• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-undang Kesehatan No.23/1992 merupakan landasan atau pokok-pokok tentang kegiatan bidang kesehatan. Dalam undang-undang tersebut tercantum bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Undang-undang tersebut menekankan desentralisasi pertanggungan jawab operasional dan kewenangan daerah sebagai syarat untuk keberhasilan dan kelangsungan pembangunan kesehatan.

Dalam usaha pembangunan dan perbaikan kesehatan masyarakat, pemerintah Indonesia dalam hal ini departemen kesehatan telah menyediakan fasilitas kesehatan masyarakat dalam bentuk pusat pelayanan kesehatan masyarakat (puskesmas). Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) adalah unit pelaksana teknis (UPT) dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan masyarakat di suatu wilayah kerja.

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas.

Surat keputusan menteri kesehatan No. 1202/MenKes/SK/VIII/2003 menetapkan salah satu indikator mengenai mutu pelayanan kesehatan adalah persentase penduduk yang memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, pustu, poskesdes, polindes ataupun fasilitas-fasilitas kesehatan lainnya.

Menurut kementerian kesehatan Republik Indonesia ada sebanyak 9325

Rumah tangga di Indonesia yang mengetahui keberadaan unit pelayanan yang disediakan pemerintah terbilang tinggi yaitu RS 80,7%, puskesmas/pustu 93,7%, polindes 26,3%, poskesdes 19,9% dan posyandu 74,5%. Untuk provinsi Sumatera Utara RS 75,6%, puskesmas/pustu 87,5%, polindes 33%, poskesdes 30,9% dan posyandu 68,5%. Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan unit pelayanan tidak diikuti dengan tingkat pemanfaatannya karena pemanfaatannya masih terbilang rendah. Di Indonesia tingkat pemanfaatan unit pelayanan yang disediakan pemerintah untuk RS 31,8%, puskesmas/pustu 63,3%, polindes 6,3%, poskesdes 3,9% dan posyandu 23,8% untuk provinsi Sumatera Utara tingkat pemanfaatan RS 29,4%, puskesmas telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2011, namun puskesmas belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat meskipun sarana pelayanan kesehatan dasar telah terdapat di semua kecamatan dan ditunjang oleh tiga atau empat puskesmas pembantu namun upaya peningkatan kesehatan belum dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat, diperkirakan hanya sekitar 30% penduduk yang memanfaatkan pelayanan puskesmas dan puskesmas pembantu (pustu).

puskesmas/pustu 44%, polindes 9,7%, poskesdes 7,8% dan posyandu 16,6% (Riskesdas, 2010).

Indonesia telah mengalami perubahan sosiodemografis yang besar hal ini bisa dilihat dari komposisi populasi penduduk Indonesia yang saat ini sangat mirip dengan komposisi penduduk di sebagian besar negara-negara di Eropa pada tahun 1950-an dan prediksi pada tahun 2025 dimana jumlah penduduk yang berumur 30 - 60 tahun akan melebihi jumlah yang berumur 0 - 30 tahun. Hal ini diakibatkan penduduk Indonesia berusia lebih panjang, jumlah anak-anak yang meninggal karena penyakit menular semakin menurun, serta semakin meningkatnya tingkat pendidikan atau melek huruf pada wanita. Pendapatan penduduk yang meningkat, pengetahuan yang lebih baik juga mengubah persepsi (sosiopsikologis) masyarakat yang memungkinkan peningkatan ekspektasi terhadap pelayanan kesehatan yang ada dan memengaruhi pemanfaatan puskesmas (Worldbank, 2008).

Pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh pola pencarian pelayanan kesehatan hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa pada pertengahan tahun 1990-an semakin banyak masyarakat Indonesia yang mengubah pola pencarian pelayanan kesehatan dari layanan rawat jalan berbasis fasilitas. Lebih dari 50% menyatakan bahwa mereka mengandalkan pengobatan mandiri untuk menyembuhkan penyakit mereka dengan membeli obat di apotek atau toko obat.

