• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Keanekaragaman jenis capung di Indonesia mencapai 900 spesies. Jumlah ini diperkirakan sekitar 15% dari total 5680 jenis capung yang ada di dunia (Wahyu Sigit. 2013: 3). Capung memiliki peranan penting bagi manusia karena merupakan salah satu bioindikator untuk memantau kualitas air. Nimfa capung tidak bisa hidup pada air yang tercemar atau yang tidak bervegetasi (Susanti, 1998: 24). Selain itu, capung juga berperan dalam bidang kesehatan maupun pertanian. Nimfa capung berperan sebagai pemangsa jentik-jentik nyamuk, sedangkan capung dewasa dikenal sebagai pengendali hama tanaman. Capung dewasa memangsa serangga lain seperti walang sangit dan ngengat (Mareyke Moningka. 2012: 91).

Keberadaan capung sangat dipengaruhi oleh keberadaan perairan di suatu wilayah. Di Yogyakarta sudah mulai sulit menemui tempat yang masih mendukung kehidupan capung secara alami karena sebagian besar landscape di kota ini sudah beralih fungsi menjadi wilayah perkantoran dan perumahan. Sungai-sungai yang melintasi kota Yogyakarta juga mengalami pencemaran air serta beralih fungsinya bantaran sungai menjadi pemukiman warga. Kondisi ini memberi ancaman keberlangsungan hidup capung di Yogyakarta.

Salah satu lokasi yang masih mendukung kehidupan capung di Yogyakarta adalah di Jogja Adventure Zone. Jogja Adventure Zone adalah tempat outbond yang dikelola oleh Primkopau VI Skadik 104 Wingdik Terbang Lanud Adisutjipto yang meliputi area seluas 50.000 m2.. Jogja Adventure Zone sering dikunjungi oleh

2

pelajar SD/SMP/SMA bahkan Mahasiswa dan masyarakat umum untuk melakukan rekreasi maupun outbond. Kondisinya yang masih alami dan lokasi yang dekat dengan kota menjadikan Jogja Adventure Zone sebagai destinasi yang menarik untuk dikunjungi (Tabah, 2013).

Jogja Adventure Zone memiliki ekosistem yang menarik, terdapat dua kolam pancing dengan luas masing-masing 9.000 m2 dan 2.000 m2 yang dikelilingi oleh pepohonan dan perdu. Kondisi ini menjadikan Jogja Adventure Zone memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi tidak terkecuali jenis serangga capung. Tercatat 32 jenis capung dari hasil survei yang pernah dilakukan oleh Indonesia Dragonfly Society pada bulan Mei 2014.

Keberadaan Jogja Adventure Zone memberi harapan kelestarian hidup bagi capung-capung yang masih bertahan di sana. Kondisi ini tentu perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Tidak hanya dari pengelola sendiri, namun juga pengunjung yang melakukan kegiatan. Diharapkan pengunjung (masyarakat) bisa mengetahui keberadaan keanekaragaman hayati terutama capung yang ada di kawasan tersebut. Keberadaan capung di Jogja Adventure Zone masih jarang digunakan sebagai sumber belajar untuk menambah pengetahuan dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar, sehingga masih dipandang sebelah mata oleh pengunjung bahkan mereka sama sekali tidak mengetahuinya.

Jogja Adventure Zone memiliki potensi sebagai laboratorium alam yang dapat dijadikan ruang belajar karena kondisi lingkungannya yang masih terjaga dan tingginya biodiversitas jenis capung. Apabila potensi ini dapat diangkat menjadi bagian dari pembelajaran ko-kulikuler materi keanekaragaman hayati, maka siswa

3

akan memperoleh pemahaman materi kenaekaragaman hayati baik secara umum maupun mendapatkan pengetahuan spesifik tentang keanekaragaman capung beserta habitatnya. Selain itu, siswa akan lebih menghargai dan turut melestarikan keberadaan capung di sekitar mereka mengingat pentingnya peran capung di lingkungan sebagai bioindikator, predator hama alami, dan penyeimbang ekosistem.

