• Tidak ada hasil yang ditemukan

K.H. Ahmad Dahlan Politik dan Nasionalisme

BAB II BIOGRAFI K.H. AHMAD DAHLAN

G. K.H. Ahmad Dahlan Politik dan Nasionalisme

BAB III: TEORI PENDIDIKAN KARAKTER

A. Pengertian karakter

B. Pengertian pendidikan karakter C. Tujuan pendidikan karakter D. Dasar hukum pendidikan karakter E. Nilai-nilai pendidikan karakter

BAB IV: PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas konsep pendidikan karakter perspektif K.H. Ahmad Dahlan dan Relevansi Nilai Pendidikan Karakter Kemendiknas dengan Pendidikan Karakter Perspektif K.H. Ahmad Dahlan. Dalam konsep pendidikan karakter K.H. Ahmad Dahlan berupaya menanamkan karakter kepada peserta didiknya.Diantaranya melalui pendidikan akhlaq, salah satu usaha supaya dapat menumbuhkan karakter yang baik yang sesuai Al-Qur’an dan As -sunnah.Selanjutnya pendidikan individu, pendidikan yang menggabungkan antara akal dan pikiran, kenyakinan dan intelektual serta kebahagiaan dunia dan akherat.Dan yang terakhir yakni pendidikan kemasyarakatan, yaitu pendidikan yang menggabungkan antara pendidikan individu dengan pendidikan bermasyarakat.

Relevansi Pendidikan Karakter K.H. Ahmad Dahlan Dengan Unsur-Unsur Pendidikan Karakter Kemendiknas Diantaranya yaitu, nilai karakter religius, jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat

kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli sosial, dan tanggungjawab. Adapun pendidikan Karakter K.H. Ahmad Dahlan dapat mendukung pendidikan karakter Kemendiknas sehingga mampu menciptakan pendidikan karakter yang efektif.

BAB V: PENUTUP

BAB II

BIOGRAFI AHMAD DAHLAN

A. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1986 M atau 1285 H dengan nama Muhammad Darwis. K.H. Ahmad Dahlan merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara dari seorang ayah bernama Kyai Haji Sulaiman yang menjabat khatib masjid besar Mataram Yogyakarta (Sucipto, 2010: 49) .Ibunya bernama Siti Aminah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu di kalsutanan Yogyakarta.

Menurut silsilah garis keturunan, Muhammad Darwis termasuk keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Jika dirunut silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, Maulana Ainun Jakin, Maulana Fadhulloh (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman (Ki Ageng Gribig), Demang Djurang Djuru Sepisan, Demang Djurang Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadlo, KH Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar dan Muhammad Darwis (K.H. Ahmad Dahlan) Depot Pengajaran Muhammadiyah (1968:5). Beliau tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan nuansa religius yang tinggi, yaitu masyarakat kauman. Kyai Haji Abu Bakar memberi nama puteranya itu Muhammad Darwis. Putera yang dilahirkan termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim. Ibu Muhammad Darwis yang terkenal

dengan sebutan Nyai Abu Bakar, merupakan putri kyai Haji Ibrahim bin kyai Haji Hasan dengan nama Siti Aminah. Kyai Haji Ibrahim sendiri menjabat penghulu keratin sehingga dengan demikian jelas bahwa Muhammad Darwis dari segi ayah dan ibu dilahirkan dan hidup dalam keluarga muslim yang taat.

Kampung Kauman terletak di jantung kota Yogyakarta, tepatnya disebelah barat alun-alun utara keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada awal mulanya kampung Kauman dihuni oleh para ulama yang bertugas memakmurkan masjid Gede Keraton Yogyakarta sebagai khatib, imam, mu’adzin, serta kyai penghulu atau Qadli keraton dengan staff dan pegawainya (Utomo, 2011: 66). Jumlah khatib ada dua belas orang dan seorang diantaranya adalah kiai Haji Abu Bakar dengan gelar Khatib Amin.Setelah Kyai Haji Abu Bakar wafat maka jabatan khatib beralih kepada puteranya, K.H. Ahmad Dahlan.Para kyai dan ulama’ penduduk Kauman itu kemudian saling berbesanan dan anak serta cucu-cucu mereka itulah yang akhirnya merupakan penghuni kampung Kauman.

