• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

A. Latar Belakang Masalah

Lanjut usia merupakan periode penutup dalam rentang kehidupan manusia sebelum menghadapi kematian. Dalam proses tersebut manusia akan mengalami tahap perkembangan yang berbeda. Setiap tahap yang dilalui akan memberikan beberapa penurunan, seperti penurunan pada fungsi biologis, motoris, pengamatan, berpikir, motif-motif, kehidupan afeksi, hubungan sosial serta integrasi masyarakat (Hurlock, 2008). Menurunnya fungsi berbagai organ pada lansia mengakibatkan kerentanan terserang berbagai penyakit yang bersifat akut dan kronis. Menurut Departemen Kesehatan (2002) penyakit-penyakit yang sering dialami lansia biasanya penyakit-penyakit degeneratif yang bersifat kronis dan multipatologis. Masalah pada lansia tidak sama dengan yang dihadapi pada non-lansia. Masalah yang dihadapi lansia umumnya berhubungan dengan penuaan dan kematian. Proses penuaan berkaitan dengan gangguan mobilitas gerasampai gangguan jantung (Depkes, 2002). Proses penuaan tersebut memberikan dampak pada kemampuan lansia dalam melakukan aktifitas sehari-hari /activity daily livings (ADL) (Cavanaugh J & Fields F, 2006) sehingga memerlukan perhatian dan bantuan dari orang lain (Bayer & Reban, 2004).

Di negara maju maupun berkembang, jumlah lanjut usia semakin meningkat dan Indonesia cukup signifikan dalam percepatan laju usia lansia di

dunia (Abikusno, 2002). Pada tahun 2000 jumlah lanjut usia mencapai 14,4 juta (7,18%) dari total populasi penduduk Indonesia. Tahun 2004 jumlah lansia meningkat hingga mencapai 16,5 juta. Pada tahun 2005 jumlah lansia mencapai 17,6 juta jiwa dan pada data tahun 2012 diketahui bahwa jumlah lansia meningkat menjadi 8 % dari jumlah penduduk Indonesia yakni mencapai 28 juta jiwa (Kemensos, 2012). Diperkirakan tahun 2025 jumlah lanjut usia akan meningkat menjadi 40 jutaan. Bahkan pada 2050 jumlah lansia diperkirakan mencapai 71,6 juta jiwa di Indonesia (Kemensos, 2012). Proses penuaan penduduk mempunyai dampak luas bagi lansia dan masyarakat, selain itu persoalan akan semakin bertambah, seperti meningkatnya kebutuhan pelayanan dan fasilitas bagi lansia. Dari populasi lansia yang tercatat sebanyak 16.522.311 jiwa, sekitar 20% diantaranya adalah lansia terlantar (Depsos, 2006). Pada tahun 2005 jumlah lansia terlantar yang mendapat pelayanan kesejahteraan sosial sebesar 0,5%. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa, terjadi peningkatan jumlah lansia pada tahun 2005 di provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduk lanjut usia di atas 60 tahun sebesar 4,6% dan tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,9%. Dalam Symposium on ageing, Lanjut Usia Kementerian Sosial RI, Yulia Suharti mengatakan tahun 2012 jumlah lansia sudah mencapai 28 juta jiwa dan 6,4% di antaranya terlantar. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Hawari (2007) yang menyatakan bahwa, di negara maju lanjut usia memiliki permasalahan seperti depresi hingga bunuh diri disebabkan keterasingan, isolasi sosial, dan kesepian, sedangkan di Indonesia diperkirakan sekitar 3,3 juta lansia memerlukan pelayanan sosial,

sebagian besar terlantar dan memerlukan upaya perlindungan khusus (Komnas Lanjut Usia, 2000).

Di Indonesia, sebagian besar lansia masih bertempat tinggal dengan keluarga (extended family system) seperti budaya masyarakat timur pada umumnya. Selain tinggal bersama keluarga, para lansia sebagian besar tinggal di panti jompo. Panti jompo adalah suatu instansi hunian bersama yang diperuntukkan bagi lansia. Panti jompo merupakan suatu bangunan yang digunakan sebagai tempat penampungan lansia untuk kemudian di asuh, dirawat, dan diberikan perhatian lebih dalam untuk kehidupannya sehari-hari (Fitri SWA, dkk, 2011). Selain panti jompo yang dikelola oleh pemerintah, terdapat juga panti jompo yang dikelola oleh badan-badan swasta. Jumlah panti jompo yang dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah dan masyarakat pada tahun 2010 berjumlah 235 unit dengan jumlah lansia yang mampu ditangani sebanyak 11.397 orang (Kemensos,2010). Di wilayah Binjai sendiri terdapat satu panti jompo yang didirikan oleh pemerintah yaitu Panti Tresna Werdha Abdi, yang merupakan satu-satunya panti jompo pemerintah yang berada dalam naungan Dinas Sosial Kota Medan yang berlokasi di Binjai sedangkan panti jompo yang dikelola swasta terdiri dari 5 yaitu Panti Jompo Karya Kasih, Panti Jompo Hisosu, Panti Jompo Harapan Jaya dan Panti Jompo Yayasan Guna Budi Bakti.

