• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Pembentukan UU No 12/2006 dan UU No 62/

Dalam dokumen Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia id (Halaman 96-106)

POLITIK HUKUM KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN UU NO 12/2006 DAN UU NO 62/

B. Latar Belakang Pembentukan UU No 12/2006 dan UU No 62/

Adalah penting mengetahui latar belakang serta alasan-alasan pembentukan suatu undang-undang. Dari latar belakang serta alasan inilah dapat diketahui politik hukum yang diterapkan untuk undang-undang tersebut.

Latar belakang pembentukan UU No. 12/2006 dan UU No. 62/1958 sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi pada masa kedua UU tersebut dibentuk. Meskipun terdapat beberapa persamaan, misalnya pencegahan apatride dan bipatride, namun kondisi yang berbeda menyebabkan latar belakang pembentukan menjadi berbeda. Uraian dalam paragraf-paragraf di bawah ini akan menunjukkan perbedaan dimaksud.

Sesungguhnya pembaharuan UU Kewarganegaraan mulai dilaksanakan pada tahun 1997 melalui Departemen Kehakiman dengan cara menyiapkan sebuah RUU Kewarganegaraan yang baru.127 Dasar pertimbangan saat itu karena UU No. 62/1958 secara formal dan materil sudah tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.128 Secara formal, dasar pembentukan UU No. 62/1958 adalah UUDS 1950, meskipun UU ini tetap dapat berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Namun

alasan konstitusional lain yang lebih penting adalah adanya „perbedaan

konseptual mengenai pengaturan pewarganegaraan antara UUD 1945

dengan UUDS 1950’.129 Secara materil, terdapat isi ketentuan UU No.

62/1958 yang tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat.

Pembaharuan baru dapat terlaksana pada tahun 2005 ketika pada tanggal 31 Mei 2005, RUU Usul Inisiatif DPR hasil Badan Legislasi DPR

127

Bagir Manan, Pembaharuan Hukum ..., op.cit, hlm 30.

128

Ibid, hlm 22-30.

129

disampaikan kepada Rapat Paripurna DPR. Merespon penyampaian tersebut, Rapat Paripurna menyetujui pembentukan Pansus DPR yang bertanggung jawab terhadap materi pembahasan RUU Kewarganegaraan. Dalam pembahasan-pembahasan RUU tersebut, beberapa Fraksi mempunyai pendapat yang hampir sama mengenai latar belakang perlunya dibuat UU Kewarganegaraan yang baru menggantikan UU No. 62/1958. Secara prinsip, seluruh Fraksi sepakat bahwa UU Kewarganegaraan baru diperlukan sejalan dengan terjadinya perubahan pasal-pasal dalam UUD 1945 di bidang kewarganegaraan. Selain itu, dipandang perlu mengatasi praktek-praktek diskriminasi yang telah lama berlangsung. Dengan kata lain, UU Kewarganegaraan yang baru harus lebih memberikan perlindungan terhadap WNI. F-PAN, misalnya, dalam Pandangan Umumnya mengatakan, antara lain:

…permasalahan sosiologis dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 adalah masalah diskriminasi. Diskriminasi yang terjadi dalam pelaksanaannya meliputi diskriminasi etnis dan diskriminasi gender. Sejumlah peraturan sebenarnya telah melarang adanya diskriminasi terhadap warga yang asal usul keturunan berasal dari beberapa etnis, namun dalam pelaksanaannya di lapangan masih menunjukkan adanya diskriminasi. Banyak ketentuan telah menghapus keberadaan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), namun dalam

praktiknya tidak dijalankan sebagaimana mestinya…RUU

Kewarganegaraan harus berpedoman pada UUD 1945 tentang adanya hak-hak dan kewajiban warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk hak-hak warga engara yang tidak bias dihilangkan sama sekali. Oleh karena itu, dalam rangka pembaharuan Undang-undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif harus dihilangkan. Warga negara keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Fraksi Partai Amanat Nasional menegaskan bahwa pembahasan RUU ini

harus secara sungguh-sungguh mengeliminir masalah diskriminasi tersebut, karena hal ini bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi.130 Pendapat senada juga disampaikan oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,131 Fraksi Partai Persatuan Pembangunan,132 Fraksi Partai Demokrat,133 Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.134 Disamping mendukung upaya-upaya menghilangkan diskriminasi, Fraksi Partai Bintang Reformasi secara khusus juga menekankan perlunya:

semangat mencegah terjadinya apatride dan biptaride. Karena itu pembahasan RUU ini perlu menyerap masukan dan masalah- masalah yang ada di masyarakat, seperti bagaimana status warga negara Indonesia yang telah menjadi permanent resident di negara lain. Ketegasan status anak dari seorang ibu WNI dan ayah WNA yang tidak terikat dalam ikatan perkawinan atau sudah bercerai, WNI yang pernah studi di negara-negara Eropa Timur dan kini ingin kembali ke Indonesia, serta orang-orang yang telah mengharumkan nama bangsa namun mengalami kesulitan dalam proses naturalisasi.135

130

Fraksi Partai Amanat Nasional, “Pendapat Fraksi Partai Amanat Nasional Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Usul Inisiatif Anggota DPR-RI atas Rancangan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia”, 2005, hlm 2-3.

