• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyatuan Perbedaan Cara Pandang Terkait Dugaan Pelanggaran KEPPH yang Menyangkut Pelanggaran

antara Etika dan Teknis Yudisial

D. Penyatuan Perbedaan Cara Pandang Terkait Dugaan Pelanggaran KEPPH yang Menyangkut Pelanggaran

terhadap Prinsip Kedisiplinan dan Profesionalisme (Teknis Yudisial)

Di Indonesia kekuasaan lembaga peradilan, secara konstitusional diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan:

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka segala tindakan dan upaya yang mengganggu kemerdekaan hakim harus dihindari dan ditiadakan. Apabila kemerdekaan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara dapat terwujud dengan baik, tanpa intervensi baik fisik maupun non fisik, maka peradilan bersih dan berwibawa akan tercipta. Faktanya terdapat hakim yang terpengaruh independensinya, karena misalnya menerima pemberian (gratifikasi), suap dan sejenisnya. Jika hal

itu terjadi, maka independensi hakim tercemar, dan sulit untuk mewujudkan peradilan bersih dan berwibawa.

Untuk mewujudkan kemerdekaan hakim, sehingga terwujud peradilan bersih dan berwibawa, bukan hanya domainnya hakim. Hal tersebut disebabkan ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Bila dilihat dari pendekatan penegakan hukum, maka untuk mewujudkan kemerdekaan, peradilan bersih dan berwibawa terkait dengan faktor-faktor lainnya, antara lain aturan hukum yang memadai, sarana prasarana dan budaya hukum masyarakat. Dilihat dari kelembagaan, tentunya peran itu tidak hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi dapat pula dilakukan oleh lembaga pengawas di luar Mahkamah Agung, dalam hal ini Komisi Yudisial.

Untuk melakukan pengawasan tersebut sebagaimana diketahui telah disepakati bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisal RI No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan No. 02/SKB/P. KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Dalam keputusan bersama tersebut dimuat 10 Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu: 1) Berperilaku adil; 2) Berperilaku Jujur; 3) Berperilaku Arif dan Bijaksana; 4) Bersikap Mandiri; 5) Berintegritas Tinggi; 6) Bertanggung Jawab; 7) Menjunjung Tinggi Harga Diri; 8) Berdisiplin Tinggi; 9) Berperilaku Rendah Hati, dan 10) Bersikap Profesional.

Prinsip yang berkaitan dengan persoalan teknis yudisial dalah prinsip berdisiplin tinggi dan profesional. Disiplin dalam prinsip 8 bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Profesionalisme dalam prinsip 10 bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.

Terhadap prinsip berdisiplin tinggi dan bersikap profesional tersebut telah diuji oleh Mahkamah Agung dengan mengabulkan permohonan pemohon dengan menghapus prinsip 8.1, 8.2, 8.3, dan 8.4, dan prinsip 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4. Dari prinsip itu yang sering bersinggungan dengan persoalan teknis yudisial, yaitu hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan (Prinsip 8.1). Kemudian prinsip bahwa : “hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam mebuat keputusan atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.

Prinsip berdisiplin tinggi dan profesionalisme sebetulnya secara substansial adalah berkaitan langsung dengan penanganan perkara oleh hakim, karena didalam prinsip tersebut ada kewajiban hakim untuk taat pada hukum acara dan memiliki dasar pengetahuan yang cukup untuk mengadili dan memutus perkara. Secara teoritikal hal tersebut dapat dilihat dalam bagan prinsip dasar etik profesi sebagaimana dijelaskan di atas.

Prinsip berdisiplin tinggi dan profesional, merupakan nilai dasar profesi yaitu pada Nilai Dasar Profesi “Teori”, yaitu dalam hal ini hakim harus taat pada hukum acara (nilai metodologis), dan harus berwawasan. Dengan demikian apabila hakim tidak taat pada hukum acara, misalnya dalam pertimbangan hukumnya disebutkan “bahwa pengajuan Peninjauan Kembali (PK Perdata misalnya) telah diajukan melebihi waktu 14 hari, maka di sini hakim telah melanggar hukum acara dan tidak berwawasan. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum acara mengenai lamanya waktu mengajukan PK bukan 14 hari, tetapi 180 hari misalnya sejak novum diketemukan.

