LAPORAN PENELITIAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
POLITIK HUKUM KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Oleh:
Ketua : Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M. Anggota : Rahayu Presetianingsih, S.H. Bilal Dewansyah, S.H.
Dibiayai oleh Dana DIPA Universitas Padjadjaran Tahun Anggaran 2007
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
JUDUL PENELITIAN : POLITIK HUKUM KEWARGANEGARAAN
BIDANG PENELITIAN : HUKUM TATANEGARA
LAMA PENELITIAN : 3 (TIGA) BULAN
TAHUN PENELITIAN : 2006
BIAYA PENELITIAN : RP 5.000.000 ( LIMA JUTA RUPIAH)
FAKULTAS/PROGRAM STUDI : HUKUM / HUKUM TATANEGARA
PERGURUAN TINGGI : UNIVERSITAS PADJADJARAN
TIM PENELITI : 1. SUSI DWI HARIJANTI, S.H., LLM
2. RAHAYU PRASETIANINGSIH, S.H.
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN SUMBER DANA DIPA
TAHUN ANGGARAN 2007
1. a. Judul penelitian : Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia b. Bidang Ilmu : Hukum
d. Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Tata Negara Pusat Penelitian : Kota Bandung dan Jakarta 3. Jumlah Anggota Peneliti : 2 orang
a. Nama Anggota Peneliti 1 : Rahayu Prasetianingsih, S.H. b. Nama Anggota Peneiti 2 : Bilal Dewansyah, S.H. 4. Lokasi penelitian : Kota Bandung dan Jakarta 5. Kerjasama dengan institusi lain:
a. Nama Instansi :
b. Alamat :
c. Telepon/Faks/e.mail :
6. Jangka waktu penelitian : 3 (tiga bulan) 7. Biaya yang diperlukan :
a. Sumber dari Unpad : Rp 5.000.000.- (Lima juta rupiah)
POLITIK HUKUM KEWARGANEGARAAN INDONESIA ABSTRAK
Pengesahan UU No.12/2006 tentang Kewarganegaraan yang menggantikan UU No. 62/1958 berimplikasi pada politik hukum kewarganegaraan Indonesia. Penelitian ini bermaksud menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan politik hukum kewarganegaraan berdasarkan UU No.12/2006 dan UU No.62/1958 serta faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukkan politik hukum kedua UU tersebut.
Penelitian ini menemukan bahwa politik hukum kewarganegaraan Indonesia berdasarkan UU No.12/2006 memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan dengan UU No.62/1958 yang terkait dengan struktur hukum (kelembagaan), substansi hukum dan budaya hukum. Selain itu, didapati beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal faktor-faktor yang mempengaruhi politik hukum kewarganegaraan. Dalam bidang struktur hukum, UU No. 12/2006 memberikan peran yang besar kepada eksekutif dalam hal pewarganegaraan, mulai dari tahap penerimaan permohonan, pemeriksaan persyaratan, pengabulan permohonan, serta pengucapan sumpah/janji. Dalam hal pemberian kewarganegaraan kepada orang asing, DPR hanya berperan sebatas memberikan pertimbangan kepada Presiden. Sebaliknya, UU No. 62/1958 memberikan peran tidak hanya kepada eksekutif, tetapi juga pada pihak pengadilan dalam hal pemeriksaan persyaratan, pengujian serta pengucapan sumpah/janji. Dalam bidang substansi hukum, ditemukan perbedaan mendasar antara kedua UU tersebut yang mencakup: istilah bangsa Indonesia asli; asas kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran; dan pewarganegaraan karena perkawinan. Dalam bidang budaya hukum, pembentukan UU No. 12/2006 yang lebih bersifat partisipatif diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan masyarakat dan aparat pelaksana. Khusus bagi pejabat administrasi, UU ini menerapkan sanksi pidana. Pembentukan politik hukum kedua UU dipengaruhi oleh faktor yang sama, namun dalam konteks yang berbeda. Pembentukan UU No. 12/2006 dipengaruhi oleh semangat reformasi berupa demokratisasi pembentukan undang-undang serta pengaruh global berupa penghormatan dan pemajuan HAM, terutama perlindungan bagi anak dan perempuan. Sebaliknya, faktor globalisasi pembentukan UU No. 62/1958 lebih bersifat terbatas karena sangat dipengaruhi oleh hubungan Indonesia dan Cina dalam kaitan dengan isu dwi kewarganegaraan. Oleh karena itu, pembentukan UU No. 62/1958 lebih dominan dipengaruhi oleh semangat anti bipatride, dibandingkan dengan semangat penghormatan dan perlindungan HAM.
LEGAL POLICY OF INDONESIAN CITIZENSHIP
ABSTRACT
The enactment of Law No. 12/2006 regarding Citizenship, which replaced Law No. 62/1958, has created different legal policy of Indonesian citizenship between the two Laws. This research aims to find out similarities and dissimilarities of such legal policy and to find out some factors which influence it.
There are a number of similarities and dissimilarities have been founded, including: legal structure; legal substance; and legal culture. The legal policies of Indonesian citizenship of the two Laws are also influenced by some similar factors, but in different context. In terms of legal structure, Law No. 12/2006 grants greater roles to the executive in relation to naturalization, starting from acceptance of application, examination of conditions, approval, to taking an oath. The legislative plays a minor role by giving consideration in relation to naturalization granted for foreigners. In contrast, Law No. 62/1958 gave power not only to the executive but also to courts to examine conditions for naturalization; and to take an oath. With regard to legal substance, this research has found basic differences, which include: the term of „bangsa Indonesia asli’; the principle of limited dual citizenship for children of mix marriage; and naturalization based on marriage. In terms of legal culture, the adoption of Law No. 12/2006 which allows greater public participation is expected to increase the degree of obedience by the people and administrative officers. In addition, this Law regulates criminal punishment for administrative officers. This research finds that similar factors have influenced the legal policy, but in different context. The adoption of Law No. 12/2006 has been influenced by, at least, two factors, including: reforms movement, which takes the form of democratization in law making process; and globalization, which takes the form of human rights promotion and protection, especially for children and women. On the contrary, globalization factor in the enactment of Law No. 62/1958 was more limited in a sense that it was determined by the issue of dual citizenship between Indonesia and the People Republic of China. Therefore, Law No. 62/1958 was dominantly influenced by the spirit to prevent dual citizenship, rather than the spirit to promote and protect human rights.
iv
KATA PENGANTAR
Laporan ini adalah laporan akhir penelitian yang berjudul “POLITIK
HUKUM KEWARGANEGARAAN INDONESIA”, hasil penelitian tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang dibiayai oleh dana
penelitian DIPA Tahun Anggaran 2007.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan ajar bagi mata kuliah
Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian. Selain itu, penelitian ini juga
dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi Ilmu Hukum, khususnya
Hukum Kewarganegaraan.
Semoga penelitian ini dapat berguna bagi para pihak yang memiliki minat
pada kajian Hukum Kewarganegaraan di Indonesia.
Bandung, Juli 2007
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pada tanggal 11 Juli 2006, DPR berhasil mengesahkan UU
Kewarganegaraan baru yakni UU No. 12/2006 menggantikan UU
Kewarganegaraan lama, yaitu UU No. 62/1958 yang didasarkan pada
UUDS 1950. Sesungguhnya, desakan perubahan UU No. 62/1958 telah
diutarakan oleh berbagai pihak hampir sepuluh tahun silam.1 Bahkan pada
tahun 1997, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan
Departmen Kehakiman telah menyiapkan konsep awal Rancangan
Undang-undang Kewarganegaraan yang baru.2
Salah satu alasan yang acapkali dikemukakan karena UU No. 62/1958
telah terlalu lama berlaku. Bagir Manan berpendapat bahwa perubahan
suatu UU dengan alasan terlalu lama berlaku adalah alasan yang tidak
tepat.3 Menurutnya, suatu peraturan perundang-undangan harus diubah
apabila peraturan yang hendak diubah sudah tidak mampu mengemban
1
Lihat misalnya, Bagir Manan, Pembaharuan Hukum Kewarganegaraan, Seminar Nasional Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian di Indonesia, Surabaya, 1997, hlm 22.
