• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya telah menghasilkan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional yang perlu dilanjutkan dengan dukungan pemerintah dan seluruh potensi masyarakat, karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Dahulu penyelenggara pemerintahan menggunakan dua sistem, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi ataupun desentralisasi sebagai suatu sistem administrasi pemerintahan, dalam banyak hal tidak dapat dilepaskan dari proses pertumbuhan suatu negara. Namun, adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 membuat daerah menjadi bergantung kepada setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, sehingga sekarang ini pemerintah hanya menerapkan satu sistem yaitu desentralisasi. Adapun pengertian desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Sistem pemerintahan inilah yang kemudian disebut dengan otonomi daerah. Otonomi daerah dilancarkan sejak 1 Januari 2001. Daerah–daerah otonom (kabupaten/kota) diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai aspirasi masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan

commit to user

perundang–undangan yang berlaku.

Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab disertai dengan kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri memerlukan dukungan tersedianya pendapatan daerah yang memadai. Lahirnya otonomi daerah telah memberikan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sumber–sumber penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan sumber penerimaan lainnya.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan harus ditingkatkan seoptimal mungkin dalam rangka mewujudkan semangat kemandirian lokal. Dalam hubungannya dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka peranan yang dimainkan oleh Pemerintah Daerah perlu mendapatkan penekanan sekaligus dukungan yang sungguh–sungguh, maka terdapat dua pandangan tentang peranan yang seharusnya dimainkan oleh Pemerintah Daerah, yaitu:

Pertama, Pemerintah Daerah pada dasarnya adalah lembaga yang menyelenggarakan pelayanan tertentu untuk masyarakat, memberikan pelayanan yang semata–mata bermanfaat untuk daerah. Tujuan Pemerintah Daerah bersifat tata usaha dan ekonomi.

Kedua, menekankan peranan Pemerintah Daerah yang

mencerminkan keinginan masyarakat setempat. Tujuan Pemerintah Daerah pada dasarnya bersifat politik, dalam arti Pemerintah Daerah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

merupakan wadah bagi penduduk setempat untuk mengemukakan aspirasi mereka. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tercermin dalam pembagian kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga tiap tingkatan memiliki lingkup kewenangan sendiri–sendiri. Menurut Prof. DR. H. Rahardjo Adidasmita (2011:13) peranan Pemerintah Daerah mencangkup tiga aspek:

1. Pemerintah daerah diberi kekuasaan untuk menghimpun sendiri

pajak yang dapat menghasilkan pendapatan daerah dan untuk menentukan sendiri tarif pajak daerah.

2. Bagi hasil penerimaan pajak nasional antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.

3. Bantuan umum dari Pemerintah Pusat tanpa pengendalian dari

Pemerintah Pusat atas penggunaanya.

Tanah mempunyai fungsi sosial sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang baik bagi orang pribadi atau badan yang mempunyai hak atasnya, oleh karena itu mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan wajar bila menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, dalam hal ini Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Namun, pengenaan BPHTB menurut Undang– undang ini telah memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat

commit to user

terutama masyarakat golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yaitu dengan mengatur nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak).

BPHTB tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia karena merupakan pajak yang menyangkut kepemilikan tanah dan bangunan. Seperti yang dikemukakan Mudrajad Kuncoro dalam Otonomi dan Pembangunan Daerah (2004:28), BPHTB menurut Undang–Undang No. 25 tahun 1999 pasal 6 merupakan dana perimbangan bagian daerah (dana bagi hasil), yang selama ini pelaksanaan pemungutan BPHTB dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan penerimaan pajaknya diberikan kembali ke Pemerintah Daerah melalui pola bagi hasil. Tetapi, seperti yang diamanatkan melalui Undang–undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB dialihkan dari pajak pusat menjadi pajak daerah, terhitung sejak 1 Januari 2011.

Dahulu ketika BPHTB sebagai pajak pusat, daerah tidak mendapat 100% penerimaan pajak ini. Pemerintah pusat mendapat bagian 20% dari seluruh penerimaan BPHTB yang kemudian bagian Pemerintah Pusat ini dibagikan secara merata ke seluruh daerah Kabupaten/Kota, sedangkan Pemerintah Daerah mendapat bagian sebesar 80% yang dibagi 16% untuk Daerah Provinsi dan 64% untuk Daerah Kabupaten/Kota. Kini, 100% penerimaan BPHTB menjadi hak pemerintah daerah yang menjadi lokasi transaksi properti. Pengalihan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

pengelolaan ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan, penyempurnaan sistem pungutan pajak dan retribusi daerah, peningkatan efektifitas pengawasan sebagai perwujudan pemerintahan daerah yang mandiri serta jika dikaitkan dengan unsur pelayanan masyarakat, akuntabilitas dan transparansi menjadi isu yang paling disoroti di era otonomi daerah. Beban pajak properti sering dikaitkan langsung dengan pelayanan masyarakat yang diberikan Pemerintah Daerah, misalnya dalam menyediakan sarana prasarana, sehingga logikanya wajar bila pajak properti dikelola langsung oleh Pemerintah Daerah untuk otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Fungsi pelayanan dan pengawasan terhadap subjek dan objek pajak diharapkan dapat lebih optimal apabila Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab atas pemungutan pajaknya.

Sistem yang digunakan dalam pemungutah pajak BPHTB adalah

Self Assessment System yang memberi kepercayaan penuh kepada

Wajib Pajak (WP) untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, mulai dari menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang

terutang, sehingga idealnya Wajib Pajak akan bersikap proaktif

terhadap kewajibannya dalam membayar pajak. Tarif yang ditetapkan pemerintah untuk Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan adalah tarif tunggal sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak

commit to user

(NPOPKP) atas Tanah dan Bangunan. Tarif tersebut ditetapkan secara tunggal agar Wajib Pajak dapat lebih mudah dalam melaksanakan

Sistem Self Assessment yang diberlakukan pemerintah. Dalam

pemberlakuan sistem ini pemerintah membuat Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) agar Wajib Pajak dapat menyetorkan secara langsung BPHTB yang terutang. SSB ini digunakan sebagai bukti bagi Wajib Pajak dalam proses pengalihan hak bagi pejabat atau tempat pembayaran dilakukan. Dengan peralihan tersebut diharapkan BPHTB akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi daerah tertentu dibandingkan dari keseluruhan penerimaan pajak daerah yang selama ini ada. Perubahan ini tentunya merubah pihak yang melayani BPHTB, yang selama ini tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak menjadi tanggung jawab Dinas Pendapatan Daerah. Pengalihan kewenangan ini bukan hal yang mudah karena diperlukannya kesiapan dari semua pihak yang terkait agar pengalihan kewenangan berjalan optimal.

Implementasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:374) mempunyai arti penerapan atau pelaksanaan. Dalam hal ini merupakan pelaksanaan peralihan BPHTB dari Pajak Pusat kemudian menjadi Pajak Daerah, yaitu mulai 1 Januari 2011 telah dikelola langsung oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Kota Surakarta.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

penerimaan BPHTB, kendala dan upaya yang dilakukan pihak Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan penerimaan tersebut. Mengingat pentingnya pelaksanaan pengoptimalan pendapatan daerah dari peralihan BPHTB yang dikelola Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Kota Surakarta, maka penulis mengambil judul “IMPLEMENTASI PERALIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PADA DINAS PENDAPATAN, PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET KOTA SURAKARTA”.

Dokumen terkait