• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Dalam dokumen PENGARUH PEMBERIAN PLATELET RICH FIBRIN (Halaman 7-0)

Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Fraktur terjadi ketika gaya yang diberikan pada tulang melebihi kekuatan tulang yang terlibat (Giangregorio dan El-Kotob, 2017). Secara global, Insidensi fraktur adalah 11,3 dalam 1.000 per tahun, dengan insidensi pada laki-laki sebesar 11.67 dalam 1.000 per tahun dan pada perempuan sebesar 10,65 dalam 1.000 per tahun (Bucholz et al., 2006). Data nasional yang diperoleh dari RISKESDAS (2013) menunjukan bahwa prevalensi cedera di Indonesia adalah 8.2% dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%). Proporsi jenis cedera dibagi menjadi 70.9%

lecet/memar, 27.5% terkilir, dan 5.8% merupakan patah tulang (Riskesdas, 2013).

Berbeda dengan jaringan lainnya, tulang dapat berenegerasi dan memperbaiki dirinya sendiri, dan sembuh tanpa formasi bekas luka (Nandi et al., 2010). Proses penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 tahap yakni: hematoma, inflamasi, soft callus, hard callus dan remodelling. Fase penyembuhan tulang tersebut berjalan secara simultan dan saling tumpang tindih, sehingga pada setiap bagian fraktur mungkin memiliki fase yang berbeda (Marsell dan Einhorn, 2011; Apley dan Solomon, 2017).

Beberapa alternatif metode penyembuhan tulang telah dikembangkan selama beberapa dekade terakhir. Salah satu biomaterial yang dipertimbangkan untuk

2 diberikan adalah platelet rich fibrin (PRF) (Bölükbaşi et al., 2013; Singh et al., 2012;

Einhorn dan Gerstenfeld, 2015).

PRF secara potensial dapat meningkatkan proses penyembuhan dengan penghantaran berbagai jenis faktor pertumbuhan dan sitokin dari α-granules yang terdapat dalam platelet (Zhang et al., 2013). Sitokin yang terdapat dalam platelet meliputi transforming growth factor-β (TGF-β), platelet-derived growth fator (PDGF), insulin-like growth factor (IGF-I, IGF-II), fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor, vascular endothelial growth factor (VEGF), serta endothelial cell growth factor. Sitokin tersebut memainkan peranan penting dalam proliferasi sel, kemotaksis, diferensiasi sel, serta angiogenesis (Bai et al., 2017).

Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Dülgeroglu et al. (2017) pada tulang panjang hewan uji menunjukkan bahwa PRF merupakan biomaterial yang efisien dalam meningkatkan penyembuhan patah tulang dan meningkatkan jumlah pembentukan jaringan tulang. PRF dinilai tidak menyebabkan reaksi alergi, hemat biaya, dan mudah diperoleh. Penelitian yang dilakukan oleh He et al. (2009) menunjukkan PRF dinilai lebih banyak mengekspresikan alkaline phosphatase (ALP) daripada platelet rich plasma (PRP).

Melalui penelitian ini penulis mencoba menganalisis secara histopatologi dan radiologi pemberian PRF pada kasus fraktur femur dengan hewan coba tikus yang difiksasi dengan intramedullary nail (IM Nail).

3 B. Rumusan Masalah

1.B.1 Apakah pemberian platelet rich fibrin dapat meningkatkan sekresi growth factor dan mempengaruhi proses terjadinya bone healing pada fraktur diafisis femur tikus (Rattus norvegicus) yang difiksasi dengan intramedullary nail?

C. Tujuan Penelitian

1.C.1 Membuktikan apakah pemberian platelet rich fibrin dapat meningkatkan terjadinya bone healing berdasarkan radiologis dan histopatologis.

D. Manfaat Penelitian 1.D.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang konsep platelet rich fibrin sebagai material tissue engineering dan peranannya dalam proses terjadinya bone healing pada fraktur.

1.D.2 Manfaat Praktis

Memberikan alternatif strategi yang lebih baik dalam tatalaksana fraktur.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai fraktur yang diberikan autologus PRF sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia.