Sewaktu kecil, Muhammad Darwis bergaul akrab dengan kawan-kawan tetangganya.Beliau dikenal sebagai anak yang rajin, jujur, dan suka menolong, serta mempunyai kelebihan yaitu pandai membuat kerajinan tangan dan membuat barang-barang permainan.Oleh sebab itu tidak mengherankan bila Muhammad Darwis disayangi oleh teman-teman sepermainan dan sekampungnya (Kemuhammadiyahan, 2010: 26).

Di usia remaja ia juga sudah menunjukkan sikap dan berbagai keunggulan dibanding teman-teman sebayanya. Terutama dalam kecermatan dan kehati-hatiannya dalam menghadapi persoalan, saat mengambil keputusan dan bertindak.Kemampuan akal pikirannya dikembangkan secara maksimal, sehingga kecerdasan kedinamisan serta kreatifitas Dahlan kecil sudah Nampak.

Pada usianya yang masih belia umur 15 tahun, beliau memutuskan untuk pergi haji dan tinggal di Mekkah.Keberangkatannya itu tidak lepas dari peran kakak iparnya bernama Kyai Haji Soleh, seorang kyai yang juga saudagar kaya.Di mana beliaulah yang membiayai segala keperluan Dahlan, agar bisa berangkat ke tanah suci. Di sanalah awal mula terjadinya pergolakan K.H. Ahmad Dahlan dengan pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afgani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah (Winda, 2009: 15). Pada tahun 1888 beliau kembali ke Indonesia dan mengganti nama menjadi Ahmad Dahlan yang diambil dari nama seorang mufti yang terkena l dari Mazhab Syafi’I di Makkah yaitu Ahmad bin Zainal Dahlan. Beliau pun membantu ayahnya mengajar pengajian anak-anak. Keadaan ini telah menyebabkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di Masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kyai”. Sebagai seorang kyai, ia dikategorikan sebagai ulama atau intelektual. Namun tidak berselang lama, tepatnya pada tahun 1903 ia kembali lagi ke Makkah dan menetap disana selama 2 tahun (Winda, 2009: 15). Pada masa ini, ia sempat

berguru pada Syekh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari.

Sepulang dari Makkah pada tahun 1889 M, saat itu berusia 24 tahun, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri. Anak Kyai penghulu Haji Fadhil yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang pendiri Aisyiyah (Sucipto, 2010: 52). Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapatkan enam orang anak yaitu: Johannah (lahir 1890), Siraj Dahlan (lahir 1898), Siraj Busyro (lahir 1903), Irfan Dahlan dan Siti Aisyah (lahir kembar, tahun 1905) dan Siti Zuharoh (lahir 1908) (Sucipto, 2010: 52).

Pada tahun 1869 M ayah dari K.H. Ahmad Dahlan (KH.Abu Bakar) meninggal dunia. Jenazah KH. Abu Bakar mendapat penghormatan yang besar dari masyarakat dan para bangsawan keraton Yogyakarta.Setelah dishalatkan di Masjid Gede Kauman, jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Nitikan, satu makam dengan ayahnya, KH. Sulaiman (Wibowo 2011: 91). Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di Keraton Yogyakarta, sebagai anak laki-laki yang paling besar, Ahmad Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin menggantikan ayahnya.

Semasa hidupnya, K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang khatib atau

lebih dikenal dengan sebutan “ketib”(juru khutbah) di masjid kesultanan

Yogyakarta menggantikan ayahnya. Masa itu Masjid Kasultanan Yogyakarta mempunyai 12 orang ketib (khatib, pemberi khutbah jum’at) masjid besar Yogyakarta, seorang diantaranya adalah K.H. Ahmad Dahlan

yang terkenal dengan sebutan “ketib amin”. Sebagai seorang khatib, setiap bulannya beliau mendapatkan gaji sebesar 7 (tujuh) golden (rupiah jaman Belanda) (Anshory, 2010: 49).Di samping sebagai khatib beliau juga menerima pekerjaan membuat batik, juga berdagang batik, bahkan beliau berdagang sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat.

