• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perpindahan penduduk dari desa ke kota atau akrab disebut urbanisasi, mengalami peningkatan yang pesat diseluruh dunia. Lebih dari setengah umat manusia kini tinggal di daerah perkotaan. Pada tahun 2050 proporsi ini diperkirakan akan melebihi 70% (Heilig dalam Bratman, Daily, Levy, & Gross, 2015). Menurut catatan Divisi Populasi PBB, hampir dua pertiga dari populasi dunia akan tinggal di daerah perkotaan dalam 30 tahun ke depan (Vlahov & Galea dalam Maas, Verheij, Groenewegen, Vries, & Spreeuwenberg, 2006) sehingga membuat lingkungan tempat tinggal semakin padat dengan berbagai aktivitas dan permasalahan di dalamnya.

Negara berkembang yang mulai mengalami dampak dari urbanisasi adalah Indonesia. Salah satu ciri dari urbanisasi adalah tingginya aktivitas yang menuntut mobilitas yang tinggi sehingga kebutuhan akan sarana transpotasi menjadi penting (Iskandar, 2013). Kepadatan penduduk di Indonesia terlihat dari meningkatnya pemenuhan sarana transportasi yang ditunjukkan dari data perkembangan jumlah kendaraan bermotor oleh Badan Pusat Statistik

Indonesia tahun 2013 yang mencapai 104.118.969 buah

(http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1413). Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yaitu sejumlah 94.373.324 buah. Tingginya

jumlah kendaraan, membuat tingkat kemacetan dan kepadatan lingkungan semakin bertambah.

Dampak urbanisasi mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang (Lee, Williams, Sargent, Williams, & Johnson, 2015). Menurut World Health Organization tahun 1948, definisi kesehatan adalah seseorang yang memiliki keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial yang baik bukan hanya diakibatkan oleh penyakit atau gangguan tertentu (Steg, Van Den Berg, & De Groot, 2013). Kepadatan penduduk dengan banyaknya aktivitas di lingkungan perkotaan, membuat keadaan lingkungan tempat tinggal dan tempat bekerja dapat berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang.

Lingkungan yang “sakit” dapat mengancam kesehatan secara fisiologis

maupun psikologis (Largo-Wight, Chen, Dodd, & Weiler, 2011). Dampak fisiologis yang ditimbulkan adalah polusi udara dalam ruangan dan racun yang dapat menyebabkan penyakit seperti Sick Building Syndrome (Samet & Spengler dalam Largo-Wight dkk., 2011). Kemudian, dampak psikologis akibat lingkungan yang tidak sehat, misalnya lingkungan yang padat dan berisik. Lingkungan yang padat dan berisik dapat mengakibatkan kelelahan mental dan stres kronis (Brennan, Chugh, & Kline; Raffaello & Maass dalam Largo-Wight dkk., 2011).

Kelelahan mental yang dialami oleh seseorang yang tinggal di daerah perkotaan dapat menurunkan fungsi kognitif seseorang sedangkan stres kronis dapat menjadi stresor yang mengakibatkan kecemasan, frustasi, kepenatan,

ketegangan, kemarahan, kebingungan, dan perubahan perilaku (Liu, Mattson, & Kim, 2004).

Penelitian terbaru mengatakan bahwa seseorang yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala aktivitas dan permasalahan di dalamnya, membuat pengolahan sistem informasi yang diterima terlalu banyak (Lee dkk., 2015). Seseorang yang mengolah informasi terlalu banyak dapat berpotensi mengalami kelelahan mental sehingga membuat kontrol terhadap atensi menjadi berkurang (Kaplan, Bardwell, & Slakter, 1993).

Fungsi kognitif khususnya atensi, berkaitan dengan otak sebagai bagian dari organ dalam tubuh manusia. Otak memiliki fungsi untuk mengontrol pikiran, emosi, dan motivasi seseorang (Gloor; Rockland; Shephred dalam Sternberg, 2008). Selain itu, otak memiliki sistem saraf yang digunakan sebagai dasar kemampuan seseorang untuk memahami, beradaptasi, dan berinteraksi dengan dunia sekitar (Gazzaniga; Gazzaniga, Ivry, & Mangun, dalam Sternberg, 2008). Sistem syaraf tersebut membuat seseorang dapat menerima, memproses, dan merespon informasi dari lingkungan sekitar (Pinker; Rugg dalam Sternberg, 2008).