Pelayanan/pendampingan yang ada di panti jompo mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan keberfungsian sosial lansia. Dalam kegiatan rutinitasnya, para lansia membutuhkan orang lain untuk membantunya

beraktivitas sehingga ia dapat memenuhi kebutuhannya. Pendamping lansia tersebut dikenal dengan sebutan caregiver. Barrow (1996 dalam Widiastuti 2009) menyebutkan terdapat dua jenis caregiver, yaitu formal dan tidak formal.

Caregiver formal adalah individu yang memberikan perawatan dengan

melakukan pembayaran yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga professional lainnya. Sedangkan caregiver informal adalah individu yang memberikan perawatan tanpa dibayar biasanya dilakukan oleh keluarga atau teman. Berdasarkan U.S Departement of Health and Human

Service. Administration On Aging (2007) & Women and Caregiving: Fact and

Figure (2007) menyatakan bahwa tiga per empat caregiver berjenis kelamin

perempuan, kebanyakan caregiver 35-64 tahun dan berstatus nikah, 81% seluruh pelayanan berbasis home care. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan yang ada di Indonesia. Menurut Departemen Sosial (2008) sekitar 70%

caregiver berjenis kelamin perempuan, selain itu usia individu yang menjadi

caregiver berada pada rentang usia dewasa madya (30-50 tahun).

Caregiver memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan

non-caregivers (Pinquart & Sorensen, 2007). Dari hasil penelitiannya diketahui

bahwa kegiatan rutin bersama kliennya (dalam hal ini lansia) dapat mengakibatkan kelelahan, dan jika kelelahan meningkat maka dapat mengakibatkan stres bagi caregiver. Memberikan perawatan pada klien dengan kondisi penurunan fungsional dirasakan begitu berat dan menyebabkan depresi bagi para caregiver (Yikilkan & Aypank, 2014). Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Okoye dan Asa tahun 2011. Mereka mengatakan

pemberian perawatan terutama kepada orang tua (lansia) menuntut pengorbanan yang besar baik secara fisik maupun emosional. Hal tersebut mempengaruhi kondisi caregiver baik secara fisik dan psikis, sehingga pada saat pelaksanaan kerja dan pemberian pelayanan menjadi kurang maksimal. Stres tersebut juga berdampak pada kesehatan caregiver. Menurut Journal of

the America Medical Association dalam American Psychological Association

(Simon, Klesey et al, 2012), caregiver yang mengalami tekanan tinggi dalam merawat lansia berisiko mengalami kematian dini (premature mortality), penyakit jantung koroner, dan stroke. Survei di Amerika juga menunjukkan bahwa prevalensi penyakit kronis pada caregiver lebih tinggi (80%) dibandingkan dengan populasi umum (61%), disamping itu kesehatan caregiver yang berusia dibawah atau sama dengan 49 tahun memiliki kondisi kesehatan yang lebih buruk daripada orang-orang seusianya di populasi umum (APA, 2012). Data menurut National Alliance for caregiving (2009, dalam Natasia 2013) faktanya 17% caregiver memiliki keluhan kesehatan yang lebih buruk sebagai akibat dari mengasuh lansia. Studi penelitian menunjukkan bahwa 30% sampai 40% dari caregiver lansia dementia mengalami depresi dan stres (Alzheimer’s Association & National Alliance for Caregiving, 2004)

Caregiver berada pada risiko kesehatan yang lebih besar daripada

penerima perawatan, karena ketika caregiver berfokus dengan kebutuhan orang lain, mereka cenderung mengabaikan kebutuhan mereka sendiri. Mereka mungkin tidak mengenali atau mungkin mengabaikan tanda-tanda penyakit, kelelahan atau depresi yang mereka alami, stres dapat berdampak pada

kesehatan mental caregiver atau menyebabkan caregiver secara fisik atau verbal, agresif terhadap lansia. Studi juga menunjukkan bahwa salah satu alasan untuk penelantaran dan kekerasan pada lansia adalah stres pada caregiver (Gupta R, Chaudhuri A, 2008 dalam Okoye, 2011)

