• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.6. Latar Belakang Pekerjaan

Latar belakang pekerjaan seseorang akan mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap, dan cara bertindaknya dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi. Meskipun pandangan tersebut lebih berkesan pada pendekatan psikologis, tetapi tak pelak lagi bahwa pendapat tersebut sudah sering kita dapati di dalam praktek kehidupan kita sehari-hari. Demikian pula dengan latar belakang pekerjaan yang mereka miliki kita berharap dapat melihat pengaruhnya di dalam menangani persoalan-persoalan yang harus dihadapi berkenaan dengan kedudukan mereka sebagai wakil rakyat.

Tabel 13. Pekerjaan Responden Sebelum Menjadi Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara No. Profesi f % 1. Pengusaha/Wiraswasta 8 36,36 2. Birokrat 1 4,55 3. Intelektual/Pendidik/Budayawan 10 45,45 4. Lain-Lain 3 13,64 Jumlah 22 100,00

Sumber: Kuesioner penelitian pertanyaan no.24, 2006

Sebagian responden dalam Tabel 13 berlatar belakang intelektual, pendidik, aktivis, budayawan. Yang termasuk dalam kategori ini termasuk responden yang mengajar/memiliki pesantren atau sekolah pengajian TPA, dosen, guru, seniman dan responden yang bekerja di dunia pers. Yang termasuk lain-lain 3 orang adalah aktivis politik (pekerja partai). Responden juga mengakui bahwa latar belakang pekerjaan mereka cukup berpengaruh dalam menjalankan tugas mereka di DPRD Provinsi Sumatera Utara (54,7%) dan 37,50% menyatakan amat berpengaruh.

4.7. Orientasi

Dalam menganalisa model peranan wakil rakyat berdasarkan orientasinya digunakan beberapa indikator pengukuran sebagai berikut:

1. Orientasi terhadap pemilih, di mana kesatuan geografis dari pemilih merupakan fokus perwakilan. Cara mengukurnya dengan melihat proporsi perhatian dan keterlibatan di dalam menangani persoalan-persoalan daerah (lokal) maupun persoalan-persoalan nasional.

3. Orientasi terhadap birokrasi.

Di dalam tabel 14 berikut akan diuraikan tingkat perhatian responden di dalam menangani permasalahan-permasalahan, baik yang mempunyai cakupan lokal maupun nasional. Diharapkan dari angka-angka yang ada akan terlihat ke mana orientasi diarahkan, ke pemilih daerah (yang notabene mempunyai peran besar di dalam proses pemilihan umum, sehingga responden duduk di lembaga perwakilan sekarang) atau ke tingkat provinsi.

Tabel 14. Intensitas Perhatian Responden dalam Menangani Masalah Provinsi

No. Intensitas f %

1. Rendah 2 9,09

2. Sedang 7 31,82

3. Tinggi 13 59,09

Jumlah 22 100,00

Sumber: Kuesioner penelitian pertanyaan no.32a dan 32b, 2006

Dalam tabel 14 tersebut bisa dilihat bahwa hanya 2 responden atau 9,09% yang memberikan perhatian besar terhadap masalah-masalah nasional. Sebaliknya terdapat 59,09% yang memberikan perhatian tinggi untuk menangani masalah- masalah daerah provinsi. Hal ini dimungkikan karena masalah-masalah nasional bisa ditangani oleh perangkat nasional (DPR-RI). Responden yang memberikan perhatian lebih besar pada masalah-masalah nasional adalah responden yang duduk dalam pengurusan pengurus pusat partai politik yang selalu berhubungan dengan kasus lokal seperti bencana alam, pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam hal aset misalnya, dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa sampai saat ini masih membutuhkan perhatian yang besar dalam menangani masalah-masalah yang ada.

