• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Pembinaan dan Pengawasan Mutu Sumber Daya Manusia Kesehatan

1.1 Latar Belakang

Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa didunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25 ayat (1) Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Kemenkes RI, 2012).

Berdasarkan deklarasi tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk megembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk Universal Health Coverage (UHC). Dalam sidang ke 58 tahun 2005 di Jenewa, World Health Assembly (WHA) menggaris bawahi perlunya pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke 58 tahun 2005 mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui UHC

diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. WHA juga menyarankan kepada World Health Organization (WHO) agar mendorong negara-negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan ketika mereka bergerak menuju Universal Health Coverage (Kemenkes RI, 2012).

Di Indonesia, falsafah dan dasar negara pancasila teruama sila ke-5 juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya dibidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial ( Kemenkes RI, 2014).

Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi diatas, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Dalam pelaksanaan sistem JKN di Indonesia dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang bertanggungjawab memastikan berjalannya jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai peserta jaminan (Departemen Kesehatan, 2011).

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Program Jaminan Kesehatan Nasional pada BAB IV Pelayanan Kesehatan yaitu setiap peserta memiliki hak mendapatkan pelayanan kesehatan tingkat pertama.

Fasilitas kesehatan yang menyelenggrakan pelayanan kesehatan untuk peserta JKN terdiri atas fasilitas kesehatan tingkat pertama (FTKP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL). FKTP dimaksud adalah : (1) Puskesmas atau yang setara, (2) Praktik Dokter, (3) Praktik dokter gigi, (4) klinik pratama atau yang setara, (5) Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara. Dalam hal di suatu kecamatan tidak terdapat dokter berdasarkan penetapan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, BPJS kesehatan dapat bekerja sama dengan praktik bidan dan atau praktik perawat untuk memberikan Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama sesuai dengan kewenangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Fasiltas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) berupa: (1) Klinik Utama atau yang setara (2) Rumah Sakit Umum, (3) Rumah Sakit Khusus ( Kemenkes RI, 2014)

Beberapa hal penting yang menjadi penentu kesuksesan pada program BPJS yaitu ketersediaan sumber daya manusia. Misalnya dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang lengkap serta mempunyai kompetensi di bidang masing-masing, ketersediaan alat sarana kesehatan (Permenkes Nomor 75 Tahun 2014).

Sejak 1 januari 2014, BPJS Kesehatan memiliki beragam permasalahan, banyak aspek yang belum matang dan menjadi persoalan, masalah ini muncul pada unsur pengaplikasiannya seperti di puskesmas pelayanan kesehatan primer, khususnya pada aspek rujukan, dan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) banyak masyarakat yang belum tahu teknis mendapatkan pelayanan sesuai dengan aturan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Kompas yang mengutip laporan utama Direktur Komunikasi Hukum dan Antar Lembaga Badan

Penyelenggara jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyampaikan tingkat rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama secara nasional menunjukkan kenaikan. Pada januari 2014 misalnya, angka kunjungan total secara nasional ke sarana primer mencapai 914 ribu lebih dan yang dirujuk ke Rumah Sakit mencapai 120 ribuan atau 13%, pada februari dari 1,5 juta kunjungan, 220 ribu diantaranya dirujuk ke rumah sakit atau sekitar 14,5%, sebenarnya semakin lama puskesmas memahami konsep JKN, presentase rujukan makin kecil, namun secara nasional memang masih di bawah 15% (BPJS Kesehatan Nasional, 2014).

Sistem rujukan adalah suatu ssitem penyelenggaraan kesehatan yang melaksanakan peerlimpahan tanggung jawab yang timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang b rkemamuoan kurang keoada unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam unit-unit yang setingkat kemampuannya (Kementrian Kesehatan, 2012).

Sistem rujukan pelayanan kesehatan yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta dapat berobat kefasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik, atau dokter keluarga yang tercantum pada kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Apabila peserta memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter spesialis, maka peserta dapat dirujuk kefasilitas kesehatan tingkat kedua atau kefasilitas kesehatan sekunder. Rujukan hanya diberikan jika pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik. Untuk

memfasilitas kesehatan primer yang dirujuk untuk melayani peserta, tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan peserta karena keterbatasan fasilitas, pelayanan, ketenagaan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014, puskesmas sebagai pelayanan publik dalam era Jaminan Kesehatan Nasional, diberikan wewenang kesehatan layanan primer mencakup 155 penyakit dengan alur klinis yang sudah disusun organisasi profesi terkait. Keadaan ini memberikan makna bahwa puskesmas sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat pertama wajib menangani pelayanan kesehatan mencakup 155 jenis diagnosis dan tidak boleh dirujuk ke Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) 2 atau Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) 3 kecuali kondisi gawat darurat.