Melihat kasus tersebut akan sangat sulit memisahkan kebebasan dan kewajiban berdisiplin tinggi dan sikap profesional. Karena keduanya merupakan inti kebebasan hakim dalam memutus, namun di sisi yang lain ada persoalan akuntabilatas atau pertanggungjawaban.

Masalah independensi ini kembali mencuat dan sering menjadi perbedaan. Secara teoritikal independensi berarti bahwa hakim dan pengadilan tidak boleh diganggu independensinya oleh siapapun dan dalam bentuk apapun. Namun demikian penegakannya jelas lebih rumit dari definisi singkat di atas.13

Independensi sendiri dapat dibagi ke dalam 1) Independensi Institusional; 2) Independensi Substansi; 3) Independendi Internal.

Yang berkaitan dengan persoalan teknis yudisial adalah berkaitan dengan Independensi Substansi, karena ini menyangkut pengawasan terhadap hakim. Dalam tulisan Asep Rahmat Fajar tersebut dikemukakan Teori substantive independence (Shetreet, 1985) atau core independence (Adams dan Allemeersch, 2013). Artinya adalah apakah hakim terganggu independensinya saat menjalankan tugasnya dalam memeriksa dan memutus perkara, atau menurut bahasa yang banyak dipakai di Indonesia sekarang adalah dalam ranah teknis yudisial.

Untuk area tersebut memang tidak ada siapapun yang bisa mencampurinya, termasuk pimpinan lembaga peradilan itu sendiri. Bahkan sekalipun dalam Undang-Undang Mahkamah Agung disebut sebagai pengawas tertinggi penyelenggaraan peradilan, maka itu lebih ke dalam fungsinya mengadili suatu kasus pada tingkat kasasi. Karenanya wewenang pengawasan yang diberikan kepada lembaga negara independen sejenis Komisi Yudisial di banyak negara pun hanyalah dalam ranah etik dan perilaku.

Sekarang persoalannya adalah bagaimana mengatasi suatu kenyataan sering terjadi perbedaan pandangan terhadap 13 Asep Rahmat Fajar; dalam Sindo: “Perdebatan Independensi Peradilan”.

pelanggaran yang menyangkut prinsip kedisiplinan dan profesionalisme tersebut?

Dalam Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu Peraturan Bersama No. 02/PB/MA/IX/2012 dan No. 02/PB/P.KY/09/2012 dikemukakan: pertama, “dalam melakukan pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tidak dapat menyatakan benar atau salahnya pertimbangan yuridis dan substansi putusan hakim”; kedua Pemeriksaan atas dugaan pelanggaran Pasal 12 dan Pasal 14 yang merupakan implementasi dari prinsip berdisiplin tinggi dan prinsip bersikap profesional dilakukan oleh Mahkamah Agung atau oleh Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial dalam hal ada usulan dari Komisi Yudisial untuk dilakukan pemeriksaan bersama. Kemudian dalam Pasal 17 Peraturan Bersama tersebut dinyatakan bahwa : “Dalam hal Komisi Yudisal menerima laporan dugaan pelanggaran kode etik yang juga merupakan pelanggaran hukum acara, Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung untuk ditindaklanjuti.

Dari uraian di atas, dapat dicarikan solusi atas persoalan perbedaan pandang terkait pelanggaran prinsip berdisiplin tinggi dan profesionalisme, yaitu perlunya rumusan yang jelas kualifikasi prinsip berdisiplin tinggi terutama yang berkaitan dengan hukum acara, dan prinsip profesionalisme terutama menyangkut wawasan pengetahuan dalam memeriksa suatu perkara.