Beberapa responden mengaku kesulitan dalam memisahkan masalah provinsi dengan masalah kabupaten/kota, karena masalah kabupaten/kota juga berkaitan dengan masalah provinsi. Untuk menangani masalah kabupaten/kota biasanya anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara bekerja sama dengan rekannya di kabupaten/kota seperti tentu saja dengan orsospol yang sama. Kerjasama bisa dalam bentuk saling tukar menukar informasi mengenai perkembangan dan penyelesaian suatu masalah di daerah tersebut. Apabila penyelesaian di daerah dirasa kurang efektif dan terkesan lamban, maka masalah tersebut bisa diangkat ke forum provinsi atau nasional, sehingga mendapat perhatian dan publikasi yang luas. Dengan publikasi yang luas biasanya pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang sedang terjadi, akan lebih serius dalam menanganinya5.

Betapapun demikian sebagaian besar responden mengaku lebih banyak mengurusi masalah yang berlingkup provinsi, karena memang anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara memiliki tugas yang mencakup provinsi.

Tabel 15. Frekuensi Berkunjung ke Daerah Pemilihan

No. Frekuensi Berkunjung f %

1. Tidak pernah 0 0,00

2. 1 – 2 kali 0 0,00

3. 3 – 4 kali 5 27,73

4. 5 – 6 kali 6 27,27

5. Lebih dari 6 kali 11 50,00

Jumlah 22 100,00

Sumber: Kuesioner penelitian pertanyaan no.36, 2006

Sebagian besar responden (50,00%) melakukan kunjungan ke daerah pemilihan lebih dari 6 kali setahun. Hal ini dilakukan untuk mengisi waktu reses, juga

dimaksudkan untuk menyerap aspirasi masyarakat. Selama masa reses anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara tidak saja berkunjung ke daerah pemilihannya, namun juga berkunjung ke daerah lain yan gmenjadi bidang tugasnya di dalam suatu komisi. Masa reses ialah kegiatan DPR di luar masa sidang yang dilakukan oleh para anggota DPRD secara perseorangan atau kelompok terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.

Kegiatan yang dilakukan di daerah beraneka ragam. Pertama, konsolidasi dengan pengurus induk organisasi di daerah. Konsolidasi dengan teman-teman di daerah dalam satu partai amat penting dilakukan untuk saling tukar-menukar informasi mengenai masalah yang berkembang baik di daerah pemilihannya maupun bertukar pikiran mengenai masalah nasional yang sedang berkembang. Seorang anggota DPRD yang berkunjung ke daerah memberikan wawasan kepada rekannya di daerah dan juga menyerap informasi di daerah pemilihannya.

Kedua, melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh di daerah. Yang dimaksud dengan tokoh-tokoh daerah adalah tokoh yang memiliki jabatan resmi maupun tokoh- tokoh informal di kabupaten/kota. Untuk tokoh informal, memang tidak selalu harus bertemu setiap masa kunjungan, namun untuk tokoh resmi setiap kunjungan biasanya harus bertemu. Sebagian besar anggota DPRD mengaku bahwa sebagaian besar kunjungan ke daerah pemilihan atau daerah lain dilakukan untuk bertemu dengan instansi pemerintah, seperti Bupati, Dinas-Dinas, Camat, Kodim, dan instansi resmi

pemerintah lainnya. Informasi dari sumber-sumber resmi itulah yang sebagian besar menjadi bahan utama laporan kunjungannya ke daerah.

Kunjungan kerja tersebut besar sekali artinya bagi DPRD dan wilayah atau lembaga yang dikunjunginya. Sebab melalui kunjungan kerja tersebut, DPRD dapat memperoleh data yang baru sama sekali mengenai peristiwa yang menyangkut kepentingan rakyat yang tidak diperolehnya dari sumber informasi yang lain. Dalam kunjungan kerja tersebut DPR juga mengecek langsung kebenaran informasi yang diperolenya dari sumber lain sebelum melakukan kunjungan kerja. Bila informasi dan data yang didapat tersebut diolah dengan data-data yang lain, maka informasi yang berasal dari daerah tersebut dapat digunakan untuk bahan rapat kerja dengan gubernur atau kepala dinas yang menjadi mitra kerja anggota DPRD yang bersangkutan.

