Oleh
ISFAN F. FACHRUDDIN
037024007/SP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
OLEH
ISFAN F. FACHRUDDIN
037024007/SP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Drs. Subhilhar, MA) (Drs. Heri Kusmanto, MA) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Drs. Subhilhar, MA) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Drs. Subhilhar, MA
STUDI PERWAKILAN POLITIK DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA
PERIODE 2004 – 2009
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh grlar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar perpustakaan.
Medan, Mei 2007 Penulis,
kompleksnya masalah yang dihadapi DPRD sebagai lembaga demokrasi. Di lain pihak, hal itu mengisyaratkan luasnya tuntutan masyarakat akan kehadiran lembaga legislative dan perwakilan yang dapat menjalankan peran dan tugasnya seperti yang diharapkan serta pelunya usaha-usaha membenahi dan meningkatkan DPRD agar kehadirannya lebih bermakna. Fenomena yang diuraikan di atas hampir terjadi pada semua tingkatan DPR baik DPR RI maupun DPRD di provinsi dan kabupaten/kota. Terutama ketika diterapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Persoalan utama ialah kebanyakan partai memang belum sempat mempersiapkan calon mereka. Banyak anggota dewan yang mewakili partai dalam Pemilu 1999 tidak memiliki pengetahuan atau kemampuan berpolitik dan berpemerintah yang baik. Mereka dipilih sebagai anggota legislatif hanya karena dipilih oleh partai. Sementara di sisi lain, orientasi politik anggota legislative di daerah sangat diperlukan untuk menjalankan politik desentralisasi. Oleh karena itu, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Ke arah mana orientasi politik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 ditujukan?”
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perwakilan dengan konsep-konsep perwakilan politik yang dikemukakan oleh Birc, Malcom E. Jewell, Austin Ranney. Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif. Responden yang dipilih berjumlah 22 orang anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan metode pengambilan sampel dilakukan dengan teknik proportional random sampling, proporsinya berdasarkan fraksi-fraksi yang ada. Sumber data diperoleh melalui survey, wawancara dan observasi.
Sumatera Utara sebagai pengawas pemerintah. Tidak ada hubungan antara asal partai politik atau fraksi dengan orientasi mereka terhadap bangsa yang berkaitan dengan masalah-masalah provinsi dan kedaerahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap diantara 9 kelompok anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara berdasarkan fraksi tersebut kurang begitu nampak.
problem faced legislative body as democracy institute. On the other hand, that thing sign society demand broadness attendance of institute of legislative and representative of which can run the duty and role of was such as expected and also the him of efforts correct and improve legislative body, so that the attendance of more have a meaning, elaborated phenomenon above happened at all of levels of DPR good of DPR RI and of DPRD in sub-province and province. Especially when the applying Law of No. 22 Year 1999 concerning Governance of Area and Law of No. 32 Year 2004. Especial problem is most parties true not yet have time to draw up their candidate. Many council members representing party in General election 1999 do not have good governmental and political ability or knowledge. They is selected as legislative member is just because selected by party. Whereas on the other side, political orientation of member of legislative in area very need to run decentralization politics. Therefore, formulation of this research internal issue is: "which political orientation of parliament area member of North Sumatra Province Period 2004-2009 addressed?"
Theory which used in this research is representative theory with concepts representative of politics by Birc, Malcom E. Jewell, Austin of Ranney. While research method the used is descriptive analyze with quantitative approach. Respondent the selected to amount to 22 member people of DPRD North Sumatra Province with method intake of sample conducted with technique of proportional sampling random, proportion of pursuant to existing factions. Data source obtained to through survey, observation and interview.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap kan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang
memberi kekuatan iman kepada penulis untuk menyelesai kan akhir (Tesis) Penelitian
yang di tuangkan dalam bentuk tesis ini merupakan tugas akhir yang harus disajikan
dalam rangka menyelesaikan studi di Pascasarjana pada Program Magister Studi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera utara (USU) Medan
dengan mengambil judul “ Studi Perwakilan Politik Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2004 – 2009”.
Dalam penyelesaian tesis ini penulis telah banyak dibantu oleh berbagai
pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan, sehingga tesis ini
menjadi karya tulis yang layak sesuai dengan syarat dan tata cara yang telah
ditentukan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis dengan rasa hormat mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Subhilhar, MA, Ph.D, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
sekaligus Pembantu Rektor II Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA sebagai anggota Komisi Pembimbing
3. Bapak Drs. Agus Suriadi, M. Si, Bapak Muriyanto Amin, yang banyak
memberikan kritik dan saran yang sangat berguna dalam menyelesaikan tesis
4. Bapak Drs. Tonny P. Situmorang, MA dan Bapak Drs. M. Ridwan Rangkuti,
MA sebagai anggota Tim Penguji.
Selama mengikuti perkuliahan di Program Magister Studi Pembangunan USU,
penulis merasa nyaman dengan tersedianya fasilitas dalam proses belajar mengajar,
sehingga tidak berlebihan apabila ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam kurun waktu yang tidak singkat selama menjalani perkuliahan telah
terjadi interaksi yang baik antara penulis dengan staf pengajar dan pegawai serta
rekan – rekan kuliah terutama angkatan II, maka untuk itu penulis perlu memberikan
ucapan terima kasih kepada mereka semua.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda Ir. H.
Fachruddin Umri, Ibunda Prof. Dr. Chalida Fachruddin, istri Syafrida Hafmi, SE.
M.Si dan anak – anak tersayang Farica Amanda Fachri, Isyraqi Omar Fachri serta
keluarga besar yang tidak du ucapkan satu persatu yang telah memberikan dorongan
moril dan ikut berperan serta sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan
Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan berharap mudah –
mudahan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin
Medan, 10 Mei 2007
Penulis,
Isfan Fachri Fachriddin
Tempat/Tanggal Lahir : P. Siantar, 22 April 1964
Alamat : Jl. Bima Sakti. No. 16 Kec. Medan Barat Kota Medan
Status Perkawinan : Kawin
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Anggota DPRD Tk I Sumut Periode 2004-2009
Pendidikan : 1. SD Taman Siswa, Medan (1969-1975)
2. SMP Harapan I, Medan (1976-1979)
3. SMA Taman Siswa, Medan (1979-1983)
4. Universitas Sumatera Utara (1983-1990)
5. Magister Studi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana Universitas
ABSTRACT……… iii
KATA PENGANTAR ……… v
RIWAYAT HIDUP ……… viii
DAFTAR ISI ………. ix
DAFTAR TABEL ……….. xii
BAB I PENDAHULUAN ……… 1
1.1. Latar Belakang ………... 1
1.2. Permasalahan ………. 10
1.3. Batasan Permasalahan ………... 11
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 12
1.5. Kerangka Teori ……….. 12
1.6. Model Analisa ………... 23
1.7. Definisi Konsep ………. 23
1.8. Definisi Operasional ……….. 24
1.9. Hipotesa ………. 26
BAB II LEMBAGA PERWAKILAN SEBAGAI WADAH ASPIRASI POLITIK RAKYAT ………... 27
2.1. Lembaga Perwakilan dalam Negara Demokrasi ... 27
3.4. Teknik Pengumpulan Data ……… 44
3.5. Teknik Analisa Data ………. 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 46
4.1. Kilas Balik Pemilihan Umum 2004 di Sumatera Utara ... 46
4.2. DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 ... 48
4.3. Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPRD ... 49
4.4. Identitas Responden ... 76
4.5. Pendidikan dan Pengalaman Politik ... 79
4.6. Latar Belakang Pekerjaan ... 85
4.7. Orientasi ... 86
