PENGARUH PEMBERIAN PLATELET RICH FIBRIN DALAM MENINGKATKAN SEKRESI GROWTH FACTOR TERHADAP PROSES
TERJADINYA BONE
HEALING PADA FRAKTUR DIAFISIS FEMUR TIKUS (Rattus norvegicus) YANG DIFIKSASI DENGAN
INTRAMEDULLARY NAIL
PROPOSAL TESIS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Gelar Spesialis Orthopaedi & Traumatology Ilmu Pendidikan Dokter Spesialis Orthopaedi & Traumatology
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun oleh:
IBNU YUDISTIRO S931803002
ILMU PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2021
i
PENGARUH PEMBERIAN PLATELET RICH FIBRIN DALAM MENINGKATKAN SEKRESI GROWTH FACTOR TERHADAP PROSES TERJADINYA BONE HEALING PADA FRAKTUR
DIAFISIS FEMUR TIKUS (Rattus norvegicus) YANG DIFIKSASI DENGAN INTRAMEDULLARY NAIL
LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL TESIS
Oleh:
IBNU YUDISTIRO S931803002
Jabatan Nama Tanda Tangan
Pembimbing I: dr. Tangkas Sibarani, Sp.OT(K)
NIP. 195711070986031003 ...
Pembimbing II: dr. Seti Aji Hadinoto, Sp.OT(K) M.Biomed
NIP. 198603272019021001
...
Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal September 2021
Mengetahui Kepala Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis Orthopaedi UNS
dr. Rieva Ermawan, Sp.OT (K) NIP. 19811026201212003
ii DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR GAMBAR ... iii
DAFTAR TABEL ... iv
BAB I ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 3
D. Manfaat Penelitian ... 3
E. Keaslian Penelitian ... 3
BAB II ... 4
A. Fraktur ... 4
B. Bone Healing ... 5
C. Platelet Rich Fibrin ... 21
D. Evaluasi Radiologis ... 27
E. Evaluasi Histopatologis ... 28
F. Kerangka Konsep ... 29
G. Hipotesis ... 30
BAB III ... 31
A. Jenis Penelitian ... 31
B. Lokasi Penelitian ... 31
C. Waktu Penelitian ... 31
D. Populasi dan Sampling ... 31
E. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian ... 33
F. Cara Kerja dan Teknik Pengambilan Data ... 34
1.1 Tahap Persiapan ... 34
1.2 Tahap Penelitian ... 35
1.3 Tahap Pengambilan Sampel ... 35
G. Analisis Data ... 35
H. Alur Penelitian ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 38
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Tahap penyembuhan tulang ……….. 6
Gambar 2 Proses penyembuhan tulang melalui jalur endochondral dengan menekankan dan interaksi platelet secreted growth factor ……….. 22 Gambar 3 Hasil sentrifugasi darah untuk pengambilan PRF ………. 26 Gambar 4 Proses sentrifugasi dan hasil sentrifugasi PRF ………. 26
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Klasifikasi fraktur terbuka Gustilo-Anderson ………. 13
Tabel 2 Skoring histopatologis ………... 40
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Fraktur terjadi ketika gaya yang diberikan pada tulang melebihi kekuatan tulang yang terlibat (Giangregorio dan El- Kotob, 2017). Secara global, Insidensi fraktur adalah 11,3 dalam 1.000 per tahun, dengan insidensi pada laki-laki sebesar 11.67 dalam 1.000 per tahun dan pada perempuan sebesar 10,65 dalam 1.000 per tahun (Bucholz et al., 2006). Data nasional yang diperoleh dari RISKESDAS (2013) menunjukan bahwa prevalensi cedera di Indonesia adalah 8.2% dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%). Proporsi jenis cedera dibagi menjadi 70.9%
lecet/memar, 27.5% terkilir, dan 5.8% merupakan patah tulang (Riskesdas, 2013).
Berbeda dengan jaringan lainnya, tulang dapat berenegerasi dan memperbaiki dirinya sendiri, dan sembuh tanpa formasi bekas luka (Nandi et al., 2010). Proses penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 tahap yakni: hematoma, inflamasi, soft callus, hard callus dan remodelling. Fase penyembuhan tulang tersebut berjalan secara simultan dan saling tumpang tindih, sehingga pada setiap bagian fraktur mungkin memiliki fase yang berbeda (Marsell dan Einhorn, 2011; Apley dan Solomon, 2017).
Beberapa alternatif metode penyembuhan tulang telah dikembangkan selama beberapa dekade terakhir. Salah satu biomaterial yang dipertimbangkan untuk
2 diberikan adalah platelet rich fibrin (PRF) (Bölükbaşi et al., 2013; Singh et al., 2012;
Einhorn dan Gerstenfeld, 2015).
PRF secara potensial dapat meningkatkan proses penyembuhan dengan penghantaran berbagai jenis faktor pertumbuhan dan sitokin dari α-granules yang terdapat dalam platelet (Zhang et al., 2013). Sitokin yang terdapat dalam platelet meliputi transforming growth factor-β (TGF-β), platelet-derived growth fator (PDGF), insulin-like growth factor (IGF-I, IGF-II), fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor, vascular endothelial growth factor (VEGF), serta endothelial cell growth factor. Sitokin tersebut memainkan peranan penting dalam proliferasi sel, kemotaksis, diferensiasi sel, serta angiogenesis (Bai et al., 2017).
Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Dülgeroglu et al. (2017) pada tulang panjang hewan uji menunjukkan bahwa PRF merupakan biomaterial yang efisien dalam meningkatkan penyembuhan patah tulang dan meningkatkan jumlah pembentukan jaringan tulang. PRF dinilai tidak menyebabkan reaksi alergi, hemat biaya, dan mudah diperoleh. Penelitian yang dilakukan oleh He et al. (2009) menunjukkan PRF dinilai lebih banyak mengekspresikan alkaline phosphatase (ALP) daripada platelet rich plasma (PRP).
Melalui penelitian ini penulis mencoba menganalisis secara histopatologi dan radiologi pemberian PRF pada kasus fraktur femur dengan hewan coba tikus yang difiksasi dengan intramedullary nail (IM Nail).
3 B. Rumusan Masalah
1.B.1 Apakah pemberian platelet rich fibrin dapat meningkatkan sekresi growth factor dan mempengaruhi proses terjadinya bone healing pada fraktur diafisis femur tikus (Rattus norvegicus) yang difiksasi dengan intramedullary nail?
C. Tujuan Penelitian
1.C.1 Membuktikan apakah pemberian platelet rich fibrin dapat meningkatkan terjadinya bone healing berdasarkan radiologis dan histopatologis.
D. Manfaat Penelitian 1.D.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang konsep platelet rich fibrin sebagai material tissue engineering dan peranannya dalam proses terjadinya bone healing pada fraktur.
1.D.2 Manfaat Praktis
Memberikan alternatif strategi yang lebih baik dalam tatalaksana fraktur.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai fraktur yang diberikan autologus PRF sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia.
4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Fraktur
Fraktur adalah patahnya kontinuitas struktural dari tulang. Hal ini bisa tidak lebih dari sebuah retakan, pecahnya korteks, dan lebih sering patah tulang komplit. Jika kulit yang berada diatasnya tetap bertahan intak, maka fraktur tersebut akan disebut closed fracture; bila kulit atau bagian dari kavitas tubuh keluar, maka disebut dengan open fracture (disebut juga compound fracture) yang biasa bertanggung jawab akan infeksi dan kontaminasi seseorang (Apley dan Solomon, 2017).
Fraktur terbuka sendiri merupakan suatu kejadian yang diakibatkan oleh trauma. Fraktur terbuka ini paling sering terjadi akibat cedera berenergi tinggi, walau dapat terjadi juga akibat trauma kecepatan rendah ketika ujung tajam dari fragmen fraktur menembus kulit dan jaringan lunak. Fraktur terbuka berenergi tinggi seringkali dikaitkan dengan kondisi yang mengancam jiwa akibat poli- trauma dan dapat menimbulkan risiko lain seperti cedera neurovaskuler, hancurnya jaringan lunak, kontaminasi luka, dan kerusakan kulit yang membuatnya lebih rentan terhadap komplikasi (Simpson dan Tsang, 2018) .
Meskipun pada umumnya terdapat perbaikan hasil setelah fraktur terbuka, variabel hasil yang beragam diantara fraktur terbuka dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda mendorong pengembangan sistem grading yang mengklasifikasikan fraktur berdasarkan tingkat keparahan cedera jaringan lunak terkait. Sistem penilaian ini pada dasarnya berusaha untuk membantu memandu pengobatan, meningkatkan penelitian, dan memprediksi hasil yang ada (Kim dan Leopold, 2012). Klasifikasi seperti ini sudah digunakan untuk beberapa waktu, yaitu penggunakan sistem klasifikasi Gustilo-Anderson yang telah digunakan secara umum sebagai sistem klasifikasi fraktur terbuka. Klasifikasi Gustilo- Anderson dapat dilihat pada Tabel 1.