Ketiga, adalah bertemu dengan masyarakat pemilih di daerah. Kontak-kontak langsung dengan kader-kader partai di daerah amat diperlukan untuk menyerap aspirasi kader partai di daerah sekaligus memberikan informasi mengenai aktivitas seorang anggota DPRD di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Aspirasi kader merupakan masukan yang cukup penting terutama mengenai masalah-masalah yang terjadi di dalam partainya di daerah tersebut.

Bila dilihat dari orientasi kunjungan kerja ke daerah maka ada kesan bahwa informasi yang berasal dari pemerintah atau eksekutif merupakan informasi yang

menjadi tumpuan utama. Informasi yang berasal dari luar pemerintah, hanya merupakan informasi tambahan yang perlu di cross check dengan kunjugan lapangan.

Sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, seseorang dituntut memiliki hubungan yang luas dengan pihak-pihak lain. Tabel 5.9 menunjukkan seberapa luas kontak-kontak yang dilakukan responden terhadap kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat, yang meliputi kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Masyarakat, kalangan kampus, dan kelompok agama.

Tabel 16. Melakukan Kontak dengan Kelompok Lain

Ya Tidak Jumlah N N N No. Kelompok % % % 1. LSM 16 (72,73) 7 (27,27) 22 (100,00) 2. Ormas 20 (90,90) 2 (9,10) 22 (100,00) 3. Masyarakat Kampus 19 (86,37) 3 (13,63) 22 (100,00) 4. Kaum Agamawan 17 (77,27) 5 (22,73) 22 (100,00)

Sumber: Kuesioner penelitian pertanyaan no 39a, b, c, d, 2006

Dari tabel terlihat bahwa seluruh responden melakukan kontak-kontak dengan kelompok-kelompok masyarakat seperti yang telah disebutkan dalam tabel. Kelompok mana yang paling intens atau sering dikontak/dihubungi oleh responden, bisa dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 17. Intensitas Hubungan dengan Kelompok Lain

Intens Cukup Kurang Jumlah

N N N N No. Kelompok % % % % 1. LSM 2 (12,50) 8 (50,00) 6 (37,50) 16 (100,00) 2. Ormas 7 (35,00) 11 (55,00) 2 (10,00) 20 (100,00) 3. Masyarakat Kampus 12 (63,16) 5 (26,32) 2 (10,52) 19 (100,00) 4. Kaum Agamawan 5 (29,41) 9 (52,94) 3 (17,65) 17 (100,00)

Sumber: Kuesioner penelitian pertanyaan no.40a, b, c, d, 2006

Dari tabel 17 tersebut terlihat bahwa responden mengaku paling sering melakukan kontak dengan masyarakat kampus. Ini amat beralasan apabila kita lihat bahwa sebagian besar responden memiliki latar belakang sebagai pendidik atau intelektual. Yang dimaksud dengan kelompok kampus adalah termasuk mahasiswa, institusi-institusi kampus, dan kelompok intelektual lainnya.

Dalam tabel juga terlihat bahwa anggota DPRD relatif kurang intens berhubungan dengan lembaga swadaya masyarakat. Hanya 2 anggota yang mengaku memiliki hubungan yang intens. Mereka berpendapat seharusnya anggota DPRD lebih erat hubungannya dengan LSM karena sama-sama merupakan lembaga pro demokrasi. Kontak-kontak dengan organisasi masa pun cukup intens, hal ini berkaitan dengan pengalaman responden di organisasi kemasyarakatan yang cukup panjang seperti diketahui 63,63% terlibat di organisasi kemasyarakatan.

Lalu bagaimana pendapat atau sikap mereka terhadap aktivitas yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kemasyarakatan,

Masyarakat Kampus maupun Kaum Agamawan? Dapat dilihat dalam Tabel 5.11 berikut.