4.8. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan, Latar Belakang Pekerjaan, Pengalaman Politik dan Orientasi Politik ... 108
4.8.1. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Orientasi Politik ... 108
4.8.2. Hubungan Pengalaman Politik dan Orientasi Politik ... 115
1. Persepsi dari Berbagai Komponen Daerah tentang Kualitas Anggota DPRD di Beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota Di
Indonesia ... 9
2. Partai yang Memiliki Wakil di DPRD Provinsi Sumatera Utara ... 48
3. Jumlah Fraksi dan Nama-Nama Anggota Fraksi DPRD Provinsi Sumatera Utara ... 57
4. Komposisi Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 ... 68
5. Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Menurut Jenis Kelamin Periode 2004-2009 ... 70
6. Tingkat Pendidikan Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara
Periode 2004-2009 ... 72
7. Susunan Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 Berdasarkan Komisi ... 74
8. Usia Responden ... 77
9. Tingkat Pendidikan Responden ... 80
10. Lama Responden Menjadi Anggota DPRD Provinsi Sumatera
Utara ... 82
11. Lamanya Responden Berkecimpung di Lembaga Perwakilan Rakyat (DPRD Provinsi & Kabupaten atau Kota) ... 83
12. Keterlibatan Responden di Dalam Organisasi Kemasyarakatan ... 84
13. Pekerjaan Responden Sebelum Menjadi Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara ... 86
18 Pendapat Responden tentang Aktivitas LSM, Ormas, Masyarakat Kampus, dan Kaum Agamawan ... 93
19. Pendapat Responden bahwa Setiap Tindakan sebagai Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Harus Seizin, Sepengetahuan, dan Sejalan dengan Organisasi Induk ... 95
20. Pendapat Responden bahwa Setiap Posisi Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Harus Mandiri ... 98
21. Pendapat Responden tentang Recall atau Pergantian Antar Waktu ... 99
22. Pendapat Responden tentang Berfungsinya DPRD Provinsi Sumatera Utara ... 102
23. Pendapat Responden tentang Posisi DPRD Provinsi Sumatera
Utara ... 105
24. Pendapat Responden tentang Hubungan antara DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan Pemerintah Provinsi ... 105
25. Pendapat Responden tentang Tugas Utama DPRD Provinsi Sumatera Utara ... 107
26. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Intensitas Mengurusi Masalah-Masalah Provinsi ... 108
27. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Tingkat Kemandirian dalam Bertindak ... 110
28. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Pendapat Bahwa Tugas Anggota DPRD Harus Sejalan dengan Organisasi Induknya ... 112
29. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Pendapat tentang Fungsi Utama DPRD ... 113
Tindakan Anggota DPRD Harus Sejalan dengan Organisasi Induk ... 118
33. Hubungan Antara Pengalaman Politik dan Pendapat tentang Fungsi Utama DPRD ... 119
34. Hubungan Antara Latar Belakang Pekerjaan dengan Intensitas Mengurusi Masalah-Masalah Provinsi ... 120
35. Hubungan Antara Latar Belakang Pekerjaan dengan Tingkat Kemandirian dalam Bertindak ... 121
36. Hubungan Antara Latar Belakang Pekerjaan dengan Pendapat Bahwa Tindakan Anggota DPRD Harus Sejalan dengan Organisasi Induk ... 122
37. Hubungan Antara Latar Belakang Pekerjaan dengan Pendapat
tentang Fungsi Utama DPRD ... 123
38. Hubungan Fraksi dan Intensitas Mengenai Masalah Provinsi . 123
39. Hubungan Antara Fraksi dan Tingkat Kemandirian dalam Bertindak ... 124
40. Hubungan Antara Fraksi dan Pendapat Bahwa Tugas Anggota DPRD Harus Sejalan dengan Organisasi Induk ... 125
1.1. Latar Belakang
Dalam teori dan praktek demokrasi tradisional, lembaga legislatif memiliki
posisi utama, yang tercermin dalam doktrin kedaulatan parlemen. Asumsinya
adalah bahwa hanya parlemen saja yang mewakili rakyat dan berkompeten
mengungkapkan kehendak rakyat dalam bentuk undang-undang. Sementara
eksekutif atau pemerintahannya mengikuti atau mengimplementasikan hukum dan
prinsip-prinsip yang ditetapkan parlemen.
Supremasi parlemen di berbagai negara demokrasi konstitusional tampak
dalam abad XIX yang dikenal sebagai “abad parlementarisme”. Walter Bagehot,
seorangan ahli pada paruh kedua abad XIX, menunjukkan bahwa parlemen
menjalankan berbagai fungsi penting seperti menominasikan orang-orang yang
akan duduk di lembaga eksekutif, menetapkan undang-undang, menyiapkan dan
menetapkan anggaran, mengawasi kabinet, menyampaikan keluhan masyarakat,
serta memasyarakatkan berbagai isu yang dihadapi negara.
Tetapi, sejak awal abad XX dan berlanjut hingga sekarang, terjadi
perubahan mendasar dalam organisasi dan fungsi lembaga demokrasi. Dari fungsi
tradisional negara, yakni lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, muncul
eksekutif sebagai lembaga yang dominan.
Sebagai efeknya, kini lembaga perwakilan rakyat atau parlemen lebih tepat
lembaga atau pejabat lain dalam tingkatan yang berbeda-beda. Karenanya, tidak
mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa saat ini tidak ada lagi peran
legislatif yang sama sekali terpisah, dan bahwa parlemen pada dasarnya hanya
badan yang meratifikasi keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh badan-badan
lain di luar parlemen.
Terkadang, peran legislatif itu dilakukan bersama rakyat, yaitu dengan
menggunakan sarana referendum. Badan atau organisasi lain, seperti pemerintah
daerah, kelompok penekan, dan komite hak-hak asasi manusia dapat juga berbagi
fungsi legislatif dengan parlemen. Tentu saja, eksekutif dan birokrasi merupakan
partner terpenting, dan seringkali paling dominan, dalam menjalankan fungsi
legislatif tersebut.
Dengan demikian, walaupun berperan dalam menetapkan dan
melegitimasi suatu rancangan menjadi undang-undang, lembaga legislatif atau
parlemen pada umumnya bukan perumus rancangan tersebut. Bahkan, di beberapa
negara demokrasi parlementer pun, seperti Inggris dan Selendia Baru, konsep
parlemen sebagai lembaga yang merumuskan undang-undang, menetapkan
kebijakan-kebijakan mendasar, mengontrol anggaran belanja pemerintah, dan
bertanggung jawab memilih pemerintahan, sudah drastis karena adanya peran
dominan partai khususnya partai yang memerintah di bidang-bidang ini.
Lembaga perwakilan rakyat pada umumnya memiliki empat fungsi utama:
pertama fungsi legislasi atau pembuatan peraturan (legislative or law-making
kontrol (control functions), dan keempat fungsi rekrutmen (recruitment or
elecoral college function) (Ala, 1991: 2).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu lembaga tinggi
Negara Republik Indonesia, disamping Presiden, Mahkamah Agung (MA),
Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebagai lembaga tinggi negara, DPR memiliki posisi yang strategis. Seperti
lembaga perwakilan rakyat pada umumnya, DPR disamping lembaga legislatif,
juga sebagai lembaga representatif, yaitu lembaga yang mewakili rakyat (masa
pemilihnya). Sebagai lembaga legislatif DPR memiliki fungsi membuat
undang-undang, sedangkan sebagai lembaga representatif DPR merupakan wakil rakyat.
Sebagai lembaga yang mewakili rakyat, DPR dituntut untuk mendengarkan dan
mengakomodasi aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR tidak bekerja dalam ruang
kosong, namun bekerja pada suatu sistem politik tertentu, yaitu sistem politik
Indonesia. Oleh sebab itu dalam tataran teoritis, lembaga representatif seperti
DPR berfungsi sebagai institusi sistem politik yang mengubah input menjadi out
put.
Input atau aspirasi rakyat dapat berwujud tuntutan atau dukungan. Input
yang berupa tuntutan dapat berasal dari lingkungan yang berada di sekitar sistem
politik itu sendiri. Input yang berasal dari lingkungan di sekitar sistem politik
dapat disebut sebagai input eksternal, dan input yang berasal dari sistem politik itu
Input yang masuk ke sistem kemudian diolah menjadi out put oleh DPR.
Proses perubahan dari input ke out put biasa disebut dengan proses konversi.
Proses konversi in amat tergantung kepada sistem politik yang berlaku maupun
tergantung kepada pelaku-pelaku yang bersangkutan, yakni para anggota DPR.
Anggota DPR sebagai pelaku dalam proses konversi amat mempengaruhi
berfungsi tidaknya proses konversi tersebut. Orientasi politik anggota DPR akan
mempengaruhi berfungsi tidaknya lembaga tersebut sebagai institusi wakil rakyat.
Dalam perjalanan waktu, lembaga perwakilan rakyat ini mengalami
dinamika politik yang terus menerus. Bisa dikatakan bahwa dalam sejarahnya,
sebagai lembaga legislatif (membuat undang-undang) DPR cukup produktif.
