• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Peran Penghubung Komisi Yudisial

A. Latar Belakang

S

ecara konstitusional eksistensi Komisi Yudisial terlihat melalui proses Amandemen Ketiga Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001, yaitu melalui Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2 Kehadiran Komisi Yudisial dalam UUD Negara RI Tahun 1945 itu tidak terlepas dari adanya upaya untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Urgensi untuk memperkuat kekuasaan kehakiman itu adalah sebagai konsekuensi logis dari dianutnya paham negara hukum (rechstaat) di Indonesia. 3

1 Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial.

2 Nasir Djamil menyebut bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan lembaga baru sebagai “anak kandung reformasi”. Oleh karena itu, secara konsep diharapkan mampu melakukan perubahan-perubahan yang mendasar dalam hal reformasi peradilan (M. Nasir Djamil. Relevansi

Perubahan UU Komisi Yudisial Terhadap Reformasi Peradilan di Indonesia,

melalui http://kabarnasirdjamil.com/relevansi-perubahan-uu-Komisi Yudisial-terhadap-reformasi-peradilan-di-indonesia, diakses tanggal 11 Mei 2015)

3 Komisi Yudisal bukanlah penyelenggara Kekuasaan Kehakiman namum memiliki peranan yang sangat penting dalam mewujudkan

Persyaratan mutlak (conditio sine qua non) dalam sebuah negara yang menganut paham negara hukum, yaitu adanya pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Keberadaan pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya.4 Selain itu, ada arus yang tumbuh mengenai keprihatinan mendalam atas kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak, sehingga pembentukan Komisi Yudisial dianggap sebagai jawabannya.

A. Ahsin Thohari5 mengatakan, konsekuensi perwujudan adanya paham negara hukum pada upaya penguatan kekuasaan kehakiman itu pula terpantul dengan cara menjamin perekrutan hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim agar tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan bebas dari campur tangan penguasa dan pokok-pokok kekuasaan lain nya (Lalu Piringadi, 2013.

Penerapan (Implementasi) Pemantauan dan Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Melalui Pos Koordinasi Pemantauan Peradilan Nusa Tenggara Barat,

dalam Jural Ilmiah, Mataram: Fakultas Hukum Universitas Mataram). 4 Anonim. Tinjauan Yuridis Terhadap Pengawasan Hakim Oleh Komisi

Yudisial (Suatu Kajian Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/ PUU-IV/2006 Tentang Penguatan Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial),

melalui http://revolusioner-ina.blogspot.com/2013/10/tinjauan-yuridis-terhadap-pengawasan.html, diakses tanggal 11 Mei 2015 5 A. Ahsin Thohari. Desain Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia, melalui http://ditjenpp.kemenkumham.

go.id/htn-dan-puu/672-desain-konstitusional-komisi-yudisial-dalam-sistem-ketatanegaraan-indonesia.html, diakses tanggal 10 Mei 2015

Derivasi hukum keberadaan Komisi Yudisial adalah dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selanjutnya usaha untuk lebih menguatkan peranan dan fungsi Komisi Yudisial, dilakukan perubahan melalui Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan pada 9 November 2011. Eksistensi Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 seolah menginjeksi bahkan menandai kebangkitan kembali Komisi Yudisial. Ada darah segar yang mengalir dari Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut.

Secara yuridis Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagi Komisi Yudisial, antara lain: melakukan seleksi pengangkatan hakim ad

hoc di Mahkamah Agung, melakukan upaya peningkatan kapasitas

dan kesejahteraan hakim, melakukan langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan6 bekerja sama dengan 6 Komisi Yudisial dapat melakukan penyadapan jika menemukan indikasi pelanggaran kode etik oleh hakim. Namun begitu, dalam proses pelaksanaannya, kewenangan penyadapan itu tidak berjalan efektif. Walapun disebutkan Komisi Yudisial punya wewenang meminta penyadapan terhadap hakim melalui aparat penegak hukum, tetapi aparat penegak, seperti kepolisian, justru punya pandangan berbeda, Komisi Yudisial tidak boleh menyadap karena bukan lembaga pro-justisia. Intinya, penyadapan hanya dilakukan oleh aparat penegak hukum. Tindakan merekam pembicaraan hakim hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum. Tetapi, penting untuk dicatat Pasal 20 ayat (4) menetapkan aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial tersebut.

Tanpa ada penyamaan persepsi norma Pasal 20 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2011, pelaksanaannya tetap akan menjadi polemik yang tak berkesudahan. Rumusan hukum sudah jelas memberi kewenangan Komisi Yudisial melakukan penyadapan. Bahkan aparat penegak hukum wajib menindaklanjutinya (Pasal 20 ayat (4) (Farid Wajdi, “Memperkuat Komisi Yudisial”, dalam Republika, 4 Januari 2016).

aparat penegak hukum, dan melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi.7

Bahkan dalam perspektif menguatkan peran dan fungsi Komisi Yudisial, disahkannya undang-undang (UU) tersebut merupakan konkretisasi dari upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga negara independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, masih ada energi lain yang menguatkan kewenangan Komisi Yudisial adalah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Satu di antara perubahan yang signifikan dalam perubahan UU Komisi Yudisial adalah penguatan Komisi Yudisial melalui pengangkatan penghubung untuk mengawasi perilaku hakim. Ketentuan itu sesuai dengan bunyi Pasal 3 ayat (2), “Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan”. Pasal ini merupakan respon dan solusi terhadap permasalahan pengawasan hakim di daerah-daerah yang masih sulit dijangkau.

7 Bambang Sutiyoso mengatakan bahwa berkaitan dengan kewenangannya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Bambang Sutiyoso. Penguatan

Peran Komisi Yudisial dalam Penegakan Hukum di Indonesia, dalam

Jurnal Hukum No. 2 Vol. 18 April 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia)

Melalui ketentuan pasal ini, Komisi Yudisial dapat mengambil diskresi daerah mana yang mengalami kondisi yang mengkhawatirkan, sehingga dapat dibentuk penghubung di daerah. Memang pasal ini tidak menegaskan bahwa Komisi Yudisial harus ada di setiap daerah, yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Dengan demikian, dapat dipahami pasal ini berguna sebagai sarana untuk merespon daerah-daerah yang perlu pengawasan perilaku hakimnya secara khusus.