Tabel 18. Pendapat Responden tentang Aktivitas LSM, Ormas, Masyarakat Kampus, dan Kaum Agamawan

Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju Jumlah N N N N No. Kelompok % % % % 1. LSM 16 (72,73) 4 (18,18) 2 (9,09) 22 (100,00) 2. Ormas 17 (72,27) 4 (18,18) 1 (4,55) 22 (100,00) 3. Masyarakat Kampus 15 (68,18) 6 (27,27) 1 (4,55) 22 (100,00) 4. Kaum Agamawan 12 (54,55) 7 (31,79) 3 (13,66) 22 (100,00)

Sumber: Kuesioner penelitian pertanyaan no.42a, b, c, d, 2006

Pada umumnya, para responden memberikan respon yang positif terhadap aktivitas yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, masyarakat kampus maupun kaum agamawan (rata-rata lebih dari 60%). Alasan mereka bahwa pihak-pihak tersebut lebih ditempatkan sebagai mitra. Artinya, dalam menghadapi suatu kasus tertentu seperti tanah misalnya, DPRD Provinsi Sumatera Utara justru banyak memperoleh banyak masukan dari pihak-pihak tersebut. Seperti diketahui bahwa tidak setiap anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dapat melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang terkena suatu kasus tertentu serta mengecek kebenaran laporan warga masyarakat. Maka dari tangan lembaga swadaya masyarakat lah informasi-informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh.

masyarakat. Jika digambarkan secara lebih spesifik melalui gambaran komunikasi politik, maka lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, masyarakata kampus dan kaum agamawan diletakkan dalam posisi sebagai mediator antara rakyat dengan DPRD Provinsi Sumatera Utara. Mereka lebih berperan sebagai corong dari kepentingan masyarakat banyak, dibandingkan sebagai corong pemerintah. Hal ini pula yang menjadikan alasan beberapa responden (rata-rata sekitar 20%) menyatakan kurang setuju dan tidak setuju menganggap bahwa sepak terjang para anggota lembaga swadaya masyarakat khususnya sering berlebihan, bahkan sering berdampak pada tindakan-tindakan tertentu seperti demonstrasi dengan kekerasan maupun mogok kerja. Yang kurang setuju juga beranggapan bahwa DPRD adalah satu- satunya institusi yang sah dalam menyalurkan aspirasi masyarakat.

Meskipun demikian para responden tetap berpandangan bahwa keberadaan lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, masyarakat kampus maupun kaum agamawan amat dibutuhkan untuk lebih meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Karena melalui pemberdayaan inilah diharapkan masyarakat akan semakin tahu peran dan posisi mereka di dalam sistem politik Indonesia. Dalam usaha pemberdayaan masyarakat ini pula, tidak mungkin mengandalkan satu pihak saja untuk mengupayakannya. Oleh sebab itu, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat kampus, organisasi massa maupun kaum agamawan memiliki posisi yang cukup strategis di tengah-tengah masyarakat. Meskipun harus diakui bahwa tidak semua

pihak-pihak tersebut melakukan aktivitas yang sama positifnya dan sama besar konstribusinya di dalam masyarakat.

Betapapun lembaga-lembaga yang telah disebutkan berpotensi menyalurkan aspirasi masyarakat, namun satu-satunya lembaga yang memiliki legitimasi konstitusional hanya DPRD Provinsi Sumatera Utara6. Oleh karena itu, agar peran DPRD Provinsi Sumatera Utara lebih efektif, menurut menurut HM. Zaki Abdullah DPRD Provinsi Sumatera Utara harus lebih banyak bekerjasama dengan lembaga- lembaga prodemokrasi dalam menyampaikan aspirasi masyarakat7.

Setelah ditelaah orientasi anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dari sudut kedekatannya dengan daerah pemilihan dan kelompok kepentingan, maka sekarang dicoba melihat tingkat kedekatan atau orientasi anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan partai politik (organisasi induknya).