Betapapun harus diakui bahwa semua inisiatif membuat undang-undang tersebut
berasal dari pihak eksekutif, namun penggodokan dan sentuhan terakhir berada di
tangan DPR. Di sisi lain, DPR kurang responsif dalam memperjuangkan aspirasi
rakyat yang diwakilinya. Namun, betapapun DPR dianggap kurang tanggap
terhadap aspirasi pemilihnya, di sisi lain, harapan masyarakat terhadap DPR
masih tetap tinggi. Ini terbukti banyaknya pengaduan yang dialamatkan ke DPR,
hanya beberapa hari setelah anggota DPR RI yang baru (periode 2004-2009)
dilantik (Kompas, 10 Januari 2006).
Kritik dan kecaman terhadap DPR muncul dari berbagai pihak, baik dari
masyarakat, pers, maupun dari kalangan anggota dan pimpinan DPR sendiri. Di
satu pihak, berbagai kritik dan sorotan terhadap DPR menunjukkan betapa
kompleksnya masalah yang dihadapi DPR sebagai lembaga demokrasi. Di lain
lembaga legislatif dan perwakilan yang dapat menjalankan peran dan tugasnya
seperti yang diharapkan, serta perlunya usaha-usaha membenahi dan
meningkatkan DPR agar kehadirannya betul-betul bermakna (Amal & Rizal,
2003: 12-13).
Ada anggapan di masyarakat bahwa sebagai wakil rakyat, DPR cenderung
mewakili pemerintah atau partai yang mencalonkannya. Ada empat gejala yang
mendukung sinyalemen ini. Pertama, anggota DPR lebih dekat dengan
pemerintah dan partai ketimbang dengan rakyat. Karena sebagian besar dari
mereka dicalonkan oleh partai dan dinilai oleh pemerintah. Kedua, adanya
lembaga recall oleh partai dan Pemerintah melalui Badan Kehormatan Dewan
tanpa persetujuan terlebih dahulu dari rakyat pemilih. Hal ini menyebabkan
mereka lebih loyal kepada partai dan pemerintah ketimbang kepada rakyat.
Ketiga, sebagai wakil rakyat, DPR biasanya bersifat reaktif ketimbang aktif. DPR
biasanya menunggu rakyat mengadukan nasib dari permasalahannya, ketimbang
aktif untuk memperoleh fakta, lalu mengambil tindakan. Keempat, ada beberapa
usul interpelasi dipetieskan karena ditolak oleh sebagaian besar anggota DPR.
B.N. Marbun mengidentifikasi masalah-masalah yang membuat DPR
lemah dalam menjalankan tugasnya (Marbun, 1992: 266-267), yaitu:
1. Mutu anggota DPR, baik dari segi pengalaman, latar belakang pendidikan
yang relatif kurang memadai.
3. Adanya dominasi kelompok tertentu yang secara langsung mengurangi
lahirnya inspirasi dan inisiatif serta menenggelamkan inisiatif dan ide-ide
pembaharuan dari kelompok kecil DPR.
4. Ketakutan mengeluarkan kritik dan tanggapan karena adanya “pesan induk
organisasi” yang cukup kuat serta ancaman recall.
5. Minimnya komunikasi antara DPR dan masyarakat, terutama dengan para
ahli atau pakar pemikir yang kreatif serta kalangan masyarakat, terutama
dengan para ahli atau pakar pemikir yang kreatif serta kalangan masyarakat
yang berpikiran kritis terhadap kebijakan pemerintah.
6. Kurangnya rasa keterikatan sebagian anggota DPR dengan daerah
pemilihannya dan para pemilihnya.
7. Adanya perasaan minder sebagian anggota DPR berhadapan dengan pihak
eksekutif, serta sering terjadi kritik atau saran yang diberikan anggota DPR
kepada pihak eksekutif tidak mendapat tanggapan.
8. Minimnya saran yang dimiliki DPR.
9. Hambatan psikologis masa lalu, yaitu pandangan bahwa berpolitik itu
sesuatu yang kurang begitu penting dibandingkan dengan usaha
pembangunan ekonomi.
10. Hambatan langsung dan tidak langsung dari peraturan tata tertib DPR yang
cukup ketat dan rumit.
Kalau diperhatikan lebih teliti dari identifikasi masalah yang ada di DPR,
terlihat sebagian besar masalah tersebut terletak di tubuh DPR itu sendiri, yaitu
DPR sangat terkait erat dengan sejauh mana anggota-anggotanya mempunyai
kapasitas, integritas dan intelektualitas, serta parameter kualitatif lainnya,
sehingga akan berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan (Alhumami, Kompas,
2006).
Seseorang yang duduk menjadi anggota DPR melalui pemilihan yaitu
rakyat memilih partai yang didukungnya dan kemudian partai memilih dan
menentukan calon tersebut untuk duduk sebagai anggota DPR. Sistem ini
tentunya akan sangat mempengaruhi orientasi anggota DPR yang terpilih dalam
melaksanakan kepentingan partai atau kepentingan pemilihnya.
Kecuali itu, orientasi para angota lembaga perwakilan rakyat juga
ditentukan oleh pengalaman atau karirnya di bidang politik, latar belakang
profesinya, dan juga kondisi-kondisi yang ada di tubuh lembaga dewan
perwakilan rakyat tersebut.
Fenomena yang diuraikan di atas hampir terjadi pada semua tingkatan
DPR baik DPR RI maupun DPRD di provinsi dan kabupaten/kota. Terutama
ketika diterapkannya Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang No. 32/2004.
Berasaskan hasil temuan-temuan pokok dari penelitian yang dilakukan
oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) (2001) misalnya,
disebutkan bahawa suasana politik yang berkembang di daerah telah mengarah,
dan bahkan memperaktikkan, pelaksanaan UU No.22/1999 terutama dalam kaitan
power relation antara pemerintah daerah (eksekutif) dengan DPRD. DPRD
eksekutif. Tetapi, DPRD kelihatan kurang menunjukkan kemampuannya dalam
peranan-peranan lainnya seperti peranan legislasi, dan penyerapan aspirasi. Hal ini
terjadi/berlaku baik di daerah-daerah yang telah melakukan pemilihan kepala
daerah (bupati/walikota) dengan cara-cara baru, maupun di daerah-daerah yang
tengah, dan sama sekali belum, mempersiapkan diri untuk pemilihan kepala
daerah. Penemuan tersebut diperkuat lagi dengan data tentang persepsi berbagai
komponen daerah tentang kualitas anggota dewan, yang dilaporkan oleh Social
Monitoring and Early Response Unit (SMERU), sebuah institusi penelitian
mengenai berbagai persoalan sosial ekonomi yang berkedudukan di Salatiga (lihat
tabel 1).
Persoalan utama ialah kebanyakan partai memang belum sempat
mempersiapkan calon mereka. Banyak anggota dewan yang mewakili partai
dalam Pemilu 1999 tidak memiliki pengetahuan atau kemampuan berpolitik dan
berpemerintah yang baik. Mereka dipilih sebagai anggota legislatif hanya karena
dipilih oleh partai. Misalnya, Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Pramono Anung,
mengaku bahwa kualitas calon partainya yang berada di legislatif tanpa arahan
partai, maka bukan hanya suara wakil rakyat tidak efektif disalurkan, tetapi
muncul berbagai prilaku aneh atau menurut Media Indonesia muncul “wakil
rakyat yang abnormal”1. Para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga melihat perkara yang sama dengan menyuarakan: “Fungsi parlemen
1
Menurut editorial akhbar Media Indonesia (Jakarta, 10 Mei 2003): “Korupsi juga berkorelasi
sebagai penyalur aspirasi rakyat tenggelam dibandingkan dengan kepentingan
mereka untuk memperoleh kekuasaan, jabatan dan uang” (Romli, 2002)
Tabel 1. Persepsi dari Berbagai Komponen Daerah tentang Kualitas Anggota DPRD di Beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia
Propinsi dan Kabupaten/Kota
Perbedaan kualitas anggota DPRD sekarang dibanding dengan era/waktu sebelumnya
Jawa Barat Keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan tentang kebijakan publik lebih intensif. Lebih terbuka terhadap rakyat, tetapi cenderung mengutamakan kesejahteraan diri.
1. Sukabumi Lebih dinamis, kerana berani melibatkan masyarakat dalam berbagai pembahasan tentang kebijakan pemerintahan daerah.