2
Ibid, hlm 30.
3
fungsi hukum pembentukannya atau tidak mampu memenuhi
perkembangan kebutuhan masyarakat.4
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi perubahan, antara lain,
UU No. 62/1958 dipandang tidak lagi memadai menampung berbagai
perkembangan di bidang kewarganegaraan, terutama isu perlindungan
terhadap wanita dan anak dalam perkawinan campuran, yakni perkawinan
antara dua pihak yang berbeda kewarganegaraan. Berdasarkan asas
keturunan (ius sanguinis) yang dianut oleh UU No. 62/1958 seorang anak
yang lahir dari ayah yang memiliki kewarganegaraan asing secara
otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Kenyataan ini acapkali
menimbulkan kesulitan jika orang tua anak tersebut bercerai. Umumnya, si
anak akan ikut ayahnya. Atau, jika ia tinggal di Indonesia, perpanjangan
izin tinggal harus senantiasa dilakukan. Untuk mengatasi
masalah-masalah yang berkenaan dengan status kewarganegaraan anak dari hasil
perkawinana campuran, pembentuk UU Kewarganegaraan yang baru
menetapkan bahwa kewarganegaraan ganda yang bersifat terbatas
diberlakukan bagi anak-anak tersebut. Bersifat terbatas berarti hukum
kewarganegaraan Indonesia mengakui anak-anak yang lahir dari
perkawinan campuran dapat memiliki dua kewarganegaraan sampai
dengan usia 18 tahun, di saat mana anak-anak tersebut harus
menentukan pilihan kewarganegaraan. Solusi semacam ini jelas
4
merupakan „penyimpangan’ terhadap prinsip dasar kewarganegaraan
Indonesia dalam UU Kewarganegaraan yang baru dimana UU ini
menghindari terjadinya apatride dan bipatride. Tidak mengherankan,
Menteri Hukum dan HAM menyebut UU baru ini sebagai UU yang
„progresif’5atau „revolusioner’.6
Materi penting lainnya dijumpai pada ketentuan yang mengatur pengertian
„Indonesia asli’. Hamid Awaludin menyatakan bahwa „konsep bangsa
Indonesia asli dijelaskan sebagai orang Indonesia yang menjadi warga
negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri’.7 Ketentuan semacam ini
dipandang sangat penting untuk menghapus perlakukan diskriminatif
terhadap golongan tertentu, seperti adanya Surat Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia (SBKRI). Secara yuridis formal, SBKRI tidak bersifat
wajib menurut UU No. 62/1958.8 Selain itu, ketentuan SBKRI telah dicabut
oleh Keputusan Presiden No. 56/1996 dan Instruksi Presiden No. 5/1999.
Namun, praktek yang terjadi menunjukkan hal sebaliknya. Di Palembang,
misalnya, sebagian warga keturunan Tionghoa yang telah menjadi WNI
acapkali diminta menyertakan SBKRI saat mengurus paspor, akta
kelahiran atau melanjutkan sekolah. Sekitar 200 orang keturunan
5
Tanpa pengarang, RUU Kewarganegaraan Akan Tetap Disahkan, Kompas, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006, hlm 3.
6
Wahyu Effendi, UU Kewarganegaraan, Ada Apa?, http://www.kompas.com, diakses 31 Juli 2006 pukul 20.00.
7
Hamid Awaludin, Ketika Paradigma Berubah, http://www.kompas.com, diakses 31 Juli 2006 pukul 20.30.
8
Tionghoa juga belum mendapatkan pengakuan resmi sebagai WNI,
padahal mereka lahir, besar dan bekerja di Palembang.9
Akan tetapi „gugatan’ tetap muncul. Salah satu kritikan berasal dari
Kaukus Perempuan Parlemen untuk HAM yang berpendapat bahwa
sebagian materi UU Kewarganegaraan dianggap bertentangan dengan
UUD 1945, UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Wanita, dan UU No. 12/2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.10 Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Wanita, misalnya,
menggariskan prinsip persamaan hak antara perempuan dan laki-laki
dalam menentukan kewarganegaraan mereka dan anak-anak mereka.
Sejalan dengan beberapa perubahan mendasar dalam UU
Kewarganegaraan yang baru, salah satu pertanyaan penting adalah
apakah perubahan-perubahan tersebut dilandasi oleh politik hukum
kewarganegaraan Indonesia baik yang bersifat tetap atau temporer?
Ataukah perubahan-perubahan tersebut hanya bersifat „respon’ atas suatu
fakta yang terjadi tanpa dibarengi oleh suatu evaluasi mendalam
mengenai pentingnya keberadaan UU Kewarganegaraan yang baru.
Singkatnya, perubahan dilakukan tanpa politik hukum kewarganegaraan
yang akurat.
9
Tanpa pengarang, SBKRI Masih Diminta Saat Mengurus Paspor http://www.kompas.com, diakses 14 Juli 2006 pukul 19.30.
10
Atas dasar hal-hal di atas, dipandang perlu untuk melakukan sebuah
penelitian mengenai “Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia”.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah politik hukum kewarganegaraan berdasarkan UU No.
12/2006 dan UU No. 62/1958?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pembentukan politik hukum
kewarganegaraan Indonesia?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
1. Mengetahui politik hukum kewarganegaraan berdasarkan UU No.
12/2006 dan UU No. 62/1958.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan politik
hukum kewarganegaraan Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memperkaya ilmu hukum pada
umumnya dan hukum kewarganegaraan pada khususnya. Secara praktis,
hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan kuliah pada Mata Kuliah
E. Kerangka Pemikiran
Kewarganegaraan merupakan obyek kajian dari berbagai disiplin ilmu.
Bagir Manan, misalnya, menyatakan bahwa kewarganegaraan merupakan
obyek kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara.11 Dari
sudut hukum tata negara, kajian kewarganegaraan berkaitan dengan
unsur-unsur negara. Selain itu, kewarganegaraan berkaitan pula dengan
hal-hal yang berhubungan dengan jabatan negara atau pemerintah serta
HAM yang ditentukan dalam UUD. Sebagai kajian hukum administrasi
negara, kewarganegaraan berkaitan dengan keikutsertaan administrasi
negara dalam hal-hal yang berkaitan dengan kewarganegaraan serta
segala akibat yang timbul dari memperoleh atau kehilangan
kewarganegaraan. Oleh karenanya penting dipahami bahwa kajian
kewarganegaraan tidak dapat dilepaskan dari asas dan kaidah hukum
administrasi umum. Akibatnya, pembaharuan maupun penerapan hukum
kewarganegaraan harus memperhatikan berbagai asas dan kaidah hukum
administrasi umum, misalnya: asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Selain menjadi obyek kajian hukum tata negara dan hukum administrasi
negara, kewarganegaraan juga menjadi obyek kajian hukum internasional.
Dalam kaitan dengan syarat negara, Pasal 1 Montevideo Convention 1933
tentang the Rights and Duties of States menyatakan:
11
The state as a person of international law should possess the following qualifications: a permanent population, a defined territory, a government, a capacity to enter into relations with other states.