Djohar (dalam Suratsih, 2010: 8) mengatakan, proses belajar biologi merupakan perwujudan dari interaksi subjek didik (siswa) dengan objek yang terdiri dari benda dan kejadian, serta proses dan produk. Seorang guru adalah mediator antara siswa dan objek belajar dituntut untuk bisa mengintegrasikan antara kegiatan belajar dengan fenomena yang ada di lingkungan sekitar. Sedangkan siswa dalam mempelajari suatu objek dituntut untuk aktif belajar melalui informasi-informasi yang diperoleh dari lingkungan, sehingga siswa dapat memperoleh pemahaman yang utuh serta mengubah sikap siswa kearah yang lebih baik dalam mehadapi objek dan fenomena di sekitarnya. Hanya saja keterbatasan pengetahuan seorang guru dan kurang pekanya siswa terhadap fenomena di alam menjadikan kurang optimalnya pemanfaatan fenomena alam dalam pembelajaran biologi.

Alasan belum diangkatnya potensi keanekaragaman capung di Jogja Adventure Zone dalam dunia pendidikan adalah karena belum adanya suatu petunjuk yang mampu memadukan antara kegiatan belajar dengan potensi capung yang ada di sana. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Keanekaragaman Capung Di Jogja Adventure Zone Sebagai Bahan Lembar Kegiatan Siswa Bagi Siswa Kelas X SMA”.

4 B. Identifikasi Masalah

1. Apa saja jenis – jenis capung yang ada di Jogja Adventure Zone?

2. Bagaimana cara mempertahankan wilayah perairan yang ada di Yogyakarta agar bisa menjadi habitat hidup bagi capung yang ada di sana?

3. Bagaimana cara mengangkat potensi Jogja Adventure Zone sebagai laboratorium alam yang dapat dijadikan ruang belajar yang menarik bagi siswa SMA?

4. Bagaimana cara meningkatkan interaksi antara siswa dengan objek belajar agar siswa mendapatkan pengetahuan yang utuh dan pengalaman belajar secara langsung?

5. Bagaimana cara meningkatkan kemampuan guru agar peran guru sebagai mediator yang mampu mengintegrasikan antara kegiatan belajar dengan fenomena yang ada di lingkungan sekitar dapat terlaksana?

6. Bagaimana cara mengangkat potensi keanekaragaman capung di Jogja Adventure Zone sebagai sumber belajar biologi dalam rangka mempelajari materi keanekaragaman hayati bagi siswa SMA?

7. Bagaimana penyusunan Lembar Kegiatan Siswa Keanekaragaman Capung di Jogja Adventure Zone untuk mempelajari materi keanekaragaman hayati bagi siswa SMA?

5 C. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada pemanfaatan keanekaragaman capung yang ditemukan di Jogja Adventure Zone sebagai Lembar Kegiatan Siswa (LKS) bagi siswa kelas X SMA untuk mempelajari materi pada kompetensi dasar keanekaragaman hayati.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa saja jenis – jenis capung yang terdapat di Jogja Adventure Zone?

2. Dapatkah hasil penelitian keanekaragaman capung di Jogja Adventrues Zone dijadikan bahan penyusunan Lembar Kegiatan Siswa untuk mempelajari materi keanekaragaman hayati bagi siswa kelas X SMA?

3. Bagaimana kualitas Lembar Kegiatan Siswa Mengamati Capung di Jogja Adventure Zone yang dinilai berdasarkan aspek materi, aspek desain/kregrafisan, aspek penyajian, dan aspek bahasa atau keterbacaan.

E. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui jenis – jenis capung yang terdapat di Jogja Adventure Zone.

2. Menyusun Lembar Kegiatan Siswa Mengamati Capung di Jogja Adventure Zone untuk mempelajari materi keanekaragaman hayati bagi siswa kelas X SMA. 3. Mengetahui kualitas Lembar Kegiatan Siswa Mengamati Capung di Jogja

Adventure Zone yang dinilai berdasarkan aspek materi, aspek desain/kegrafisan, aspek penyajian, dan aspek bahasa atau keterbacaan.