Bertepatan pada hari jum’at malam sabtu, tanggal 7 Rajab tahun 1334 H, bertepatan pada tanggal 23 Februari 1923 M di Yogyakarta menjelang tengah malam, Allah Swt. Memanggil hamba yang tidak pernah lelah mengabdi kepada-Nya itu. K.H. Ahmad Dahlan menghembuskan nafas yang terakhir dikamar tidurnya. (Wibowo, 2011: 183). K.H. Ahmad Dahlan wafat pada usia 54 tahun. Tanggal 27 Desember 1961 Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK Presiden RI NO.657/1961 mengangkat K.H. Ahmad Dahlan sebagai pahlawan kebangkitan Nasional (Winda, 2009: 15).

B. Latar Belakang Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan 1. Pendidikan Masa Kecil K.H. Ahmad Dahlan

Semasa kecil Ahmad Dahlan tidak pergi kesekolah.Hal ini karena sikap orang-orang Islam pada waktu itu melarang anak-anaaknya memasuki sekolah Gubernemen.sebagai gantinya Ahmad Dahlan memulai pendidikannya pada masa kanak-kanak dibimbing langsung oleh kedua orang tuanya yaitu ayahnya yang bernama K.H Abu Bakar dan ibunya Siti Aminah. Ayahnya ini dikenal sebagai seorang khatib dimasjid besar

keraton jogjakartaa. Pendidikan Ahmad Dahlan ini waktu dia memasuki usia sekolah Ahmad Dahlan tidak disekolahkan di sekolahan formal,

melainkan diasuh dan dididik mengaji Al Qur’ann dan dasar-dasar ilmu

agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah. Model pembelajaran yang diperoleh dari Ahmad Dahlaan adalah homeschooling. (Tengku-Zubaidah, 2014: 187).

Pada usia delapan tahun ia telah lancer membaca Al Qur’an hingga khatam. Tidak hanya itu dia mempunyai keahlian membuat barang-barang-barang kerajinan dan mainan seperti halnya anak laki-laki pada umumnya. Seiring dengan usia yang semakin bertambah, ia pun mulai belajar ilmu Agama Islam tingkat lanjut. Tidak hanya sekedar membaca

Al-Qur’an saja melainkan ilmu-ilmu umum. Guru-gurunya antara lain K.H

Abu Bakar (ayahnya), kemudian ia belajar ilmu fiqih kepada kepada K.H Muhammad Shaleh, dan nahwu kepada K.H Muhsin (keduannya masih iparnyaa sendiri) ia juga berguru dengan K.H Muhammad Nur dan K.H Abdul Hamid. Pengetahuan dalam ilmu falaq diperoleh dari gurunya yang lain yaitu K.H Raden Dahlan (putra kyai termas), ilmu hadits ia berguru

pada Syekh Khayyat, Qiroatul Qur’an Syekh Amin dan Sayyid Bakri

Satock, ilmu pengobatan dan racun ia peroleh dari gurunya Syekh hasan, ilmu hadits ia peroleh dari gurunya Sayyid Babusijjil, dan Mukti Syafi’I.

2. Pendidikan Ahmad Dahlan Masa Remaja.

Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Daahlan berangkat ke Makkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim disana selama setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim kedua kalinya, ia banyak bertemu dan melakukan diskusi dengan sejumlah ulama di Indonesia yang bermukim di Makkah. Diataranya ulama-ulama tersebut adalah Syekh Muhammad Khati Al Minangkabawi dari minangkabau, Kyai Nawawi Al Bahteni dari Banten, Kiyai Mas Abdullah, dan kiyi Fiqih Kumambang dari gresik (Sucipto, 2010: 61).

Semangat Ahmad dahlan dalam menempuh jalanya untuk berdakwah dan menuntut ilmu tidak berhenti, hal ini ditunjukan semangatnya dalam mencari ilmu dengan berguru kepada para ulama di Arab Saudi saat perjalanannya menunaikan ibadah haji. Beliau pernah belajar ilmu hadits kepada kyai mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu Qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakhri Syatha dan ia juga pernah berguru pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun Binatang. Tidak hanya samapai disitu saja, Ahmad Dahlan ini belajar pengetahuan agama Islam diperoleh melalui beberapa sumber seperti buku-buku, sejumlah referensi dari tokoh dan pemikir pembaharu Islam dari Timur Tengah.