Pentingnya pengaturan kewarganegaraan dalam lapangan hukum
internasional dibuktikan dengan ditetapkannya berbagai instrumen hukum
internasional, misalnya Convention on Certain Questions Relating to the
Conflict of Nationality Laws (The Hague 1930); Convention on the
Nationality of Married Women; United Nations Convention on the
Reduction of Statelessness; dan Convention Relating to the Status of
Stateless Persons (New York 1954).
Meskipun kewarganegaraan merupakan kajian penting dalam hukum
internasional, namun dalam praktek hukum domestiklah yang lebih
menentukan. Hal ini dikarenakan masing-masing negara berdaulat penuh
untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi warga negaranya.
Bahkan negara dapat menentukan macam-macam jenis
kewarganegaraan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban apa saja yang
melekat pada masing-masing jenis kewarganegaraan itu. Dalam kaitan ini
Oppenheim menyatakan:
In general, it matters not, as far as the Law of Nations is concerned, that Municipal Law may distinguish different kind of subjects – for instance those who enjoy full potential rights, and are on that account named citizens, and those who are less favoured, and are on that account not named citizens.12
12
Akan tetapi, negara juga tetap menghormati prinsip-prinsip umum hukum
internasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Weis yang menyatakan:
It is submitted that the thesis of the irrelevance in international law of differentiations between nationals under municipal law requires a further qualification, namely, that if provisions of municipal law concerning nationality amount to an infringement of essential elements of the conception of nationality in international law, they do become relevant for international law.13
Penentuan isi hukum kewarganegaraan suatu negara tentu tidak terlepas
dari politik hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Demikian
pula halnya dengan Indonesia. Pembentukan UU Kewarganegaraan
Indonesia tentu didasari oleh politik hukum kewarganegaraan.
Terdapat berbagai pengertian mengenai politik hukum yang dikemukakan
oleh para ahli hukum. Bagir Manan, misalnya, berpendapat bahwa politik
hukum nasional adalah „kebijaksanaan pembangunan hukum nasional
untuk mewujudkan satu kesatuan sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945’.14 Selanjutnya, Bagir Manan
membagi politik hukum kedalam dua jenis utama, yakni politik hukum yang
bersifat tetap dan temporer.15 Politik hukum yang tetap akan selalu
menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum.
Selanjutnya, Bagir Manan berpendapat bahwa bagi Indonesia, politik
hukum yang bersifat tetap antara lain meliputi:
13
Ibid.
14 Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Penataran Dosen FH/STH PTS se Indonesia, Cisarua Bogor, 1993, hlm 10.
15
1. Ada satu kesatuan sistem hukum Indonesia;
2. Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945;
3. Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa;
4. Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat; 5. Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat;
6. Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partispasi masyarakat; dan
7. Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh rakyat), terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis, mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan berkonstitusi.16
Sedangkan politik hukum temporer adalah kebijaksanaan yang ditetapkan
dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan, termasuk penentuan
prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan.17 Contoh politik
hukum semacam ini adalah penghapusan sisa-sisa peraturan
perundang-undangan kolonial, pembaharuan peraturan perundang-perundang-undangan di
bidang ekonomi, dan lain-lain.18
Seperti halnya pengertian politik hukum, para ahli hukum juga
memberikan pendapat yang berbeda mengenai ruang lingkup politik
hukum. Bagir Manan, misalnya, menjelaskan bahwa terdapat dua lingkup
utama politik hukum, yaitu politik pembentukan hukum dan politik
penegakan hukum.19 Politik pembentukan hukum adalah kebijaksanaan
yang berkaitan dengan penciptaan, pembaharuan dan pengembangan
hukum. Politik pembentukan hukum akan mencakup:
1. Kebijaksanaan pembentukan perundang-undangan;
2. Kebijaksanaan pembentukan hukum yurisprudensi atau putusan hakim;
3. Kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis lainnya.20
Sedangkan politik penegakan hukum adalah kebijaksanaan yang
menyangkut:
1. Kebijaksanaan di bidang peradilan;
2. Kebijaksanaan di bidang pelayanan hukum.21
Selanjutnya, Bagir Manan menegaskan bahwa politik pembentukan
hukum tidak dapat dipisahkan dari politik penegakan hukum karena:
1. Suatu peraturan perundang-undangan akan berhasil apabila disertai
dengan penegakan yang baik.
2. Putusan-putusan dalam rangka penegakan merupakan mekanisme
kontrol bagi ketepatan atau kekurangan suatu peraturan
perundang-undangan.
3. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan
perundang-undangan.22
19
Ibid, hlm 180-181.
20
Ibid.
21
Ibid, hlm 181.
22
Dalam perkembangan selanjutnya, Bagir Manan melengkapi pendapatnya
mengenai ruang lingkup utama politik hukum yang meliputi: struktur
hukum (legal structure) yang berkenaan dengan kebijaksanaan
pembangunan kelembagaan; substansi hukum (legal substance) yang
berkaitan dengan kebijaksanaan di bidang pembangunan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum; serta budaya hukum (legal culture) yang berkaitan
dengan kebijaksanaan yang ditetapkan guna meningkatkan persepsi dan
apresiasi masyarakat terhadap hukum.23
Dalam penelitian ini politik hukum diartikan sebagai kebijaksanaan
pemerintah yang dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan arah
pembangunan hukum nasional dalam rangka mencapai tujuan negara
Indonesia, yang meliputi struktur hukum, substansi hukum dan budaya
hukum.
F. Metoda Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif yakni suatu
pendekatan dengan cara menelaah permasalahan dengan berpedoman
pada data sekunder berupa bahan hukum primer dan sekunder. Sifat atau
spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis-komparatif yaitu
menggambarkan objek penelitian secara sistematis, kemudian diuraikan
23
bagian-bagiannya (analisis) untuk menjawab identifikasi masalah yang
ditentukan. Selain itu analisis menggunakan metoda perbandingan
dengan menggunakan UU No. 62/1958 dan UU Kewarganegaraan baru
untuk menemukan persamaan dan perbedaan di antara keduanya.
Perbandingan UU Kewarganegaraan dengan negara lain akan digunakan
jika dipandang perlu, meskipun penelitian ini tidak secara spesifik
menggunakan UU Kewarganegaraan negara tertentu.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian didapatkan melalui studi kepustakaan bahan hukum
primer dan sekunder. Bahan hukum primer meliputi: UUD 1945 (sebelum
dan sesudah perubahan); UUDS 1950; Ketetapan-ketetapan MPR; UU
No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia beserta aturan
pelaksanaannya; UU No. 12/2006; serta peraturan perundang-undangan
lainnya yang pernah dan masih berlaku yang terkait dengan pengaturan
kewarganegaraan. Bahan hukum sekunder meliputi: hasil karya ilmiah
para ahli; buku-buku hukum pada umumnya; buku-buku tentang hukum
kewarganegaraan; artikel jurnal; berita dan artikel dari surat kabar dan
majalah; serta bahan-bahan dari situs internet yang relevan dengan judul
3. Analisis Data
Data penelitian akan dianalisis secara kualitatif, yaitu cara untuk
menganalisis data dengan menggunakan asas-asas hukum serta hukum
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG POLITIK HUKUM,
KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
KEWARGANEGARAAN
A. Pendahuluan
Bab ini memuat kajian teoritis mengenai politik hukum, kewarganegaraan
dan hukum kewarganegaraan. Uraian mengenai politik hukum akan
dipaparkan pada Bagian B, yang meliputi: pengertian; jenis; ruang lingkup;
serta faktor-faktor yang mempengaruhi corak dan isi politik hukum. Bagian
C memuat uraian tentang kewarganegaraan dan isu-isu terkini yang
mempengaruhi kewarganegaraan, yang kemudian diikuti uraian tentang
hukum kewarganegaraan pada Bagian D.