6 F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap berbagai informasi mengenai keanekaragaman capung di Jogja Adventure Zone yang masih belum terungkap yang nantinya akan menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai sumber belajar yang dapat digunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan.

2. Manfaat bagi Siswa SMA

Menambah pengetahuan dan wawasan tentang keragaman jenis capung, status keterancamanmya, dan peran capung di alam yang ada di kawasan Jogja Adventure Zone serta menambah motivasi siswa untuk mencintai satwa khususnya capung dan diharapkan mampu memaknai hal-hal yang diperoleh dalam berinteraksi langsung dengan objek yang dipelajari.

3. Manfaat bagi Guru

Menyediakan panduan kegiatan untuk mendukung pembelajaran di sekolah yang mampu mengangkat potensi lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. Selain itu sebagai salah satu alternatif kegiatan pembelajaran yang mengajak siswa untuk melakukan kegiatan belajar biologi dengan menghadap objek secara langsung di lapangan.

4. Manfaat bagi Pengelola Kawasan Jogja Adventure Zone

Menambah potensi Jogja Adventure Zone sebagai sumber belajar bagi masyarakat luas terutama siswa SMA yang berkunjung, selain itu juga memberi

7

alternatif sumber belajar yang inovatif sehingga dapat memotivasi wisatawan untuk belajar sambil berwisata.

5. Manfaat bagi Peneliti

Peneliti memperoleh pengalaman dalam melakukan penelitian dan mencoba memberi rekomendasi pengembangan sumber belajar dalam bentuk buku panduan belajar pengamatan capung yang khuhusnya ditujukan pada siswa kelas X SMA dan umumnya kepada pengunjung Jogja Adventure Zone yang ingin belajar mengenai keanekaragaman capung di kawasan tersebut.

6. Manfaat Bagi Capung (Objek Penelitian)

Menjadikan masyarakat mengenali keanekaragaman jenis dan peran capung di Jogja Adventure Zone pada khususnya dan di lingkungan sekitar pada umumnya sehingga masyarakat diharapkan mau ikut serta dalam upaya pelestarian capung dan habitatnya.

G. Definisi Operasional 1. Odonata/Capung

Odonata/Capung merupakan kelompok serangga terbang yang terdiri dari sub ordo Anisoptera (capung) dan Zygoptera (capung jarum) (Jill Silsby. 2001) yang ditemui di kawasan Jogja Adventure Zone.

2. Keanekaragaman jenis Capung

Keanekaragaman jenis capung adalah persamaan dan perbedaan yang terdapat pada satu jenis capung dengan jenis lainnya.

8

Lembar Kegiatan Siswa (LKS) merupakan lembaran-lembaran yang berisikan petunjuk atau langkah-langkah untuk menyelesaikan tugas yang harus dilakukan dan diselesaikan oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai (Andi Prastowo. 2012:203-204)

4. Jogja Adventure Zone

Jogja Adventure Zone adalah tempat outbond yang dikelola oleh Primkopau VI Skadik 104 Wingdik Terbang Lanud Adisutjipto Yogyakarta. Luas area Jogja Adventure Zone adalah 50.000 m2 yang terdiri dari dua kolam pancing yang dikelilingi oleh tumbuhan-tumbuhan dan area persawahan. Memiliki ekosistem kolam yang mendukung kehidupan berbagai hewan serta terdapat aliran air yang masuk dan keluar (Tabah. 2013)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Keilmuan

1. Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati muncul karena adanya persamaan dan perbedaan cirri serta sifat yang dimiliki oleh makhluk hidup. Perbedaan ini dapat dilihat dari bentuk, penampilan, jumlah, ukuran, serta ciri-ciri lain yang dimiliki makhluk hidup. Mempelajari keanekaragaman hayati dapat dimulai dengan cara mengelompokkan organisme yang memiliki ciri morfologi yang sama dan memisahkannya berdasarkan perbedaan ciri morfologinya. Selanjutnya dapat dilakukan berdasarkan karakteristik yang lebih mendalam dan spesifik (Satino, 2012:2-3). Keanekaragaman hayati adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keanekaan bentuk kehidupan di bumi, interaksi di antara berbagai makhluk hidup, serta antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Bappenas, 2004:6).