5 Tabel 1. Klasifikasi fraktur terbuka Gustilo-Anderson
B. Bone Healing
Menurut Apley dan Solomon (2017) ada lima tahap proses penyembuhan fraktur (Gambar 1):
1. Fase Hematom
Pembuluh darah rusak dan terbentuk hematom di sekitar area fraktur.
Tulang pada area fraktur site kekurangan suplai darah.
2. Fase Inflamasi dan Proliferasi Seluler
Delapan jam setelah fraktur terjadi, reaksi inflamasi dengan migrasi sel inflamasi, mendorong proliferasi dan diferensiasi dari MSC dari periosteum, kanalis medulla, dan otot di sekitarnya. Ujung fraktur dikelilingi oleh sel seluler, yang membentuk scaffold. Beragam mediator inflamasi terlibat, hematom perlahan diabsorbsi dan terbentuk pembuluh darah di area fraktur.
3. Fase Pembentukan Callus
Diferensiasi stem sel menjadi sel chondrogenic dan osteogenic dan membentuk lingkungan yang baik untuk membentuk tulang dan kartilago.
Populasi sel juga meliputi osteoclast yang berfungsi untuk debridement sel
Stadium Kriteria
Tipe I Fraktur terbuka dengan luka pada kulit panjang < 1 cm dan bersih
Tipe II Fraktur terbuka dengan laserasi panjang > 1 cm tanpa kerusakan ekstensif jaringan lunak, flaps, atau avulsions
Tipe III Fraktur terbuka segmental dengan luka panjang > 10 cm dengan kerusakan jaringan lunak atau amputasi traumatic
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal stripping atau terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat kerusakan jaringan lunak.
6 mati. Terbentuk masa sel yang besar yang tersusun atas sel immature dan kartilago, membentuk callus atau jembatan di permukaan periosteal dan endosteal. Tulang imatur menjadi lebih padat, pergerakan di area fraktur site berkurang sekitar 4 minggu setelah terjadinya fraktur.
4. Fase Konsolidasi
Aktivitas osteoklast dan osteoblast terus berjalan, woven bone berubah menjadi lamellar bone. Osteoklast bergerak masuk ke arah fraktur line dan melakukan debridement sel-sel mati, sementara osteoblast mengisi celah di antara fragment. Proses berjalan lambat dalam hitungan hari sebelum tulang kuat untuk menahan beban tubuh.
5. Fase Remodelling
Fraktur telah tersambung oleh tulang yang solid. Setelah beberapa bulan hingga tahun. Proses absorbs dan formasi terbentuk terus menerus. Tulang lamelar tebal terbentuk di area dengan tingkat benturan yang tinggi. Tulang baru membentuk cavitas medulla, pada anak-anak dapat tumbuh sesuai dengan bentuk aslinya.
7 Gambar 1. Lima tahap penyembuhan patah tulang: (a) Hematoma:
kerusakan jaringan dan pendarahan di tempat patah tulang; (b) Peradangan: sel radang (sitokin) muncul di hematoma; ujung tulang mati kembali selama beberapa milimeter. (c) Pembentukan kalus lunak: populasi sel berubah menjadi osteoblas; seiring waktu, kalus mengapur dan anyaman tulang muncul di kalus yang patah. (d) Pembentukan kalus keras: fraktur menyatu dengan kuat.
(e) Remodelling: tulang yang baru terbentuk diremodelling agar menyerupai struktur normal (Apley dan Solomon, 2017).
2.B.1 Aspek Molekular Fracture Healing
Proses biologis fracture healing merupakan sebuah proses yang complex yang dengan pola regenerasi spesifik dan melibatkan perubahan ribuan expresi gen. setelah terjadinya trauma, proses terjadinya penyembuhan dapat melalui dua mekanisme yaitu, direct healing dan indirect healing (Marsell dan Einhorn, 2011; Apley dan Solomon, 1995).
1. Indirect Healing
Penyembuhan tulang melalui mekanisme indirect healing merupakan yang paling umum terjadi, dengan melibatkan proses osifikasi intramembran dan endochondral. Mekanisme ini tidak membutuhkan anatomical reduction atau rigid stable fixation.
8 Indirect healing akan terjadi oleh karena adanya micromovement dan weight bearing. Namun pergerakan dan beban yang berlebihan akan dapat menyebabkan terjadinya delayed healing atau bahkan non-union. Indirect healing terjadi pada fraktur yang ditatalaksana dengan metode non operative, ataupun operative treatment yang masih memungkinkan terdapatnya pergerakan pada area fraktur site contohnya intramedullary nail, eksternal fiksasi, atau internal fiksasi dengan fraktur kominutif.
Proses penyembuhan tulang terjadi dalam lima fase seperti yang telah disebutkan di atas. Seluruh tahapan tersebut berjalan simultan dan saling tumpang tindih, sehingga pada setiap bagian fraktur, mungkin saja sedang terjadi tahap penyembuhan yang berbeda-beda.
a) Fase Inflamasi Akut
Hematoma terbentuk segera setelah terjadinya trauma. Hematoma tersusun dari sel darah perifer, intramedullary, serta sel sumsum tulang.
Respon pro-inflamasi akut ini sangat penting untuk memulai penyembuhan patah tulang. Setelah fraktur, arsitektur tulang dan suplai vaskular terganggu.
Hal ini mengakibatkan hilangnya stabilitas mekanik, penurunan oksigenasi jaringan dan suplai nutrisi, dan pelepasan faktor bioaktif di lokasi cedera. Sel inflamasi bersama dengan sitokin dan matriks ekstraseluler yang dihasilkan berperan penting dalam memfasilitasi penyembuhan fraktur (Marsell dan Einhorn, 2011).
9 Makrofag berperan penting dalam proses inflamasi akut ini. Makrofag penghuni jaringan, yang disebut ostealmac, menghasilkan sitokin yang mempengaruhi penyembuhan secara positif dan negatif. Perubahan fenotipe makrofag dapat menjelaskan peran ganda dari makrofag dalam penyembuhan patah tulang. Dalam beberapa hari pertama pasca cedera, makrofag pro- inflamasi diproduksi oleh "aktivasi klasik" yang ditandai dengan respons imun bawaan terhadap patogen bakteri dan cedera jaringan melalui toll-like receptor (TLR). Classically activated macrophages (CAMs) dipersiapkan oleh paparan interferon-gamma (IFN-gamma). Setelah itu, molekul patogen yang terikat pada reseptor keluarga-TLR pada CAMs akan meningkatkan sitokin pro-inflamatori seperti TNF-alfa, IL1, dan IL 6 melalui jalur NFkB (Lu et al., 2017).
Makrofag bersama dengan neutrophil juga berperan dalam debridisasi jaringan yang cedera dan rusak. Makrofag tidak lagi diaktifkan secara klasik setelah melakukan debridement, mereka berubah dalam suatu kondisi anti inflamasi. Anti-inflammatory macrophages, juga dikenal sebagai makrofag yang diaktifkan secara alternatif (AAM), dihasilkan melalui pensinyalan IL4 dan IL13. Berbeda dengan CAM, polarisasi alternatif dari makrofag menghasilkan aktivitas seluler yang mendorong deposisi kolagen dan kembali ke homeostasis jaringan. Produksi TGF-beta, IL10 dan arginase, serta protein anti-inflamasi yang disekresikan lainnya, dikaitkan dengan perbaikan jaringan
10 setelah serangan infeksi dan traumatis (Daley et al., 2010; Gordon dan Martinez, 2010).
Respon pro inflamasi awal meliputi sekresi tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-11 dan IL-18. Faktor inflamasi tersebut merekrut sel inflamasi dan mendorong terjadinya angiogenesis. Konsentrasi TNF-α telah terbukti mencapai puncaknya pada 24 jam pertama dan kembali ke baseline dalam 72 jam pasca trauma. TNF-α diekspresikan oleh makrofag dan sel-sel inflamasi lainnya. TNF-α berperan dalam menginduksi sinyal inflamasi sekunder, dan bertindak sebagai agen kemotaktik untuk merekrut sel lain yang diperlukan. TNF-α telah terbukti secara in vitro menginduksi diferensiasi osteogenik MSCs (Cho et al., 2006). Efek ini dimediasi oleh aktivasi dua reseptor TNFR1 dan TNFR2 yang dinyatakan pada osteoblas dan osteoklas. TNFR1 selalu dieksperiskan dalam tulang sedangkan TNFR2 hanya diekspresikan ketika terjadi cedera, menunjukkan peran yang lebih spesifik dalam regenerasi tulang (Balga et al., 2006; Kon et al., 2001).