B. Politik Hukum
1. Pengertian
Beberapa ahli hukum memberikan pengertian politik hukum dari berbagai
sudut pandang yang berbeda. Bagir Manan mengatakan bahwa politik
hukum nasional adalah „kebijaksanaan pembangunan hukum nasional
untuk mewujudkan satu kesatuan sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945’.24 Satu kesatuan sistem hukum
24
nasional di sini harus diartikan sebagai kumpulan dari berbagai subsistem
hukum yang terkait satu sama lain dalam kerangka dasar Pancasila,
Negara kesatuan dan berbagai kepentingan nasional di bidang politik,
ekonomi, sosial atau budaya.25 T.M. Radhie mendefinisikan politik hukum
sebagai „suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum
yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun’.26 Dari definisi ini dapat dilihat bahwa Radhie
memasukkan ius constitutum (hukum yang berlaku saat ini) dan ius
constituendum (hukum yang akan atau seharusnya berlaku di masa
depan).27 Berbeda dengan Radhie, Padmo Wahjono mengatakan bahwa
politik hukum merupakan „kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk,
maupun isi dari hukum yang akan dibentuk’.28 Lebih lanjut, Wahjono
mengatakan bahwa:
Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang didalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.29
Soedarto, mantan Ketua Perancang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, mengartikan politik hukum sebagai:
kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang
25
Bagir Manan, Reorientasi Politik..., op.cit, hlm 4. 26
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.30
Ahli sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo, mendefinisikan politik hukum
sebagai „aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai
suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat’.31 Lebih lanjut
Rahardjo mengemukakan beberapa pertanyaan mendasar berkaitan
dengan politik hukum ini, yang mencakup: (1) tujuan yang hendak dicapai
melalui sistem yang ada; (2) cara yang digunakan serta cara terbaik yang
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; (3) waktu dan cara yang
dilakukan untuk mengubah hukum; dan (4) kemungkinan perumusan pola
yang baku untuk membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.32
Ahli lain yang memberikan pengertian politik hukum adalah Abdul Hakim
Garuda Nusantara. Menurutnya politik hukum adalah kebijakan hukum
(legal policy) yang hendak diterapkan secara nasional oleh pemerintah
negara tertentu yang meliputi: pelaksanaan hukum positif secara
konsisten; (2) pembaharuan hukum positif dan pembuatan hukum-hukum
baru; (3) peningkatan fungsi lembaga penegak hukum serta pembinaan
para anggotanya; dan (4) peningkatan kesadaran hukum masyarakat
menurut persepsi elite pengambil kebijakan.33
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Ibid.
33
Pada dasarnya, pengertian politik hukum yang dikemukakan oleh
berbagai ahli hukum tersebut di atas tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Perbedaan hanya terdapat pada ruang lingkup atau materi
muatan politik hukum. Oleh karena itu, dalam penelitian ini politik hukum
diartikan sebagai kebijaksanaan pemerintah yang dijadikan sebagai dasar
untuk menetapkan arah pembangunan hukum nasional dalam rangka
mencapai tujuan negara Indonesia, yang meliputi struktur hukum,
substansi hukum dan budaya hukum. 34
2. Jenis politik hukum
Bagir Manan membagi politik hukum menjadi dua jenis, yakni: (a) politik
hukum yang bersifat tetap; dan (b) politik hukum yang bersifat temporer.35
Politik hukum yang bersifat tetap berkaitan dengan „sikap hukum yang
akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan
hukum’.36 Selanjutnya, Bagir Manan berpendapat bahwa politik hukum
yang bersifat tetap, antara lain:
(1) Ada satu kesatuan sistem hukum nasional;
(2) Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945;
(3) Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa pada warganegara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa;
(4) Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat;
34
Lihat uraian di bawah mengenai ruang lingkup atau materi muatan politik hukum.
35
Bagir Manan, Menyongsong Fajar ……op.cit, hlm 179-180.
36
(5) Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat;
(6) Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat; dan
(7) Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh rakyat), terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan atas hukum dan berkonstitusi.37
Politik hukum temporer adalah „kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu
ke waktu sesuai dengan kebutuhan’,38 misalnya: penentuan prioritas
pembentukan peraturan perundang-undangan; penghapusan sisa-sisa
peraturan perundang-undangan kolonial; pembaharuan peraturan
perundang-undangan di bidang ekonomi; dan lain-lain.39
Menurut Bagir Manan terdapat negara yang menyusun politik hukum yang
bersifat temporer dalam satu susunan yang sistematis dan terencana dari
waktu ke waktu.40 Namun ada pula negara yang politik hukumnya bersatu
dengan kegiatan peyelenggaraan pemerintahan sehari-hari dan melekat
dalam kebijaksanaan politik, ekonomi, dan lain-lain.41 Sistem
ketatanegaraan Indonesia menghendaki adanya politik hukum temporer
yang tersusun secara terencana. Hal ini dapat dilihat dalam praktek
ketatanegaraan pra Amandemen UUD 1945 berupa penetapan GBHN
oleh MPR. Pasca Amandemen UUD 1945, politik hukum temporer ini
ditetapkan oleh DPR bersama-sama dengan Presiden, berupa Program
Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, op.,cit, hlm 3.
40
Ibid.
41
Pembangunan Jangka Panjang termasuk penetapan Program Legislasi
Nasional.
3. Ruang lingkup politik hukum
Beberapa ahli hukum mempunyai pandangan berbeda mengenai materi
muatan atau ruang lingkup politik hukum. Moh. Mahfud, misalnya,
membedakan ruang lingkup politik hukum kedalam dua bagian utama,
yakni: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan
pembaruan materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan; dan
kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.42
Dalam makalah yang ditulis pada tahun 1993, Bagir Manan berpendapat
bahwa ruang lingkup utama politik hukum terdiri atas: politik pembentukan
hukum (kebijaksanaan berkenaan dengan penciptaan, pembaruan dan
pengembangan hukum) dan politik penegakan hukum.43 Lebih lanjut
dijelaskannya bahwa politik pembentukan hukum mencakup:
kebijaksanaan pembentukan perundang-undangan; kebijaksanaan
pembentukan hukum yurisprudensi atau putusan hakim; dan
kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis lainnya.44 Sedangkan
42
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm 9.
43
Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, op.cit, hlm 4.
44
politik penegakan hukum meliputi: kebijaksanaan di bidang peradilan; dan
kebijaksanaan di bidang pelayanan hukum.45
Bagir Manan berpendapat bahwa antara politik pembentukan hukum dan
penegakan hukum dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan
karena:
(1) Keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan tergantung pada penerapannya. Apabila penegakan hukum tidak dapat berfungsi dengan baik, peraturan perundang-undangan yang bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya.
(2) Putusan-putusan dalam penegakan hukum merupakan instrumen kontrol bagi ketepatan atau kekurangan suatu peraturan perundang-undangan. Putusan-putusan tersebut merupakan masukan bagi pembaharuan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan.