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Fraktur

Fraktur adalah patahnya kontinuitas struktural dari tulang. Hal ini bisa tidak lebih dari sebuah retakan, pecahnya korteks, dan lebih sering patah tulang komplit. Jika kulit yang berada diatasnya tetap bertahan intak, maka fraktur tersebut akan disebut closed fracture; bila kulit atau bagian dari kavitas tubuh keluar, maka disebut dengan open fracture (disebut juga compound fracture) yang biasa bertanggung jawab akan infeksi dan kontaminasi seseorang (Apley dan Solomon, 2017).

Fraktur terbuka sendiri merupakan suatu kejadian yang diakibatkan oleh trauma. Fraktur terbuka ini paling sering terjadi akibat cedera berenergi tinggi, walau dapat terjadi juga akibat trauma kecepatan rendah ketika ujung tajam dari fragmen fraktur menembus kulit dan jaringan lunak. Fraktur terbuka berenergi tinggi seringkali dikaitkan dengan kondisi yang mengancam jiwa akibat poli-trauma dan dapat menimbulkan risiko lain seperti cedera neurovaskuler, hancurnya jaringan lunak, kontaminasi luka, dan kerusakan kulit yang membuatnya lebih rentan terhadap komplikasi (Simpson dan Tsang, 2018) .

Meskipun pada umumnya terdapat perbaikan hasil setelah fraktur terbuka, variabel hasil yang beragam diantara fraktur terbuka dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda mendorong pengembangan sistem grading yang mengklasifikasikan fraktur berdasarkan tingkat keparahan cedera jaringan lunak terkait. Sistem penilaian ini pada dasarnya berusaha untuk membantu memandu pengobatan, meningkatkan penelitian, dan memprediksi hasil yang ada (Kim dan Leopold, 2012). Klasifikasi seperti ini sudah digunakan untuk beberapa waktu, yaitu penggunakan sistem klasifikasi Gustilo-Anderson yang telah digunakan secara umum sebagai sistem klasifikasi fraktur terbuka. Klasifikasi Gustilo-Anderson dapat dilihat pada Tabel 1.

5 Tabel 1. Klasifikasi fraktur terbuka Gustilo-Anderson

B. Bone Healing

Menurut Apley dan Solomon (2017) ada lima tahap proses penyembuhan fraktur (Gambar 1):

1. Fase Hematom

Pembuluh darah rusak dan terbentuk hematom di sekitar area fraktur.

Tulang pada area fraktur site kekurangan suplai darah.

2. Fase Inflamasi dan Proliferasi Seluler

Delapan jam setelah fraktur terjadi, reaksi inflamasi dengan migrasi sel inflamasi, mendorong proliferasi dan diferensiasi dari MSC dari periosteum, kanalis medulla, dan otot di sekitarnya. Ujung fraktur dikelilingi oleh sel seluler, yang membentuk scaffold. Beragam mediator inflamasi terlibat, hematom perlahan diabsorbsi dan terbentuk pembuluh darah di area fraktur.

3. Fase Pembentukan Callus

Diferensiasi stem sel menjadi sel chondrogenic dan osteogenic dan membentuk lingkungan yang baik untuk membentuk tulang dan kartilago.

Populasi sel juga meliputi osteoclast yang berfungsi untuk debridement sel

Stadium Kriteria

Tipe I Fraktur terbuka dengan luka pada kulit panjang < 1 cm dan bersih

Tipe II Fraktur terbuka dengan laserasi panjang > 1 cm tanpa kerusakan ekstensif jaringan lunak, flaps, atau avulsions

Tipe III Fraktur terbuka segmental dengan luka panjang > 10 cm dengan kerusakan jaringan lunak atau amputasi traumatic

IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas

IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal stripping atau terjadi bone expose

IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat kerusakan jaringan lunak.

6 mati. Terbentuk masa sel yang besar yang tersusun atas sel immature dan kartilago, membentuk callus atau jembatan di permukaan periosteal dan endosteal. Tulang imatur menjadi lebih padat, pergerakan di area fraktur site berkurang sekitar 4 minggu setelah terjadinya fraktur.

4. Fase Konsolidasi

Aktivitas osteoklast dan osteoblast terus berjalan, woven bone berubah menjadi lamellar bone. Osteoklast bergerak masuk ke arah fraktur line dan melakukan debridement sel-sel mati, sementara osteoblast mengisi celah di antara fragment. Proses berjalan lambat dalam hitungan hari sebelum tulang kuat untuk menahan beban tubuh.