Di antara populasi yang mengeluhkan gejala sakit pada tahun 2006, 51% mengandalkan pengobatan mandiri, 34% mencari pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan, dan 15% tidak mengupayakan perawatan sama sekali. Sebaliknya, pada

tahun 1993, hanya 27% penduduk yang jatuh sakit mengandalkan pengobatan mandiri, sedangkan 53% mendatangi fasilitas-fasilitas kesehatan, dan sekitar 21% tidak mengupayakan perawatan sama sekali (Worldbank, 2008).

Pemanfaatan fasilitas kesehatan yang rendah baik milik pemerintah maupun swasta antara lain karena ketidakefisienan dan buruknya kualitas pelayanan kesehatan, buruknya kualitas infrastruktur, dan masih banyak pusat kesehatan yang tidak memiliki perlengkapan yang memadai di daerah terpencil, tingginya ketidakhadiran dokter di puskesmas, serta kurangnya pendidikan tenaga kerja kesehatan (World Bank,2008).

Rendahnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan dapat dilihat pemanfaatan puskesmas 12%, pemanfaatan pustu 4,5%, poskesdes atau polindes 1,5%. Pencapaian terhadap target standar pelayanan minimal (SPM) yang mengikuti MDG’s antara lain cakupan terhadap kunjungan ibu hamil K4 sebesar 61,3% sementara target SPM 95%, cakupan peserta KB aktif 53,9% sementara target SPM 70%, cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan 82,3% sementara target nasional 90% dan cakupan kunjungan neonatus 60,6% sementara target SPM 90% (Riskesdas, 2010)

Penelitian Syafriadi, dkk (2008) di Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu menyimpulkan bahwa pelayanan kesehatan berkaitan dengan semua faktor yang menyebabkan seseorang memanfaatkan pelayanan kesehatan. Kelompok wanita, orang tua, masyarakat miskin dengan status kesehatan yang lebih rendah banyak memanfaatkan fasilitas kesehatan pemerintah (puskesmas) yang melayani asuransi

kesehatan. Wanita, orang yang berpendidikan tinggi dengan kondisi kesehatan yang lemah lebih cenderung memanfaatkan pelayanan kesehatan swasta. Pemanfaatan unit gawat darurat, rumah sakit dan rujukan sangat dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan, sedangkan tingkat sosial ekonomi rendah tidak memengaruhi dalam pemanfaatan jenis pelayanan tersebut.

Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan dasar berhubungan dengan nilai-nilai kepercayaan/agama pada populasi tertentu. Kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap kesehatan itu sendiri. Disamping itu masalah persepsi mengenai risiko sakit merupakan hal yang penting. Sebagian masyarakat sangat memperhatikan status kesehatannya, sebagian lain tidak memperhatikannya.

Penelitian tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar (76,33%) masyarakat yang memanfaatkan puskesmas adalah yang tidak berpendidikan dan berpendidikan rendah. Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung mempunyai demand yang lebih tinggi. Pendidikan yang lebih tinggi cenderung meningkatkan kesadaran akan status kesehatan, dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta, formal maupun non formal, dapat bergantung pada faktor-faktor sosiodemografis, tingkat pendidikan, kepercayaan dan praktek kultural, diskriminasi gender, status perempuan, kondisi lingkungan, sistem politik dan ekonomi, pola penyakit serta sistem pelayanan itu sendiri.

Penelitian Rinaldy (2005) menyatakan bahwa pemanfaatan puskesmas dengan komunikasi interpersonal yang baik di Kota Binjai, menemukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara semangat kerja, penguasaan, kemampuan komunikasi, frekuensi dan diskusi dengan kepuasan pasien sehingga mampu meningkatkan kunjungan pasien ke puskesmas.