131

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, “Pendapat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap RUU Usul Inisiatif Anggota DPR-RI Menjadi RUU DPR-RI tentang Kewarganegaraan”, 2005, hlm 1-2.

132

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, “Tanggapan Fraksi Persatuan Pembangunan DPR-RI Terhadap Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif Anggota DPR-RI Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan Rancangan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan”, 2005, hlm 5.

133

Fraksi Partai Demokrat, “Pendapat Fraksi Partai Demokrat Mengenai Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR-RI Terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan”, 2005, hlm 2.

134

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, “Pendapat Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR-RI Terhadap RUU Usul Inisiatif Anggota DPR-RI tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan RUU tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia”, 2005, hlm 3-4.

135

Fraksi Partai Bintang Reformasi, “Pendapat Fraksi Partai Bintang Reformasi Terhadap RUU Usul Inisiatif Anggota DPR-RI tentang RUU Kewarganegaraan menjadi RUU DPR- RI”, 2005, hlm 1-2.

Berbagai pendapat Fraksi-fraksi di atas kemudian dirangkum dalam Keterangan Pengusul atas Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang secara khusus menyebutkan alasan-alasan yang meliputi:

Pertama, UU No. 62/1958 yang dibentuk berdasarkan UUDS 1950 sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan yang didasarkan kepada UUD 1945.136 Ketidaksesuaian tersebut didapati dalam hal-hal landasan konstitusional pembentukan UU serta sistem pemerintahan yang dianut.137 Kedua, penyusunan RUU tentang Kewarganegaraan dilakukan sesuai dengan Program Legislasi Nasional tahun 2005-2009.138 Ketiga, dalam tataran implementasi dijumpai terjadinya diskriminasi gender dan etnis yang menyebabkan seseorang yang telah berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia sulit mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.139

Pendapat-pendapat di atas akhirnya diformulasikan menjadi alasan- alasan pembentukan UU Kewarganegaraan yang baru dan dimasukkan secara resmi dalam Penjelasan UU Kewarganegaraan. Bagian Umum Penjelasan UU No. 12/2006 menyebutkan beberapa alasan yang melatarbelakangi pembentukan UU baru di bidang kewarganegaraan, yang mencakup alasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Dari sudut pandang filosofis, UU No. 62/1958 dipandang mengandung:

136

Keterangan Pengusul atas Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

137 Ibid. 138 Ibid. 139 Ibid.

ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi manusia dan persamaan antar warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.140

Penjelasan yang sama menyatakan bahwa secara yuridis dasar

pembentukan UU No. 62/1958 berlandaskan UUDS 1950 „yang sudah

tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945’.141 Undang-Undang Dasar 1945 sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan yang memberikan jaminan lebih luas terhadap perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.

Dari sudut pandang sosiologis, Penjelasan UU No. 12/2006 menyatakan:

…sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan

masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakukan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.142

Salah seorang anggota Tim Perumus RUU Kewarganegaraan, yaitu Lukman Hakim Saifuddin, berpendapat bahwa UU Kewarganegaraan yang menggantikan UU No. 62/1958 merupakan UU yang revolusioner.143 Hal ini dapat terlihat dalam beberapa hal berikut ini:

Pertama, untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak dari kehilangan kewarganegaraan Indonesia akibat perkawinan campuran atau

140

Penjelasan atas Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia Bagian Umum. 141 Ibid. 142 Ibid. 143 www.mail-archive.com/ikbal_alamien@yahoo.groups.com/msg02014.html, diakses 22 Desember 2006 pukul 19.30.

hal lain, UU tentang Kewarganegaraan telah memberikan solusi yang tepat, yakni dianutnya kewarganegaraan ganda terbatas, walaupun pada dasarnya Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) sebagaimana juga tidak mengenal tanpa kewarganegaraan (apatride), seperti terlihat dalam Pasal 6 ayat (1) – (3).144

Kedua, untuk membangun rekonsiliasi nasional dan untuk mendorong keutuhan keluarga yang bercerai berai akibat peristiwa politik di masa lalu di tahun 1960-an, UU tentang Kewarganegaraan ini telah membuka pintu yang lebar bagi mereka yang telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia karena telah berada di luar negeri lebih dari lima tahun tanpa alasan, untuk kembali menjadi Warga Negara Indonesia (Pasal 42).145

Ketiga, untuk menciptakan persaudaraan dan nasionalisme yang kuat sebagai bangsa Indonesia, maka warga negara dari etnis Tionghoa khususnya dan etnis Arab, India, dan lain-lain yang sesungguhnya menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri, kini menjadi

“Indonesia Asli” sama dengan Warga Negara Indonesia lain yang berasal

dari Jawa, Papua, Makassar, Sumatera, Kalimantan, dan lain sebagainya (Pasal 2 dan Penjelasannya).