5. Fase Remodelling

Fraktur telah tersambung oleh tulang yang solid. Setelah beberapa bulan hingga tahun. Proses absorbs dan formasi terbentuk terus menerus. Tulang lamelar tebal terbentuk di area dengan tingkat benturan yang tinggi. Tulang baru membentuk cavitas medulla, pada anak-anak dapat tumbuh sesuai dengan bentuk aslinya.

7 Gambar 1. Lima tahap penyembuhan patah tulang: (a) Hematoma:

kerusakan jaringan dan pendarahan di tempat patah tulang; (b) Peradangan: sel radang (sitokin) muncul di hematoma; ujung tulang mati kembali selama beberapa milimeter. (c) Pembentukan kalus lunak: populasi sel berubah menjadi osteoblas; seiring waktu, kalus mengapur dan anyaman tulang muncul di kalus yang patah. (d) Pembentukan kalus keras: fraktur menyatu dengan kuat.

(e) Remodelling: tulang yang baru terbentuk diremodelling agar menyerupai struktur normal (Apley dan Solomon, 2017).

2.B.1 Aspek Molekular Fracture Healing

Proses biologis fracture healing merupakan sebuah proses yang complex yang dengan pola regenerasi spesifik dan melibatkan perubahan ribuan expresi gen. setelah terjadinya trauma, proses terjadinya penyembuhan dapat melalui dua mekanisme yaitu, direct healing dan indirect healing (Marsell dan Einhorn, 2011; Apley dan Solomon, 1995).

1. Indirect Healing

Penyembuhan tulang melalui mekanisme indirect healing merupakan yang paling umum terjadi, dengan melibatkan proses osifikasi intramembran dan endochondral. Mekanisme ini tidak membutuhkan anatomical reduction atau rigid stable fixation.

8 Indirect healing akan terjadi oleh karena adanya micromovement dan weight bearing. Namun pergerakan dan beban yang berlebihan akan dapat menyebabkan terjadinya delayed healing atau bahkan non-union. Indirect healing terjadi pada fraktur yang ditatalaksana dengan metode non operative, ataupun operative treatment yang masih memungkinkan terdapatnya pergerakan pada area fraktur site contohnya intramedullary nail, eksternal fiksasi, atau internal fiksasi dengan fraktur kominutif.

Proses penyembuhan tulang terjadi dalam lima fase seperti yang telah disebutkan di atas. Seluruh tahapan tersebut berjalan simultan dan saling tumpang tindih, sehingga pada setiap bagian fraktur, mungkin saja sedang terjadi tahap penyembuhan yang berbeda-beda.

a) Fase Inflamasi Akut

Hematoma terbentuk segera setelah terjadinya trauma. Hematoma tersusun dari sel darah perifer, intramedullary, serta sel sumsum tulang.

Respon pro-inflamasi akut ini sangat penting untuk memulai penyembuhan patah tulang. Setelah fraktur, arsitektur tulang dan suplai vaskular terganggu.

Hal ini mengakibatkan hilangnya stabilitas mekanik, penurunan oksigenasi jaringan dan suplai nutrisi, dan pelepasan faktor bioaktif di lokasi cedera. Sel inflamasi bersama dengan sitokin dan matriks ekstraseluler yang dihasilkan berperan penting dalam memfasilitasi penyembuhan fraktur (Marsell dan Einhorn, 2011).

9 Makrofag berperan penting dalam proses inflamasi akut ini. Makrofag penghuni jaringan, yang disebut ostealmac, menghasilkan sitokin yang mempengaruhi penyembuhan secara positif dan negatif. Perubahan fenotipe makrofag dapat menjelaskan peran ganda dari makrofag dalam penyembuhan patah tulang. Dalam beberapa hari pertama pasca cedera, makrofag pro-inflamasi diproduksi oleh "aktivasi klasik" yang ditandai dengan respons imun bawaan terhadap patogen bakteri dan cedera jaringan melalui toll-like receptor (TLR). Classically activated macrophages (CAMs) dipersiapkan oleh paparan interferon-gamma (IFN-gamma). Setelah itu, molekul patogen yang terikat pada reseptor keluarga-TLR pada CAMs akan meningkatkan sitokin pro-inflamatori seperti TNF-alfa, IL1, dan IL 6 melalui jalur NFkB (Lu et al., 2017).