Barus (2006) dalam penelitiannya meneliti karakteristik pengunjung puskesmas dan tingkat kepuasannya terhadap infrastruktur puskesmas di Kabupaten Toba Samosir tahun 2006 dan memperoleh bahwa karakteristik pengunjung terbanyak umur 35-39 tahun (16,8%); jenis kelamin perempuan (54,4%); pendidikan SLTP (34,4%); pekerjaan, pekerja bebas di pertanian (38,4%); status perkawinan, kawin (92%); status dalam rumah tangga, anak (51.6%). Aksesibilitas terhadap puskesmas, terbanyak jarak rumah ke puskesmas cukup dekat (41,6%), lama dalam perjalanan 15-30 menit (40,8%); transport, bus/angkot (61,6%); pembayaran berobat, bebas tidak bayar apa-apa (50,4%); sumber biaya, askes/jamsostek/jasa rahardja Menurut Muzaham (1995) pemanfaatan pelayanan kesehatan yang rendah berhubungan dengan karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, kepercayaan, dan pengetahuan. Nilai yang diharapkan pasien untuk dapat memenuhi harapan mereka adalah sikap petugas, rasa empati dan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan serta informasi kesehatan. Menurut Donabedian dan Dever dalam Notoatmodjo (2005), kebutuhan masyarakat dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi faktor sosiodemografi, sosiopsikologi dan faktor penyedia pelayanan kesehatan.

(53,2%). Tingkat kepuasan terhadap infrastruktur puskesmas, elemen infrastruktur yang paling tinggi tingkat kepuasannya adalah kebersihan, kerapian/penampilan petugas dengan nilai 90,3. Elamen infrastruktur yang paling rendah tingkat kepuasannya adalah elemen WC untuk pengunjung dan air di WC dengan nilai masing-masing 78,8 dan 79,3. Tingkat kepuasan tertinggi pada Puskesmas Laguboti (94,73), menyusul Ajibata (91.07) dan yang terendah di Puskesmas Porsea (70,6).

Beberapa pandangan yang berkembang di masyarakat Simalungun tentang pelayanan kesehatan di puskesmas antara lain seringnya ketidakhadiran dokter di puskesmas, peralatan medis kurang memadai, budaya pegawai puskesmas yang tidak disiplin dan tidak ramah. Daya tanggap yang kurang dan kurang menghargai pasien, pelayanan yang terlalu lama sehingga pasien bosan menunggu.

Dalam usaha meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat sejak februari 2011 pemerintah Kabupaten Simalungun menetapkan semua puskesmas yang ada di Kabupaten Simalungun tetap buka selama 24 jam untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tetapi sampai akhir tahun 2011 pemanfaatan oleh pasien ke puskesmas belum menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini bisa dilihat karena tidak ada peningkatan yang signifikan terhadap pemanfaatan puskesmas bila dibandingkan dengan pemanfaatan puskesmas pada tahun 2010 sebelum diberlakukannya puskesmas buka selama 24 jam.

Pemerataan pelayanan kesehatan diusahakan dengan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan. Kabupaten Simalungun memiliki 8 rumah sakit terdiri dari 2 RSU milik daerah; 3 RS perkebunan milik BUMN; dan 3 RS milik yayasan dan

perseorangan. Ada sebanyak 34 puskesmas yang tersebar di 31 kecamatan, 169 unit pustu, 95 unit poskesdes dan 1.328 posyandu yang menyebar di seluruh wilayah kerja puskesmas, praktek dokter, praktek bidan dan sarana kesehatan swasta lainnya (Profil dinas kesehatan Kabupaten Simalungun, 2010).