Jawa Tengah Lebih berani dalam mengembangkan dialog baik dengan eksekutif maupun dengan masyarakat
2. Kudus Lebih peka dan aspiratif pada kepentingan rakyat dan memunyai hubungan serasi dengan eksekutif.
Jawa Timur Lebih kritis dan berani dengan keinginan belajar yang tinggi. Melibatkan masyarakat dan profesional dalam membahas dasar kepentingan umum.
3. Magetan Lebih berani menyampaikan aspirasi rakyat dan mau bekerjasama dengan berbagai pihak profesional
Lampung Tidak lagi sekadar pemberi cap, perannya dalam pengambilan keputusan dasar pemerintah daerah lebih strategis. Namun usaha memenuhi kepentingan sendiri sangat kuat, penghasilan mereka terus naik.
4. Bandar Lampung
Dapat menentukan anggaran sendiri, tetapi persoalan ini dikawatirkan dapat memperlemah pengawasan terhadap eksekutif
Sumatera Barat Lebih leluasa dan berani menyampaikan pendapat, sementara ini hubungan dengan eksekutif makin lama makin baik. Hubungan baik ini dapat mengaburkan kekuasaan dalam pengertian KKN.
5 Solok Lebih berani bicara, tapi baru bersifat korektor belum konseptor.
Sumatera Utara Kualitas tidak memuaskan, tetapi lebih memerhatikan kepentingan rakyat. Namun, dalam perkara Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung mendukung eksekutif. Nusa Tenggara Barat Kualitas rendah, baik dari segi pendidikan maupun
pengalaman
Nusa Tenggara Timur
Tidak banyak berbeda, hanya 30 persen anggota dewan yang bersuara, lainnya diam. Parlemen belum menyalurkan aspirasi rakyat dengan baik. Tugas pengawasan terhadap eksekutif lemah, banyak anggota dewan yang justru perlu diawasi.
7. Sumba Timur Belum berfungsi secara maksimal, pihak eksekutif perlu membantu memperkuat parlemen agar dapat menjadi partner yang efektif.
Kalimantan Barat Lebih berani, tetapi kualitas dan disiplin rendah. Bersemangat meningkatkan PAD.
8. Sanggau Tingkat pendidikan rendah, tidak menguasai persoalan daerah, pengalaman kurang, dan cenderung mementingkan diri. Masyarakat mengusulkan adanya tim pemantau bebas terhadap DPRD.
Kalimantan Selatan Hanya 30 persen yang layak menjadi anggota dewan, tetapi mereka lebih berani dan cukup kritis terhadap kinerja eksekutif.
9. Banjarmasin Posisi dewan lebih kuat, tetapi hubungan dengan eksekutif baik. Hubungan ini dapat memperlemah pengawasan DPRD terhadap eksekutif.
Sulawesi Utara Parlemen lebih berkuasa, tetapi kualitas dan moral anggotanya tidak lebih baik daripada sebelumnya.
10. Minahasa Merasa lebih berkuasa dan pernah menolak membicarakan draf perda yang diusulkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Keterangan: *Cetak miring adalah kota
Sumber: Laporan Lapangan Social Monitoring and Early Response Unit (SMERU), 2004.
Dari pemikiran tersebut saya ingin melihat orientasi politik DPRD
Provinsi Sumatera Utara Periode 2004 – 2009. Sehingga peneliti dapat
menggambarkan secara lebih jauh tentang keberadaan DPRD Provinsi Sumatera
Utara Periode 2004 – 2009 dalam kaitannya dengan orientasi politik anggotanya.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam
“Ke arah mana orientasi politik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 ditujukan?”
1.3. Batasan Permasalahan
Agar penelitian ini lebih memiliki fokus kajian mengenai orientasi politik
anggota DPRD khususnya di Provinsi Sumatera Utara, maka peneliti membuat
pembatasan tentang permasalahan yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Apakah latar belakang pendidikan yang dimiliki anggota DPRD Provinsi
Sumatera Utara Periode 2004-2009 mempengaruhi ke arah mana orientasi
politik mereka ditujukan?
2. Apakah latar belakang profesi dan pendidikan yang dimiliki anggota DPRD
Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009 mempengaruhi ke arah mana
orientasi politik mereka ditujukan?
3. Apakah pengalaman politik yang dimiliki anggota DPRD Provinsi Sumatera
Utara Periode 2004-2009 mempengaruhi ke arah mana orientasi politik
mereka ditujukan?
4. Apakah organisasi asal atau fraksi dimana anggota DPRD Provinsi Sumatera
Utara Periode 2004-2009 juga mempengaruhi ke arah mana orientasi politik
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Mengetahui orientasi anggota DPRD, kepada partai atau kepada masyarakat.
2. Mengetahui tingkat loyalitas kepentingan daerah dan nasional anggota
DPRD.
Penelitian ini bermanfaat memberikan masukan dalam pengembangan
disiplin ilmu politik terutama untuk kajian pembangunan institusi politik yaitu
legisltif lokal dalam memperluas khasanah ilmu politik.
1.5. Kerangka Teori
Ada tiga konsep perwakilan. Birch, mengartikan tiga konsep itu
masing-masing berbeda antara satu dengan yang lain (Birch, 1971: 13). Pertama,
perwakilan menunjukkan suatu agen atau seorang yang bertindak demi
menjalankan prinsip yang diyakininya. Kedua, menunjukkan seseorang yang
memiliki sebagaian besar ciri-ciri yang sama dari sekelompok orang. Ketiga,
menunjukkan seseorang yang menjadi simbol dari identitas dan kualitas dari
sekelompok orang.
Lebih lanjut Birch mengatakan bahwa perwakilan politik adalah seseorang
yang oleh kebiasaan atau hukum memiliki status atau peranan sebagai wakil di
dalam suatu sistem politik (Birch, 1971: 13).
Siapakah wakil rakyat dimaksud? Seorang wakil bisa disimbolkan sebagai
seorang raja atau presiden, namun seorang wakil yang dimaksud di sini adalah
Ada tiga dimensi yang berbeda mengenai perwakilan, yakni dimensi
kewenangan, dimensi simbolik, dan dimensi instrumental.
Dimensi kewenangan (otoritas) berkaitan dengan kewenangan dari
seseorang atau sekelompok orang untuk mewakili yang lainnya. Dalam relasi
antara pengacara-kliennya, mudah dilihat bahwa pengacara adalah perwakilan,
dalam arti bahwa ia telah diberi kewenangan oleh klien untuk mewakilinya
(klien). Otoritas perwakilan ini amat formalistik dan legalistik.
Dimensi simbolik berkaitan dengan gambaran suatu perwakilan atau
lembaga legislatifnya yang bertindak untuk sekelompok masyarakat. Di dalam
mitologi politik, lembaga perwakilan kadang dipandang sebagai suatu
mikrokosmos dari suatu bangsa, merupakan miniatur dari suatu masyarakat secara
keseluruhan.
Dimensi instrumental mengacu pada tindakan dari perwakilan. Perwakilan
diharapkan oleh pemilihnya untuk bertindak atas nama mereka, menjadi alat
mereka untuk melakukan sesuatu. Di dalam pengertian ini, perwakilan disebut
sebagai suatu cara bertindak atau sebuah harapan bagaimana seharusnya bertindak
demi pemilihnya. Hubungan antara wakil dengan orang yang diwakili merupakan
dasar mengenai bagaimana perwakilan seharusnya bertindak (Jewell and
Patterson, 1979: 22-24).
Dalam tulisannya mengenai teori perwakilan politik, Alfred de Gracia
mengemukakan bahwa perwakilan politik diartikan sebagai hubungan diantara
untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang
dibuatnya dengan terwakil (Sanit, 1985: 1).
Di dalam konsep perwakilan, terkandung dua pihak yang terlibat, yakni
pihak yang mewakili (wakil) dan pihak yang diwakili (terwakil). Dua pihak ini
terlibat dalam posisi yang saling berhubungan. Gilbert Abcarian mengatakan
bahwa hubungan wakil dengan terwakil dapat dikategorikan ke dalam empat tipe,
yaitu (Saragih, 1987: 103):
(1) Si wakil bertindak sebagai wali (trustee)
Sebagai wali, wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut
pertimbangan si wakil sendiri, tanpa perlu berkonsultasi dengan yang
diwakilinya.
(2) Si wakil bertindak sebagai utusan (delegate)
Di sini si wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya,
si wakil selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya
dalam menjalankan tugasnya.