(3) Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan. Melalui putusan dalam rangka penegakan hukum, peraturan perundang-undangan menjadi hidup dan diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Bahkan peraturan yang kurang baik akan tetap mencapai sasaran atau tujuan di tangan para penegak hukum yang baik.46
Pada tahun 1999, Bagir Manan47 melengkapi pendapatnya mengenai
ruang lingkup politik dengan meminjam pendekatan sistem hukum yang
digunakan oleh Lawrence M. Friedman dalam bukunya American Law.48
Hal ini sejalan dengan pemikiran Bagir Manan mengenai pengertian politik
hukum yang bertujuan untuk menciptakan satu kesatuan sistem hukum
nasional. Menurutnya, ruang lingkup utama politik hukum meliputi: struktur
hukum (legal structure) yang berkenaan dengan kebijaksanaan
pembangunan kelembagaan; substansi hukum (legal substance) yang
berkaitan dengan kebijaksanaan di bidang pembangunan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum; serta budaya hukum (legal culture) yang berkaitan
dengan kebijaksanaan yang ditetapkan guna meningkatkan persepsi dan
apresiasi masyarakat terhadap hukum.49 Berkenaan dengan budaya
hukum, Bagir Manan berpendapat bahwa upaya untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat tidak semata-mata digantungkan pada perbaikan
hukum itu sendiri, melainkan mencakup pula perbaikan sistem
kemasyarakatannya.50 Perbaikan-perbaikan itu harus mampu mengubah
sistem kemasyarakatan yang feodalistik menjadi sistem kemasyarakatan
yang demokratis.51
Pandangan terakhir Bagir Manan di atas menampakkan persamaan
dengan pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara.52 Perbedaan terletak
pada istilah yang digunakan. Bagir Manan menggunakan istilah „budaya
hukum’ sedangkan Garuda Nusantara memakai istilah „kesadaran hukum’.
Namun inti pendapatnya menunjukkan hal yang sama, yakni keduanya
menekankan pada kebijaksanaan yang ditetapkan guna meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat.
49
Bagir Manan, Reorientasi ..., op.cit, hlm 8-16.
50
Ibid, hlm 16.
51
Ibid.
52
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi corak dan isi politik hukum
Pembentukan politik hukum suatu negara dipengaruhi oleh beberapa
faktor utama yang meliputi:53
(1) Dasar dan corak politik54
Terdapat pandangan yang telah diterima secara umum bahwa
hukum, khususnya peraturan perundang-undangan, merupakan
produk politik. Bukan hanya karena dibentuk oleh
lembaga-lembaga politik, peraturan perundang-undangan pada dasarnya
juga mencerminkan berbagai pemikiran dan kebijaksanaan
politik yang paling berpengaruh dalam negara yang
bersangkutan. Pemikiran-pemikiran dan kebijaksanaan politik
yang paling berpengaruh tersebut dapat bersumber pada
ideologi tertentu, kepentingan-kepentingan tertentu atau
tekanan-tekanan yang kuat dari masyarakat.
Politik hukum di negara yang mendasarkan pada ideologi
sosialis tentu akan berbeda dengan politik hukum negara
kapitalis. Demikian pula politik hukum negara demokrasi akan
berbeda dengan politik hukum negara diktator. Pada negara
demokrasi, politik hukum akan lebih membuka kesempatan
pada masyarakat untuk berpartisipasi menentukan corak dan isi
politik hukum. Sebaliknya, negara diktator akan menghindari
53
Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, op.cit, hlm 6-10.
54
keikutsertaan masyarakat dalam penentuan corak dan isi politik
hukum karena kuatnya peran dominan penguasa negara.
(2) Tingkat perkembangan masyarakat55
Bagir Manan menjelaskan bahwa penentuan corak dan isi
politik hukum masyarakat agraris berbeda dengan masyarakat
industri. Menurutnya, pada masyarakat agraris, tanah menjadi
faktor dominan bagi kehidupan ekonomi, sosial, budaya,
bahkan politik. Masalah lapangan kerja pada masyarakat
agraris lebih dikaitkan dengan sistem penguasaan tanah.
Sedangkan pada masyarakat industri, lapangan kerja lebih
ditekankan pada kemampuan keterampilan perorangan untuk
bekerja di berbagai jenis industri. Oleh karenanya, isu
perlindungan tenaga kerja menjadi lebih menonjol dibandingkan
dengan kondisi pada masyarakat agraris. Namun, kenyataan
menunjukkan bahwa pembentukan politik hukum di negara
industri juga ditujukan untuk percepatan pertumbuhan industri,
disamping kebutuhan bagi para pelaku industri tersebut.56
Akibatnya, tidak jarang terjadi benturan kepentingan antara
pelaku, negara dan tenaga kerja dalam pembentukan politik
hukum di negara yang bersangkutan.
55
Ibid, hlm 7-8.
56
(3) Susunan masyarakat57
Bagir Manan membedakan susunan masyarakat ini ke dalam
dua susunan masyarakat, yakni: masyarakat homogen dan
heterogen. Menurutnya politik hukum masyarakat yang relatif
homogen tentu berbeda dengan masyarakat yang heterogen
karena politik hukum yang serba menyamakan (uniformitas)
kecil kemungkinan dapat diterapkan pada masyarakat yang
heterogen. Oleh karena itu politik hukum unifikasi harus
dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah, bahkan untuk
bidang-bidang hukum yang tidak bertalian dengan agama atau
keluarga, misalnya hukum ekonomi. Hal ini disebabkan
perbedaan kemampuan antara pengusaha kecil dan besar.
Apabila pemerintah tidak memberikan „perlindungan’ kepada
pengusaha kecil maka lambat laun kegiatan ekonomi akan
terkonsentrasi pada golongan pengusaha besar, yang pada
gilirannya akan memberikan pengaruh dominan terhadap
pembentukan politik hukum. Oleh karena itu, Bagir Manan
menegaskan bahwa:
Persamaan hukum tidak selalu berarti keadilan. Perbedaan hukum tidak selalu berarti ketidakadilan. Keadilan dan kemanfaatan hukum akan terletak pada persamaan pada tempat dimana diperlukan persamaan dan perbedaan pada tempat dimana diperlukan perbedaan.58
57
Ibid, hlm 8-9.
58
Atau dengan kata lain, „menyamakan sesuatu yang tidak sama,
sama tidak adilnya dengan membedakan sesuatu yang
semestinya sama’.59
(4) Pengaruh global60
Dalam konteks global, politik hukum suatu negara tidak lagi
hanya memberikan perlindungan kepada negara semata tanpa
mempertimbangkan perlindungan kepentingan masyarakat
internasional. Misalnya: politik hukum terhadap hak kekayaan
intelektual berupa perlindungan terhadap hak cipta dan paten
dapat dipandang sebagai kebijaksanaan hukum yang ada
kaitannya dengan perlindungan terhadap hak-hak orang asing
di bidang ini. Dalam bidang hukum lain, misalnya, hukum
perburuhan, kebijaksanaan hukum seringkali dipengaruhi oleh
isu-isu global, antara lain: hak asasi manusia dan perlunya
peningkatan kesejahteraan pekerja.
C. Kewarganegaraan
Kewarganegaraan merupakan obyek kajian dari berbagai disiplin ilmu.
Bagir Manan, misalnya, menyatakan bahwa kewarganegaraan merupakan
obyek kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara.61 Dari
sudut hukum tata negara, kajian kewarganegaraan berkaitan dengan
59
Bagir Manan, Reorientasi....,op.cit, hlm 4.
60
Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, op.cit, hlm 9-10.