Makrofag bersama dengan neutrophil juga berperan dalam debridisasi jaringan yang cedera dan rusak. Makrofag tidak lagi diaktifkan secara klasik setelah melakukan debridement, mereka berubah dalam suatu kondisi anti inflamasi. Anti-inflammatory macrophages, juga dikenal sebagai makrofag yang diaktifkan secara alternatif (AAM), dihasilkan melalui pensinyalan IL4 dan IL13. Berbeda dengan CAM, polarisasi alternatif dari makrofag menghasilkan aktivitas seluler yang mendorong deposisi kolagen dan kembali ke homeostasis jaringan. Produksi TGF-beta, IL10 dan arginase, serta protein anti-inflamasi yang disekresikan lainnya, dikaitkan dengan perbaikan jaringan

10 setelah serangan infeksi dan traumatis (Daley et al., 2010; Gordon dan Martinez, 2010).

Respon pro inflamasi awal meliputi sekresi tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-11 dan IL-18. Faktor inflamasi tersebut merekrut sel inflamasi dan mendorong terjadinya angiogenesis. Konsentrasi TNF-α telah terbukti mencapai puncaknya pada 24 jam pertama dan kembali ke baseline dalam 72 jam pasca trauma. TNF-α diekspresikan oleh makrofag dan sel-sel inflamasi lainnya. TNF-α berperan dalam menginduksi sinyal inflamasi sekunder, dan bertindak sebagai agen kemotaktik untuk merekrut sel lain yang diperlukan. TNF-α telah terbukti secara in vitro menginduksi diferensiasi osteogenik MSCs (Cho et al., 2006). Efek ini dimediasi oleh aktivasi dua reseptor TNFR1 dan TNFR2 yang dinyatakan pada osteoblas dan osteoklas. TNFR1 selalu dieksperiskan dalam tulang sedangkan TNFR2 hanya diekspresikan ketika terjadi cedera, menunjukkan peran yang lebih spesifik dalam regenerasi tulang (Balga et al., 2006; Kon et al., 2001).

IL-1 dan IL-6 merupakan jenis interleukin yang diyakini paling berperan penting dalam proses fracture healing. Ekspresi IL-1 tumpang tindih dengan TNF-α dengan mode biphasic. Keduanya diproduksi oleh makrofag pada fase inflamasi akut dan menginduksi produksi IL-6 pada osteoblas, mendorong terbentuknya kartilaginous primer callus, dan juga mendorong terjadinya angiogenesis di lokasi fraktur dengan mengaktifkan salah satu dari dua reseptornya, IL-1RI atau IL-1RII (Marsell dan Einhorn, 2011).

11 IL-1 juga mengatur ekspresi siklooksigenase (Cox1 dan Cox2), yang merupakan enzim yang mensintesis prostaglandin di jaringan yang cedera. Obat antiinflamasi non steroid, yang menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan keterlambatan penyembuhan patah tulang.

Penundaan ini telah dikaitkan dengan penghambatan aktivitas Cox2 selama penyembuhan patah tulang (Bahney et al., 2019). Sementara IL-6 hanya diproduksi selama fase akut dan merangsang angiogenesis, produksi faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), dan diferensiasi osteoblas dan osteoklas (Marsell dan Einhorn, 2011).

b) Fase Fibrovaskular

Setelah inflamasi, fase perbaikan angio-mesenchymal dimulai. Fase ini telah disebut sebagai "fase fibrovaskular" dan didefinisikan oleh remodeling vaskular (angiogenesis dan neovaskularisasi) dan perekrutan mesenchymal progenitor cells, kadang-kadang disebut sebagai mesenchymal stem cells (MSCs), yang pada akhirnya akan berdiferensiasi menjadi kondrosit dan osteoblas untuk meregenerasi tulang retak (Bahney et al., 2019). Peristiwa molekuler yang memediasi MSCs masih dalam perdebatan, namun diyakini bahwa BMP-2 memiliki peran penting dalam perekrutan MSCs (Bais et al., 2009)

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa Stromal cell-Derived Factor-1 (SDF-1) dan reseptor G-protein-coupled CXCR-4 membentuk ikatan (SDF-1 / CXCR-4) yang merupakan regulator utama dalam perekrutan MSCs spesifik ke lokasi trauma (Granero et al., 2009; Kitaori et al., 2009; Ma et al., 2005).