(3) Si wakil bertindak sebagai politico.
Wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan adakalanya
bertindak sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung dari isu
materi yang dibahas.
(4) Si wakil bertindak sebagai partisan.
Wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai
diwakilinya), maka lepaslah hubungan dengan pemilih tersebut, dan
mulailah hubungan dengan partai (organisasi) yang mencalonkan tersebut.
Austin Ranney, dalam bukunya The Governing of Man (Ranney, 1966:
268-271) mengatakan bahwa ada dua teori mengenai perwakilan, yaitu teori
mandat dan teori kebebasan. Dalam teori mandat wakil dilihat sebagai penerima
mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kehidupan politik.
Oleh karena itu, wakil hendaklah selalu memberikan pandangan, bersikap dan
bertindak sejalan dengan mandat melaksanakan tugasnya. Pandangan wakil secara
pribadi tidak digunakan dalam kualifikasi sebagai wakil. Bagi terwakil, keadaan
ini lebih menguntungkan karena wakil dapat dikontrol secara terus menerus.
Perbedaan pandangan antara wakil dan terwakil dapat mengakibatkan menurunya
reputasi wakil. Sebaliknya, wakil yang begitu terikat, terhalang untuk
pengembangan kreativitas dan kelincahan gerak politiknya. Mungkin sekali wakil
merasa dirinya jadi robot.
Dalam teori kebebasan, wakil dianggap perlu merumuskan sikap dan
pandangan tentang masalah yang dihadapi tanpa terikat secara ketat terhadap
terwakil. Sebab terwakil telah memberikan kepercayaan kepadanya selaku wakil.
Karena itu, pertimbangan wakil secara pribadi yang memperhatikan keseluruhan
aspek yang terkait mengenai masalah yang dihadapi amat menentukan keputusan
dan sikap wakil. Berlawanan dengan teori mandat, maka logika teori kebebasan
wakil lebih terfokus kepada operasionalisasi tugas wakil itu sendiri.
Karena diakuinya kebebasan wakil dalam melaksanakan tugasnya, maka
didasarkan kepada teori mandat disebut sebagai wakil yang bertipe utusan (Sanit,
1985: 1).
Tipe perwakilan politik bisa mempengaruhi pola komunikasi politik antara
wakil dengan terwakil. Konsepsi operasional mengenai siapa yang menjadi pusat
perhatian wakil dalam menunaikan tugasnya, menentukan apakah wakil akan
berhubungan dengan individu, masyarakat secara umum, kelompok atau partai
politik. Tipe perwakilan akan menentukan tingkat kemandirian atau
ketergantungan wakil dalam menentukan sikap dan membuat keputusan. Kontak
menjadi terbatas dalam hal wakil melihat dirinya sebagai wali bagi pihak terwakil.
Sebaliknya, dalam hal wakil mengambil posisi utusan atau delegasi terwakil.
Kemampuan berjuang atau daya juang wakil ikut pula menentukan
pilihannya terhadap tanggapan yang perlu diberikan terhadap permasalahan yang
dihadapi terwakil. Pilihan tersebut tidak saja ditentukan oleh daya juang wakil di
dalam lembaga perwakilan, akan tetapi ditentukan pula oleh daya juangnya di
dalam masyarakat dan di arena politik secara keseluruhan.
Keseluruhan hubungan diantara wakil dengan terwakil tersebut di satu
pihak menentukan keberhasilan wakil dalam memenuhi tugasnya. Bilamana
tugas-tugas tersebut terpenuhi secara memuaskan keseluruh pihak, maka dapat
dikatakan perwakilan politik berfungsi. Berfungsinya perwakilan politik tersebut,
termasuk pula kepuasan pihak terwakil dalam artian bahwa kepentingan, opini dan
tuntutannya terlayani oleh wakil melalui tanggapan yang diberikannya lewat sikap
dan keputusannya yang dibuat terhadap masalah yang dihadapi terwakil. Di lihat
keterwakilan politik secara memadai. Secara lebih detail, Malcom E. Jewell
merumuskan model peranan wakil rakyat, berdasarkan orientasinya, yaitu: (Jewell
and Peterson, 1979: 349-351)
(1) Orientasi terhadap pemilih:
(a) Orientasi distrik (area).
Wakil rakyat secara eksplisit menjalankan tugasnya demi
kepentingan daerah pemilihnya.
(b) Orientasi pada negara atau bangsa.
Wakil rakyat lebih melibatkan diri dengan kebijakan negara yang
lebih luas dibanding kepada kepentingan daerah yang sempit. Wakil
rakyat lebih melibatkan dirinya dengan kebijakan dan
program-program nasional ketimbang daerah pemilihannya.
(2) Orientasi terhadap kelompok kepentingan:
Orientasi wakil rakyat ditujukan terhadap kelompok-kelompok
kepentingan:
(a) Fasilitator: wakil rakyat yang berpengetahuan luas mengenai
aktivitas kelompok dan memiliki hubungan akrab dan intens
terhadap kelompok-kelompok penekan.
(b) Resisters: wakil rakyat yang mengetahui banyak mengenai aktivitas
kelompok-kelompok penekan dan bersikap permusuhan terhadapnya.
(c) Neutrals: wakil rakyat yang kurang begitu memahami aktivitas
kelompok penekan dan bersikap tak begitu keras terhadap sikap
(3) Orientasi terhadap partai:
(a) Party Man: wakil rakyat yang menganggap tugasnya sebagai
pendukung program partai atau pemimpin partainya, tanpa
memandang pendapatnya sendiri.
(b) Maverick: wakil rakyat yang memandang tugasnya sebagai bagian
independen dari program partisan dan melakukan pemungutan suara
dengan partai yang lain dengan aturan-aturan tertentu.
(c) Party indifferent: wakil rakyat yang menjauhkan diri/mengelak dari
pendapat pendukung, yang menganggap tugasnya, setelah pemilihan
umum, mewakili semua warga negara tanpa memandang partainya.
Bagi wakil tersebut, partai kurang begitu penting.
(4) Orientasi terhadap birokrasi:
Orientasi wakil rakyat terhadap eksekutif (gubernur atau presiden) atau
terhadap aparat birokrasi.
(a) Orientasi eksekutif: wakil rakyat yang melihat pekerjaannya sebagai
juru bicara pejabat eksekutif di lembaga legislatif, yang menganggap
tugasnya adalah memperkenalkan program-program presiden atau
gubernur, anggaran pertahanan, atau wakil rakyat yang menganggap
tugasnya adalah beroposisi dengan eksekutif.
(b) Orientasi terhadap lembaga atau agen: wakil rakyat yang melihat
tugasnya sebagai juru bicara atau lawan dari lembaga administrasi
(5) Orientasi terhadap cara mewakili:
Orientasi wakil rakyat terhadap cara-cara bagaimana keputusan dibuat,
tanpa memandang tentang fokus perwakilannya menyangkut distrik, partai
politik, kelompok kepentingan, lembaga administrasi atau kombinasi dari
semuanya.
(a) Trustee: wakil yang melihat dirinya sebagai agen yang bebas,
mengambil keputusan menurut prinsip-prinsip, keyakinan/pendirian,
dan hati nurani.
(b) Delegate: wakil rakyat yang menganggap bahwa
keputusan-keputusan yang dibuatnya sebaiknya tidak berdasarkan
pertimbangan/keyakinan pribadi, tetapi harus dikonsultasikan kepada
pemilih, menerima instruksi-instruksi mereka bahkan mengikuti
mandat mereka bila terjadi perbedaan dalam pandangan/pendirian.
(c) Politico: wakil rakyat yang mengekspresikan baik orientasi trustee
dan orientasi delegasi.
(6) Orientasi terhadap tujuan:
Orientasi wakil rakyat terhadap tujuan dan proses dari lembaga legislatif.
(a) Ritualis: wakil rakyat yang memandang tugasnya sebagai hal yang
rutin seperti kerja di komisi, membuat aturan dan prosedur dan
meningkatkan anggaran belanja negara, dan sebagainya.
(b) Tribune: wakil rakyat yang menganggap tugasnya sebagai penyalur
keinginan warga, membela kepentingan umum, dan melakukan
(c) Inventor: wakil rakyat yang memandang tugas utamanya adalah
berhubungan dengan pembuatan, perumusan, dan pengenalan
kebijakan publik.