144

Ibid.

145

Keempat, untuk melindungi keharmonisan sebuah keluarga, serta sesuai dengan tuntutan pergaulan internasional, perubahan UU tentang Kewarganegaraan ini juga telah memberikan kesempatan kepada Warga Negara Asing yang menjadi suami atau istri dari Warga Negara Indonesia untuk mendapatkan status sebagai Warga Negara Indonesia, seperti mendapatkan status permanent resident, tanpa harus kehilangan kewarganegaraan dari negara asalnya (Pasal 19 ayat (1) sampai ayat (3)).146

Kelima, untuk melindungi tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang rentan kehilangan kewarganegaraan karena berada di luar negeri lima tahun berturut-turut dan tidak pernah menyatakan keinginan untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia, maka UU ini telah memberikan perlakuan khusus melalui pengecualian bahwa seseorang yang berada dalam kondisi di luar kemampuannya untuk menyatakan keinginannya tetap menjadi Warga Negara Indonesia, ia tidak akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan Pasal 23 huruf i).147

Keenam, walaupun Indonesia tidak membolehkan perkawinan yang tidak sah, namun UU tentang Kewarganegaraan juga mengatur anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Ketentuan mengenai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah ini semata-mata untuk memberikan perlindungan

146

Ibid.

147

dan jaminan kepastian kewarganegaraan kepada anak tersebut, bukan untuk melegalkan praktek hubungan suami-istri di luar perkawinan yang sah. Anak-anak adalah generasi penerus yang tidak dapat memilih tempat dan orang tua yang melahirkannya, sehingga mereka harus mendapatkan perlindungan dan kepastian kewarganegaraannya (Pasal 5).148

Dalam kaitan dengan UU No. 62/1958, latar belakang pembentukannya dapat dilihat dari maksud pembentuk UU yang memperlihatkan beberapa corak utama. Pertama, melenyapkan atau memperkecil dwikewarganegaraan.149 Dalam kaitan ini, UU bukan saja perlu mencegah tetapi juga melenyapkan atau memperkecil bipatride. Lebih lanjut, Gouw Giok Siong menyatakan bahwa keinginan untuk melenyapkan, mencegah atau memperkecil bipatride sesuai dengan „aliran-aliran modern dewasa

sekarang dalam hukum kewarganegaraan’.150 Bahkan mengutip pendapat

Ko Swan Sik, Gouw Giok Siong berpendapat bahwa bipatride pernah

dipandang sebagai „kejahatan terbesar daripada kehidupan internasional

dewasa ini (the greatest evil of present international life)’. Untuk memperkuat pendapatnya, Gouw Giok Siong mengutip beberapa perkembangan yang terjadi pada level internasional, baik di lembaga- lembaga internasional maupun praktek beberapa negara.151

148

Ibid.

149

Gouw Giok Siong, Tafsiran ..., op. cit, hlm 2.

150

Ibid.

151

Dalam skala internasional, Gouw Giok Siong menyebutkan bahwa laporan ilmiah dan sidang-sidang Institut de Droit International secara tegas menolak dwikewarganegaraan.152 Lembaga-lembaga internasional lainnya, seperti International Law Association dan International Law Commission, juga telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau memperkecil terjadinya dwikewarganegaraan, misalnya dengan

mempersiapkan „model perundang-undangan’.153

Praktek beberapa negara Asia juga menunjukkan keinginan untuk mencegah dwikewarganegaraan, terutama di negara-negara dimana banyak orang Tionghoa perantauan tinggal dan menetap. Dalam konteks ini, Indonesia juga telah mengadakan perjanjian dengan Cina untuk menyelesaikan masalah dwikewarganegaraan. Perjanjian ini telah diratifikasi oleh UU No. 2 Tahun 1958.

Kedua, mencegah tanpa kewarganegaraan.154 Hal ini dilakukan karena Pemerintah menyadari kondisi-kondisi sulit yang dihadapi oleh orang- orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan. Selain itu, alasan untuk mencegah terjadinya apatride sejalan dengan perkembangan internasional dimana telah dibahas Protokol khusus berkenaan dengan apatride dari Konvensi Den Haag tentang kewarganegaraan di tahun

152 Ibid. 153 Ibid. 154 Ibid, hlm 12.

1930.155 Gouw Giok Siong juga menyoroti perlunya dihapuskan praktek pencabutan kewarganegaraan sebagai suatu sanksi pidana terhadap warga yang memiliki pandangan politik berbeda dengan penguasa.156 Hal itu tidak sesuai dengan hak asasi manusia dan melanggar Pasal 15 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa

„Tiada seorangpun dengan semena-mena dikeluarkan dari

kewarganegaraannya’.

Dalam dokumen Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia id (Halaman 96-106)