Keanekaragaman hayati umumnya dianggap memiliki tiga tingkatan yang berbeda yaitu keanekaragaman gen, keanekaragaman spesies, dan keanekaragaman ekosistem. Keanekaragaman hayati meningkat ketika variasi genetik baru dihasilkan, spesies baru berevolusi, atau ketika satu ekosistem baru terbentuk. Keanekaragaman hayati akan berkurang dengan berkurangnya spesies, satu spesies punah atau ekosistem hilang maupun rusak. Konsep ini menekankan sifat keterkaitan dunia kehidupan dan proses-prosesnya (Satino, 2012:4).

10

Pembagian keanekaragaman hayati menjadi tiga tingkatan tersebut didasarkan pada keterwakilan dari ranah organisasi molekuler. Dalam mempelajari makhluk hidup dikenal ada tiga pengelompokan yang didasarkan pada ranah yang berbeda, yaitu :

a. Pengelompokkan makhluk hidup berdasarkan Taksonomi

Pengelompokan makhluk hidup didasarkan pada persamaan dan perbedaan dan disusun secara bertingkat yang bertujuan untuk mempermudah dalam mempelajarinya dan dikenal dengan istilah tingkatan taksa/taksonomi. Secara umum ada beberapa tingkatan taksa yang telah dikenal antara lain: Kindom, Filum/Devisio, Class (Kelas), Ordo (Bangsa), Famili (Suku), Genus (Marga), dan Spesies (Jenis). Dari pengelompokkan ini lahirlah keanekaragaman hayati tingkat jenis yang dianggap dapat mewakili keanekaragaman organism secara taksonomi.

b. Pengelompokkan makhluk hidup berdasarkan komplektisitas materi penyusun. Pengelompokkan ini didasarkan pada komplektisitas penyusunnya tanpa mempertimbangkan adanya interaksi sebagai sebuah sistem. Hasilnya didapatkan pengelompokkan makhluk hidup dari yang sederhana hingga yang paling kompleks, meliputi: atom, molekul, gen, sel, jaringan, organ, individu, populasi, dan komunitas. Kemudian lahirlah keanekaragaman hayatitingkat gen yang dianggap mewakili keanekaragaman hayati berdasarkan komplektisitas meteri penyusunnya.

c. Pengelompokkan makhluk hidup berdasarkan koplektisitas materi penyusun dan interaksinya.

11

Dikenal dengan istilah biosistem, yaitu organisasi kehidupan dipandang sebagai sebuah sistem yang saling berinteraksi dan tidak berdiri sendiri. Secara bertingkat dikenal dengan istilah: sistem atom, sistem molekul, sistem gen, sistem sel, sistem jaringan, sistem organ, sistem individu (organism), sistem populasi, dan sistem komunitas (ekosistem). Dari pengelompokan ini lahirlah keanekaragaman hayati tingkat ekosistem yang dianggap dapat mewakili dalam mempelajari salah satu keanekarahaman hayati. (Satino, 2012:5-10)

2. Keanekaragaman Jenis Capung

Keanekaragaman jenis adalah keanekaan spesies organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di perairan. Dengan demikian masing-masing organisme mempunyai ciri yang berbeda satu dengan yang lain (Bappenas, 2004 : 6). Keanekaragaman tingkat jenis ditunjukkan dengan adanya beraneka macam jenis makhluk hidup baik tumbuhan, hewan, maupun mikroba. Keanekaragaman jenis capug ditunjukkan dengan adanya persamaan dan perbedaan yang terdapat pada satu jenis capung dengan jenis lainnya. Perbedaan yang terdapat diantara organise berbrda jenis leboh banyak dibandingkan dengan perbedaan yang terdapat diantara organisme satu jenis. Dua organisme yang berbeda jenis mempunyai susunan gen yang lebih banyak perbedaanya dari pada yang tergolong satu jenis (IGP Suryadharma dkk, 1997 : 27).

