Serta mengatur ihwal kewajiban aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimibing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.54

Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini memberikan suatu terobosan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di Indonesia sebelum lahirnya undang-undang ini hanya dapat dilakukan melalui instrumen Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) yang cakupannya masih terbatas dan tidak mengatur secara rinci mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga dengan berlakunya undang-undang ini, semua perbuatan pidana yang memenuhi unsur- unsur tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tidak diatur lagi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam penegakan hukumnya.

Dengan disahkannya undang-undang ini juga merupakan momen bersejarah bagi Bangsa Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan bagian dari Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi.55

54

Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

55

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Persfektif Yuridis- Viktimologis, Sinar Grafika, Surabaya, 2010, hlm. 64.

Hal yang melandasi lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini antara lain, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia.56 Adapun yang menjadi ruang lingkup Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi:57

a. Suami, Isteri, dan Anak

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut

Ruang lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini juga semakin diperluas dengan dimasukkannya orang yang bekerja membantu rumah tangga yang menetap dalam rumah tangga tersebut seperti yang termat dalam huruf c. Sehingga ruang lingkup keluarga tidak lagi hanya mencakup keluarga yang mempunyai hubungan darah atau pengasuhan saja tetapi juga orang lain yang bekerja dirumah tangga tersebut. Dengan demikian orang-orang yang bekerja sebagai pembantu, supir, dan sebagainya juga menjadi subjek hukum dalam undang-undang ini dan dianggap sebagai anggota keluarga selama mereka masih tinggal dalam rumah tangga tersebut.

56

Ibid., hlm. 65.

57

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dokumen terkait