IL-1 dan IL-6 merupakan jenis interleukin yang diyakini paling berperan penting dalam proses fracture healing. Ekspresi IL-1 tumpang tindih dengan TNF-α dengan mode biphasic. Keduanya diproduksi oleh makrofag pada fase inflamasi akut dan menginduksi produksi IL-6 pada osteoblas, mendorong terbentuknya kartilaginous primer callus, dan juga mendorong terjadinya angiogenesis di lokasi fraktur dengan mengaktifkan salah satu dari dua reseptornya, IL-1RI atau IL-1RII (Marsell dan Einhorn, 2011).
11 IL-1 juga mengatur ekspresi siklooksigenase (Cox1 dan Cox2), yang merupakan enzim yang mensintesis prostaglandin di jaringan yang cedera. Obat antiinflamasi non steroid, yang menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan keterlambatan penyembuhan patah tulang.
Penundaan ini telah dikaitkan dengan penghambatan aktivitas Cox2 selama penyembuhan patah tulang (Bahney et al., 2019). Sementara IL-6 hanya diproduksi selama fase akut dan merangsang angiogenesis, produksi faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), dan diferensiasi osteoblas dan osteoklas (Marsell dan Einhorn, 2011).
b) Fase Fibrovaskular
Setelah inflamasi, fase perbaikan angio-mesenchymal dimulai. Fase ini telah disebut sebagai "fase fibrovaskular" dan didefinisikan oleh remodeling vaskular (angiogenesis dan neovaskularisasi) dan perekrutan mesenchymal progenitor cells, kadang-kadang disebut sebagai mesenchymal stem cells (MSCs), yang pada akhirnya akan berdiferensiasi menjadi kondrosit dan osteoblas untuk meregenerasi tulang retak (Bahney et al., 2019). Peristiwa molekuler yang memediasi MSCs masih dalam perdebatan, namun diyakini bahwa BMP-2 memiliki peran penting dalam perekrutan MSCs (Bais et al., 2009)
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa Stromal cell-Derived Factor-1 (SDF-1) dan reseptor G-protein-coupled CXCR-4 membentuk ikatan (SDF-1 / CXCR-4) yang merupakan regulator utama dalam perekrutan MSCs spesifik ke lokasi trauma (Granero et al., 2009; Kitaori et al., 2009; Ma et al., 2005).
12 Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekspresi SDF-1 meningkat di lokasi fraktur, dan terutama di periosteum pada tepi fraktur. Mereka juga menunjukkan bahwa SDF-1 memiliki peran spesifik dalam perekrutan CXCR- 4 yang mengekspresikan MSCs ke lokasi fraktur selama fase penyembuhan endochondral (Kitaori et al., 2009). Pentingnya ikatan ini telah diverifikasi lebih lanjut dimana pengobatan dengan antagonis anti-SDF-1 atau manipulasi genetik SDF-1 dan CXCR-4 dapat mengganggu proses penyembuhan fraktur.
Selain itu, data terbaru juga menunjukkan peran penting hypoxia inducible factor-1α (HIF-1α) dalam perbaikan tulang dan perannya dalam menginduksi VEGF dalam proses revaskularisasi menunjukkan bahwa gradien hipoksia mengatur arus sel progenitor MSC (Marsell dan Einhorn, 2011).
Komponen seluler utama lainnya dari kalus fibrovaskular, adalah mesenchymal progenitor cells (MSC). MSCs adalah sel multipoten yang menimbulkan osteoblas, kondrosit, fibroblas, miosit, dan adiposit. Terdapat sub-populasi yang telah diidentifikasi yang dapat digunakan untuk membedakan lineage potential dan lineage function. Nestin, serat filamen intermediet, telah digunakan untuk membedakan antara populasi MSC yang berasal dari mesodermal atau neural crest. MSC dengan nestin negatif berkontribusi pada skeletogenesis pada janin sedangkan sel nestin-positif mengambil peran ini di kemudian hari (Isern et al., 2014).
c) Fase Mineralisasi dan Resorbsi Callus
Agar regenerasi tulang terus berkembang, soft callus primer harus diresorbsi dan digantikan oleh hard callus. Fase penyembuhan ini, sampai
13 batas tertentu, merekapitulasi perkembangan tulang embriologis dengan kombinasi proliferasi dan diferensiasi seluler, meningkatkan volume seluler dan meningkatan deposisi matriks (Breur et al., 1991). Hubungan antara regenerasi tulang dan perkembangan tulang telah diperkuat lebih lanjut oleh pemahaman terbaru tentang peran molekul Wnt-family, dimana terbukti memiliki peran yang sangat penting dalam proses embriologi dan penyembuhan tulang. Wnt-family mengatur diferensiasi MSC pluripotent ke dalam garis keturunan osteoblastik dan, pada tahap perkembangan selanjutnya, mengatur pembentukan tulang osteoblastic (Marsell dan Einhorn, 2011).
Pada saat callus fractur chondrocytes berproliferasi, mereka menjadi hipertrofik dan matriks ekstraselulernya menjadi kalsifikasi. Sebuah kaskade yang diatur terutama oleh macrophage colony stimulating factor (M-CSF), reseptor activator of nuclear factor kappa B ligand (RANKL), osteoprotegerin (OPG) dan TNF-α memulai resorpsi mineral tulang rawan ini (Marsell dan Einhorn, 2011).
Selama proses ini M-CSF, RANKL dan OPG juga dianggap membantu merekrut sel-sel tulang dan osteoklas untuk membentuk woven bone. TNF-α lebih lanjut mendorong perekrutan MSC dengan potensi osteogenik tetapi perannya yang paling adalah untuk memulai apoptosis chondrocyte (Gerstenfeld et al., 2003). Mekanisme kalsifikasi melibatkan peran mitokondria, yang mengakumulasi butiran kalsium yang terbentuk pada lingkungan hipoksia pada lokasi fraktur (Marsell dan Einhorn, 2011).
14 Setelah terbentuk di dalam sitoplasma chondrocytes, butiran kalsium ditransportasikan ke dalam matriks ekstraseluler, kemudian akan mengendap bersama fosfat dan membentuk deposit mineral awal. Endapan kalsium dan fosfat ini menjadi nidus untuk nukleasi homogen dan pembentukan kristal apatit (Ketenjian et al., 1975) Puncak pembentukan hard callus biasanya terjadi pada hari ke-14 pada model hewan seperti yang didefinisikan oleh histomorfmetri jaringan mineral, tetapi juga dengan pengukuran marker matriks ekstraseluler seperti procollagen tipe I, osteocalcin, alkali fosfatase dan osteonektin (Einhorn et al., 1998). Pada proses ini pembentukan hard- callus berlangsung dan kalsifikasi cartilage akan digantikan oleh woven bone, Callus akan menjadi lebih padat dan rigid (Gerstenfeld et al., 2006).
Intramembran Ossification
Diferensiasi langsung dari progenitor mesenkim menjadi osteoblas adalah mekanisme eksklusif perbaikan tulang pada defek yang stabil (osifikasi intramembran), tetapi juga terjadi di sepanjang permukaan periosteal dan endosteal tulang pada fraktur yang kurang stabil. Sel progenitor periosteal tampaknya memiliki potensi osteo-chondral, dengan diferensiasi terkait dengan lingkungan mikro mekanis, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Diferensiasi osteogenik MSC periosteal menimbulkan tulang intramembran secara lokal di sepanjang permukaan tulang yang berdekatan dengan fraktur; sementara sel-sel progenitor periosteal yang sama ini bermigrasi ke celah fraktur untuk menjalani kondrogenesis. Sebaliknya, sel induk endosteal menunjukkan potensi osteogenik yang
15 unipoten. Pembentukan tulang intramembran dari sel induk endosteal ini bertanggung jawab untuk menjembatani rongga sumsum dengan cepat (Colnot, 2009).
Endocondral Ossification
Secara temporal, diferensiasi kondrogenik sel progenitor kalus fraktur sejalan dengan respons pro-inflamasi dan terjadi pada rangka fibrin yang dihasilkan sebagai bagian dari hematoma. Kondrogenesis terjadi terutama pada fraktur dengan sel induk periosteal menjadi sumber utama dari kondrosit.
Mengikuti spesifikasi MSC menjadi kondrosit, ekspresi SOX9 memainkan peran penting dalam mempertahankan fenotipe kartilaginous dan maturasi hipertrofik (Ikegami et al., 2011; Leung et al., 2011; Dy et al., 2012). SOX9, bersama dengan kofaktor transkripsi SOX5 dan SOX6, mengatur ekspresi kolagen II dan aggrecan. Ini adalah protein matriks ekstraseluler kanonik dari tulang rawan, dan bersama-sama membentuk 90% dari dry weight jaringan, memberikan tulang rawan dengan sifat biofisik yang khas. Kalus kartilago padat ini menjembatani celah fraktur dan membantu menstabilkan defek. Pada tahap ini jaringan tulang rawan menjadi avaskular, menekan angiogenesis dan invasi vaskular (Hattori et al., 2010).
