• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Kepustakaan

3. Pengertian Korban dan Perlindungan terhadap Korban

3.1. Pengertian Korban

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korban dapat didefinisikan sebagai orang, binatang, dan sebagainya yang menderita (mati dan sebagainya) akibat akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya.

Beberapa pendapat para sarjana yang memberi pengertian mengenai definisi korban, diantaranya adalah:58

1. Arief Gosita

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari kepentingan

pemenuhan diri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

2. Ralph de Sola

Korban (victim) adalah “...person who has injured mental or pshycal suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted criminal offense committed by another...” (Orang yang telah terluka baik itu penderitaan mental atau fisik, kerugian harta benda atau kematian akibat dari tindak pidana yang sebenarnya atau percobaan yang dilakukan oleh yang lain)

3. Muladi

Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian fisik atau mental, ekonomi, emosional, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Secara yuridis, pengertian korban termuat dalam Pasal 1 ayat 2 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebutkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

58

Dikdik Arif Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 46-47.

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga menyebutkan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

Pada tahap perkembangannya, korban dari suatu tindak pidana bukan saja hanya orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Adapun yang dapat menjadi korban adalah sebagai berikut:59

1. Korban perseorangan, adalah setiap orang atau individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil.

2. Korban institusi, adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta, ataupun bencana alam.

3. Korban Lingkungan Hidup, adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, dan masyarakat serta semua jasad hidup dan berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami kerusakan akibat

kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab.

4. Korban masyarakat, bangsa, dan negara, adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif, tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan, serta hak sipil, politik, ekonomi, budaya tidak lebih baik setiap tahun.

59

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 11-12.

Pada dewasa ini kedudukan korban dalam peradilan pidana tidak

dipandang lagi sebelah mata. Hal ini dapat terlihat dari dibentuknya aturan-aturan hukum yang khusus mengatur mengenai kedudukan dan perlindungan korban. Secara ilmiah, hal-hal yang berkaitan dengan korban ini dapat dipelajari melalui pendekatan ilmu viktimologi.

Viktimologi berasal dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan), bahasa Latin victima (korban) dan logos (ilmu pengetahuan). Sehingga secara sederhana dapat diartikan viktimologi/victimology adalah ilmu pengetahuan tentang korban tindak pidana.

Korban dan tindak pidana memiliki keterkaitan yang sengat erat satu sama lain. Adanya korban ini disebabkan oleh tindak pidana (kejahatan) yang dilakukan oleh pelaku. Apabila kejahatan ini tidak dilakukan oleh pelaku dengan demikian tidak akan menimbulkan adanya korban. Terjadinya korban ini dapat saja disebabkan oleh kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati, kelemahan, dan kesialan korban itu sendiri, diantaranya adalah sebagai berikut:60

Hentig, terjadinya korban dilihat dari peranan korban dalam menimbulkan kejahatan:

1. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi 2. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan korban untuk

memperoleh keuntungan yang besar

3. Akibat yang merugikan si korban mungkin kerjasama antara sipelaku dan korban

4. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi si korban

Mendelsohn, berdasarkan tingkat kesalahannya korban dibagi dalam 5 (lima) macam:

1. Korban yang sama sekali tidak bersalah 2. Korban yang jadi korban karena kelalaiannya

60

3. Korban yang sama salahnya dengan pelaku 4. Korban lebih bersalah dari pelaku

5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah

G. Widiartana, berdasarkan sasaran tindakan pelaku:

1. Korban Langsung, yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atau objek perbuatan pelaku.

2. Korban tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami nestapa. Pada kasus pembunuhan terhadap seorang laki-laki yang mempunyai tanggung jawab menghidupi istri dan anak-anaknya, meninggalnya laki-laki tersebut merupakan korban langsung. Sedangkan istri dan anak-anaknya itu merupakan korban tidak langsung.

Pemahaman tentang korban yang dipelajari melalui ilmu viktimologi memberi manfaat dalam sistem peradilan pidana seperti dapat memahami kedudukan korban sebagai sebab dasar terjadinya tindak pidana, berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan seimbang dalam hukum dan pemerintahan, bermanfaat bagi aparatur penegak hukum agar dapat memperhatikan perlindungan dan hak-hak korban tindak pidana, dan dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam upaya memperbaiki berbagai kebijakan/perundang-undangan yang selama ini terkesan kurang memperhatikan aspek perlindungan korban.61

3.2. Pengertian Perlindungan Terhadap Korban

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perlindungan berasal dari kata lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi.

61

Sedangkan dalam ilmu hukum perlindungan dapat didefenisikan sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk untuk memberi rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.62

Sehingga perlindungan terhadap korban dapat didefenisikan sebagai kewajiban negara untuk memberikan pengayoman dan pelayanan terhadap subjek hukum yang menderita atau dirugikan akibat terjadinya suatu tindak pidana.

Prinsip-prinsip dasar terhadap perlindungan korban ini berkaitan dengan manusia sebagai makhluk Tuhan dilahirkan ke dunia dengan membawa hak-hak dasar yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa atau yang lazim disebut denga hak asasi manusia yang melekat dan takkan pernah terlepas seumur hidup. Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi ini tentu membawa konsekuesni pada perlunya diupayakan terhadap perlindungan hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri, baik yang dilakukan oleh manusia ataupun pemerintah.63

Di Indonesia pengaturan tentang pelindungan terhadap korban ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

62

http://seputarpengertian.blogspot.com/2014/01/seputar-pengertian-perlindungan- hukum.html, diakses tanggal 14 April 2015 pukul 22.00 WIB

63

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 6. Undang-Undang Nomor15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga

8. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban.

Adapun bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban yang secara umum terdiri dari:64

1. Pemberian Restitusi atau Kompensasi

Dalam pejelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan pengertian tentang kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan restitusi dapat berupa:

a. Pengembalian harta milik

b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu

2. Konseling

64

Perlindungan konseling ini pada umumnya diberikan pada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif terhadap psikis yang mengakibatkan trauma berkepanjangan dari suatu tindak pidana. Kasus kekerasan dalam rumah tangga atau kasus pemerkosaan menimbulkan trauma yang berkepanjangan pada korban, umumnya korban menderita secara fisik, mental, dan sosial.

3. Pelayanan/Bantuan Medis

Diberikan pada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis ini dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti).

4. Bantuan Hukum

Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Di Indonesia bantuan ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM). Pemberian bantuan hukum terhadap korban tindak pidana haruslah diberikan baik diminta maupun tidak diminta oleh pihak korban. Apabila korban tindak pidana tidak mendapat bantuan hukum maka akan

menyebabkan semakin buruknya keadaan korban tindak pidana tersebut.

5. Pemberian Informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban. Pemberian informasi ini memegang peranan penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah

diharapkan fungsi kontrol mansyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

Dokumen terkait