(7) Orientasi terhadap struktur:
(a) Expert: wakil rakyat yang memandang dirinya dan dipandang orang
lain, sebagai pakar/ahli yang menguasai keahlian khusus.
(b) Leader: wakil rakyat yang menjalankan fungsi integratif dan
pengarahan, yang memberikan “kunci” bagi prilaku pihak lain.
(c) Comitleeman: wakil rakyat yang mengkonsepsikan peranannya
sebagai anggota komite legislatif atau subkomite.
(d) Friend: wakil rakyat yang mengkonsepsikan peranannya termasuk
hubungan interpersonal berhadapan dengan teman-teman legislatif
lainnya.
Dalam proses perwakilan politik, setiap wakil perlu menentukan posisinya
terhadap terwakil manakala ia terlibat dalam pengambilan keputusan suatu
masalah. Pentingnya penentuan posisi tersebut justru karena sikap dan pilihannya
terhadap alternatif pemecahan masalah ataupun terhadap prioritasnya pada
dasarnya adalah mengatasnamakan opini, aspirasi dan kepentingan terwakil.
Posisi wakil terhadap terwakil tersebut merupakan hakikat dari perwakilan politik
itu sendiri.
Sebagai anggota kelompok terpilih di dalam masyarakat, para wakil dapat
digolongkan sebagai elite dalam sistem politik. Kekuatan politik, dukungan,
akan merupakan sumber kekuatan bagi wakil. Derajat akumulatif sumber-sumber
itu menentukan tingkat kekuatan dan daya pengaruhnya di dalam masyarakat.
Namun demikian, secara analitis perlu dibedakan wakil yang berkapasitas sebagai
pemimpin dengan wakil yang hanya berkapasitas sebagai pemangku kewenangan.
Karena tidak semua wakil memperoleh legitimasi yang memadai diri terwakil
maka wakil seperti itu lebih banyak mengandalkan formalitas dan kedudukannya
selaku wakil untuk menunaikan tugasnya. Justru wakil-wakil yang termasuk ke
dalam tipe ini lebih dilihat sebagai pemangku kekuasaan daripada pemimpin
rakyat.
Apa saja kewajiban wakil terhadap terwakil? Pada dasarnya wakil dituntut,
pertama harus memiliki akses terhadap daerah pemilihnya. Wakil mesti banyak
meluangkan waktu di dalam daerah pemilihannya, menjawab surat dan telepon
dari pemilihnya, dan menggunakan staffnya untuk mempertahankan kontak, bila
ia tidak dapat melakukannya secara personal. Ia harus mempublikasikan
kemampuan akses yang dimilikinya. Jika wakil tidak memiliki akses terhadap
pemilih, maka pemilih tak dapat mengontak wakil-wakilnya dan tidak tahu
bagaimana caranya untuk menyampaikan masalah yang dihadapinya.
Kedua, wakil harus aktif mencari informasi sumber-sumber untuk
mengetahui kebutuhan dan pandangan-pandangan pemilihnya, mendekati pemilih
dan mengakrabi masalah-masalah mereka, seperti perbaikan jalan, perumahan
yang tak layak, pengangguran, ketegangan rasial, dan lain sebagainya. Hal ini
termasuk akrab dengan kelompok-kelompok yang ada di daerahnya dan pemimpin
komunikasi, dengan demikian wakil dapat belajar dan mengevaluasi
tuntutan-tuntutan mereka.
Ketiga, wakil diharapkan menjalankan kepemimpinannya, mendidik
pemilih dan menjelaskan aktivitas-aktivitasnya. Wakil menjelaskan
masalah-masalah dalam berhubungan dengan negara dan distrik serta menjelaskan
anggaran yang digunakan. Ia menjelaskan tindakan-tindakannya dan
pendapat-pendapatnya pada masalah-masalah tertentu. Ia menginformasikan kepada
kelompok-kelompok dan individu-individu mengenai program-program yang
bermanfaat bagi mereka (Jewell, 1982: 18-19).
Berdasarkan kerangka teori yang ada, maka disusun sebuah model analisa
1.6. Model Analisa
Tingkat Pendidikan
Gambar 1. Model Analisa
1.7. Definisi Konsep
Pendidikan menunjuk pada tingkat pendidikan yang diselesaikan oleh seseorang. Pengalaman Politik menunjuk pada seberapa lama seseorang ikut serta secara
aktif dalam kehidupan politik praktis, seperti menjadi anggota partai politik,
organisasi massa, maupun menjadi anggota lembaga legislatif baik di tingkat
nasional maupun daerah.
Pengalaman Politik
Arah Orientasi Politik
Latar Belakang Pekerjaan
Latar Belakang Pekerjaan menunjuk pada jenis pekerjaan yang dimiliki
seseorang sebelum dia menjadi anggota lembaga legislatif.
Fraksi adalah pengelompokan anggota lembaga legislatif berdasarkan organisasi
politik yang diwakili.
Orientasi Politik adalah pengetahuan, keterlibatan, dan penilaian seseorang
terhadap politik.
Arah Orientasi Politik adalah menunjuk pada obyek orientasi politik yang
meliputi: orientasi pada pemilih dan orientasi pada partai politik.
1.8. Definisi Operasional
Tingkat Pendidikan, mencakup:
1. Tamat Sekolah Dasar;
2. Tamat Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP);
3. Tamat Sekolah Menengah Umum (SMU);
4. Tamat Akademi;
5. Sarjana (S1);
6. Pascasarjana (S2/S3).
Pengalaman Politik, mencakup beberapa indikator yaitu:
1. Lamanya menjadi anggota partai politik;
2. Lamanya menjadi anggota organisasi massa;
Latar Belakang Pekerjaan, mencakup indikator: jenis pekerjaan ataupun profesi
utama sebelum menjadi anggota lembaga legislatif.
Fraksi di DPRD Provinsi Sumatera Utara, mencakup:
1. Fraksi Partai Golkar
2. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan
3. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
4. Fraksi Partai Demokrat
5. Fraksi Partai Amanat Nasional
6. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
7. Fraksi Partai Damai Sejahtera
8. Fraksi Partai Bintang Reformasi
9. Fraksi Gabungan
Arah Orientasi Politik, mencakup indikator:
1. Orientasi Politik yang ditujukan pada pemilih:
a. oreintasi distrik (area);
b. orientasi pada negara atau bangsa.
2. Orientasi politik yang ditujukan pada partai politik:
a. orientasi partai;
1.9. Hipotesa
Oleh karena penelitian ini adalah deskriptif analitis, maka hipotesa yang
diajukan juga merupakan hipotesa deskriptif, yang terdiri dari:
1. Tingkat pendidikan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode
2004-2009 cenderung mempengaruhi ke arah mana orientasi politik ditujukan;
2. Pengalaman politik anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode
2004-2009 cenderung mempengaruhi ke arah mana orientasi politik ditujukan;
3. Latar belakang pekerjaan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode
2004-2009 cenderung mempengaruhi ke arah mana orientasi politik ditujukan;
4. Fraksi di mana anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Periode 1999-2004
2.1. Lembaga Perwakilan dalam Negara Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari dua kata Yunai, yaitu “demos” artinya rakyat
dan “kratia” artinya pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah pemerintahan “dari rakyat
untuk rakyat” atau “pemerintahan oleh mereka yang diperintah”. Ini sejalan dengan
pernyataan yang pernah dikemukakan oleh Abraham Lincoln bahwa democray is a
government from the poeple, for the poeple, by the poeple.
Awalnya, sistem pemerintahan demokrasi terdapat di negara-kota (city-state)
Yunani Kuno, antara abad ke-6 sampai abad ke-3 SM. Pada saat itu, sistem
pemerintahannya merupakan demokrasi langsung atau direct democracy yaitu
merupakan bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan
politik dijalankan secara langsung oleh seluruh negara yang berdasarkan prosedur
mayoritas.
Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif
karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas, dan jumlah
penduduknya sedikit. Lagi pula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk
warga negara resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk
mayoritas yang hanya terdiri dari budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak
demokrasi berdasarkan perwakilan atau representative democracy (Budiardjo,
1981:61).
Menurut International Commission of Jurist, demokrasi berdasarkan
perwakilan (representative democracy) adalah suatu bentuk pemerintahan di mana
hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara
melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada
mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.
Dalam bukunya, Introduction to Democracy Theory, Henry B. Mayo
menyatakan bahwa sistem politik yang demokratis adalah sistem politik di mana
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi
secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala, yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan
politik.