12 Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekspresi SDF-1 meningkat di lokasi fraktur, dan terutama di periosteum pada tepi fraktur. Mereka juga menunjukkan bahwa SDF-1 memiliki peran spesifik dalam perekrutan CXCR-4 yang mengekspresikan MSCs ke lokasi fraktur selama fase penyembuhan endochondral (Kitaori et al., 2009). Pentingnya ikatan ini telah diverifikasi lebih lanjut dimana pengobatan dengan antagonis anti-SDF-1 atau manipulasi genetik SDF-1 dan CXCR-4 dapat mengganggu proses penyembuhan fraktur.

Selain itu, data terbaru juga menunjukkan peran penting hypoxia inducible factor-1α (HIF-1α) dalam perbaikan tulang dan perannya dalam menginduksi VEGF dalam proses revaskularisasi menunjukkan bahwa gradien hipoksia mengatur arus sel progenitor MSC (Marsell dan Einhorn, 2011).

Komponen seluler utama lainnya dari kalus fibrovaskular, adalah mesenchymal progenitor cells (MSC). MSCs adalah sel multipoten yang menimbulkan osteoblas, kondrosit, fibroblas, miosit, dan adiposit. Terdapat sub-populasi yang telah diidentifikasi yang dapat digunakan untuk membedakan lineage potential dan lineage function. Nestin, serat filamen intermediet, telah digunakan untuk membedakan antara populasi MSC yang berasal dari mesodermal atau neural crest. MSC dengan nestin negatif berkontribusi pada skeletogenesis pada janin sedangkan sel nestin-positif mengambil peran ini di kemudian hari (Isern et al., 2014).

c) Fase Mineralisasi dan Resorbsi Callus

Agar regenerasi tulang terus berkembang, soft callus primer harus diresorbsi dan digantikan oleh hard callus. Fase penyembuhan ini, sampai

13 batas tertentu, merekapitulasi perkembangan tulang embriologis dengan kombinasi proliferasi dan diferensiasi seluler, meningkatkan volume seluler dan meningkatan deposisi matriks (Breur et al., 1991). Hubungan antara regenerasi tulang dan perkembangan tulang telah diperkuat lebih lanjut oleh pemahaman terbaru tentang peran molekul Wnt-family, dimana terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam proses embriologi dan penyembuhan tulang. Wnt-family mengatur diferensiasi MSC pluripotent ke dalam garis keturunan osteoblastik dan, pada tahap perkembangan selanjutnya, mengatur pembentukan tulang osteoblastic (Marsell dan Einhorn, 2011).

Pada saat callus fractur chondrocytes berproliferasi, mereka menjadi hipertrofik dan matriks ekstraselulernya menjadi kalsifikasi. Sebuah kaskade yang diatur terutama oleh macrophage colony stimulating factor (M-CSF), reseptor activator of nuclear factor kappa B ligand (RANKL), osteoprotegerin (OPG) dan TNF-α memulai resorpsi mineral tulang rawan ini (Marsell dan Einhorn, 2011).

Selama proses ini M-CSF, RANKL dan OPG juga dianggap membantu merekrut sel-sel tulang dan osteoklas untuk membentuk woven bone. TNF-α lebih lanjut mendorong perekrutan MSC dengan potensi osteogenik tetapi perannya yang paling adalah untuk memulai apoptosis chondrocyte (Gerstenfeld et al., 2003). Mekanisme kalsifikasi melibatkan peran mitokondria, yang mengakumulasi butiran kalsium yang terbentuk pada lingkungan hipoksia pada lokasi fraktur (Marsell dan Einhorn, 2011).