Referensi pemikir tokoh seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Jamaludin Al Afghani, Muhammad bin Abduh Wahab, Muhammad Raasyid Ridha, dan lainnya, berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan Ahmad Dahlan sebagian besar adalah buku yang yang dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan. Diantara buku-buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain: “Tauhid“ dan “Tafsir Jus’Ama”, “Al Islam wa-al Nasrani”, “Kanz al-Ulum“ dan “Dairah Al Ma’arif“ (Farid Wajdi), “Fi Al-Bid ’ah“ dan “Al Tawassul wa-al Wasillah“ (Ibnu Taimiyah), “Izar al-Haq“ (Rahmah al Hindi), “Tafshil al- Nasyatain Tashil

al Sa’adatsin”, “Matan al- Hikmah”(Atha Allah) dan “Al-Qashaid

al-Athasiyyah” (Abdul al Athtas).

Buku-buku lainya yang dipelajari oleh beliau secara otodidak antara lain karya-karya: Imam Syafi’i, Imam Al-Ghozali, Ibnu Taimiyyah, Muhammad Abdduh dan Rayid Ridha. Dengan latar belakang pendidikan Islam yang dimilikinya membuatnya dikenal dengan keahlian dalam membaca dan memahami literature Arab.Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Ahmad Dahlan tentang Univeralitas Islam.Ide-ide tentang reinterprestasi Islam dengan gagasan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus. (Sucipto, 2010: 59).

3. Pendidikan Ahmad Dahlan Masa Dewasa

Ketika Ahmad Dahlan berusia 40 tahun 1909, K.H Ahmad Dahlan membuat trobosan strategi.Beliau berabung dengan Budi Utomo dan Jami’at kahair. Secara personal Ahmad Dahlan mengenal Budi Utomo melalui pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di Yogyakarta sekaligus pembantu di bidang kedokteran, Dr. Wahidin Sudirohusodo salah seorang pemimpin Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta. Ia mempuyai banyak keluarga di kauman. Suatu hari ketika ia bersilaturahim di kauman Dahlan mengajak untuk singgah kerumah. Dari pertemuan itulah ia mulai mengenal Budi Utomo. Kemudian keinginannya bertemu dengan pengurus Budi Utomo disampaikan kepadanya (Suharto, 2006: 295).

Melalui Joyosumarto ia berkenalan dengan dr.Wahidin Sudirohusodo secara pribadi. Ia pun sering hadir dalam rapat anggota maupun pengurus yang diselenggarakan Budi Utomo. Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan tujuan Budi Utomo melalui pembicaraan langsung dan pribadi secara resmi Ahmad Dahlan sebagai anggota Budi Utomo pada tahun 1909.Keterlibatannya di Budi Utomo memberikan pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan perihal keorganisasian dan mengatur organisasi secara modern (Nizar, 2002:109).

Dalam perkembangan selanjutnya Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota biasa, melainkan pengurus kring kauman dan salah satu komisariat Budi Utomo cabang Yogyakarta. Melalui perkumpulan ini

Ahmad Dahlan bias menyampaikan pelajaran Agama pada anggotanya. Lebih dari pada itu, oleh karena anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah, di kantor-kantor pemerintahan.Pada akhirnya membuat Ahmad Dahlan dapat mengajar ilmu-ilmu Agama di sekolah-sekolah. Terbukti dengan apa yng diajarkan kepada anggota-aanggota Budi Utomo di terima degan baik. Beliau juga diterima sebagai tenaga pengajar di Kweekschool Jetis akan tetapi megajarnya diluar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada hari sabtu sore (Nata, 1997: 205).

Selanjutnya pada tanggal 1 Desember tahun 1911, Ahmad Dahlan berhasil mendirikan sebuah sekolah agama di lingkungan kraton, dengan system pendidikan Gubernemen yang memberikan pelajaran umum.Di sekolah ini, Dahlan menerapkan segala gagasan fikirannya mengenai pendidikan.Dengan menggunakan metode pendidikan barat memakai kursi, meja dalam bentuk klasikal, sekolah ini sebagai cikal baakaal tumbuhnya gagasan pendirian Muhammadiyah.Raden Sosrosoegondo dan Mas Radji juga menyarankan Ahmad Dahlan mendirikan sekolah sendiri secara terpisah.Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi atau kumpulan yang bersifat permanen.