Selanjutnya Mayo mengutarakan beberapa nilai yang mendasari demokrasi
(Mayo, 1960: 70):
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga. Dalam setiap
masyarakat terdapat perselisihan pendapat serta kepentingan yang dalam alam
demokrasi dianggap wajar untuk diperjuangkan. Perselisihan-perselisihan ini
harus dapat diselesaikan melalui perundingan serta dialog terbuka dalam usaha
untuk mencapai konsensus. Kalau golongan-golongan yang berkepentingan tidak
ini sakan mengundang kekuatan-kekuatan dari luar untuk campur tangan dan
memaksakan dengan kekerasan tercapainya kompromi. Dalam rangka ini, dapat
dikatakan bahwa setiap pemerintah mempergunakan persuasi dan paksaan. Dalam
beberapa negara perbedaan antara dukungan yang dipaksakan dan dukungan yang
diberikan secara sukarela hanya terletak pada intensitas dari pemakaian paksaan
dan persuasi.
Intensitas ini diukur misalnya dengan memperhatikan betapa sering kekuasaan
dipakai, saluran apa yang tersedia untuk mempengaruhi orang lain atau untuk
mengadakan perundingan dan dialog.
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat
yang sedang berubah. Dalam setiap masyarakat yang memodernisasikan diri
terjadi perubahan sosial yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti kemajuan
teknologi, perubahan-perubahan dalam pola kepadatan penduduk, perdagangan
dan sebagainya. Pemerintah harus dapat menyesuaikan kebijaksanaannya kepada
perubahan-perubahan ini, dan sedapat mungkin membinanya jangan sampai tidak
terkendalikan lagi. Sebab kalau hal ini terjadi ada kemungkinan sistem demokrasi
tidak dapat berjalan sehingga timbul sistem diktatur.
3. Menyelenggarakan pergantian sistem pimpinan secara teratur. Pergantian atas
dasar keturunan atau dengan jalan mengangkat diri sendiri ataupun melalui kudeta
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum. Golongan-golongan
minoritas yang sedikit banyak akan kena paksaan akan lebih menerimanya kalau
diberi kesempatan untuk turut serta dalam diskusi-diskusi yang terbuka dan
kreatif. Mereka akan lebih terdorong untuk memberikan dukungan sekalipun
bersyarat karena merasa turut bertanggung jawab.
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat
yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku.
Untuk hal ini, perlu terselenggaranya suatu masyarakat terbuka serta adanya
kebebasan politik di mana terdapat fleksibilitas dan tersedianya alternatif yang
cukup banyak. Akan tetapi, keanekaragaman perlu dijaga jangan sampai
melampaui batas, sebab di samping keanekaragaman diperlukan juga persatuan
serta integrasi.
6. Menjamin tegakknya keadilan. Dalam negara demokrasi umumnya pelanggaran
terhadap keadilan tidak akan sering terjadi karena golongan-golongan terbesar
diwakili dalam lembaga-lembaga perwkailan, tetapi tidak dapat dihindarkan
bahwa beberapa golongan akan merasa diperlakukan tidak adil. Maka yang dapat
dicapai secara maksimal ialah suatu keadilan yang relatif.
Akhirnya, dapat diuraikan di sini bahwa untuk melaksanakan nilai-nilai
demokrasi perlu diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut (Budiardjo,
1. Pemerintahan yang bertanggung jawab.
2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, dan yang dipilih melalui pemilihan
umum yang bebas dan rahasia atas dasar sekurang-kurangnya dua calon setiap
kursi. Dewan perwakilan ini mengadakan pengawasan (fungsi controlling) ,
memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap
kebijaksanaan pemerintah secara berkesinambungan.
3. Suatu organisasi politik yang mencakup dua atau lebih partai politik. Partai-partai
menyelenggarakan hubungan yang berkesinambungan antara masyarakat
umumnya dengan pemimpin-pemimpinnya.
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak azasi dan mempertahankan
keadilan.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di
bawah rule of law adalah (Budiardjo, 1981:60):
1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin
hak-hak individual juga harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan kewarganegaraan.
Pentingnya lembaga perwakilan rakyat di dalam negara demokrasi dijelaskan
amat baik oleh Mohammad Hatta (dalam Lubis, 1994). Menurut Hatta, pada awalnya,
lembaga perwakilan rakyat tidak dapat dipisahkan dari gagasannya mengenai negara
demokrasi yang bertolak dari konsep kerakyatan dan kedaulatan rakyat. Menurut
Hatta, kedaulatan itu tidak pada raja dan tidak pula pada segolongan kaum hartawan
yang terkecil atau kaum] cerdik pandai, melainkan pada rakyat. Karena itu, dalam
bayangannya, suatu badan perwakilan haruslah merupakan pilihan rakyat, dan
wakil-wakil rakyat tersebut memilih kemudian anggota-anggota pemerintahan
(menteri-menteri).
Menurut Robert Dahl, demokrasi bertalian dengan sistem pemerintah yang
mutlak memenuhi 3 persyaratan yaitu adanya kompetisi yang luas dan bermakna di
antara orang-orang dan kelompok-kelompok terutama partai-partai politik untuk
duduk dan menjalankan pemerintahan; adanya tingkat partisipasi politik yang tinggi
melibatkan masyarakat dalam memilih pemimpin dan kebijaksanaan melalui
pemilihan umum yang bebas secara berkala; dan adanya tingkat kebebasan sipil dan
politik yang memungkinkan kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers dan
kebebasan berserikat (Dahl: 1961).
Melengkapi Dalh, seorang penulis konservatif, Michel Novack, menyebutkan
atas hak milik pribadi (property right), adanya rezim hukum yang melarang negara
mencampuri hal-hal yang menyangkut martabat manusia (human dignity), sistem
pemilihan umum yang fair, serikat buruh yang bebas, keadaan partai-partai, oposisi
loyal dan pemerintahan yang berdasarkan hukum atau rule of law (dalam Dahl,
1961:27).
Dalam Ilmu Politik, perwakilan mengenal 7 prinsip utama:
1. Rakyat secara bebas dan berkala (periodik) memilih lembaga perwakilan.
2. Orang yang memerintah bertanggung jawab terhadap orang yang diperintah.
3. Orang yang memerintah merupakan agen atau delegasi yang melakukan perintah
dari pemilih-pemilihnya.
4. Rakyat merasa sama dengan negara.
5. Rakyat mempunyai bagian dalam pembuatan keputusan.
6. Orang yang memerintah adalah wakil dari orang yang diperintah.
James Lee mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses
legislatif menjadi tiga, yaitu (dalam Rourke, 1975:156-175):
1. Stimuli eksternal, yang mencakup afiliasi partai politik, kepentingan pemilih,
input-input eksekutif, dan aktivitas kelompok-kelompok penekan.
2. Setting psikologis, yaitu predisposisi-predisposisi personal, sikap, dan
peran-peran yang dijalankan, serta harapan-harapannya. Faktor ini penting karena
3. Komunikasi intra-institusional, baik yang bersifat formal maupun informal,
termasuk kemungkinan hubungan-hubungan patronase di dalamnya.
Bentuk-bentuk komunikasi ini mempunyai potensi untuk menggantikan atau
memperbesar pengaruh faktor-faktor lain yang telah disebutkan.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
kedaulatan rakyat dengan perwakilan atau demokrasi dengan perwakilan
(representative democracy), atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy),
yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat (Kusnardi & Ibrahim,
1980:307).
2.2. Sistem Perwakilan dan Cara Pemilihan
Pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menempatkan wakil-wakil
rakyat yang akan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat. Sistem pemilihan umum
berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut mana pandangan ditujukan terhadap
rakyat. Apakah ia dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan
pilihannya, dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, ataukah
rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak
menentukan siapa wakilnya yang akan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat, atau
juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Sering para ahli menyebutkan bahwa kadar keterwakilan (representation)
umum atau melalui pengangkatan. Semakin dominan perwakilan berdasarkan hasil
pemilu, makin tinggi kadar keterwakilannya dan sebaliknya semakin dominan
pengangkatan semakin randah kadar keterwakilannya (Saragih, 1981: 88).