Peran atensi dapat dilihat berdasarkan sudut pandang fungsi atensi. Terdapat tiga fungsi atensi yang didasarkan pada fungsi anatomi otak yaitu Alerting, Orienting, dan Executive Control (Bratman dkk., 2015; MacLeod, McConnell, Lawrence, Eskes, Klein, & Shore, 2010; Berman, Jonides, & Kaplan, 2008; Fan, McCandliss, Sommer, Raz, & Posner, 2002; Emfield & Neider, 2014). Fungsi alerting berkaitan dengan kesiagaan seseorang dalam

menanggapi rangsangan, kemudian fungsi orienting terkait penyeleksian stimulus dan mengalokasikan perhatian. Terakhir, fungsi executive control terkait penyelesaian konflik. Dari ketiga fungsi atensi tersebut, fungsi executive control merupakan fungsi yang paling banyak membutuhkan upaya mental dibandingkan ketiga fungsi lainnya (Bratman dkk, 2015; Berman dkk, 2008).

Atensi memiliki peranan yang penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam proses kognitif dan fungsi emosi seseorang (Berman dkk., 2008). Peran atensi ini membantu seseorang dalam proses belajar di sekolah. Disisi lain, atensi juga berperan dalam proses penyimpanan memori jangka pendek (Jonides, Lewis, Nee, Lustig, Berman, & Moore dalam Berman dkk., 2008).

Pada dasarnya atensi dapat mengalami penurunan akibat proses kognitif yang dilakukan secara terus menerus sehingga membuat seseorang dapat mengalami kelelahan mental atau biasa disebut dengan Directed Attention Fatigue (DAF) (Kaplan & Kaplan, 1989; Kaplan, 1995; Varkovetski, 2015). Kelelahan mental juga dapat terjadi karena terlalu banyak isyarat atau stimulus yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Penurunan atensi dapat terjadi akibat kapasitas neurologis seseorang terbatas untuk dapat mendeteksi jutaan stimulus yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Seandainya seluruh jutaan stimulus tersebut dapat terdeteksi, otak tidak akan mampu memproses seluruh jutaan stimulus tersebut (Solso, Maclin, & Maclin, 2007).

Sejak jaman dahulu, unsur alam dipercaya dapat membantu memperbaiki kesehatan fisik maupun psikis seseorang yang tinggal didaerah perkotaan (Olmsted dalam Vivi, 2011). Seseorang rela mengeluarkan biaya yang mahal hanya untuk melihat lautan (Lange & Schaeffer dalam Vivi, 2011). Selain itu, unsur alam dapat membantu pemulihan pasien paska operasi (Ulrich dalam Kaplan & Kaplan, 1989). Pengalaman bersinggungan dengan lingkungan alam atau vegetasi terasa ketika, banyak orang mencari tempat untuk beristirahat dan berekreasi karena tekanan tugas, lingkungan yang gaduh, dan akibat stresor lainnya (Knopf; Schreyer dalam Hartig, Evans, Jamner, Davis, & Garling, 2003).

Respon fisik dan psikis seseorang terhadap vegetasi tidak lepas dari pandangan estetika berdasarkan pengalaman yang dialami seseorang (Ulrich, 1986). Pandangan estetika menitikberatkan pada beberapa pilihan atau perasaan suka atau tidak suka yang diasosiasikan dengan emosi dan keadaan neurofisiologis seseorang (Berlyn; Ulrich dalam Ulrich, 1986). Dari hasil penelitian berdasarkan pandangan estetika, pengalaman seseorang dengan unsur alam atau vegetasi membuat seseorang jauh lebih positif, baik secara emosi maupun fisik.