3. Capung (Ordo Odonata) a. Morfologi Capung

Istilah capung dalam bahasa Indonesia biasa ditujukan kepada kedua sub ordo odonata, yaitu Anisoptera atau capung biasa dan Zygoptera atau capung jarum. Capung termasuk ke dalam kelas Insecta/Serangga. Secara umum,

12

serangga merupakan kelompok utama dari hewan beruas (Arthropoda) yang bertungkai enam, oleh karena itu mereka disebut pula Hexapoda atau berkaki enam. Secara morfologi, tubuh serangga dewasa dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Ketiga bagian tubuh serangga dewasa tersebut adalah kepala (caput), dada (thoraks), dan perut (abdomen) (Andika Prasetya. 2014)

Kepala atau caput capung berbentuk kapsul, merupakan bangunan yang kuat yang dilengkapi dengan mulut, antena, dan mata (Mochamad Hadi. 2009:3). Capung memiliki sepasang mata yang mampu melihat kesegala arah, berukuran besar dan hampir memenuhi seluruh kepala yang terdiri dari mata majemuk dan mata tunggal. Terdapat sepasang antena yang bertipe setaceus berbentuk seperti duri, ruas-ruasnya lebih mengecil pada bagian ujung (Suhara. 2014:11). Mulut capung bertipe pengunyah yang dapat digunakan untuk memegang, menggerakkan, dan mengunyah makanan.

Dada atau toraks relatif kecil dengan dilengkapi sayap dan tungkai. Capung memiliki sayap bertipe sayap membran yang terdiri dari dua pasang, biasa disebut sayap depan dan sayap belakang. Bentuk sayap memanjang, berangka, dan berselaput. Pada sub ordo Anisoptera, mempunyai sayap belakang yang lebih lebar. Pada waktu istirahat, sayap diletakkan secara horizontal atau membuka. Sedangkan pada sub ordo Zygoptera atau capung jarum, sayap dapan dan sayap belakang memilik memiliki bentuk yang relatif serupa dengan bagian dasar sayap menyempit. Pada saat istirahat umunya capung jarum meletakkan sayapnya dalam keadaan menutup (Borror. 1992:240-254). Tungkai capung

13

relatif pendek berjumlah 3 pasang yang bertipe raptorial yang berfungsi untuk menangkap mangsa dan hinggap.

Perut atau abdomen berbentuk memanjang, agak silindris, beruas-ruas, meruncing dibagian ujung, dan terdapat kelenjar kelamin. Ruas abdomen berjumlah sepuluh yang bersifat fleksibel. Menurut William dan Feltmate (1992 dalam Siti Nurul. 2008:5) ukuran abdomen pada ruas pertama, kedua, kedelapan, dan kesepuluh lebih pendek daripada ruas lain. Kelenjar kelamin dan lubang kelamin berada di ujung abdomen, namun pada capung jantan alat penyampai (penis) dan cantol-cantol pelengkap berada di dasar abdomen pada ruas ke dua dan tiga, sedangkan pada capung betina berada di ujung abdomen (Redaksi Ensiklopedi Indonesia.1989:37)

b. Klasifikasi Capung

Secara keseluruhan, capung terdiri dari dua sub ordo yaitu Anisoptera dan Zygoptera, keduanya terbagi lagi ke dalam 29 famili, 58 sub famili dan 600 genus. Jumlah nama spesies capung di dunia mencapai 6000 nama (Silsby, Jill. 2001 : 71). Pembagian Ordo Odonata menjadi Sub Ordo Anisoptera dan Zygoptera didasarkan pada bentuk sayap dan sifat-sifat sayapnya. Pembagian dari sub ordo ke famili didasarkan pada sifat sayap, meliputi susunan vena, corak sayap, dan bentuk sayap. Serta pada mata facet, alat mulut terutama labium, dan lobus pada ruas ke-2 abdomen dari yang jantan.