14 Setelah terbentuk di dalam sitoplasma chondrocytes, butiran kalsium ditransportasikan ke dalam matriks ekstraseluler, kemudian akan mengendap bersama fosfat dan membentuk deposit mineral awal. Endapan kalsium dan fosfat ini menjadi nidus untuk nukleasi homogen dan pembentukan kristal apatit (Ketenjian et al., 1975) Puncak pembentukan hard callus biasanya terjadi pada hari ke-14 pada model hewan seperti yang didefinisikan oleh histomorfmetri jaringan mineral, tetapi juga dengan pengukuran marker matriks ekstraseluler seperti procollagen tipe I, osteocalcin, alkali fosfatase dan osteonektin (Einhorn et al., 1998). Pada proses ini pembentukan hard-callus berlangsung dan kalsifikasi cartilage akan digantikan oleh woven bone, Callus akan menjadi lebih padat dan rigid (Gerstenfeld et al., 2006).

 Intramembran Ossification

Diferensiasi langsung dari progenitor mesenkim menjadi osteoblas adalah mekanisme eksklusif perbaikan tulang pada defek yang stabil (osifikasi intramembran), tetapi juga terjadi di sepanjang permukaan periosteal dan endosteal tulang pada fraktur yang kurang stabil. Sel progenitor periosteal tampaknya memiliki potensi osteo-chondral, dengan diferensiasi terkait dengan lingkungan mikro mekanis, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Diferensiasi osteogenik MSC periosteal menimbulkan tulang intramembran secara lokal di sepanjang permukaan tulang yang berdekatan dengan fraktur; sementara sel-sel progenitor periosteal yang sama ini bermigrasi ke celah fraktur untuk menjalani kondrogenesis. Sebaliknya, sel induk endosteal menunjukkan potensi osteogenik yang

15 unipoten. Pembentukan tulang intramembran dari sel induk endosteal ini bertanggung jawab untuk menjembatani rongga sumsum dengan cepat (Colnot, 2009).

 Endocondral Ossification

Secara temporal, diferensiasi kondrogenik sel progenitor kalus fraktur sejalan dengan respons pro-inflamasi dan terjadi pada rangka fibrin yang dihasilkan sebagai bagian dari hematoma. Kondrogenesis terjadi terutama pada fraktur dengan sel induk periosteal menjadi sumber utama dari kondrosit.

Mengikuti spesifikasi MSC menjadi kondrosit, ekspresi SOX9 memainkan peran penting dalam mempertahankan fenotipe kartilaginous dan maturasi hipertrofik (Ikegami et al., 2011; Leung et al., 2011; Dy et al., 2012). SOX9, bersama dengan kofaktor transkripsi SOX5 dan SOX6, mengatur ekspresi kolagen II dan aggrecan. Ini adalah protein matriks ekstraseluler kanonik dari tulang rawan, dan bersama-sama membentuk 90% dari dry weight jaringan, memberikan tulang rawan dengan sifat biofisik yang khas. Kalus kartilago padat ini menjembatani celah fraktur dan membantu menstabilkan defek. Pada tahap ini jaringan tulang rawan menjadi avaskular, menekan angiogenesis dan invasi vaskular (Hattori et al., 2010).

Konversi kalus kartilago menjadi tulang terjadi setelah pematangan kondrosit yang sangat teratur dari keadaan proliferatif hingga keadaan hipertrofik (Hu et al., 2017). Maturasi hipertrofik dibedakan secara morfologis dengan peningkatan volume sel yang dramatis. Kondrosit hipertrofik di growth plate bertambah besar 20 kali lipat. Pada tingkat molekuler, kondrosit

16 hipertrofik dibedakan dengan ekspresi kolagen tipe X. Sementara fungsi pasti dari kolagen X tidak jelas, hal ini secara unik diekspresikan oleh kondrosit hipertrofik dan deposisi matriks diyakini penting dalam pembangunan matriks untuk mineralisasi (Cooper et al., 2013).