61
unsur-unsur negara. Selain itu, kewarganegaraan berkaitan pula dengan
hal-hal yang berhubungan dengan jabatan negara atau pemerintah serta
HAM yang ditentukan dalam UUD. Sebagai kajian hukum administrasi
negara, kewarganegaraan berkaitan dengan keikutsertaan administrasi
negara dalam hal-hal yang berkaitan dengan kewarganegaraan serta
segala akibat yang timbul dari memperoleh atau kehilangan
kewarganegaraan. Oleh karenanya penting dipahami bahwa kajian
kewarganegaraan tidak dapat dilepaskan dari asas dan kaidah hukum
administrasi umum. Akibatnya, pembaharuan maupun penerapan hukum
kewarganegaraan harus memperhatikan berbagai asas dan kaidah hukum
administrasi umum, misalnya: asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Selain menjadi obyek kajian hukum tata negara dan hukum administrasi
negara, kewarganegaraan juga menjadi obyek kajian hukum internasional.
Dalam kaitan dengan syarat negara, Pasal 1 Montevideo Convention 1933
tentang the Rights and Duties of States menyatakan:
The state as a person of international law should possess the following qualifications: a permanent population, a defined territory, a government, a capacity to enter into relations with other states.
Pentingnya pengaturan kewarganegaraan dalam lapangan hukum
internasional dibuktikan dengan ditetapkannya berbagai instrumen hukum
internasional, misalnya Convention on Certain Questions Relating to the
Conflict of Nationality Laws (The Hague 1930); Convention on the
Reduction of Statelessness; dan Convention Relating to the Status of
Stateless Persons (New York 1954).
Meskipun kewarganegaraan merupakan kajian penting dalam hukum
internasional, namun dalam praktek hukum domestiklah yang lebih
menentukan. Hal ini dikarenakan masing-masing negara berdaulat penuh
untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi warga negaranya.
Bahkan negara dapat menentukan macam-macam jenis
kewarganegaraan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban apa saja yang
melekat pada masing-masing jenis kewarganegaraan itu. Dalam kaitan ini
Oppenheim menyatakan:
In general, it matters not, as far as the Law of Nations is concerned, that Municipal Law may distinguish different kind of subjects – for instance those who enjoy full potential rights, and are on that account named citizens, and those who are less favoured, and are on that account not named citizens.62
Akan tetapi, negara juga tetap menghormati prinsip-prinsip umum hukum
internasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Weis yang menyatakan:
It is submitted that the thesis of the irrelevance in international law of differentiations between nationals under municipal law requires a further qualification, namely, that if provisions of municipal law concerning nationality amount to an infringement of essential elements of the conception of nationality in international law, they do become relevant for international law.63
62
Dikutip dari P. Weis, Nationality …..,op.cit, hlm 6.
63
1. Istilah dan pengertian
Dalam kehidupan sehari-hari, kita jumpai istilah „kewarganegaraan’
(citizenship) dan „kebangsaan’ (nationality). Meskipun memiliki esensi
yang sama, yakni memperkenalkan status hukum individu dalam kaitan
dengan keanggotaan dalam suatu negara, kedua istilah tersebut
merefleksikan dua kerangka hukum yang berbeda.64 Istilah
„kewarganegaraan’ lebih banyak digunakan dalam hukum nasional,
sedangkan „kebangsaan’ lebih sering digunakan dalam lapangan hukum
internasional. Dalam kaitan ini, P. Weis mengatakan:
Conceptually and linguistically, the terms ‘nationality’ and ‘citizenship’ emphasize two different aspects of the same notion: State membership. ‘Nationality’ stresses the international, ‘citizenship’ the national, municipal aspect.65
Meskipun merupakan konsep tunggal, kewarganegaraan seringkali
digunakan untuk menggambarkan sejumlah fenomena yang berlainan tapi
saling berkaitan dalam kerangka hubungan individu dengan negara.66
Mengutip pendapat Bozniak, Kim Rubenstein dan Daniel Adler
mengemukakan empat konsep kewarganegeraan, yakni: (1)
kewarganegaraan sebagai status hukum; (2) kewarganegaraan sebagai
hak; (3) kewarganegaraan sebagai aktivitas politik; dan (4)
kewarganegaraan sebagai bentuk identitas dan perasaan yang bersifat
64
Kim Rubenstein dan Daniel Adler, International Citizenship: The Future of Nationality in a Globalized World, Indiana Journal of Global Legal Studies, 2000, hlm 521.
65
P. Weis, Nationality…, op.cit, hlm 4-5.
66
kolektif.67 Pendapat Bozniak tersebut mengukuhkan pandangan bahwa
kewarganegaraan merupakan sebuah konsep yang memiliki berbagai
dimensi, yakni: politik; hukum; sosial dan budaya.68
Sebagai suatu istilah yang dijumpai dalam lapangan hukum nasional,
kewarganegaraan mempunyai arti dan isi bermacam-macam tergantung
pada hukum nasional masng-masing negara. Meskipun berbeda, secara
umum kewarganegaraan dapat diartikan sebagai ‘a specific relationship
between individual and State conferring mutual rights and duties as
distinct from the relationship of alien to the State of sojourn’.69
Ursula Vogel berpendapat bahwa kewarganegaraan menunjuk pada
status seseorang sebagai anggota penuh (full member) dari sebuah
komunitas politik tertentu.70 Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh
Elizabeth Meehan yang mengatakan bahwa ide kewarganegaraan
melibatkan keanggotaan penuh dari sebuah komunitas politik dan
komunitas politik yang dimaksud adalah komunitas politik nasional.71
67
Ibid.
68
Lihat Desmond King, Citizenship as Obligation in the United States: Title II of the Family Support Act of 1988’, dalam Ursula Vogel dan Michael Moran (eds), The Frontiers of Citizenship, MacMillan, London, 1991, hlm 1.
69
P. Weis, Nationality…, op.cit, hlm 29.
70
Ursula Vogel, Is Citizenship Gender-specific? dalamUrsula Vogel dan Michael Moran (eds), The Frontiers…., op.cit, hlm 62.
71
Mengutip pendapat Makarov, Wies menjelaskan bahwa terdapat dua teori
yang berbeda dalam pemikiran hukum modern mengenai karakter hukum
konsep kewarganegaraan, yakni: kewarganegaraan sebagai hubungan
hukum (legal relationship) dan kewarganegaraan sebagai status hukum
(legal status).72
Sebagai suatu hubungan hukum, kewarganegaraan berarti suatu
hubungan antara sebuah Negara dan warganya, yang terdiri atas hak-hak
dan kewajiban-kewajiban.73 Makarov melacak teori ini kembali pada
hubungan feodal dari „perpetual allegiance’ dalam English common law.74
Selain itu, Makarov mendasarkan teori ini dari sejumlah tulisan ahli
berkebangsaan Perancis yang memandang kewarganegaraan sebagai
suatu kontrak antara Negara dan perorangan.75 Berkenaan dengan
konsep kewarganegaraan sebagai sebuah status, Makarov melacaknya
dari hukum Romawi (status civitatis) yang terefleksi pada hukum perdata
Perancis dan teori-teori ketatanegaraan Jerman.76 Hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tertentu dipandang sebagai sebuah konsekuensi dari
pemilikan status tersebut.77
72
P. Weis, Nationality…, op.cit, hlm 29-30.
73
Ibid.
74
Ibid, hlm 30.
75
Ibid.
76
Ibid.