Tabel 19. Pendapat Responden bahwa Setiap Tindakan sebagai Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Harus Seizin, Sepengetahuan, dan Sejalan dengan Organisasi Induk

Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju Jumlah N N N N No. Tingkat Kedekatan dengan Organisasi Induk

% % % %

1. Setiap Tindakan Harus Seizin Organisasi Induk

7 (31,82) 12 (54,55) 3 (13,63) 22 (100,00) 2. Setiap Tindakan Harus

Sepengetahuan Organisasi Induk 8 (36,36) 10 (45,45) 4 (18,19) 22 (100,00)

3. Setiap Tindakan Harus

Sejalan Organisasi Induk

18 (81,82) 4 (18,18) 0 (0,00) 22 (100,00)

Sumber: Kuesioner penelitian pertanyaan no 46, 47, 48, 2006

Dari Tabel 19 tersebut terkesan bahwa para responden setuju apabila setiap tindakan mereka sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara harus seizin dan sepengetahuan organisasi induk. Sebagai pribadi mereka menghendaki adanya kebebasan untuk bertindak dan bereaksi terhadap masalah-masalah yang dihadapi dan tuntutan-tuntutan masyarakat yang ada. Akan tetapi terdapat ketidakkonsistenan dari sikap mereka, karena sebaliknya mereka berpendapat bahwa setiap kegiatan mereka harus sejalan dengan organisasi induknya (81,82%). Hal ini justru menekankan bahwa tingkat kedekatan mereka dengan organisasi induk amat kuat, dan sinyalemen bahwa anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara adalah wakil organisasi politik bukan wakil rakyat menjadi kenyataan. Tentu saja hal ini tidak bisa dipisahkan dari sistem pemilihan umum yang kita terapkan (proportional sytem) di mana rakyat tidak memilih secara langsung kandidat partai, tetapi nomor urut dari kandidat suatu partai ditentukan oleh pimpinan partai yang bersangkutan. Sehingga peranan organisasi politik dalam mendudukkan para kandidatnya amat besar. Konsukensi logisnya dapat diterka, bahwa seseorang yang duduk di DPRD Provinsi Sumatera Utara akan merasa berhutang pada partai yang mendudukkannya di DPRD Provinsi Sumatera Utara, ketimbang rakyat yang memilihnya.

Setiap tindakan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara harus sejalan dengan organisasi induk tidak terlepas dari kenyataan bahwa setiap anggota harus menjadi anggota fraksi di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan fraksi merupakan “Badan Eksekutif” dari organisasi induk di lembaga legislatif. Sebagi kepanjangan

tangan dari organisasi induknya (DPW/DPD) maka fraksi harus mengikuti kemauan DPW/DPD. Dengan demikian praktis, anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara tidak boleh menyimpang dari kebijaksanaan induk partainya8. Apakah kebijakan DPD/DPW menghambat tugas-tugasnya di DPRD? Menurut Rafriandi, amat tergantung kepada anggota DPRD yang bersangkutan. Tergantung kepada kepribadian dari anggota DPRD itu sendiri. Ada anggota yang menganggap bahwa kebijakan itu mutlak dan mereka kemudian menempatkan diri sebagai juru bicara organisasi Ada yang mengolah amanat tersebut, kemudian diolah dan disesuaikan dengan keadaan yang mereka hadapi, sehingga seseorang tersebut masih tetap menyuarakan aspirasi rakyat, tetapi tidak melanggar rambu-rambu yang ada. Rambu- rambu tersebut bukan sebagai pembatas namun dianggap sebagai pedoman dalam bertindak. Kemampuan seorang anggota DPRD pada dasarnya juga bisa diukur dari kemampuan dalam memadukan antara aspirasi masyarakat dengan rambu-rambu yang ada. Dan hal ini membutuhkan pengalaman, keberanian, komitmen untuk mendefinisikan peran DPRD Provinsi Sumatera Utara secara konkrit. Dan bila terjadi benturan antara rambu-rambu yang diberikan DPD/DPW dengan aspirasi rakyat, maka yang menjadi ukuran adalah kembali ke hati nurani yang bersangkutan. Rafriandi, memilih untuk memenuhi hati nurani dan tuntutan aspirasi rakyat ketimbang dengan rambu-rambu yang ada. Setiap pilihan dalam mengambil keputusan, maka seorang anggota DPRD harus berani mengambil resiko.