Hipertrofi kondrosit merupakan keadaan penting selama osifikasi endokondral. Kondrosit hipertrofik sangat angiogenik dan memfasilitasi fase kedua invasi vaskular ke dalam kalus kartilago dengan mensintesis VEGF, PDGF (platelet derived growth factor), dan PlGF (placental growth factor). Berdekatan dengan invasi jaringan vaskuler, kondrosit hipertrofik kehilangan ekspresi Sox9, yang selanjutnya mengurangi represi promotor osteogenik Runx2 dan beta-catenin (Dy et al., 2012; Hu et al., 2017). Selanjutnya, kondrosit hipertrofik mulai mengekspresikan penanda kanonik tulang, termasuk, alkali fosfatase, osterix, osteopontin, dan osteocalcin. Bersama-sama, aktivasi program osteogenik dan angiogenesis menghasilkan kalsifikasi matriks kartilago. Dari perspektif fungsional kalsifikasi ini memberikan kekakuan tambahan pada fraktur (Hu et al., 2017).

Pemicu molekuler untuk kalsifikasi tidak sepenuhnya jelas, tetapi BMP kemungkinan memainkan peran kunci dalam proses ini. BMP diekspresikan oleh kondrosit hipertrofik dan sel endotel vaskular (Matsubara et al., 2012), menunjukkan bahwa ada efek otonom sel dan parakrin dari pensinyalan BMP yang dapat mendorong kalsifikasi. Invasi pembuluh darah juga menyediakan kondrosit hipertrofik dengan faktor sistemik lain seperti kalsium ekstraseluler, hormon paratiroid, vitamin D, dan insulin like growth factor yang berperan

17 dalam mengontrol homeostasis mineral selama perbaikan patah tulang. Apakah ekspresi BMP saja dari sel endotel vaskular yang mendorong kalsifikasi kartilago, atau apakah ada faktor tambahan yang disekresikan juga dapat berkontribusi pada proses ini masih belum jelas (Bahney et al., 2014).

Setelah kalsifikasi kartilago, formasi tulang terjadi. Dalam zona transisi vaskularisasi antara kartilago dan tulang, pewarnaan histologis menunjukkan kondrosit hipertrofik terperangkap di dalam matriks tulang yang berdekatan dengan pembuluh darah (Hu et al., 2017). Ketika matriks tulang rawan hilang dan matriks tulang berkembang, morfologi kondrosit hipertrofik bulat besar secara bertahap diubah menjadi karakteristik morfologi dari osteosit dengan ekstensi seluler yang ada di kanalikuli. Bagaimana perubahan bentuk ini difasilitasi tetap menjadi pertanyaan yang belum terjawab, tetapi pembelahan sel reduktif dari kondrosit hipertrofik mungkin menjadi salah satu mekanisme yang memungkinkan morfogenesis ini (Hu et al., 2017).

Nasib akhir dari kondrosit hipertrofik pada saat pembentukan tulang baru-baru ini telah didefinisikan ulang baik di lempeng pertumbuhan dan kalus fraktur. Model tradisional menyatakan bahwa kondrosit hipertrofik adalah sel pasca-mitosis yang dibedakan secara terminal, disiapkan untuk apoptosis. Menurut model ini, tulang baru dibentuk oleh osteoprogenitor atau pra-osteoblas yang menyerang matriks kartilago aseluler bersama dengan pembuluh darah (Maes et al., 2010). Pandangan dogmatis tentang kematian sel dalam kondrosit hipertrofik membayangi penelitian awal yang menunjukkan bahwa kondrosit dapat secara langsung menumbuhkan tulang

18 selama osifikasi endokondral. Namun, baru-baru ini sejumlah studi penelusuran garis keturunan genetik menggunakan promotor khusus kondrosit dan dapat diatur secara temporal telah dengan jelas menunjukkan bahwa kondrosit hidup dan berdiferensiasi menjadi osteosit baik di lempeng pertumbuhan selama perkembangan dan selama perbaikan patah tulang (Bahney et al., 2014; Yang et al., 2014; Zhou et al., 2014; Hu et al., 2017).

Mekanisme transformasi kondrosit menjadi osteosit masih kurang jelas, tetapi beberapa kemungkinan telah diajukan. Osteosit bisa saja menjadi nasib

Mekanisme transformasi kondrosit menjadi osteosit masih kurang jelas, tetapi beberapa kemungkinan telah diajukan. Osteosit bisa saja menjadi nasib

Dalam dokumen PENGARUH PEMBERIAN PLATELET RICH FIBRIN (Halaman 7-0)

Dokumen terkait