Masalah, tantangan dan isu yang dialami caregiver di panti jompo sangat berdampak pada kesejahteraan hidup (psychological well-being)

caregiver serta berimbas pada kualitas pelayanan yang diberikan kepada lansia

(Akupunne, 2015). Caregiver dituntut untuk melakukan pekerjaannya secara professional, sehingga dapat membantu individu yang membutuhkan pertolongan dengan baik dan efisien. Tingkat stres yang tinggi pada caregiver yang disebabkan oleh aktivitas sehari-hari bersama lansia dapat menekan

caregiver secara fisik dan psikis (Brown, 2007; Savage dan Bailey, 2004;

Vitaliano et al, 2003). Beban dan stres yang dirasakan oleh caregiver berdampak langsung dengan psychological being. Psychological

well-being adalah suatu keadaan dimana individu memiliki sikap positif terhadap diri

sendiri dan orang lain, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan potensi pribadinya. Beberapa studi menyatakan depresi berhubungan dengan stres dan ketidakpuasan pada caregiver. Stres dan ketidakpuasan meliputi fisik, sosial, pendapatan, isolasi sosial, pendidikan, dan buruknya kesehatan dari caregiver (Livingstone et al, 1996; Shugarman et al, 2002).

Menurut Andrean & Elmstahl, (2006) pendapatan caregiver signifikan berperan dalam kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Pendapatan berkorelasi positif dengan kepuasan hidup caregiver (Lee, Brennan & Daly, 2001). Caregiver dengan pendapatan tinggi memiliki kepuasan hidup yang tinggi, dan tidak depresi. Pendapatan yang tinggi juga membuat caregiver lebih efektif untuk memberikan pendampingan/pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus (Chen & Greenberg, 2004). Berdasarkan studi demografi (The National

Alliance for Caregiving & AARP, 2009) di Nigeria, didapatkan bahwa 12%

berpenghasilan diatas 100.000 Naira (diatas 5.000.000), 35,2% berpenghasilan diantara 100.000-50.000 Naira (Rp 5.000.000-2.500.000), mayoritas 38,2% dilaporkan menerima upah antara 49.999-30.000 Naira (Rp 2.500.000-1.500.000), dan 14,3% berpenghasilan 29.999-10.000 Naira (Rp 1.500.000-500.000). Ini menunjukkan bahwa pendapatan caregiver formal di Nigeria cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan Indonesia dengan tingkat pendapatan

caregiver rata-rata Rp.750.000 - 1.500.000 (bps, 2013). Stres dalam pemberian

pelayanan/pendampingan berdampak lebih besar pada wanita daripada laki-laki (Greene, 2012). 75% kasus emosi, fisik dan finansial dialami oleh wanita (Basti & Qureshi, 2013). Berdasarkan pasal 43 Undang–undang No. 13 tahun 2013 menyatakan upah minimum regional honorer adalah 2 juta. Temuan awal dari hasil wawancara dengan caregiver yang ada di panti jompo pemerintah PSTW Binjai, diketahui pendapatan caregiver per bulan adalah Rp 750.000 - Rp 4.000.000. Sedangkan pada panti jompo swasta pendapatan caregiver Rp 700.000- Rp 3.000.000.

Di Indonesia idealnya seorang caregiver dalam pelayananya terhadap klien menangani 5 klien (Depsos RI, 1995 dalam Marsaoly, 2001). Berdasarkan temuan awal peneliti ditemukan rasio perbandingan antara pengasuh dan lansia di panti jompo pemerintah 1:9, sedangkan rasio perbandingan pelayanan pada panti jompo swasta adalah 1:6. Semakin banyak jumlah lansia yang diasuh, maka semakin tinggi nilai skor stresnya (Desbiens, 2001). Caregiver yang mengalami depresi sangat mungkin untuk mendapatkan gangguan kecemasan, gangguan tidur, penyalahgunaan atau ketergantungan zat psikotropika dan penyakit kronis (Spector dan Tampi, 2005)