Rambu-rambu yang ditetapkan oleh DPD/DPW, bagi Syamsul Hilal tidak menjadi halangan dan tak pernah membuatnya takut. Ini bisa dilihat dari kasus pembebasan tanah garapan eks PTPN yang ada di Sumatera Utara. Bahwa aktivitas yang dibuatnya tidak dikonsultasikan ke fraksi dan DPD. Ia menuturkan bahwa rambu-rambu dari fraksi dan DPD partai baginya merupakan pembatasan sebagai aktor politik dan sebagai wakil rakyat. Rambu-rambu yang diberikan oleh fraksi dan partainya adalah Pancasila dan UUD 19459.

Tabel 20. Pendapat Responden bahwa Setiap Posisi Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Harus Mandiri

No. Kategori Jawaban f %

1. Setuju 14 63,63

2. Kurang Setuju 8 36,37

3. Tidak Setuju 0 0,00

Jumlah 22 100,00

Sumber: Kuesioner penelitian pertanyaan no. 49, 2006

Dari Tabel 20 tersebut terlihat bahwa sebagian besar (63,63%) menganggap posisi anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara adalah mandiri. Hal ini disebabkan mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan tidak tergantung pada pihak eksekutif dan mereka bebas memberikan masukan kepada eksekutif. Bagi yang kurang setuju merasakan bahwa sebagai wakil rakyat, maka lingkungan politik yang melingkupi tugas-tugasnya sangat menentukan performance anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara. Ketergantungan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara terhadap fraksi dan DPW/DPD nya cukup dirasakan, karena betapapun seorang anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara menyuarakan aspirasi atau statemennya, maka pernyataan

tersebut dianggap tidak resmi. Suara resmi adalah suara yang dikeluarkan oleh juru bicara fraksi. Ini menunjukkan bahwa anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara masih belum diakui kemandiriannya.

Selain beberapa hal yang “mengikat” anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam bersikap dan bertindak seperti yang telah diuraikan terdahulu, maka ada satu faktor lagi yang dianggap sangat berpengaruh yaitu adanya “recall” atau dengan istilah lain pergantian antar waktu.

Tabel 21. Pendapat Responden tentang Recall atau Pergantian Antar Waktu

No. Kategori Jawaban f %

1. Setuju 12 54,54

2. Kurang Setuju 8 36,37

3. Tidak Setuju 2 9,09

Jumlah 22 100,00

Sumber: Kuesioner penelitian pertanyaan no. 50, 2006

Dari Tabel 21 tersebut jelas terlihat bahwa kedekatan responden pada partai politik atau organisasi induknya memang tinggi. Mereka umumnya berpendapat setuju dengan adanya recall bagi anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara (54,54%). Karena harus dipahami bahwa yang memegang kunci kebijaksanaan adalah organisasi induknya (Dewan Pengurus Daerah atau Wilayah pada masing-masing partai partai politik) di mana suatu kebijakan akan diteruskan oleh fraksi di DPRD Provinsi Sumatera Utara. Sehingga jika terjadi pelanggaran kebijakan oleh salah seorang anggota (dari fraksi tertentu), maka sanksinya berbentuk recall atau pergantian antar waktu. Hal inilah yang membuat anggota DPRD Provinsi Sumatera

Utara tidak bisa bersikap dan bertindak bebas sebagai anggota DPRD karena semua langkah-langkah yang diambil harus sesuai dengan jalur kebijakan partai.