Konversi kalus kartilago menjadi tulang terjadi setelah pematangan kondrosit yang sangat teratur dari keadaan proliferatif hingga keadaan hipertrofik (Hu et al., 2017). Maturasi hipertrofik dibedakan secara morfologis dengan peningkatan volume sel yang dramatis. Kondrosit hipertrofik di growth plate bertambah besar 20 kali lipat. Pada tingkat molekuler, kondrosit
16 hipertrofik dibedakan dengan ekspresi kolagen tipe X. Sementara fungsi pasti dari kolagen X tidak jelas, hal ini secara unik diekspresikan oleh kondrosit hipertrofik dan deposisi matriks diyakini penting dalam pembangunan matriks untuk mineralisasi (Cooper et al., 2013).
Hipertrofi kondrosit merupakan keadaan penting selama osifikasi endokondral. Kondrosit hipertrofik sangat angiogenik dan memfasilitasi fase kedua invasi vaskular ke dalam kalus kartilago dengan mensintesis VEGF, PDGF (platelet derived growth factor), dan PlGF (placental growth factor). Berdekatan dengan invasi jaringan vaskuler, kondrosit hipertrofik kehilangan ekspresi Sox9, yang selanjutnya mengurangi represi promotor osteogenik Runx2 dan beta-catenin (Dy et al., 2012; Hu et al., 2017). Selanjutnya, kondrosit hipertrofik mulai mengekspresikan penanda kanonik tulang, termasuk, alkali fosfatase, osterix, osteopontin, dan osteocalcin. Bersama-sama, aktivasi program osteogenik dan angiogenesis menghasilkan kalsifikasi matriks kartilago. Dari perspektif fungsional kalsifikasi ini memberikan kekakuan tambahan pada fraktur (Hu et al., 2017).
Pemicu molekuler untuk kalsifikasi tidak sepenuhnya jelas, tetapi BMP kemungkinan memainkan peran kunci dalam proses ini. BMP diekspresikan oleh kondrosit hipertrofik dan sel endotel vaskular (Matsubara et al., 2012), menunjukkan bahwa ada efek otonom sel dan parakrin dari pensinyalan BMP yang dapat mendorong kalsifikasi. Invasi pembuluh darah juga menyediakan kondrosit hipertrofik dengan faktor sistemik lain seperti kalsium ekstraseluler, hormon paratiroid, vitamin D, dan insulin like growth factor yang berperan
17 dalam mengontrol homeostasis mineral selama perbaikan patah tulang. Apakah ekspresi BMP saja dari sel endotel vaskular yang mendorong kalsifikasi kartilago, atau apakah ada faktor tambahan yang disekresikan juga dapat berkontribusi pada proses ini masih belum jelas (Bahney et al., 2014).
Setelah kalsifikasi kartilago, formasi tulang terjadi. Dalam zona transisi vaskularisasi antara kartilago dan tulang, pewarnaan histologis menunjukkan kondrosit hipertrofik terperangkap di dalam matriks tulang yang berdekatan dengan pembuluh darah (Hu et al., 2017). Ketika matriks tulang rawan hilang dan matriks tulang berkembang, morfologi kondrosit hipertrofik bulat besar secara bertahap diubah menjadi karakteristik morfologi dari osteosit dengan ekstensi seluler yang ada di kanalikuli. Bagaimana perubahan bentuk ini difasilitasi tetap menjadi pertanyaan yang belum terjawab, tetapi pembelahan sel reduktif dari kondrosit hipertrofik mungkin menjadi salah satu mekanisme yang memungkinkan morfogenesis ini (Hu et al., 2017).
Nasib akhir dari kondrosit hipertrofik pada saat pembentukan tulang baru-baru ini telah didefinisikan ulang baik di lempeng pertumbuhan dan kalus fraktur. Model tradisional menyatakan bahwa kondrosit hipertrofik adalah sel pasca-mitosis yang dibedakan secara terminal, disiapkan untuk apoptosis. Menurut model ini, tulang baru dibentuk oleh osteoprogenitor atau pra-osteoblas yang menyerang matriks kartilago aseluler bersama dengan pembuluh darah (Maes et al., 2010). Pandangan dogmatis tentang kematian sel dalam kondrosit hipertrofik membayangi penelitian awal yang menunjukkan bahwa kondrosit dapat secara langsung menumbuhkan tulang
18 selama osifikasi endokondral. Namun, baru-baru ini sejumlah studi penelusuran garis keturunan genetik menggunakan promotor khusus kondrosit dan dapat diatur secara temporal telah dengan jelas menunjukkan bahwa kondrosit hidup dan berdiferensiasi menjadi osteosit baik di lempeng pertumbuhan selama perkembangan dan selama perbaikan patah tulang (Bahney et al., 2014; Yang et al., 2014; Zhou et al., 2014; Hu et al., 2017).
Mekanisme transformasi kondrosit menjadi osteosit masih kurang jelas, tetapi beberapa kemungkinan telah diajukan. Osteosit bisa saja menjadi nasib terminal kondrosit, yang merepresentasikan perkembangan fenotipik alami dari sel-sel ini selama proses maturasi; atau kondrosit dapat berdiferensiasi menjadi keadaan seperti sel progenitor sebelum mengaktifkan program osteoblas, dan kemudian menjadi osteoblas (Bahney et al., 2014; Hu et al., 2017). Mekanisme lain yang diusulkan adalah bahwa kondrosit hipertrofik mengalami pembelahan sel asimetris, di mana salah satu selnya menjadi sel osteoblas / osteosit sementara yang lainnya mengalami apoptosis. Jalur yang disarankan ini tidak saling eksklusif. Misalnya, aktivasi gen sel punca mungkin tidak benar-benar memberikan multipotensi, melainkan mengaktifkan kembali siklus sel atau mengaktifkan pemodelan ulang kromatin yang diperlukan untuk ekspresi gen osteoblas. Secara signifikan lebih banyak pekerjaan diperlukan untuk memahami detail molekuler yang mengatur konversi kondrosit hipertrofik menjadi osteoblas, dan untuk memahami bagaimana matriks kondrogenik diubah menjadi matriks osteogenik. Perlu dicatat, bahwa sejumlah apoptosis kondrosit hipertrofik dan
19 osteoblas/osteosit diperlukan untuk menciptakan ruang sumsum tulang. Penelitian lain menunjukkan bahwa dalam growth plate setidaknya beberapa tulang endokondral dibentuk oleh osteoblas (Maes et al., 2010).
d) Bone Remodelling
Meskipun hard callus adalah struktur kaku yang memberikan stabilitas biomekanik, namun tidak sepenuhnya mengembalikan sifat biomekanik tulang normal. Untuk mencapai hal tersebut, kaskade penyembuhan fraktur memulai fase resorptif kedua, yaitu merombak hard callus menjadi struktur tulang lamellar yang memiliki central medullary cavity (Gerstenfeld et al., 2003). Fase ini secara biokimia diatur oleh IL-1 dan TNF-α, yang menunjukkan tingkat ekspresi tinggi selama tahap ini, kontras dengan TGF-β- family yang justru berkurang ekspresi pada fase ini. Namun, beberapa BMP seperti BMP2, tampaknya juga terlibat dalam fase ini dengan tingkat ekspresinya yang cukup tinggi (Marsell dan Einhorn, 2011).
Proses remodelling dilakukan dengan keseimbangan antara resorpsi hard callus oleh osteoklast, dan deposisi lamellar bone oleh osteoblast. Meskipun proses ini dimulai pada awal 3-4 minggu dalam model hewan dan manusia, remodelling mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai struktur tulang yang sepenuhnya telah beregenerasi (Wendeberg, 1961).
Proses ini dapat terjadi lebih cepat pada hewan dan pasien yang lebih muda.
Remodelling tulang merupakan hasil produksi polaritas listrik yang diciptakan ketika tekanan terdapat dalam a crystalline environment (Basset, 1971). Hal ini dicapai ketika axial loading tulang panjang terjadi, menciptakan satu
20 permukaan cembung elektropositif, dan satu permukaan cekung elektronegatif, mengaktifkan aktivitas osteoklastik dan osteoblastik masing- masing. Dengan tindakan ini, kalus eksternal secara bertahap digantikan oleh struktur tulang lamellar, sedangkan remodelling kalus internal membangun kembali karakteristik rongga medullar dari tulang diaphyseal (Marsell dan Einhorn, 2011).
Agar remodelling tulang berhasil, suplai darah yang adekuat dan peningkatan bertahap dalam stabilitas mekanis sangat penting (Carano, 2003) apabila keduanya tidak tercapai, maka akan terjadi atrofi non union. Namun, dalam kasus di mana vaskularisasi baik namun fiksasi tidak stabil, proses penyembuhan akan berlangsung dan membentuk kalus kartilaginous, namun akan terjadi hypertrofic non union atau pseudoarthrosis (Marsell dan Einhorn, 2011).