Secara teoritis, sesorang yang duduk dalam lembaga perwakilan melalui
pemilihan umum, sifat perwakilannya disebut perwakilan politik (political
representation). Sedangkan orang-orang yang diangkat menjadi anggota lembaga
perwakilan didasarkan pada fungsi/jabatan atau keahlian, sifat perwakilannya disebut
perwakilan fungsional (functional representation) (Saragih, 1981: 87-88).
Negara modern dikuasai oleh bermacam-macam kepentingan ekonomis, yang
dalam sistem perwakilan politik sama sekali tidak dihiraukan dan tidak dilibatkan
dalam proses politik sehingga diusahakan agar dilengkapi dengan azas perwakilan
fungsional, di mana Hogan menyebutnya dnegan occupational representation
(Hogan, 1945:ch XII).
Sistem pemilihan umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Sistem Pemilihan Mekanis
Pandangan mekanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu
yang sama. Aliran Liberalisme, Sosialisme, dan Komunisme semuanya
berdasarkan pandangan mekanis ini. Bedanya bahwa Liberalisme mengutamakan
individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai sesuatu
yang kompleks terhadap hubungan-hubungan antar individu yang bersifat
totalitet kolektif masyarakat dan mengecilkan peranan individu dalam totalitet
kolektif itu. Tetapi, semua aliran di atas mengutamakan individu sebagai
pengengali hak pilih aktif dan memandang rakyat (pemilih) sebagai suatu massa
individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara dalam setiap
pemilihan.
2. Sistem Pemilihan Organis
Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang
hidup berdasarkan: genealogis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu
(ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan) dan
lembaga-lembaga sosial (universitas). Masyarakat dipandang sebagai organisme
yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu
dengan totalitas organisme tersebut. Berdasarkan pandanga ini,
persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakannya sebagai pengendali hak pilih, atau
dengan perkataan lain sebagai pengendali hak untuk mengutus wakil-wakil di
lembaga perwakilan rakyat.
Menurut sistem pemilihan mekanis, partai-partai yang mengorganisir
pemilih-pemilih dan memimpin pemilih-pemilih berdasarkan sistem dwi-partai dan banyak partai.
Sedangkan, menurut sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu
dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap
Dalam sistem pemilihan mekanis, wakil-wakil yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat langsung dipilih, dan dalam sistem organis wakil-wakil
berdasarkan pengangkatan.
Pelaksanaan Sistem Pemilihan Mekanis
Dinamakan sistem distrik karena, wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik
pemilihan (daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota
lembaga perwakilan rakyat yang dikehendaki. Umpanya jumlah anggota lembaga
perwakilan rakyat ditentukan 500 orang, maka wilayah negara dibagi dalam 500
distrik pemilihan (daerah pemilihan, atau constituences). Jadi, setiap distrik pemilihan
diwakili oleh satu orang wakil di Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu, dinamakan
sistem pemilihan distrik, atau single member constituences. Sistem ini juga
dinamakan sistem mayoritas, karena untuk menentukan siapa-siapa yang dipilih
sebagai wakil rakyat dari suatu distrik ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara
terbanyak (suara mayoritas) dan tidak perlu mayoritas mutlak. Misalnya di distrik I,
calon A memperoleh suara 10.000, B memperoleh suara 7.500, C memperoleh 9.000,
maka yang terpilih menjadi wakil rakyat dari distrik I di lembaga perwakilan rakyat
adalah A. Jadi, tiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara
mayoritas.
Pemilihan umum dilakukan sekali jalan, suara-suara yang tidak terpilih dari
distrik pemilihan yang lain. Ini berarti, bahwa setiap suara yang tidak mencapai
mayoritas, yang juga berarti bahwa calon yang dipilih tidak terpilih, suara tersebut
tidak dihitung atau hilang.
Sisi positif dari sistem ini adalah sebagai berikut:
1. Setiap calon dari suatu distrik pemilihan, biasanya adalah warga distrik tersebut
atau mungkin juga dari distrik lain, tetapi yang pasti bahwa orang tersebut dikenal
secara baik oleh warga distrik yang bersangkutan. Dengan demikian, hubungan
antara para pemilih dengan para calon sangat erat, sebab bagi para pemilih, tentu
saja calon yang terpilih adalah warga atau orang yang sudah cukup lama tinggal
di dalam distrik tersebut, maka dia dapat mengetahui kepentingan-kepentingan
dan keadaan distrik yang diwakilinya.
2. Suara-suara yang diberikan kepada calon yang tidak terpilih tidak dapat
digabungkan dengan suara dari distrik pemilihan yang lain, maka sebagai
akibatnya sistem ini mempunyai kecenderungan untuk menjadi penyederhanaan
partai. Ini disebabkan bagi partai politik yang kalah di suatu distrik, akan
memperhitungkan kekuatannya untuk pemilihan umum berikutnya. Apabila
perbedaan jumlah suara dengan parati politik atau calon yang terpilih sangat jauh,
maka partai politik tersebut terpaksa mencari penggabungan dengan partai politik
yang lain, sebab kalau dipaksa terus ikut dalam pemilihan umum berikutnya,
3. Pelaksanaan sistem tersebut sangat sederhana, karena perhitungan suaranya tidak
berbelit-belit, sehingga anggaran bisa ditekan.
4. Calon yang terpilih akan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh kepentingan
distrik yang diwakilinya. Sebab itu, para pemilih, calon yang akan dipilih adalah
mereka yang betul-betul dapat memperjuangkan kepentingan daerahnya. Hal ini
juga membawa konsekuensi bahwa daerah-daerah lebih mendapat perhatian.
Terjadi hubungan timbal balik antara wakil dan warga dari distrik tersebut.
Agar sistem distrik dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan suatu kondisi
masyarakat yang memungkinkan beroperasinya sistem tersebut. Kondisi yang umum
untuk itu adalah bahwa rakyat telah mencapai tahap kedewasaan tertentu. Tingkat
kedewasaan rakyat ini dapat diukur dengan dua tolok ukur.
Pertama, tingkat rasionalitas. Tingkat rasionalitas menentukan kemampuan
rakyat di dalam menjatuhkan pilihan terhadap berbagai calon yang saling bersaing di
distrik mereka. Dengan tingkat rasionalitas yang tinggi, masyarakat dapat memilih
diantara program-program partai yang ditawarkan oleh masing-masing calon.
Kedua, tingkat kesadaran politik. Masyarakat pemilih yang mempunyai
tingkat kesadaran politik yang tinggi akan dapat memilih ikatan-ikatan ideologis dari
program yang diajukan kepadanya. Dengan kata lain, calon dipilih bukan karena
kesamaan ideologi, melainkan karena program yang ditawarkannya. Juga dengan
kesadaran politik yang tinggi, masyarakat dapat menilai perilaku partai yang diwakili
Menurut Ramlan Surbakti, ada empat kondisi yang harus dipenuhi untuk
dapat menerapkan sistem distrik (Surbakti, 1995:15). Pertama, distribusi jumlah
pemilih untuk setiap distrik (daerah pemilihan) relatif seimbang, dan penetapan batas
wilayah distrik relatif adil. Kedua, bangsa-negara yang bersangkutan telah
mempunyai seperangkat nilai tentang kebaikan bersama (public good) sehingga
peserta pemilu pada dasarnya tidak lagi memiliki perbedaan ideologi yang tajam,
melainkan hanya perbedaan dalam titik berat program saja. Ketiga, tidak terdapat
suatu golongan etnis, ras atau agama yang secara jumlah merupakan mayoritas
menguasai partai tertentu. Keempat, para pemilih dan kandidat wakil rakyat saling
mengenal. Para pemilih mengetahui dengan jelas kepada siapa harus menyampaikan
tuntutan dan dukungan, sedangkan kandidat mengetahui kepada siapa harus
bertanggung jawab.
Kelemahan Sistem Distrik
1. Kemungkinan akan terjadi bahwa wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga
perwakilan hanya akan memperjuankan kepentingan daerahnya.
2. Penentuan pemenang didasarkan kepada siapa yang akan memperoleh suara
terbanyak, sudah tentu suara yang tidak terpilih menjadi hilang, maka sudah dapat
dipastikan bahwa golongan minoritas tidak akan pernah terwakili di lembaga
3. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan
minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
Sistem Perwakilan Proporsional
Sistem perwakilan proporsional ialah sistem di mana persentase kursi di
lembaga rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan
persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu.
Dalam sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang
diperoleh suatu partai atau golongan dalam sesuatu daerah pemilihan dapat
ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam
daerah pemilihan lain, untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna