• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pengaruh krisis global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2007, memiliki dampak kepada perekonomian tiap negara. Krisis yang dialami tidak sekedar krisis pangan dan krisis bahan bakar , tetapi juga merambah pada krisis keuangan. Indonesia sendiri mulai merasakan dampak dari krisis global tersebut pada akhir tahun 2008. Industri manufaktur merupakan salah satu sektor industri yang terkena dampak dari krisis global. Mulai dari jatuhnya IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) di BEI (Bursa Efek Indonesia) , penutupan aktivitas bursa, hingga turunnya omset produk-produk ekspor Indonesia. Allan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) menyebut krisis ini sebagai ‘one

-in-century’ financial crisis sedangkan International Monetary Fund (IMF) menyebut

krisis global yang terjadi sebagai ‘Largest financial shock since Great

Deppression’. Hal ini menandakan betapa buruk akibat dari krisis global yang

terjadi pada tahun 2007 – 2008 tersebut.

Industri manufaktur Indonesia merasakan dampak negatif yang signifikan dari krisis global . Tingkat inflasi yang tinggi akibat terbatasnya suplai pangan dan bahan bakar dunia, berdampak terhadap meningkatkannya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) tidak bersubsidi. Kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) tidak bersubsidi berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan-perusahaan manufaktur, termasuk perusahaan yang bergerak di sektor industri barang

konsumsi, baik itu yang menghasilkan produk makanan – minuman, rokok, produk-produk farmasi, kosmetik, maupun peralatan rumah tangga.

Era globalisasi memaksa industri manufaktur Indonesia untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul akibat terjadinya krisis global . Kegiatan ekonomi di era globalisasi ini ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat, persaingan yang ketat, perubahan selera dan gaya hidup masyarakat yang cepat. Situasi ini mengharuskan Indonesia untuk membangun segala infrastruktur yang ada dan membangun industrinya agar dapat bersaing dengan negara lain.

Kondisi ini menjadi pemacu bagi perusahaan-perusahaan untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan kegiatan usaha dan produksi rutinnya. Sebelum melaksanakan segala kegiatan operasi perusahaan, perusahaan terlebih dahulu menyusun rencana-rencana kegiatannya agar operasi perusahaan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diinginkan perusahaan, yaitu laba.

Setiap perusahaan termasuk perusahaan industri membutuhkan modal kerja dalam menjalankan kegiatan operasi perusahaan. Modal kerja memiliki pengaruh terhadap risiko yang berkaitan dengan likuiditas perusahaan. Menurut J. Fred Weston dan Thomas E. Copeland (1991:372) , Modal kerja adalah selisih antara aktiva lancar dengan hutang lancar. Dengan demikian modal kerja merupakan investasi dalam kas, surat-surat berharga, piutang dan persediaan dikurangi hutang lancar yang digunakan untuk melindungi aktiva lancar.

Modal kerja dibutuhkan untuk melindungi aktiva lancar dan menutupi hutang lancar. Karena itu penting bagi perusahaan untuk menetapkan modal kerja dengan

baik demi berjalannya kegiatan operasional perusahaan. Modal kerja yang berlebih mengakibatkan menurunnya kemampuan laba diakibatkan lambatnya perputaran dana perusahaan., dan menimbulkan kesan bahwa manajemen tidak mampu mempergunakan modal kerja secara efisien. Sebaliknya bila perusahaan kekurangan dana aktifitas perusahaan akan terhambat, sehingga penanaman modal kerja yang tidak tepat akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Jumlah modal kerja setiap perusahaan berbeda-beda, berbeda hasil produksinya, besar perusahaan dan jenis perusahaan, berbeda pula jumlah modal kerja yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan operasional perusahaan tersebut. Berikut tabel modal kerja pada perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011 sebagai berikut :