2. Direct fracture healing
Direct healing membutuhkan anatomical reduction, tanpa membentuk gap, dan fiksasi yang stabil. Namun, jenis penyembuhan ini sering menjadi tujuan utama untuk dicapai setelah open reduksi dan internal fiksasi. Pada kondisi tersebut, direct healing dapat terjadi dengan remodeling langsung lamellar bone, kanal Haversian dan pembuluh darah. Direct healing biasanya terjadi dalam kurun waktu berapa bulan hingga beberapa tahun menurut jenis spesiesnya (Marsell dan Einhorn, 2011).
21 C. Platelet Rich Fibrin
Platelet rich fibrin (PRF) pertama kali dikembangkan di Perancis oleh Choukroun et al (2006) untuk tindakan bedah oral dan maxillofacial. Teknik untuk mendapatkan PRF tidak menggunakan antikoagulan maupun bovine thrombin.
Platelet
Platelet adalah sel paling kecil diantara sel-sel yang bersikulasi di dalam darah dengan diameter 2 hingga 5 µm, ketebalan 0,5 µm, dan memiliki rata-rata volume 6-10 femtoliter. Platelet terbentuk dari sel megakariosit yang berdiferensiasi menjadi proplatelet kemudian difragmentasi menjadi platelet tunggal. Platelet akan bersikulasi selama 7 hingga 10 hari sebelum kemudian akan digantikan oleh platelet yang lebih muda (Dohan et al., 2007).
Platelet memiliki lisosom, granula padat, dan granula alfa. Dengan salah satu perannya sebagai agen hemostatis, platelet memiliki fungsi dalam proses fisiologis penyembuhan luka (Gambar 2). Oleh karena itu, area dengan konsentrasi platelet yang banyak dipercaya mampu memiliki proses penyembuhan jaringan ataupun tulang dengan lebih cepat. Kandungan platelet yang sangat tinggi pada platelet rich fibrin (PRF) inilah yang digunakan sebagai agen akselerator penyembuhan jaringan dan tulang (Dohan et al., 2007; Malhotra et al., 2013).
22 Gambar 2. Proses penyembuhan tulang melalui jalur endochondral dengan menekankan
dan interaksi platelet secreted growth factor (Malhotra et al., 2013).
Pada platelet rich fibrin (PRF) terdapat berbagai sitokin yang membantu proses penyembuhan tulang dan jaringan. Sitokin tersebut antara lain adalah (Dohan et al., 2007):
1. TGF-β1
Transforming growth factor beta (TGF-β) adalah superfamili yang memiliki lebih dari 30 macam jenis. Molekul yang disebut TGF-β sering mengarah ke jenis molekul TGF-β1.
Dalam in vitro, efek zat ini bervariasi tergantung dengan jumlah yang diberikan. Salah satu efek yang dipercaya adalah zat ini dapat memberikan stimulasi proliferasi pada osteoblast.
23 2. PDGFs
Platelet-derived growth factors (PDGFs) adalah regulator esensial untuk migrasi, proliferasi, dan survavibiliti derivat sel mesenkimal. Peran ini memiliki efek yang positif terhadap mekanisme remodelling pada semua jaringan.
3. IGFs
Insulin-like growth factors (IGFs) merupakan agen protektif sel.
Selain itu, IGFs terbukti mampu meningkatkan pembentungan tulang dengan adanya fungsi proliferasi dan diferensiasi osteoblast.
4. VEGFs
Vascular endothelial growth factors (VEGFs) memiliki peran dalam angiogenesis. Hal ini akan memicu percepatan penyembuhan jaringan dan tulang pada fase awal.
5. Interleukin (IL-1, IL-6, IL-11, dan IL-23)
Interleukin bersama dengan TNF-α dan BMPs memicu kerja makrofag, monosit, dan linfosit. Mereka bekerja sama untuk membuang jaringan yang telah rusak dan menyekresi sitokin vascular endothelial growth factor (VEGF) yang nantinya akan memicu penyembuhan fase fibrocartilaginous callus formation melalui pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) (Fukui et al., 2015;
Karayürek et al., 2019).
Platelet Rich Fibrin merupakan konsentrat platelet dan imun yang terkumpul pada membran fibrin tunggal, berisi semua konstituen darah untuk proses healing dan imunitas (Singh, Kohli and Gupta, 2012). Platelet rich fibrin
24 adalah generasi kedua fibrin-based biomaterial alami yang terbuat dari darah bebas antikoagulan (thrombin) tanpa modifikasi biokimia, sehingga mencapai fibrin yang kaya platelet dan growth factor (GF). Membran PRF berperan sebagai penghubung biologis antara elemen graft yang berbeda, sebagai matriks yang mendukung neoangiogenesis, capturing stem cells, dan migrasi sel osteoprogenitor ke center graft (Kumar et al., 2016). Kandungan fibrin, platelet, leukosit, GF, dan sitokin dalam PRF menjadi biomaterial potensial dalam regenerasi tulang dan jaringan lunak (Joseph et al., 2014). Platelet Rich Fibrin dapat digunakan sebagai biomaterial tunggal atau konjungsi dengan material grafting untuk mempercepat regenerasi tulang (Bölükbaşi et al., 2013).
Dibandingkan dengan PRP (Platelet-rich plasma), generasi pertama GF autolog sebagai stimulasi regenerasi tulang, dimana proses pelepasan GF berlangsung cepat, PRF yang mengandung natural fibrin network mampu melindungi GF dari proteolisis, sehingga GF dapat bekerja secara relatif lebih lama dan menstimulasi regenerasi tulang secara efektif. Pelepasan TGF-β1 dan PDGF-AB meningkat dan mencapai puncak di hari ke-14, kemudian menurun perlahan (He et al., 2009). TGF-β1 dan PDGF-AB merupakan GF tebanyak yang mendorong penyembuhan jaringan lunak dan tulang melalui stimulasi produksi kolagen untuk memperbaiki kekuatan luka dan menginisiasi pembentukan kalus.
Selain itu, TGF-β dan PDGF menyebabkan kemotaksis sel prekusor osteoblast menuju sisi dimana regenerasi tulang dibutuhkan, dan proses kemotaksis ini diikuti dengan proliferasi dan diferensiasi osteoblast (Kim et al., 2014).
25 Platelet Rich Fibrin secara simultan mendorong angiogenesis, imunitas, dan epithelial sebagai proses healing dan maturasi jaringan lunak. Kekakuan matriks fibrin mempengaruhi pembentukan kapiler oleh sel endotel dalam responnya terhadap stimulasi fibroblast growth factor (FGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Fibrin dan fibrinogen degradation products (FDP) menstimulasi migrasi neutrophil dan meningkatkan ekspresi reseptor membrane CD11c/CD18. Reseptor ini menyebabkan adhesi neutrophil menuju endothelium, hal ini sebagai peran fibrin dalam kontrol imunitas (Singh, Kohli dan Gupta, 2012).
Persiapan yang diperlukan untuk pembuatan PRF adalah: Darah vena pasien diambil sebelum operasi, disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit tanpa anti-koagulan di 10 ml vacutainer. Setelah disentrifugasi, menghasilkan tiga lapisan, lapisan atas berupa plasma aseluler, lapisan tengah berupa fibrin clot, dan lapisan bawah berupa sel darah merah. PRF dihasilkan dengan membuang lapisan atas, mengumpulkan lapisan tengah hingga 2mm dibawah garis pembagi lapisan bawah. Hal ini menghasilkan sekitar 97% platelet dan 50% leukosit dari volume darah awal yang terkonsentrasi dalam PRF (Gambar 3 dan 4).
26 Gambar 3. Hasil sentrifugasi darah untuk pengambilan PRF (Dohan et al.,
2003).
Gambar 4. Proses sentrifugasi (A), hasil sentrifugasi dengan PRF pada area tengah, sel darah merah pada area bawah dan plasma aseluler pada area atas (B),
Setelah pengambilan PRF (C), Membran fibrin autologous resisten yang mudah didapatkan saat pengambilan serum dari klot (D) (Dohan et al., 2003).
27 Kesimpulannya adalah PRF memiliki karakteristik polimerisasi secara perlahan dan natural selama sentrifugasi, sehingga menghasilkan konsentrasi thrombin yang fisiologis tanpa penambahan thrombin bovin (Kumar et al., 2016).
Keuntungan PRF adalah proses simple dan single step, sampel darah autolog dengan minimum manipulasi darah, polarisasi natural dengan reaksi imunologis minimal, dapat digunakan dengan bone graft. Kelemahan PRF adalah membutuhkan tube kaca untuk mencapai polimerasi clot. Keberhasilan protocol PRF bergantung secara langsung pada pengumpulan darah dan proses sentrifugasi (Kumar et al., 2016)
D. Evaluasi Radiologis
Evaluasi radiologis untuk penilaian bone healing pada kasus fraktur femur yang ditatalaksana dengan ORIF, menggunakan skoring Goldberg et al.: 1. no fracture healing; 2. Moderate healing; and 3. Complete healing.