Dalam musyawarah dengan kepala Kweekschool, Budiharjo dan sekertaris Budi Utomo Dwidjosewodjo memberikan beberapa saran kepada Ahmad Dahlan.Budi Utomo siap membantu mendirikan organisasi baru. Apabila Ahmad Dahlan didukung tujuh angggota Budi Utomo, setelah melalui diskusi pada akhirnya tujuh anggota Budi Utomo

menyutujui di bentuknya organisasi baru diantaranya, Ahmad Dahlan, Raden Haji Syarkawi, Haji Mohammad soedja, haji Moehammad Hisja, Haji Moehammad Fachruddin, dan Haji Moehammad Tamim. Dengan kesepakatan itu tanggal 18 oktober 1912 berdirilah organisasi Muhammadiyah. Sejak awal Ahmad Dahlan sudah menetapkan organisasi muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat soosial dan bergerak dibidang pendidikan. Tujuan organisasi ini untuk menyebarkan pengajaran Rasulullah kepada peduduk bumi putera dan memajukan hal agama Islam kepada para anggota-anggotanya (Suharto, 2006: 297).

Tepat pada tangal 20 desember 1912 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah hindia belanda untuk mendapatkan badan hokum.Permohonan itu baru dikabulkan pada 1914 dengan Surat ketetapan No.81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta, meskipun begitu Muhammadiyah berhasil tersebar keberbagai daerah, diantaranya Sradakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain.

Berdirinya organisasi Muhammadiyah ini padaa awalnya hanya ada delapan pengurus diantaraanya Ahmad Daahlan sebagai ketua, sekretaris: Abdullah Sirrat, Angggota: Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis dan Muhammad Fakih. Agar dapat mengatasi permasalahan yang timbul karena dipersempitnya ruang gerak organisasi ini maka diambil jalan keluar dengan membuka cabang baru dilur

Yogyakarta. Dan pada akhirnya dengan jalan keluar yang dipilih tersebut organisasi ini dapat berkembang ke berbagai daeraah diantaraanya Nurul Islah di pekalongan, Al Munir di Ujung Padaang, dan Sidiq Amanaah Tabligh Fatonah (SATF) di Solo.

Semakin berkembangnya organisasi ini pada akhirnya semakin banyak jemaahnya dan tidak hanya itu pergerakannya semakin digencarkan dalam bidang dakwah yakni dengan mengadakan pegajian dan perkumpulan yang membahas kepentingan Islam, perkumpulan-perkumpulan yang membahas kepentingan Islam mendapat dukungan penuh dari Muhammadiyah. Perkumpulan-perkumpulan yang mendapat dukungan Muhammaddiyah diantaranya Ihwanul Muslimin, Taqwimmudin, Cahaya Muda, Hambudi Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-aba, Ta’awanu alal

birri, Ta’aruf bima kanu wal-Fajri, Wal- Ashri, Jamiatul Muslimin dan

Syahrotul Mubtadi.

Semakin lama Muhammadiyah yang dipimpin Ahmad Daahlan semakin berkembang di seluruh pelosok negeri Indonesia. Maka pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan surat permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Hingga pada akhirnya permohonan ini disetujui tepatnya pada tanggal 2 September 1921.

Selain itu Ahmad Dahlan pada tahun 1910, juga aktif di Jami’at Khair sebagaii Anggota, ia menjadi anggota ke 7770 perkumpulan

masyarakat Arab Indonesia bersama Husein Jayadiningrat. Dalam Organisasi ini memuat tentang sekolah agama, Bahasa Arab serta bergerak dibidang sosial, juga sangat giat membangun jaringan dengan pemimpin-pemimpin di Negara-negara Islam yang maju.

Selain di muhammadiyah, Budi Utomo, Jami’at Khair, Ahmad Dahlan juga aktif di Serekat Islam (SI) sejak tahun 1913. Bahkan ia menjadi komisaris sentral SI dan adviser (penasehat pusat) SI sekaligus sebagai ahli propaganda dari aspek dakwwah bagi SI. Ia termasuk rombongan yang mewakili pengurusan pengesahan Badan Hukum Serekat Islam (BHSI) bersama Cokroaminoto (Sucipto, 2010: 76).