Hak recall adalah hak partai politik yang punya wakil di DPR untuk menarik kembali anggotanya di lembaga perwakilan teresebut dan menggantinya dengan orang-orang yang memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam peraturan perundang- undangan, dengan terlebih dahulu memusyawarahkannya dengan pimpinan lembaga perwakilan yang bersangkutan.

Bagi kalangan praktisi, ada dua pandangan yang berbeda mengenai kasus recalling DPRD. Pandangan pertama menyatakan bahwa anggota DPRD lebih merupakan kepanjangan tangan partai politik. Oleh sebab itu, persoalan sekitar pergantian/recalling anggota DPRD merupakan wewenang sepenuuhnya induk organisasi yang bersangkutan. Pandangan kedua, anggota DPRD lebih merupakan aktor politik dan sekaligus wakil rakyat dari sekedar instrumen teknis dari induk organisasinya. Dengan demikian, nasib keanggotaannya tidak sepenuhnya ditentukan oleh induk organisasinya, tetapi tergantung dari ketaatannya terhadap ideologi nasional dan moralitas/kode etik anggota DPRD.

Responden yang menyatakan setuju recall memiliki alasan yang berbeda- beda. Ada yang menyetujui recall karena memang hal itu sudah diatur dalam Tata Tertib DPRD Provinsi Sumatera Utara. Sepanjang tata tertib ini masih berlaku, maka recall adalah konsekuensi logis dari kehidupan berorganisasi. Dalam kehidupan berorganisasi, setiap orang yang berada dalam organisasi, sehingga bila seorang

anggota tidak mematuhi atau dianggap melanggar aturan organisasi, maka adalah sah bila anggota tersebut terkena sanksi organisasi yang salah satu bentuknya adalah recall. Recall, bagi responden yang setuju, juga dianggap merupakan bentuk pertanggungjawaban organisasi terhadap masyarakatnya. Karena bagi anggota- anggota yang tidak cakap, atau hanya diam dalam memperjuangkan aspirasi rakyat maka organisasi bisa menarik anggota tersebut. Namun, juga dikatakan bahwa dalam hal mer- recall anggotanya partai haruslah tidak berbuat sewenang-wenang. Partai harus bertindak karena alasan-alasan obyektif bukan karena sebab-sebab subjektif dan karena tekanan dari pihak tertentu. Selain alasan yang obyektif, maka setiap anggota yang di- recall berhak untuk membela dirinya dalam sebuah forum khusus diadakan untuk itu.

Di dalam kenyataannya recall tidak menimpa anggota-anggota yang dianggap tidak cakap atau tidak aktif dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, namun menimpa pada anggota DPR yang tidak memenuhi kebijakan yang ditetapkan oleh partai politik.

Bagi Raden Sayfi’i misalnya, recall masih tetap dibutuhkan karena hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari kehidupan organisasi. Dalam kehidupan berorganisasi setiap orang memiliki kebebasan sekaligus keterkaitan dengan aturan- aturan organisasi. Apabila seseorang dianggap tidak lagi bisa sejalan dengan organisasi dengan menimbulkan “hambatan” bagi organisasi, maka seseorang tersebut bisa dikeluarkan dari organisasi. Bagi Raden, organisasi fraksi ibarat sebuah

orkestra yang harus menyanyikan lagu atau musik yang telah disepakati bersama dan telah memiliki aturan-aturan yang telah ditetapkan. Bila salah seorang dari anggota musik tersebut menyimpang dan tidak sejalan dengan aturan dan kesepakatan yang telah ditetaplan maka akan membuat nada musik menjadi “fals”, tidak kompak dan tidak enak untuk didengarkan. Profesi di DPR bukanlah profesi individual, namun adalah profesi dalam bentuk tim. Karena, dalam bentuk tim, dibutuhkan kekompakan. Manuver-manuver individual diperbolehkan sepanjang tidak merusak kekompakkan tim. Oleh karena itulah, dengan pola pemikiran tersebut, Raden mengatakan bahwa

Dokumen terkait