28 E. Evaluasi Histopatologis
Evaluasi histologis menggunakan skoring oleh Huo et al.:
Tabel 3. Skoring untuk evaluasi histopatologis pada proses fracture healing.
Skor Gambaran histopatologis 1 Jaringan fibrous
2 Dominan jaringan fibrous dengan sedikit jaringan kartilago 3 Jumlah jaringan fibrous sama dengan jaringan kartilago
4 Dominan jaringan kartilago dengan sedikit gambaran jaringan fibrous 5 Kartilago
6 Dominan jaringan kartilago dengan sedikit gambaran tulang immature 7 Jumlah jaringan kartilago sama dengan jaringan tulang immature 8 Dominan gambaran tulang immature daripada kartilago
9 Union fraktur dengan gambaran tulang immature 10 Union fraktur dengan gambaran tulang matur
29 F. Kerangka Konsep
Gambar 12. Kerangka Konsep
Fraktur
Hematoma
Inflamasi
Sitokin
VEGF PDGF TGF-β FGF
Kemotaksis mesenchymal stem cells and connective tissue cells (fibroblast dan kondrosit)
Menstimulasi pemben- tukan neovaskularisasi, bone formation, dan osifikasi endokondral
Menstimulasi diferensiasi MSC menjadi sel
kondrogenik dan
osteogenik, dan apoptosis sel osteoklast
Menstimulasi diferensiasi MSC menjadi sel osteogenic, angiogenesis, dan fase remodelling PRF
Kondroblast
Kondrosit
Osteoblas
Formasi jaringan konektif dan kalus
Keterangan:
: Variabel yang diteliti : Hasil yang diharapkan
30 G. Hipotesis
H1: Pemberian platelet rich fibrin dapat meningkatkan sekresi growth factor dan mempengaruhi proses terjadinya bone healing pada fraktur diafisis femur tikus (Rattus norvegicus) yang difiksasi dengan intramedullary nail.
H0: Pemberian platelet rich fibrin tidak dapat meningkatkan sekresi growth factor dan mempengaruhi proses terjadinya bone healing pada fraktur diafisis femur tikus (Rattus norvegicus) yang difiksasi dengan intramedullary nail.
31 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental post-test only control group design dengan tikus Wistar rats (Rattus norvegicus) sebagai hewan percobaan karena pengukuran pada hewan uji dilakukan pada waktu tertentu setelah pemberian perlakuan. Dalam penelitian ini sampel dibagi dua kelompok, dimana terdapat kelompok yang diberikan platelet rich fibrin dan kelompok satunya yaitu kelompok kontrol yang tidak diberikan apa-apa.
B. Lokasi Penelitian
Perlakuan pada tikus Wistar rats dan pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Hewan Coba Pusat Antar Universitas Universitas Gajah Mada Yogyakarta, sedangkan pemeriksaan radiologi dilakukan di Laboratorium Radiologi Universitas Gajah Mada.
C. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan November 2021 - Desember 2021.
Tahap pengolahan, analisis, dan pelaporan data dilakukan pada bulan Januari - Februari 2022.
D. Populasi dan Sampling 3.3.1 Populasi Penelitian
Subjek penelitian adalah tikus Wistar rats model bone graft umur 12 - 14 minggu, jenis kelamin jantan, dengan rentang berat badan 450 – 600 gram,
32 diperoleh dari Laboratorium Hewan Coba Pusat Antar Universitas Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
1. Kriteria inklusi:
a. Jenis Tikus: Wistar rats b. Umur 12 - 14 minggu.
c. Berat badan 450 - 600 gram.
d. Jenis Kelamin: Jantan 2. Kriteria eksklusi:
a. Tikus Wistar rats yang mati saat penelitian.
b. Tikus dengan kondisi sakit.
3.3.2 Jumlah Sampel
Jumlah replikasi ditentukan berdasarkan rumus Resource Equation :
E adalah Degree of freedom (derajat kebebasan). Angka “E” dianggap optimal jika dalam rentang 10 hingga 20 (Charan dan Biswas, 2013).
E = 4n – 4 (optimal bila E 10-20) (E : Degree of freedom)
Jika E = 10 10 = 4.n – 4 4n = 14 E = 3,5
Jika E = 20 20 = 4.n – 4
33 4n = 24
E = 6
E dalam rentang 10 dan 20, maka hewan coba tiap kelompok berkisar antara 4 hingga 6 ekor. Dipilih 4 ekor hewan coba tiap kelompok.
E. Variabel dan Definisi Operasional Penelitian 3.E.1 Variable penelitian
a. Variabel Bebas: pemberian PRF pada fraktur tulang panjang tikus Wistar rats
b. Variabel terikat: Variabel yang akan diteliti, yaitu Callus formation pada area fraktur
3.E.2 Definisi operasional variabel a. Pemberian PRF
Platelet rich fibrin (PRF) merupakan konsentrat platelet yang di peroleh dari proses sentrifugasi sampel pungsi darah vena tanpa penambahan antikoagulan. Darah diambil dari 2 sampel tikus sebanyak 10 mm kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.
Ketika proses sentrifugasi, femomena hemostasis membagi sampel darah menjadi bagian-bagian, yang salah satu bagian tersebut merupakan PRF, sebuah lapisan fibrin yang terdiri dari trombosit dan plasma (Kim et al., 2014). Pembuatan PRF dilakukan Laboratorium Hewan Coba Pusat Antar Universitas Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
b. Pemeriksaan Radiologis
34 Pemeriksaan radiographic AP dilakukan setelah 4 minggu setelah perlakuan tindakan. Kemudian dinilai berupa bridging callus formation dan fracture line. Skoring berdasarkan Goldberg et al.
c. Pemeriksaaan histopatologis
Pemeriksaan dilakukan dengan menilai gambaran histopatologis pada area fraktur melalui pengecatan hematoxylin eosin. Skoring berdasarkan Huo et al.
F. Cara Kerja dan Teknik Pengambilan Data 1.1 Tahap Persiapan
a. Persiapan Alat dan Bahan 1) Membuat ethical clearance 2) Persiapan hewan percobaan
b. Pembuatan PRF
1) Penggunaan anestesi umum sebelum pengambilan darah dari jantung sebanyak 10 ml dari 2 ekor hewan (Bölükbaşi et al., 2013)
2) Darah dikumpulkan di sterile glass test tubes 10 ml tanpa penambahan antikoagulan (menyebabkan aktivasi platelet di sample darah setelah kontak dengan dinding tube dalam beberapa menit dan pelepasan kaskade koagulasi) 3) Langsung disentrifugasi 3000 rpm selama 10 menit
4) Hasil berupa pemisahan tiga fraksi akibat perbedaan fraksi: RBCs dilapisan bawah, PRF di lapisan tengah, dan PPP (platelet-poor plasma) dilapisan atas.
PPP diaspirasi dan dibuang
35 5) Gel PRF dipisahkan dari lapisan RBCs dibawahnya menggunakan sterile
stainlesssteel scissors
6) Bekuan PRF dipotong kecil-kecil dan dicampur dengan material graft atau dengan membrane PRF yang dipersiapkan dengan menekan PRF clot diantara dua potong kain kasa bedah untuk membuang serum.
(Rosamma Joseph et al., 2014) 1.2 Tahap Penelitian
Tikus dibagi scara random menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Tikus dipersiapkan pada ruang operasi, kemudian sterilisasi medan operasi. Insisi dilakukan pada regio paha kiri tikus sebesar 2 cm pada sisi lateral. Fraktur femur dibuat dengan menggunakan oscillator saw. Kemudian difiksasi dengan menggunakan k wire 0,8. pada kelompok perlakuan diberikan PRF. Kemudian luka insisi ditutup dengan menggunakan 4.0 non absorbable suture.
1.3 Tahap Pengambilan Sampel
Kelompok hewan coba, dibagi menjadi 4. Dua kelompok diterminasi pada hari ke 14 dan dua kelompok lain diterminasi pada hari ke 28. Tulang femur diambil, kemudian dilakukan pemeriksaan roentgen femur AP dan lateral dan pemeriksaan histopatologi.
G. Analisis Data
Pada penelitian ini, data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) for Microsoft Windows release 25.0. Jumlah sampel penelitian kurang dari 50
36 sampel maka digunakan uji distribusi Shapiro-Wilk untuk menentukan distribusi data. Uji statistik yang digunakan uji independent T-Test untuk membandingkan atau komparasi 2 kelompok sampel tidak berpasangan berdistribusi normal. (Dahlan, 2011).
37 H. Alur Penelitian
Bagan 2. Alur Penelitian
Kelompok P1 dan P3 diterminasi dan dilakukan pengambilan roentgen femur AP pada hari ke 14, pada area fraktur dilakukan pengambilan sampel untuk penilaian gambaran histopatologis.