C. Peran K.H. Ahmad Dahlan 1. Peran Dalam Bidang Sosial

Ahmad Dahlan lahir dari keluarga yang terpandang. Beliau putra dari seorang ulama dan khatib terkemuka di masjid kesultanan Yogyakarta. Menurut silsilah garis keturunan Ahmad Dahlan termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim salah seorang yang terkemuka diantara Wali Songo. Ia lahir dan tumbuh kembang dalam lingkungan yang penuh dengan nuansa religius yang tinggi yaitu masyarakat Kauman. Dari segi sikap tingkah laku yang dimiliki Ahmad Dahlan ini sangat baik, dia sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, dan juga welas asih terhadap masyarakat-masyarakat yang kurang mampu. Dalam kehidupannya dia sebagai tenaga pengajar agama Islam yang baik memberikan contoh, suri tauladan bagi murid-muridnya.

Ia pada masa kecilnya senang bergaul dengan anak-anak di kampung tempat ia tinggal. Seorang yang dekat dengan rakyat, karena pada masa kecilnya sampai sekarang saling menghormati. Beliau juga adalah seorang yang lebih pragmitikus yang sering menekan semboyan kepada murid-muridnya, sedikit bicara banyak kerja.

Untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya Ahmad Dahlan berdagang kain. Oleh karena itu ia sering berpergian dan mengadaakan perdagangaan dengan pedagang lainnya, termasuk dengan sejumlah pedagang Arab. Selain kegiatan berdagangnya kegiatan sosial lainnya yang ia lakukan adalah memberikan pengajian kepada beberapa kelompok orang, terutama pada sekelompok murid-murid pendidikan pribumi di Yogyakarta (Mulkhan, 2010: 86).

2. Peran Dalam Bidang Keagamaan.

Masalah yang selalu muncul dalam pengajian adalah tentang kajian Islam dan kehidupan tepatnya menetapkan posisi diri dengan takdir Tuhan.Yakni suatu kehidupan sejarah yang masih ada unsur keterlibatan antara takdir dan peran aktif manusia itu sendiri, masalah ini tak pernah terpecahkan secara tuntas. Sepanjang sejarah para ulama dan pemimpin Islam sering berselisih paham tentang bagaimana realitas kehidupan sosial pemeluk Islam yang cenderung plural dan beragam dipahami dengan alat. Mereka cenderung sulit dalam menerima fakta sosial yang menunjukkan adanya keberagamaan Islam dalam hal pendidikaan, berpartai, berpraktik

ibadah, organisasi, dan pemahaaman sumber-sumber ajaran Islam (Mulkhan, 2010: 87).

Jadi hampir dari seluruh pikirannya berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam. Waktu itu yang tengggelam dalam kejumudan (stagnasi) kebodohan serta keterbelakangan. Kondisi ini diperparah degan politik kolonial Belanda yang sangat merugikan masyarakat Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide-ide pembaharuan dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi yaitu: pertama, berupa memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari Khurafat, tahayul dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam aqidah dan ajaran Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaringan pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio (Nizar, 2002: 103).

Pergaulannya pun sangat luas meliputi hampir semua golongan keagamaan, kebudayaan, dan kelas sosial. Ahmad Dahlan berguru dan berteman dengan kyai-kyai terkemuka dari berbagai daerah, orang-orang dari kalangan elit, priyayi, dan ulama-ulama dari Timur Tengah dan Asia.Ia bergaul dengan kalangan elit seperti Budi Utomo, pimpinan Agama lain, pejabat hindia Belanda.

Pada masanya beliau perah memiliki gagasan-gagasannya selalu di tolak dan dianggap kafir. Namun hal itu ia terima selama apa yang dilakukaannnya tidak menyalahi syariat agama dan dapat membantu

masyarakat dalam pengentasan dari kemiskinan, pemberdayaaan umat dan pencerdasan rakyat (Sucipto, 2010: 11).

3. Peran dalam Dunia Pendidikan.

Di Indonesia akibat penjajahan dari Belanda pendidikan mengalami kemunduran. Mahmud Yunus menuliskan “pendeknya keadaan pendidikan Islam seluruh Indonesi sebelum tahun 1900 itu sama saja, yaitu kemunduran pendidikan Islam, sebagai akibat penjajah belanda (Yunus,

Dokumen terkait