Dampak negatif dari lingkungan perkotaan dapat membuat seseorang cenderung mengalami kelelahan mental. Hal tersebut mendorong para peneliti untuk melakukan penelitian yang memanfaatkan kontak visual dengan lingkungan alam atau vegetasi sebagai stimulus untuk memulihkan atensi dari kelelahan mental dan stres yang dialami oleh seseorang (Bratman dkk., 2015;

Kaplan & Kaplan, 1989; Lee dkk., 2015; Lohr, Pearson-Mims, & Goodwin, 1996; Mancuso, Rizzitelli, & Azzarello, 2006; Pasini, Berto, Brondino, Hall, & Ortner, 2014; Steg dkk., 2013).

Beberapa pendekatan teoritis terkait dengan psikologi lingkungan menjelaskan tentang manfaat lingkungan alam bagi kesehatan psikologis manusia, terlebih dalam memberikan efek pemulihan akibat kelelahan mental dan menurunkan tingkat stres seseorang (Steg dkk., 2013). Kaitan antara lingkungan alam atau vegetasi dengan proses kognitif manusia, dikonsepkan oleh Stephan Kaplan dan Rachel Kaplan dalam Attention Restorative Theory (ART). ART didasarkan pada terminologi dari William James (1892) membagi atensi menjadi dua yaitu voluntary attention dan involuntary attention (Kaplan & Kaplan, 1989). Proses efek pemulihan akibat kelelahan mental pada ART berfokus pada involuntary attention seseorang (Kaplan & Kaplan, 1989).

Voluntary attention biasa disebut dengan direct attention. Direct attention memiliki peranan penting dalam proses kognitif dan fungsi emosi seseorang (Berman dkk., 2008; Varkovetski, 2015). Kemudian, involuntary attention adalah pemusatan perhatian seseorang terhadap suatu objek tanpa membutuhkan upaya mental. Objek dalam Attention Restorative Theory (ART) adalah lingkungan yang dapat memberikan efek pemulihan (Kaplan & Kaplan, 1989). Lingkungan yang dimaksud dalam ART adalah lingkungan dengan adanya unsur tanaman, lanskap alam terbuka, vegetasi atau yang sering disebut dengan hutan (Kaplan & Kaplan, 1989).

Jika involuntary attention berhubungan dengan objek yang menarik dan cenderung tidak membutuhkan upaya mental, maka voluntary attention atau direct attention memiliki potensi untuk mengalami kelelahan atau Directed Attention Fatigue (DAF) (Kaplan dkk., 1993; Varkovetski, 2015). Jika tidak disadari, DAF memiliki dampak serius pada kualitas hidup seseorang, misalnya mudah mengalihkan perhatian, kurang bersabar, mudah marah, dan cenderung mengambil resiko tanpa memikirkannya terlebih dahulu (Kaplan & Kaplan, 1989; Kaplan, 1995; Kaplan dkk., 1993).

Dalam Attention Restoration Theory (ART) objek untuk memunculkan stimulus involuntary attention berupa lingkungan alam atau vegetasi (Kaplan & Kaplan, 1989). Untuk itu, ART mengkategorikan empat komponen lingkungan yang dapat memberikan efek memulihkan dari kelelahan mental. Empat komponen tersebut adalah pesona(fascination), menjauh(being away), kesesuaian(compatibility), dan luas (extent) (Kaplan & Kaplan, 1989; Kaplan 1995; Berman dkk., 2008; Kaplan dkk., 1993; Steg dkk., 2013). Fascination merupakansuatu lingkungan yang membuat seseorang terpesona atau kagum. Selain itu, fascination merupakan komponen utama dalam memunculkan involuntary attention seseorang. Kemudian being away merupakan gambaran suatu lingkungan yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Selain itu, komponen extent yaitu lingkungan yang membuat seseorang dapat menghabiskan waktu dan bereksplorasi. Terakhir, compatibility yaitu adanya kesesuaian antara tujuan seseorang dengan manfaat yang diberikan oleh

lingkungan sehingga tidak memerlukan upaya mental yang berlebihan untuk memproses infomasi tentang suatu lingkungan (Steg dkk., 2013).