Kelompok P2 dan P4 diterminasi dan dilakukan pengambilan roentgen femur AP pada hari ke 28, pada area fraktur dilakukan pengambilan sampel untuk penilaian gambaran histopatologis
Hasil penilaian radiologis dan histopatologis dianalisis dengan uji statistik Populasi Tikus Wistar Rats
Sampel 16 tikus, umur 12-14 minggu, BB 450 - 600 gram Adaptasi 1 minggu
Dibagi secara acak menjadi 4 kelompok
P3 4 tikus P2 4 tikus
Pembuatan Fraktur Femur
Fraktur kemudian difiksasi dengan menggunakan k-wire 0,8
Kelompok P1dan P2 tidak diberikan apa-
apa
Kelompok P3 dan P4 diberikan platelet rich
fibrin
P1 4 tikus P4 4 tikus
38 DAFTAR PUSTAKA
Anderson LD, Hutchins WC, Wright PE, Disney JM. Fractures of the tibia and fibula treated by casts and transfixing pins. Clin Orthop Relat Res. 1974 Nov-Dec;(105):179-91
Apley, A. G. and Solomon, L. (2017) Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. CRC Press.1- 70.
Bai M-Y, Wang C-W, Wang J-Y, Lin M-F, Chan WP. Three-dimensional structure and cytokine distribution of platelet-rich fibrin. Clinics. 2017;72:116–24.
Bais MV, Wigner N, Young M, et al. BMP2 is essential for postnatal osteogenesis but not for recruitment of osteogenic stem cells. Bone. 2009; 45(2):254–66. [PubMed: 19398045]
Bahney, C. S., Zondervan, R. L., Allison, P., Theologis, A., Ashley, J. W., Ahn, J., Miclau, T., et al. (2019) ‘Cellular biology of fracture healing’, Journal of Orthopaedic Research, 37(1), pp. 35–50. doi: 10.1002/jor.24170.
Balga R, Wetterwald A, Portenier J, et al. Tumor necrosis factor-alpha: alternative role as an inhibitor of osteoclast formation in vitro. Bone. 2006; 39(2):325–35. [PubMed: 16580896]
Bassett, CAL. Biophysical principles affecting bone structure. In: Bourne, GH., editor.
Biochemistry and Physiology of bone. 2. Academic Press; New York: 1971. p. 341-376.
Bhandari M, Guyatt GH, Swiontkowski MF, et al. Surgeons’ preferences for the operative treatment of fractures of the tibial shaft. An international survey. J Bone Joint Surg Am.
2001;83-A(11):1746–1752.
Bölükbaşi, N. et al. (2013) ‘The Use of Platelet rich fibrin in Combination With Biphasic Calcium Phosphate in the Treatment of Bone Defects: A Histologic and Histomorphometric Study’, Current Therapeutic Research - Clinical and Experimental, 75. 15–21.
Bölükbaşi, N. et al. (2013) ‘The Use of Platelet rich fibrin in Combination With Biphasic Calcium Phosphate in the Treatment of Bone Defects: A Histologic and Histomorphometric Study’, Current Therapeutic Research - Clinical and Experimental, 75. 15–21.
Bosse MJ, MacKenzie EJ, Kellam JF, et al. An analysis of outcomes of reconstruction or amputation after leg-threatening injuries. N Engl J Med. 2002; 347(24):1924–1931.
Breur GJ, VanEnkevort BA, Farnum CE, et al. Linear relationship between the volume of hypertrophic chondrocytes and the rate of longitudinal bone growth in growth plates.
Journal of Orthopaedic Research. 1991; 9(3):348–59. [PubMed: 2010838]
39 Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. Rockwood & Green's Fractures in Adults, 6th
Edition. USA: Maryland Composition. 2006. p80-331
Carano RA, Filvaroff EH. Angiogenesis and bone repair. Drug Discovery Today. 2003;
8(21):980–9. [PubMed: 14643161]
Charan, Jaykaran, and Tamoghna Biswas. “How to calculate sample size for different study designs in medical research?.” Indian journal of psychological medicine vol. 35,2 (2013):
121-6. doi:10.4103/0253-7176.116232
Cho HH, Kyoung KM, Seo MJ, et al. Overexpression of CXCR4 increases migration and proliferation of human adipose tissue stromal cells. Stem Cells & Development. 2006;
15(6):853– 64. [PubMed: 17253948]
Choukroun J, Diss A, Simonpieri A, Girard M-O, Schoeffler C, Dohan SL, et al. Platelet rich fibrin (PRF): a second-generation platelet concentrate. Part IV: clinical effects on tissue healing. Oral Surgery, Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endodontology.
2006;101(3):e56–60.
Colnot, C. (2009) ‘Skeletal cell fate decisions within periosteum and bone marrow during bone regeneration’, Journal of Bone and Mineral Research, 24(2). 274–282.
Cooper, K. L. et al. (2013) ‘Multiple phases of chondrocyte enlargement underlie differences in skeletal proportions’, Nature, 495(7441). 375–378.
Daley, J. M. et al. (2010) ‘The phenotype of murine wound macrophages’, Journal of Leukocyte Biology, 87(1). 59–67.
Dohan DM, Choukroun J, Diss A, Dohan SL, Dohan AJJ, Mouhyi J, et al. Platelet rich fibrin (PRF): a second-generation platelet concentrate. Part I: technological concepts and evolution. Oral Surgery, Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endodontology.
2006;101(3):e37–44.
Dülgeroglu TC, Metineren H. Evaluation of the effect of platelet rich fibrin on long bone healing:
an experimental rat model. Orthopedics. 2017;40(3):e479–84.
Dy, P. et al. (2012) ‘Sox9 Directs Hypertrophic Maturation and Blocks Osteoblast Differentiation of Growth Plate Chondrocytes’, Developmental Cell, 22(3). 597–609.
Einhorn TA. The cell and molecular biology of fracture healing. Clinical Orthopaedics & Related Research. 1998; 355(Suppl):S7–21. [PubMed: 9917622]
40 Einhorn, T. A. & Gerstenfeld, L. C. (2015) ‘Fracture healing: Mechanisms and interventions’,
Nature Reviews Rheumatology. Nature Publishing Group, pp. 45–54. doi:
10.1038/nrrheum.2014.164.
Fukui N, Ueno T, Ito Y, Takahashi Y, Kimura Y, Nakajima Y, et al. Quantification of growth factors in platelet-rich Fibrin: A preliminary study. J Hard Tissue Biol. 2015;24(3):231–4.
Gerstenfeld LC, Alkhiary YM, Krall EA, et al. Three-dimensional reconstruction of fracture callus morphogenesis. Journal of Histochemistry & Cytochemistry. 2006; 54(11):1215–28.
[PubMed: 16864894]
Gerstenfeld LC, Cullinane DM, Barnes GL, et al. Fracture healing as a post-natal developmental process: molecular, spatial, and temporal aspects of its regulation. Journal of Cellular Biochemistry. 2003; 88(5):873–84. [PubMed: 12616527]
Giangregorio L, El-Kotob R. Exercise, muscle, and the applied load-bone strength balance.
Osteoporos Int. 2017;28(1):21–33.
Giannoudis PV, Papakostidis C, Kouvidis G, et al. The role of plating in the operative treatment of severe open tibial fractures: a systematic review. Int Orthop. 2009;33(1): 19–26.
Goh JC, Mech AM, Lee EH, Ang EJ, Bayon P, Pho RW. Biomechanical study on the load-bearing characteristics of the fibula and the effects of fibular resection. Clin Orthop Relat Res. 1992 Jun;(279):223-8.
Goldberg VM, Powell A, Shaffer JW, Zika J, Bos GD, Heiple KG. Bone grafting: role of histocompatibility in transplantation. J Orthop Res. 1985; 3(4):389-404.
Gordon, S. and Martinez, F. O. (2010) ‘Alternative activation of macrophages: Mechanism and functions’, Immunity. Immunity. 593–604.
Gosman JH, Hubbell ZR, Shaw CN, Ryan TM. Development of cortical bone geometry in the human femoral and tibial diaphysis. Anat Rec (Hoboken). 2013 May;296(5):774-87.
Granero-Molto F, Weis JA, Miga MI, et al. Regenerative effects of transplanted mesenchymal stem cells in fracture healing. Stem Cells. 2009; 27(8):1887–98. [PubMed: 19544445]
Hattori, T. et al. (2010) ‘SOX9 is a major negative regulator of cartilage vascularization, bone marrow formation and endochondral ossification’, Development, 137(6). 901–911.
He L, Lin Y, Hu X, Zhang Y, Wu H. A comparative study of platelet rich fibrin (PRF) and platelet- rich plasma (PRP) on the effect of proliferation and differentiation of rat osteoblasts in
41 vitro. Oral Surgery, Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endodontology. 2009;108(5):707–
13.