77
UU No. 62/1958 mendefinisikan kewarganegaraan sebagai „segala jenis
hubungan antara warga negara dengan suatu negara yang
mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi warga
negaranya’.78 Lebih lanjut Pasal II Peraturan Penutup UU tersebut
menyatakan bahwa „Dalam pengertian kewarganegaraan termasuk semua
jenis lindungan oleh sesuatu negara’. Sedangkan UU No. 12/2006
mengartikan kewarganegaraan sebagai „segala hal ihwal yang
berhubungan dengan warga negara’.79
Koerniatmanto Soetoprawiro berpendapat bahwa pengertian
kewarganegaraan dapat dilihat dari dua segi, yakni: segi formal dan segi
material.80 Segi formal berarti menunjuk tempat kewarganegaraan dalam
sistematika hukum, yang menempatkan kewarganegaraan dalam
lapangan hukum publik.81 Sedangkan dari segi material,
kewarganegaraan berkaitan erat dengan masalah hak dan kewajiban
yang bersifat timbal balik antara negara dan warganya.82
Dalam pada itu, Atma Suganda berpendapat kewarganegaraan adalah
keanggotaan seseorang dalam negara yang menandakan hubungan
78
Memori Penjelasan tentang Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
79
Pasal 1 angka 2 UU No. 12/2006.
80
Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, 8-9.
81
Ibid, hlm 9.
82
hukum dan melahirkan hak dan kewajiban.83 Dalam konsep
kewarganegaraan terkandung aspek formal dan aspek material.84 Aspek
formal menurutnya berkaitan dengan salah satu unsur atau syarat adanya
negara yang pada gilirannya menunjuk pada „seluk beluk hubungan
antara negara dengan warga negara’.85 Aspek formal ini kemudian
melahirkan aspek materil yang berupa hak dan kewajiban.86 Hal ini
disebabkan kewarganegaraan sebagai suatu hubungan hukum
merupakan suatu „titik pertautan’ yang melahirkan hak dan kewajiban
yang bersifat timbal balik antara negara dan warga negara.87
Terdapat persamaan dan perbedaan antara pendapat Kurniatmanto
Soetoprawiro dan Atma Suganda mengenai pengertian kewarganegaraan.
Persamaannya terletak pada aspek materil kewarganegaraan yang
menunjuk pada adanya hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik
antara negara dan warga negara. Sedangkan perbedaannya terletak pada
aspek formal kewarganegaraan. Kurniatmanto lebih memandang aspek
formal dari aspek sistematika hukum dengan meletakkan
kewarganegaraan dalam kategori hukum publik. Sedangkan Atma
menekankan kewarganegaraan sebagai salah satu unsur negara yang
menimbulkan hubungan dan status hukum bagi individu dengan negara.
83
Aspek formal ini kemudian melahirkan aspek materil kewarganegaraan
yang berupa hak dan kewajiban. Dalam kaitan ini pendapat Atma lebih
menampakkan adanya hubungan langsung antara aspek formal dan
aspek materil dari kewarganegaraan.
2. Isu-isu terkini (current issues) dalam kewarganegaraan
Kewarganegaraan menjadi salah satu isu hangat diskursus di berbagai
belahan dunia, seperti Kanada dan Eropa.88 Di Kanada, diskursus
mengenai kewarganegaraan telah diperluas yang mencakup isu
‘multicultural citizenship’, sedangkan di Eropa perkembangan konsep
kewarganegaraan tidak menunjukkan konsep kosmopolitan dan
kebangsaan sebagai akibat perkembangan Uni Eropa.89 Pada saat yang
bersamaan, kewarganegaraan suatu negara makin sulit didapat karena
menguatnya ‘xenophobic nationalism’ sebagai respons meningkatnya arus
masuk kaum imigran ke suatu negara tertentu.90
Terdapat beberapa alasan mengapa kewarganegaraan menjadi salah
satu bahan perdebatan hangat di berbagai negara. Pertama, runtuhnya
paham komunis yang mengakibatkan retorika lama mengenai keadilan
sosial yang menghendaki perintah ‘respect and attention’ menjadi tidak
relevan lagi. Bagi mereka yang masih menghendaki konsep keadilan
88
Wayne Hudson dan John Kane, Rethinking Australian Citizenship dalam Wayne Hudson dan John Kane, Rethinking Citizenship, Cambridge University Press, Cambridge, 2000, hlm 1.
89
Ibid.
90
sosial mencari retorika baru dengan menggunakan pendekatan
kewarganegaraan.91 Kedua, diskursus kewarganegaraan lebih tidak
bersifat memecah belah dibandingkan dengan diskursus mengenai
sosialis.92 Sebagai suatu konsep yang netral, konsep kewarganegaraan
dapat disebarkan untuk kepentingan politik yang berbeda dan saling
bertentangan.93 Ini menjadi salah satu daya tarik kewarganegaraan
karena semua tergantung pada nilai kewarganegaraan mana yang akan
menjadi titik berat, misalnya: persamaan hak – persamaan kewajiban;
kapasitas dan pemberdayaan warga negara – ketaatan dan kepatuhan
warga negara.94 Ketiga, perhatian terhadap kewarganegaraan
semata-mata karena dunia sedang berubah.95 Eropa merupakan contoh nyata
mengenai hal ini. Seiring dengan perubahan dari penyatuan ekonomi
menjadi penyatuan politik, hubungan warga negara suatu negara tertentu
dengan Uni Eropa sudah seharusnya didefinisikan ulang. Keempat,
proses globalisasi juga turut menyumbang „redefinisi’ konsep
kewarganegaraan.96 Kim Rubenstein dan Daniel Adler, misalnya,
menyatakan bahwa globalisasi akan mengubah pemahaman mengenai
nilai hukum kewarganegaraan agar dapat merefleksikan lebih baik
kenyataan-kenyataan politik dan sosial keanggotaan dalam masyarakat
global.97 Seiring dengan perubahan-perubahan tersebut, kajian-kajian
kewarganegaraan lebih bersifat multi aspek, misalnya menggandengkan
konsep kewarganegaraan dengan feminism, demokrasi, republikanisme,
multikulturalisme, dan lain-lain.98
D. Hukum Kewarganegaraan
Di atas telah dikemukakan bahwa pengertian kewarganegaraan
menunjukkan adanya suatu ikatan antara negara dan warganya yang
pada akhirnya menentukan status seseorang. Ikatan ini menimbulkan
akibat hukum, yaitu seseorang menjadi „warga negara dan jatuh ke bawah
lingkungan kekuasaan negara yang bersangkutan’.99
Berangkat dari pengertian tersebut, hukum kewarganegaraan dapat
diartikan sebagai seperangkat aturan hukum yang mengatur muncul dan
berakhirnya hubungan antar negara dan warga negara.100 Atau dengan
kata lain, hukum kewarganegaraan mengatur cara-cara memperoleh dan
cara-cara kehilangan kewarganegaraan.101 Dengan demikian, meskipun
kewarganegaraan dipandang dari segi materil berisi hak dan kewajiban
yang bersifat timbal balik antara negara dan warganya, namun hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang bersifat timbal balik tersebut bukan
merupakan ruang lingkup hukum kewarganegaraan, melainkan menjadi
97
Ibid, hlm 519.
98
Lihat misalnya,Wayne Hudson dan John Kane, Rethinking….op.cit
99
Koerniatmanto Soetoprawiro, loc. cit.
100
Ibid.
101
obyek kajian bidang hukum lain, misalnya hukum tata negara dan hak
BAB III
PENGATURAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Sejak Indonesia merdeka, kewarganegaraan diatur dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD sampai dengan berbagai
undang-undang, antara lain: UU No. 3/1946 tentang Kewarganegaraan
dan Kependudukan Republik Indonesia; Piagam Persetujuan Pembagian
Warga Negara (PPPWN) antara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan
Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949; UU No. 62/1958
tentang Kewarganegaraan Indonesia; dan terakhir UU No. 12/2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Meskipun demikian, Bab
ini hanya akan menguraikan pengaturan kewarganegaraan Indonesia
berdasarkan ketentuan hukum positif yakni UUD 1945 Perubahan dan UU
No. 12/2006, yang akan dibandingkan dengan UU sebelumnya, yakni UU
No. 62/1958.