Tabel 1.1

Modal Kerja pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011

No Nama Perusahaan 2011 (dalam Rp) 2010 (dalam Rp) 2009 (dalam Rp) 1. ADES 53.441.000.000 44.626.000.000 37.247.000.000 2. CEKA 252.131.146.280 258.907.086.653 300.147.570.205 3. DLTA 481.515.233.000 480.556.946.000 477.705.012.000 4. INDF 11.670.430.000.000 10.218.876.000.000 1.818.712.000.000 5. MYOR 2.249.506.988.591 1.644.520.114.450 986.193.571.112 6. ULTJ 316.485.899.116 477.884.135.854 429.047.919.795 7. GGRM 16.847.435.000.000 14.426.360.000.000 11.623.254.000.000 8. RMBA 458.124.000.000 1.831.843.000.000 1.596.946.000.000 9. DVLA 552.645.820.000 475.218.559.000 406.921.118.000 10. KAEF 803.335.412.989 669.726.174.501 510.030.363.904 11. KLBF 4.325.534.711.789 3.890.780.726.305 3.127.755.102.214 12. MERK 426.295.271.000 274.857.529.000 275.039.604.000 13. PYFA 37.522.409.819 31.428.306.526 23.820.976.220 14. MBTO 347.125.378.024 97.802.608.713 91.636.105.325 15. MRTA 274.410.500.008 252.570.867.742 240.468.534.794 16. TCID 614.665.973.780 553.623.447.758 485.459.642.042 17. KDSI 100.744.738.718 74.584.001.649 58.012.006.308 18. KICI 48.363.939.883 46.815.182.676 44.099.640.278 19. SKLT 43.200.702.579 44.115.616.781 41.403.990.691 20. SQBI 229.953.358.000 196.709.456.000 204.278.987.000

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa modal kerja adalah selisih antara aktiva lancar dengan hutang lancar. Di dalam modal kerja dapat kita lihat kemampuan aktiva lancar perusahaan untuk menutupi hutang lancar perusahaan.

PSAK 9 tentang Penyajian Aktiva Lancar dan Kewajiban Jangka Pendek, menklasifikasi aktiva lancar dan kewajiban jangka pendek (utang lancar) sebagai:

07 Aktiva lancar antara lain meliputi: (a) Kas dan bank.

(b) Surat-surat berharga yang mudah dijual dan tidak dimaksudkan untuk ditahan. (c) Deposito jangka pendek.

(d) Wesel tagih yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun. (e) Piutang.

(g) Persediaan.

(h) Pembayaran uang muka untuk pembelian aktiva lancar. (i) Pembayaran pajak di muka

(j) Biaya dibayar di muka.

09 Kewajiban Jangka Pendek meliputi antara lain: (a) Pinjaman bank dan pinjaman lainnya.

(b) Bagian kewajiban jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun sejak tanggal neraca.

(c) Hutang usaha dan biaya yang masih harus dibayar. (d) Uang muka penjualan.

(e) Hutang pembelian aktiva tetap, pinjaman bank dan rupa-rupa hutang lainnya yang harus diselesaikan dalam waktu satu tahun.

(f) Penyisihan kewajiban pajak (g) Hutang dividen.

(h) Pendapatan yang ditangguhkan dan uang muka dari pelanggan. (i) Kewajiban kontinjen

Perbedaan aktiva lancar perusahaan manufaktur dengan perusahaan jasa adalah dalam akun persediaan. Persediaan ini secara umum dibagi menjadi persediaan bahan baku, persediaan dalam proses, dan persediaan barang jadi. Persediaan berhubungan langsung terhadap penjualan perusahaan, terutama persediaan barang jadi, karena persediaan barang jadi inilah yang nantinya akan dijual kepada konsumen sehingga menghasilkan total penjualan dan berpengaruh terhadap seberapa besarnya laba yang akan dihasilkan perusahaan.

Persediaan selalu dalam keadaan berputar, mengalami perubahan secara terus-menerus. Pihak manajemen perusahaan harus secara hati-hati dalam mengatur dan merencanakan persediaan ini, persediaan yang berlebih mengakibatkan meningkatnya biaya yang dibutuhkan perusahaan dengan adanya biaya penyimpanan, pemeliharaan gudang, risiko kerusakan, menurunnya kualitas persediaan , dan lain-lain. Kekurangan atau kehabisan persediaan mengakibatkan tidak optimalnya perusahaan beroperasi, perusahaan dapat mengalami kondisi yang disebut kapasitas menganggur. Situasi kapasitas menganggur dapat

menyebabkan harga produksi per unit menjadi meningkat dan hal ini akan berdampak pada menurunnya laba perusahaan.