Sub Ordo Anisoptera memiliki tubuh yang kuat dengan panjang berkisar antara 2,5-9 cm. Sayap depan lebih kecil dari pada sayap belakang. Pada saat istirahat, posisi sayap dalam keadaan terbuka/horizontal. Pada jantan

14

mempunyai alat tambahan (terminal appendages) sebanyak 3 buah (2 diatas dan 1 dibawah). Sedangkan pada betina mempunyai 2 buah dorsal terminal appendages. Nimfa berukuran besar mempunyai insang di rectum.

Sub ordo Zygoptera memiliki bentuk dan ukuran sayap depan dan belakang relatif sama. Pada saat istirahat posisi sayap dalam keadaan tertutup dan tegak lurus dengan tubuh. Abdomen berbentuk ramping. Pada jantan memiliki 4 buah alat tambahan, betina memiliki ovivositor yang berkembang dengan baik. Nimfa Zygoptera mempunyai insang yang berbentuk daun dan berjumlah 3 buah (Mochamad Hadi. 2009:132-133).

c. Habitat Capung

Capung dewasa sering terlihat di tempat-tempat terbuka , terutama diperairan tempat mereka berbiak dan mencari makan. Capung dan capung jarum menyebar luas di hutan-hutan, kebun, sawah, sungai, dan danau, hingga ke pekarangan rumah lingkungan perkotaan, tepi pantai hingga ketinggian lebih dari 3000 m dpl. Sebagian besar capung senang hinggap di pucuk rumput, perdu, dan ranting-ranting pohon yang tumbuh di sekitar perairan (Shanti Susanti. 1998:11). Beberapa jenis capung dewasa merupakan penerbang yang sangat kuat, sehingga sering kali dapat ditemukan jauh dari wilayah perairan.

d. Siklus Hidup dan Reproduksi Capung

Capung merupakan salah satu contoh serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna atau hemimetabola. Di masa hidupnya, capung mengalami tiga tahap perubahan bentuk yaitu telur, nimfa, dan capung dewasa

15

(Shanti Susanti. 1998:14). Saat terjadi kopulasi, capung jantan mengaitkan ujung abdomennya di leher betina kemudian betina akan membengkokkan abdomennya ke atas dan mengaitkan ujung abdomennya ke organ genital jantan yang ada di ruas 2-3 abdomen jantan. Kopulasi bisa terjadi dalam keadaan terbang maupun tengger. Setelah terjadi kopulasi, capung betina akan meletakkan telurnya di air atau disisipkan pada tanaman air (Wahyu Sigit. 2013:23).

Telur capung ada yang berbentuk panjang silindris dan ada yang bulat, di salah satu sudut ada satu atau beberapa lubang yang sangat kecil yang digunakan untuk jalan memasukkan sperma sebelum telur diletakkan di air. Telur tersebut kemudian akan menetas menjadi nimfa. Lama masa penetasan ini bervariasi satu jenis dengan jenis lain, antara 1-3 minggu. Predator utama telur capung adalah ikan dan siput.

Nimfa capug memilik bentuk yang mirip dengan bentuk capung dewasa, kecuali sayap dan organ reproduksi. Organ reproduksi dan sayap pada nimfa belum berkembang (Aprizal Lukman. 2009 : 43) Nimfa capung dapat hidup di air selama beberapa bulan hingga tahun dan sangat sensitif terhadap kondisi air yang tercemar. Sebagian besar kehidupan capung dihabiskan dalam tahap ini dan bernafas dengan menggunakan insang. Pada masa perkembangannya sebelum menjadi capung dewasa, nimfa capung akan mengalami pergantian kulit (moulting) sebanyak 6-15 kali, tergantung jenis capungnya, atau yang disebut dengan tahap instar. Nimfa jenis capung

16

tertentu dapat mengalami masa istirahat yang menunda perkembangan hingga musim tertentu yang sesuai bagi kehidupannya (Shanti Susanti.1998:16-17).