He, L. et al. (2009) ‘A comparative study of platelet rich fibrin (PRF) and platelet-rich plasma (PRP) on the effect of proliferation and differentiation of rat osteoblasts in vitro’, Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology and Endodontology, 108(5).
707–13.
Hu, D. P. et al. (2017) ‘Cartilage to bone transformation during fracture healing is coordinated by the invading vasculature and induction of the core pluripotency genes’, Development (Cambridge), 144(2). 221–234.
Huo MH, Troiano NW, Pelker RR, Gundberg CM, Friedlaender GE. The influence of ibuprofen on fracture repair: biomechanical, biochemical, histologic, and histomorphometric parameters in rats. J Orthop Res. 1991; 9(3):383-390.
Hutson JJ Jr, et al. The treatment of gustilo grade IIIB tibia fractures with application of antibiotic spacer, flap and sequential distraction osteogenesis. Ann Plast Surg. 2010;64(5):541–552.
Ikegami, D. et al. (2011) ‘Sox9 sustains chondrocyte survival and hypertrophy in part through Pik3ca-Akt pathways’, Development, 138(8). 1507–1519.
Isern, J. et al. (2014) ‘The neural crest is a source of mesenchymal stem cells with specialized hematopoietic stem cell niche function’, eLife, 3. 3696.
Joseph V, R., Sam, G. and Amol, N. V. (2014) ‘Clinical evaluation of autologous platelet rich fibrin in horizontal alveolar bony defects.’, Journal of clinical and diagnostic research : JCDR, 8(11). ZC43-7.
Karayürek F, Kadiroğlu ET, Nergiz Y, Akçay NC, Tunik S, Kanay BE, et al. Combining platelet rich fibrin with different bone graft materials: An experimental study on the histopathological and immunohistochemical aspects of bone healing. J Cranio- Maxillofacial Surg. 2019;47(5):815–25.
Kazley J, Jahangir A. Tibia Diaphyseal Fracture. [Updated 2021 Aug 14]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537173/
Keeling JJ, Gwinn DE, Tintle SM, et al. Short-term outcomes of severe open wartime tibial fractures treated with ring external fixation. J Bone Joint Surg Am. 2008;90(12):2643–
2651.
42 Ketenjian AY, Arsenis C. Morphological and biochemical studies during differentiation and
calcification of fracture callus cartilage. Clinical Orthopaedics & Related Research. 1975;
107:266–73. [PubMed: 48443]
Kim, T. H. et al. (2014) ‘Comparison of platelet-rich plasma (PRP), platelet rich fibrin (PRF), and concentrated growth factor (CGF) in rabbit-skull defect healing’, Archives of Oral Biology, 59(5). 550–558.
Kim, P. H. & Leopold, S. S. (2012) ‘Gustilo-Anderson classification’, Clinical Orthopaedics and Related Research. Springer New York LLC, pp. 3270–3274. doi: 10.1007/s11999-012- 2376-6.
Kitaori T, Ito H, Schwarz EM, et al. Stromal cell-derived factor 1/CXCR4 signaling is critical for the recruitment of mesenchymal stem cells to the fracture site during skeletal repair in a mouse model. Arthritis & Rheumatism. 2009; 60(3):813–23. [PubMed: 19248097]
Kon T, Cho TJ, Aizawa T, et al. Expression of osteoprotegerin, receptor activator of NF-kappaB ligand (osteoprotegerin ligand) and related proinflammatory cytokines during fracture healing. Journal of Bone & Mineral Research. 2001; 16(6):1004–14. [PubMed: 11393777]
Kumar, K. R. et al. (2016) ‘Role of plasma-rich fibrin in oral surgery’, Journal of Pharmacy and Bioallied Sciences, 8(Suppl 1). S36–S38.
Larsen P, Elsoe R, Hansen SH, Graven-Nielsen T, Laessoe U, Rasmussen S. Incidence and epidemiology of tibial shaft fractures. Injury. 2015;46(4):746–50.
Leow JM, Clement ND, Tawonsawatruk T, Simpson CJ, Simpson AH. The radiographic union scale in tibial (RUST) fractures: Reliability of the outcome measure at an independent centre. Bone Joint Res. 2016;5(4):116-121. doi:10.1302/2046-3758.54.2000628
Leung, V. Y. L. et al. (2011) ‘SOX9 governs differentiation stage-specific gene expression in growth plate chondrocytes via direct concomitant transactivation and repression’, PLoS Genetics, 7(11).
Lu, L. Y. et al. (2017) ‘Pro-inflammatory M1 macrophages promote Osteogenesis by mesenchymal stem cells via the COX-2-prostaglandin E2 pathway’, Journal of Orthopaedic Research, 35(11). 2378–2385.
Ma J, Ge J, Zhang S, et al. Time course of myocardial stromal cell-derived factor 1 expression and beneficial effects of intravenously administered bone marrow stem cells in rats with
43 experimental myocardial infarction. Basic Research in Cardiology. 2005; 100(3):217–23.
[PubMed: 15754085]
Maes, C. et al. (2010) ‘Osteoblast precursors, but not mature osteoblasts, move into developing and fractured bones along with invading blood vessels’, Developmental Cell, 19(2). 329–
344.
Malhotra, A. et al. (2013) ‘Can platelet-rich plasma (PRP) improve bone healing? A comparison between the theory and experimental outcomes’, Archives of Orthopaedic and Trauma Surgery, 133(2). 153–165.
Marsell R, Einhorn TA. The biology of fracture healing. Injury. 2011;42(6):551–5.
Matsubara, H. et al. (2012) ‘Vascular tissues are a primary source of BMP2 expression during bone formation induced by distraction osteogenesis’, Bone, 51(1). 168–180.
Nandi, S. K. et al. (2010) ‘Orthopaedic applications of bone graft & graft substitutes: A review’, Indian Journal of Medical Research, 132(7). 15–30.
Paulsen F, Böckers TM, Waschke J, Winkler S, Dalkowski K, Mair J, et al. Sobotta anatomy textbook: English edition with Latin nomenclature. Elsevier Health Sciences; 2018.
Reichert IL, McCarthy ID, Hughes SPF. The acute vascular response to intramedullary reaming.
Microsphere estimation of blood flow in the intact ovine tibia. J Bone Joint Surg(Br).
1995;77-B:490–493.
Riskesdas (2013) Riset Kesehatan Dasar. Departemen Kesehatan Indonesia.
Rockwood, C. A., Green, D. P., & Bucholz, R. W. (2015). Rockwood and Green's fractures in adults (8th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sarmiento A, Gersten LM, Sobol PA, Shankwiler JA, Vangsness CT. Tibial shaft fractures treated with functional braces. Experience with 780 fractures. J Bone Joint Surg Br. 1989 Aug;71(4):602-9.
Simpson, A. H. R. W. & Tsang, S. T. J. (2018) ‘Non-union after plate fixation’, Injury. Elsevier Ltd, 49, pp. S78–S82. doi: 10.1016/S0020-1383(18)30309-7.
Singh, A., Kohli, M. and Gupta, N. (2012) ‘Platelet Rich Fibrin: A Novel Approach for Osseous Regeneration’, Journal of Maxillofacial and Oral Surgery, 11(4). 430–434.
Singh, A., Kohli, M. and Gupta, N. (2012) ‘Platelet Rich Fibrin: A Novel Approach for Osseous Regeneration’, Journal of Maxillofacial and Oral Surgery, 11(4). 430–434.
44 Strachan RK, McCarthy I, Fleming R, et al. The role of the tibial nutrient artery. Microsphere
estimation of blood flow in the osteotomized canine tibia. J Bone Joint Surg (Br). 1990;72- B:391–394.
Thompson JH, Koutsogiannis P, Jahangir A. Tibia Fractures Overview. [Updated 2021 Aug 7].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513267/
Trafton PG. Closed unstable fractures of the tibia. Clin Orthop Relat Res. 1988 May;(230):58-67.
Wendeberg, B. Acta Orthopaedica. 1961. Mineral metabolism of fractures of the tibia in manstudied with external counting of Sr85; p. 1-79.
Whelan DB, Bhandari M, McKee MD, et al. Interobserver and intraobserver variation in the assessment of the healing of tibial fractures after intramedullary fixation. J Bone Joint Surg [Br] 2002;84-B:15-18.
Yang, L. et al. (2014) ‘Hypertrophic chondrocytes can become osteoblasts and osteocytes in endochondral bone formation’, Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 111(33). 12097–12102.
Zhang N, Wu Y-P, Qian S-J, Teng C, Chen S, Li H. Research progress in the mechanism of effect of PRP in bone deficiency healing. Sci world J. 2013;2013.
Zhou, X. et al. (2014) ‘Chondrocytes Transdifferentiate into Osteoblasts in Endochondral Bone during Development, Postnatal Growth and Fracture Healing in Mice’, PLoS Genetics, 10(12).