Peraturan mengenai lama waktu kerja di Indonesia diatur dalam pasal 77 sampai pasal 85 Undang-Undang No.13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, untuk karyawan yang bekerja 6 hari dalam seminggu, jam waktu kerjanya adalah 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam seminggu. Sedangkan untuk karyawan dengan 5 hari kerja dalam 1 minggu, kewajiban bekerja mereka 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Para caregiver yang bekerja di panti jompo pemerintah memiliki lama kerja 10 jam dalam 1 hari dan 70 jam dalam seminggu. Pada hari libur juga para caregiver tetap bekerja. Sedangkan untuk panti jompo swasta, memiliki lama kerja rata-rata 7 jam per hari dengan sistem shift. Ditemukan juga bahwa beberapa caregiver mengalami penurunan kesehatan akibat waktu istirahat yang kurang. Penelitian Gaugler et al tahun 2005 menyatakan durasi/ banyaknya waktu yang dihabiskan

caregiver untuk mengasuh lansia dapat mempengaruhi stres, sehingga banyak

Kondisi/ keadaan ini juga sejalan dengan temuan Sarwendah (2013) yang menyatakan bahwa durasi kerja yang terlalu lama dapat membuat caregiver stres, sehingga dengan alasan tersebut muncul tindakan kekerasan dan penelantaran pada lansia. Hal ini juga mempengaruhi kualitas pelayanan pada lansia.

Pendidikan berhubungan dengan psychological well-being yang dialami individu. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan (Contador, Fernandez-Calvo, Palenzuel & Ramos, 2012; Maria Garcia, Pablo Lara & Luis Berhier, 2011; Sansoni, Vellone & Piras, 2004). Dari hasil penelitian ditemukan bahwa, level pendidikan yang lebih tinggi lebih mampu mengembangkan kemampuan mengatur stres dan mengatur tindakan yang berhubungan dengan individu yang menerima pelayanan. Temuan awal di lapangan, diketahui rata-rata pendidikan caregiver yang ada di panti jompo pemerintah adalah lulusan SD, SMP, SMA/SMPS (Sekolah Menengah Pekerja Sosial), D3, dan sebagian S1 . Sedangkan di panti jompo swasta, caregiver adalah lulusan SMA, SMP, lulusan akper, D3 bidang kesehatan, dan S1

Marital status juga memiliki dampak pada pendampingan/pelayanan

bagi klien, khususnya psychological well-being mereka, caregiver yang single atau belum menikah memiliki psychological well-being lebih baik dibandingkan caregiver yang telah menikah, hal ini dikarenakan caregiver yang tidak menikah, tidak memiliki tanggung jawab seputar keluarga, jika dibandingkan dengan caregiver yang telah menikah (Kim McJenry, 2002; Simon, 2002). Caregiver di panti jompo yang dikelola oleh swasta rata-rata

masih berstatus single atau belum menikah, sedangkan caregiver di panti jompo yang dikelola pemerintah, hampir semua caregiver sudah menikah, dan rata-rata usianya sudah mencapai usia dewasa madya. Namun, Neugarten (1986 dalam Fhadjrin, 2013) menyatakan bahwa individu yang memiliki tingkat

psychological well-being yang tinggi biasanya adalah individu yang berada

pada tahap dewasa madya yang mempresentasikan titik tertinggi individu dalam hal mengambil keputusan dan pengaruhnya terhadap kehidupan keluarga dan pekerjaan.

Dalam hal peraturan terdapat perbedaan antara panti jompo yang dikelola swasta dan panti jompo yang dikelola oleh pemerintah. Aturan yang di panti jompo yang dikelola swasta lebih terstruktur dibandingkan dengan aturan di panti jompo yang dikelola pemerintah. Hal ini terlihat dari pemilihan

caregiver melalui proses seleksi, dan caregiver yang memenuhi kriteria di panti

jompo yayasan swasta adalah individu yang terampil dalam, hal pemberian perawatan secara fisik dan emosional. Yayasan juga membekali setiap

caregiver pelatihan untuk merawat lansia yang diberikan oleh seorang

professional di bidang caregiving. Selain itu absensi juga dilakukan setiap hari oleh para caregiver, tata ruangan yang ada di panti jompo swasta juga rapi dan bersih, dan setiap caregiver juga memakai seragam putih, caregiver formal yang bertugas di panti jompo swasta sering disebut dengan panggilan suster. Lain halnya dengan yang berada di panti jompo yang dikelola pemerintah, sebutan caregiver di panti jompo (Tresna Werdha Abdi, Binjai) adalah pengasuh dan pendamping. Di panti jompo pemerintah tidak terdapat proses