Bab ini terdiri atas tujuh bagian. Bagian A merupakan pendahuluan
terhadap Bab ini. Selanjutnya diuraikan dasar konstitusional
kewarganegaraan Indonesia dalam Bab B. Uraian mengenai asas-asas
kewarganegaraan dijelaskan dalam Bab C, yang selanjutnya diikuti
D. Cara-cara memperoleh kewarganegaraan akan dijelaskan dalam Bab
E. Hal-hal yang menyebabkan kehilangan kewarganegaraan akan
dijelaskan dalam Bab F, yang selanjutnya diikuti dengan penjelasan
mengenai cara-cara memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia
dalam Bab G.
B. Dasar Konstitusional Kewarganegaraan Indonesia
Kewarganegaraan senantiasa menjadi salah satu kajian studi kenegaraan.
Dalam Montevideo Convention 1933 on the Rights and Duties of States,
warga negara dimasukkan sebagai salah satu unsur adanya negara.
Dengan demikian dalam pengertian umum, kewarganegaraan sebagai
salah satu unsur keberadaan negara merupakan kajian ilmu negara.102
Dalam arti khusus, yakni kajian dari satu negara tertentu,
kewarganegaraan sebagai unsur negara merupakan kajian hukum tata
negara.103 Oleh karena itu, ketentuan kewarganegaraan senantiasa
terdapat dalam aturan konstitusi. Atau dengan kata lain, kewarganegaraan
merupakan salah satu materi muatan undang-undang dasar.
UUD 1945 baik lama maupun perubahan memuat ketentuan
kewarganegaraan. UUD 1945 perubahan bahkan mengatur warga negara
dan penduduk dalam Pasal 26 yang selengkapnya berbunyi:
102
Bagir Manan, Pembaharuan Hukum …, op.cit, hlm 7.
103
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Bunyi Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 perubahan mempunyai kesamaan
dengan bunyi Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 lama. Ketentuan konstitusional
kewarganegaraan Indonesia ini mengandung beberapa permasalahan,
yang akan dijelaskan pada bagian D.
C. Asas-asas kewarganegaraan
Kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan kelahiran dan
perkawinan. Dalam kaitan dengan penentuan kewarganegaraan
berdasarkan kelahiran, Penjelasan Umum UU No. 12/2006 menyatakan
bahwa UU ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau
universal, yakni ius sanguinis, ius soli dan campuran. Akan tetapi, UU
tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan asas campuran.
Tampaknya asas campuran yang dimaksud adalah penggunaan kedua
asas kelahiran secara bersamaan (simultan).104
Dalam kaitan dengan penentuan kewarganegaraan, UU ini pada dasarnya
menganut asas kewarganegaraan tunggal dalam arti seseorang hanya
menganut satu kewarganegaraan. Akan tetapi, UU ini tidak
104
mengesampingkan penggunaan asas kewarganegaraan ganda yang
memungkinkan seseorang memiliki lebih dari satu kewarganegaraan.
Namun, penggunaannya bersifat terbatas, yakni pada anak-anak.
Penggunaan bersifat terbatas ini merupakan pengecualian sebagaimana
termuat dalam Penjelasan Umum yang menyatakan:
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan pengecualian.
Akan tetapi, UU No. 12/2006 tidak menegaskan penggunaan asas dari
segi perkawinan, dalam arti apakah UU ini menganut salah satu asas
kesatuan hukum atau persamaan derajat. Atau bahkan kedua asas ini
digunakan secara bersamaan. Pengaturan kewarganegaraan dalam suatu
negara tidak mungkin menghindari penggunaan asas dari segi perkawinan
karena perkawinan antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan
menimbulkan konsekuensi tertentu terhadap status kewarganegaraan
suami, istri maupun anak.
Meskipun asas kewarganegaraan dari segi perkawinan tidak ditegaskan,
namun bukan berarti bahwa UU No. 12/2006 tidak mengatur status
kewarganegaraan dari segi perkawinan. Penggunaan asas
kewarganegaraan dari segi perkawinan akan tercermin dalam pasal-pasal
yang mengatur identifikasi siapakah WNI dan cara-cara memperoleh
Penjelasan Umum UU No. 12/2006 juga menentukan asas-asas khusus
yang menjadi dasar penyusunan UU ini. Namun asas-asas ini lebih tepat
dikatakan sebagai asas-asas kewarganegaraan (baik dari aspek isi dan
prosedur) daripada asas penyusunan UU. Selengkapnya Penjelasan
Umum mengenai hal ini berbunyi:105
…beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan Undang -Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri.
3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menetukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
5. Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakukan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.
6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala hak ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.
7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.
8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan
105
Kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.
Dalam kaitan dengan UU No. 62/1958, ius sanguinis ternyata juga
digunakan oleh UU ini. Dalam Memori Penjelasan disebutkan:106
Bahwa keturunan dipakai sebagai suatu dasar adalah lazim. Sudah sewajarnya suatu negara menganggap seorang anak sebagai warganegaranya di manapun ia dilahirkan, apabila orang tua anak itu warganegara dari negara itu.
Meskipun UU No. 62/1958 lebih mengutamakan penggunaan asas
keturunan, namun tidak berarti bahwa UU ini tidak memberikan tempat
sama sekali terhadap penggunaan asas berdasarkan tempat kelahiran.
Atau dengan kata lain, UU No. 62/1958 menggunakan ius sanguinis dan
ius soli secara bersamaan. Terhadap pemberlakuan kedua asas tersebut,
Sudargo Gautama memberikan istilah „pelembutan’ terhadap berlakunya
asas keturunan.107 Penggunaan kedua asas secara simultan
dimungkinkan karena salah satu tujuan pembentukan UU No. 62/1958
adalah untuk menghindarkan terjadinya apatride.
Dalam hal status kewarganegaraan karena perkawinan, UU No. 12/2006
dan UU No. 62/1958 mengatur dengan cara berbeda. UU yang baru sama
sekali tidak menegaskan pengutamaan salah satu asas dalam
perkawinan. Sebaliknya, UU No. 62/1958 mengedepankan penggunaan
106
Memori Penjelasan Umum UU No. 62/1958
107
asas kesatuan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Memori
Penjelasan Umum, yang selengkapnya berbunyi:108
Undang-undang ini berpendirian bahwa dalam perkawinan kedua mempelai sedapat-dapatnya mempunyai kewarganegaraan yang sama.
Lebih lanjut Memori Penjelasan UU No. 62/1958 menyatakan:109
…Pada dasarnya yang menentukan kesatuan kewarganegaraan itu
suami….Asas kesatuan kewarganegaraan dari kedua mempelai
selanjutnya ternyata dalam hal memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia (Lihat pasal 9 dan pasal 10).
Meskipun asas kesatuan hukum lebih diutamakan, namun
penggunaannya dapat dikesampingkan karena beberapa alasan, antara
lain: mencegah terjadinya apatride dan bipatride atau „dirasakan berat
apabila mengasingkan begitu saja seorang warganegara yang kawin
dengan orang asing’.110
D. Warga Negara Indonesia
Identifikasi siapakah warga negara Indonesia (WNI) merupakan satu hal
yang penting untuk diatur guna menentukan siapa saja yang dapat
dikategorikan sebagai WNI. Identifikasi ini akan menentukan pula
asas-asas kewarganegaraan mana yang lebih dominan, baik dari segi kelahiran
maupun segi perkawinan.
108
Memori Penjelasan Umum UU No. 62/158 bagian e.
109
Memori Penjelasan Umum UU No. 62/1958.
110