Banyak penelitian yang memanfaatkan lingkungan alam atau vegetasi untuk memulihkan atensi. Penelitian sebelumnya menggunakan tanaman hidup, kumpulan foto, dan, video tentang lingkungan alam sebagai media memunculkan stimulus involuntary attention (Berto, 2014; Berman dkk., 2008). Seseorang yang melakukan kontak visual, seperti berjalan di taman dengan durasi 55 menit dan melihat gambar lingkungan vegetasi dengan durasi 10 menit secara signifikan dapat mengurangi kelelahan mental (Berman dkk., 2008). Penelitian terbaru mengatakan bahwa dengan melihat screensaver bergambar taman bunga di atap gedung selama 40 detik dapat meningkatkan atensi (Lee dkk., 2015). Selain berjalan di taman dan melihat gambar, menonton video juga dapat menjadi stimulus involuntary attention. Video dalam penelitian sebelumnya memiliki durasi 10 menit dengan kualitas rekaman yang kurang memadai, khusunya suara (Hartig, Korpela, Evans, & Garling, 1997).

Manfaat yang diberikan oleh lingkungan dengan unsur alam berbanding terbalik dengan dampak visual yang mengaitkan unsur bangunan. Dampak negatif dari lingkungan perkotaan ini muncul karena persepsi seseorang tentang aktivitas di lingkungan perkotaan yang ramai dan penuh dengan keributan (Magi, Rowntree, & Brush dalam Ulrich, 1986). Beberapa fitur buatan manusia, seperti tiang bangunan dan saluran listrik dapat mengurangi daya tarik seseorang (Brush & Palmer, Nasar dalam Ulrich, 1986).

Manfaat bersinggungan dengan lingkungan alam atau vegetasi sebagai media pemulihan, dapat dirasakan tanpa membutuhkan biaya yang banyak (Berman dkk., 2008; Lee dkk., 2015) dan dapat dilakukan secara efektif. Berdasarkan sudut pandang ergonomi, beristirahat disela-sela waktu mengerjakan tugas merupakan aktivitas yang baik untuk dilakukan (Hedge, 2002). Aktivitas yang digunakan untuk beristirahat biasa disebut dengan micro-break. Micro-break merupakan salah satu jenis istirahat singkat yang dapat dilakukan oleh seseorang disela-sela waktu mengerjakan tugas (Kim, Park, & Niu, 2016). Jenis micro-break yang digunakan dalam penelitian ini adalah relaksasi, karena pada penelitian sebelumnya relaksasi merupakan salah satu jenis micro-break yang efektif untuk memulihkan diri dari tuntutan pekerjaan (Kim dkk., 2016).

Penelitian ini akan memanfaatkan perangkat komputer sebagai media untuk memunculkan stimulus involuntary attention seseorang. Perangkat komputer dimanfaatkan sebagai media dalam memunculkan stimulus involuntary attention karena pada era globalisasi ini, aktivitas masyarakat di perkotaan pada umumnya menggunakan peralatan elektronik seperti komputer. Khususnya mahasiswa yang menggunakan komputer untuk mendukung kegiatan perkuliahan, misalnya untuk mengerjakan tugas. Selain itu, komputer juga digunakan untuk mendukung kegiatan operasional di dalam perusahaan, sekolah, maupun instansi pemerintahan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2011

menunjukkan bahwa 92 % perusahaan di Indonesia telah menggunakan komputer sebagai pendukung kegiatan bisnisnya.

Manfaat berinteraksi dengan lingkungan alam terhadap atensi seseorang, akan diukur oleh peneliti menggunakan Attention Network Test (ANT) versi 1.3.0 yang dibuat oleh Dr. Jin Fan dari Amerika Serikat pada tahun 2002. ANT digunakan untuk mengevaluasi tiga fungsi atensi yaitu alerting, orienting, dan executive control berdasarkan anatomi dan fungsi bagian otak (Bratman dkk., 2015; MacLeod dkk., 2010; Berman dkk., 2008; Fan dkk., 2002; Emfield & Neider, 2014).

Dokumen terkait