seleksi pada caregiver, caregiver yang bekerja di panti jompo pemerintah pada umunya adalah individu yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat, yang ingin bekerja sebagai caregiver. Menurut Lubis (2004) Caregiver yang bekerja di panti jompo Indonesia terdiri dari pramu sosial dan pekerja sosial. Secara umum , keduanya memiliki fungsi yang sama dalam pemberian pelayanan sosial, yang membedakan keduanya adalah status kepegawaian dan administratif. Oleh karena itu, caregiver formal yang bertugas di panti jompo selanjutnya akan disebut pekerja sosial yang mencangkup pramu sosial. Di dalam panti jompo pemerintah caregiver terdiri dari dua yaitu: pendamping dan pengasuh. Tugas dari pendamping tersebut adalah memberikan arahan kepada para pengasuh di panti jompo pemerintah, misalnya ketika terdapat masalah antar lansia, maka pengasuh akan melapor kepada pendamping dan mereka yang bersama-sama menyelesaikannya. Absensi dilakukan secara teratur, namun jika seorang caregiver tidak hadir, maka pelayanan/ pendampingan lansia dibebankan kepada caregiver lain hal tersebut dikarenakan jumlah

caregiver yang ada di panti jompo sedikit. Para caregiver juga dibekali seragam

berupa kaos berkerah, namun ketika berada di panti jompo tidak semua

caregiver menggunakan seragam tersebut, selain itu caregiver mendapat

pengarahan dari dinas sosial, namun hanya sewaktu-waktu diberikan

Pada intinya psychological well-being merujuk kepada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan lain sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi

potensi atau aktualisasi (Bradburn dalam Ryff & Keyes, 1995). Studi pendahuluan dilakukan terhadap 22 responden dari PTSW Budi Mulia 04 yang berlokasi di Margaguna Jakarta Selatan dan PSTW Budi Mulia 01 yang terletak di Cipayung Jakarta Timur. Hasil studi diketahui bahwa dari 22 responden 81,8% mengalami stres sedang dan 18,2 % mengalami stres ringan terhadap beban kerja yang meliputi tugas dan lama waktu kerja (Endah, 2013). Di Indonesia profesi sebagai caregiver masih dipandangan sebelah mata, masyarakat menganggap para caregiver ini setara dengan perawat pada umumnya. Sedangkan di luar negri seperti di Jepang profesi caregiver dianggap sebagai profesi yang sangat dihormati. Oleh karena itu, kesejahteraan caregiver di Jepang sangat diperhatikan, baik caregiver panti swasta maupun caregiver pemerintah (Avianda, 2015). Ryff (dalam Allan Carr, 2004) menyatakan

psychological well-being sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri

individu secara keseluruhan. Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang pasrah dan putus asa terhadap keadaannya yang membuat psychological

well-being individu menjadi rendah atau berusaha untuk bangkit dan memperbaiki

keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-being individu tersebut menjadi tinggi (Ryff & Keyes, 1995). Psychological well-being yang dimiliki oleh para caregiver baik swasta dan pemerintah akan berdampak pula pada kualitas pelayanan (quality of care) yang mereka berikan kepada lansia, sehingga hal itu berpengaruh juga kepada keberlangsungan hidup lansia di panti jompo.

Berdasarkan fenomena dan temuan diatas, peneliti ingin mengetahui perbedaan Psychological well-being antara caregiver formal panti jompo yang dikelola pemerintah dan panti jompo swasta.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama penelitian ini adalah :

“Apakah terdapat perbedaan Psychological well-being antara caregiver

Panti Jompo yang di kelola Swasta dan Panti Jompo yang dikelola

Pemerintah?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan

Psychological well-being antara caregiver panti jompo yang dikelola swasta

dan panti jompo yang dikelola pemerintah.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu psikologis, khususnya di bidang psikologi klinis, dan psikologi lansia serta bermanfaat menjadi salah satu sumber informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah yang berkaitan dengan psychological well-being dan

2. Manfaat Praktis

 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengetahuan kepada caregiver mengenai gambaran psychological well-being yang mereka miliki, baik yang ada di panti jompo pemerintah maupun swasta.

 Sebagai data awal dalam membuat program untuk memperbaiki dan meningkatkan psychological well-being pada caregiver yang ada di panti jompo swasta dan panti jompo pemerintah

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada instansi atau lembaga yang menaungi caregiver, agar lebih memperhatikan Psychological

well-being caregivernya

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Dokumen terkait