Menurut Handoko (2000:335-336) tujuan persediaan barang jadi adalah untuk memenuhi permintaan yang bersifat tidak pasti dari pelanggan. Kepuasan pelanggan adalah hal penting bagi tiap perusahaan, sehingga kemampuan perusahaan untuk memenuhi ketidakpastian permintaan pelanggan jadi masalah yang solusinya dicari dengan penuh pertimbangan oleh manajemen perusahaan. Masalah penting lain dari persediaan yang menjadi fokus manajemen perusahaan adalah bagaimana perusahaan dapat memprediksi kebutuhan persediaan barang jadi dengan tepat, menyediakannya tepat waktu dan sesuai kebutuhan. Keterkaitan langsung persediaan barang jadi dengan pelanggan dan laba perusahaan inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk memfokuskan penelitian ini kepada pengaruh perputaran persediaan barang jadi terhadap modal kerja perusahaan.

Rasio perputaran persediaan barang jadi merupakan ukuran seberapa sering persediaan barang jadi dapat terjual dalam waktu satu periode. Rumus untuk menghitung perputaran persediaan :

Perputaran persediaan = Harga pokok penjualan Rata-rata Persediaan

Rata-rata Persediaan = Persediaan Awal + Persediaan Akhir 2

Berikut adalah tabel perputaran persediaan barang jadi pada perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009- 2011:

Tabel 1.2

Perputaran Persediaan Barang Jadi pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011

No Nama Perusahaan 2011 2010 2009 1. ADES 10,0246 56,0053 34,7725 2. CEKA 3,0905 3,1019 11,9771 3. DLTA 18,3882 27,2009 51,5376 4. INDF 14,2949 13,1556 14,9882 5. MYOR 68,3464 64,6953 53,8420 6. ULTJ 14,2086 11,2918 12,8797 7. GGRM 10,9934 12,6463 20,3374 8. RMBA 8,9087 13,1807 16,6758 9. DVLA 12,7724 11,3731 12,8409 10. KAEF 6,8511 6,5531 6,0331 11. KLBF 6,0621 6,5181 6,3532 12. MERK 21,2540 16,8502 22,9937 13. PYFA 4,6654 8,1120 10,22 14. MBTO 17,2174 8,3537 7,8393 15. MRTA 5,4930 6,5099 6,3528 16. TCID 8,6913 8,5447 6,7936 17. KDSI 24,7665 29,038 27,7704 18. KICI 8,9306 6,2396 7,1804 19. SKLT 100,2086 85,6194 53,3161 20. SQBI 6,7987 6,8967 6,4739

Kasmir (2010:218) menyatakan tentang tingkat perputaran persediaan barang

jadi bahwa “makin kecil atau rendah tingkat perputaran, maka kebutuhan modal

kerja semakin tinggi demikian sebaliknya.” . Lain halnya dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nida (2008:95) yang tertuang dalam skripsi berjudul Pengaruh Tingkat Perputaran Persediaan Barang Jadi Terhadap Modal Kerja pada PT. INTI,

yang menyatakan bahwa “setiap kenaikan tingkat perputaran persediaan barang

jadi sebesar satu kali akan menyebabkan naiknya modal kerja sebesar

32.414,673”. Pendapat Kasmir bertolak belakang dengan hasil penelitian yang

melakukan penelitian terhadap pengaruh perputaran persediaan barang jadi terhadap modal kerja.

Penelitian Skripsi ini merupakan replikasi dari penelitian terdahulu. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis melakukan penelitian dengan judul

“Pengaruh Perputaran Persediaan Barang Jadi Terhadap Modal Kerja

Perusahaan-Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2011”

Dokumen terkait