Puskesmas Bukit Surungan merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kota Padang Panjang yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama dalam era BPJS terkait Jaminan Kesehatan Nasional memiliki kewenangan melakukan pelayanan kesehatan primer mencakup 155 penyakit.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada pegawai Puskesmas Bukit Surungan di lapangan diketahui proses pelayanan di puskesmas dilakukan dengan cara pasien datang ke puskesmas, mendaftar kepetugas puskesmas diloket yang disediakan, setelah itu dilanjutkan pada proses pemeriksaan serta konsultasi dengan dokter. Kemudian dilakukan diagnosa oleh dokter apakah pasien perlu mendapat rujukan atau tidak. Jika perlu pasien dapat dirujuk ke pelayanan lanjutan dengan membawa surat rujukan. Selain itu, pasien juga dapat langsung meminta surat

rujukan bila kunjungan rujukan ulangan (kontrol) dengan syarat surat balasan dari rumah sakit sudah ada, begitu juga dengan pasien gawat darurat yang langsung dirujuk.

Berdasarkan hasil survei awal di puskesmas Bukit Surungan Kota Padang Panjang tahun berikut data jumlah kunjungan dan junlah rujukan pada tahun 2012-2015.

Tahun Jumlah Kunjungan Jumlah rujukan

2012 12.596 1976 (rasio rujukan 16%)

2013 13.001 2001 (rasio rujukan 15,4%)

2014 13.258 2256 (rasio rujukan 17%)

2015 13.948 2598 (rasio rujukan 18%)

Dari data diatas, didapatkan trend kenaikan rujukanya sebagai berikut t1= 2013-2012 (b-a)/a = 405/12.596 = 0.03 %

t2 = 2014-2013 (c-b)/b = 257/13.001 = 0.019% t3 = 2015-2014 (d-c)/c = 690/13.258 = 0.05%

trend rata-ratanya adalah t1+t2+t3/4= 0.099%. Dimana dari trend rata-rata tersebut menunjukkan kenaikan rujukan 0,099%.

Dari data diatas dapat dilihat terjadinya kenaikan jumlah rujukan pada tahun 2015. Dengan rata-rata jumlah rujukan tiap bulannya sebanyak 217 rujukan. Data terbaru pada bulan Januari tahun 2016 jumlah kunjungan sebanyak 1.404 dan jumlah rujukan meningkat sebanyak 262 rujukan (rasio rujukan 18,6%). Bila dibandingkan

data terakhir bulan Oktober tahun 2015 dengan kunjungan sebanyak 1.185 dengan 204 rujukan (rasio rujukan 17,2%), bulan November tahun 2015 dengan kunjungan sebanyak 1.280 dengan 191 rujukan (dengan rasio rujukan 0,14%) dan bulan Desember tahun 2015 dengan kunjungan sebanyak 1.150 dengan 194 rujukan (dengan rasio rujukan 17%).

Menurut hasil penelitian Kesumawatin (2012), membandingkan tingkat persentase tingginya rujukan antara Puskesmas Nanggeleng dan Puskesmas Gedong Panjang. Mencari tahu penyebab kenapa Puskesmas Nanggeleng memiliki rasio rujukan diatas 15% sedangkan Puskesmas Gedong Panjang dibawah 15%. Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan tingginya rujukan dilihat dari aspek ketersediaan dokter, aspek kebijakan, obat-obatan dan pemahaman dokter terhadap puskesmas sebagai gatekeeper mempengaruhi rujukan.

Selain itu, menurut hasil penelitian Zuhrawardi (2007), bahwa para dokter telah mengerti dengan baik tentang sistem kapitasi dan penyebab tingginya rujukan pada puskesmas, para dokter pada prinsipnya tidak dapat menolak jika pasien bersikeras memnita rujukan rawat jalan walaupun tidak didukung oleh indikasi medis. Alasan pasien meminta rujukan pada umumnya adalah karena obat-obatan yang diberikan oleh pihak puskesmas tidak bervariasi walaupun mereka menderita penyakit berbeda-beda.

Dokumen terkait