Proses pergantian kulit atau moulting ini dipengaruhi oleh hormon. Serangga memiliki tiga hormon yang berpedan dalam metamorfosis yaitu hormon otak (ecdysiotropin) yang dihasilkan dalam corpora cardiace, hormon moulting atau ecdyson (protoracic gland/PGH) yang dihasilkan oleh kelenjar protoraks, dan hormon juvenil (JH) yangdihasilkan oleh corpora allata yaitu sepasang kelenjar endokrin yang terletak di otak. Capung memiliki kerangka luar yang disebut eksoskleleton yang menutupi seluruh tubunhnya namun tidak bisa mengalami pertumbuhan, sedangkan tubuh nimfa capung terus mengalami pertumbuhan. Akibatnya nimfa capung harus melakukan moulting beberapa kali selama hidupnya (Aprizal Lukman. 2009 : 43).

Secara berkala sel-sel neurosekretori di dalam otak menghasilkan hormon otak/ecdysiotropin. Hormon ini merangsang kelenjar protoraks untuk menghasilkan hormon edyson yang kemudian merangsan pertumbuhan dan menyebabkan epidermis menggetahkan suatu kutikula baru yang menyebabkan dimulainya proses pengelupasan kulit atau moulting. Selain ecdyson, proses moulting juga dipengaruhi oleh hormon juvenil. Selama hormon juvenil masih diproduksi, rangkaian pengelupasan kulit yang terjadi di bawah pengaruh ecdyson hanya akan menghasilkan stadium tidak dewasa (masih tetap menjadi nimfa). Jika saat nimfa capung moulting dan tidak menghasilkan hormin juvenil maka nimfa tersebut akan menjadi bentuk dewasa (capung dewasa) (Aprizal Lukman. 2009 : 43-44).

17

Setelah nimfa tua/matang (mature) dan siap menjadi capung dewasa, nimfa capung akan memanjat tanaman air atau benda lain untuk keluar dari air. Pada waktu tersebut fungsi insang akan terhenti dan digantikan oleh lubang dubur. Proses ini umumnya terjadi di pagi hari sebelum matahari terbit. Capung dewasa keluar dengan merobek kulit nimfa tua, umumnya membutuhkan waktu 1-2 jam untuk bisa terbang. Jenis capung tertentu membutuhkan waktu lebih lama, bisa sampai seharian baru bisa terbang.

Periode pematangan reproduksi capung dewasa Zygoptera terjadi selama 2 sampai 30 hari sedangkan subordo Anisoptera berlangsung selama 6 sampai 45 hari yang dipengaruhi oleh jenis spesies, cuaca, lingkungan dan habitat. Masa reproduksi berlangsung selama satu sampai delapan minggu. Periode pematangan berlangsung sejak kemunculan naiad sampai kematangan seksual yang melibatkan; perubahan warna tubuh, warna sayap, perkembangan alat kelamin, ukuran dan kemunculan ektoparasit tertentu dan pertumbuhan jumlah lapisan pada endokutikula (William & Feltmate 1992 dalam Siti Nurul. 2008:6)

e. Peran Capung bagi Kehidupan

Capung memiliki manfaat secara tidak langsung bagi manusia. Dari sisi kesehatan, nimfa capung berperan sebagai predator jentik-jentik nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit malaria dan demam berdarah. Berdasarkan hasil temuan baru-baru ini telah terungkap bahwa capung merupakan pembasmi yang efektif terhadap nyamuk-nyamuk yang menyebabkan penyakit demam berdarah. Dari sisi pertanian, capung dewasa merupakan predator hama

Dokumen terkait