Gambaran yang menunjukkan rendahnya pemanfaatan puskesmas di Kabupaten Simalungun ditunjukkan oleh rendahnya kunjungan pasien selama tahun 2011 di beberapa puskesmas di Kabupaten Simalungun yang cakupan pemanfaatannya masih berada di bawah

Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di Kabupaten Simalungun, terdapat 34 puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan dan ditemukan salah satu dari puskesmas tersebut dengan kunjungan rendah yaitu Puskesmas Raja Maligas. Pelayanan kesehatan di Puskesmas Raja Maligas masih tergolong rendah karena didapati 20 indikator kinerja berada di bawah target dari 54 indikator SPM 2010 yang sudah ditetapkan.

target nasional yang ditetapkan yaitu sebesar 15%. Cakupan beberapa kinerja puskesmas berdasarkan SPM 2010 di Kabupaten Simalungun juga rendah dimana semua puskesmas tidak ada yang tercapai. Kinerja tersebut adalah cakupan kunjungan bumil K4, cakupan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yang ditangani, cakupan rawat jalan, cakupan rawat inap, pelayanan gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan, cakupan balita bawah garis merah (BGM), cakupan ibu hamil yang mendapat tablet Fe, cakupan pemberian makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) bayi BGM masyarakat miskin (maskin), cakupan kecamatan bebas rawan gizi.

Pelayanan kesehatan Puskesmas Raja Maligas yang masih berada di bawah target SPM 2010 adalah cakupan kunjungan bumil 54,55% (target SPM 95%); cakupan bulin yang ditolong tenaga kesehatan 68,71% (target SPM 90%); cakupan kunjungan neonatus 34,67% (target SPM 90%); cakupan kunjungan bayi 42,56% (target SPM 100%); cakupan BBLR yang ditangani 40% (target SPM 90%); rendahnya murid SD yang diperiksa 3,01% (target SPM 90%); rendahnya cakupan SD yang mendapat pelayanan gigi 24,39% (target SPM 100%); cakupan pelayanan usila 5,02% (target SPM 70%); cakupan balita yang naik berat badannya 34,76% (target SPM 80%); cakupan balita mendapat 2x KVA 32,69% (target SPM 90%); cakupan bumil yang mendapat 90 tablet Fe 28,65% (target SPM 90%); cakupan MP-ASI bayi BGM maskin 43,48% (target SPM 100%); pertolongan ibu hamil yang beresiko tinggi oleh tenaga kesehatan 45,45% (target SPM 80%); rumah/bangunan bebas jentik yang diperiksa 25,54% (target SPM 95%); bayi yang mendapat ASI ekslusif yaitu 15,36% (target SPM 80%); rumah sehat 77,55% (target SPM 85%) dan jaminan pemeliharaan kesehatan pra bayar 28,05% (target SPM 100%). (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun 2010).

Jumlah kunjungan pasien ke Puskesmas Raja Maligas sejak tahun 2009 - tahun 2011 dapat dilihat pada bagan berikut:

Tabel 1.1 Jumlah Cakupan Kunjungan Pasien di Puskesmas Raja Maligas Tahun Kunjungan Pasien Jumlah Penduduk Persentase

2009 993 12.732 7,79%

2010 1.057 12.265 8,62%

2011 1.579 12.220 12,92%

Sumber: Register Pasien Puskesmas Raja Maligas Kec. Hutabayu Raja

Dari tabel tersebut terlihat bahwa tingkat pemanfaatan Puskesmas Raja Maligas selama kurun waktu tiga tahun terakhir masih tergolong rendah dan masih berada di bawah target nasional yang sudah ditetapkan yaitu sebesar 15%.

Dari survey awal yang dilakukan di Puskesmas Raja Maligas menunjukkan bahwa masalah sosiodemografi yang terkait kunjungan pasien ke puskesmas adalah tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan yang rendah, hal ini bisa diakibatkan pendidikannya yang rendah. Penghasilan yang kurang untuk melakukan Berdasarkan survey pendahuluan tentang gambaran Puskesmas Raja Maligas dilihat dari lokasi, puskesmas dapat dijangkau masyarakat sebagian besar dengan kendaraan umum, namun sebagian besar harus menggunakan kendaraan pribadi karena angkutan umum yang beroperasi di wilayah puskemas jumlahnya sedikit. Sebagian besar penduduknya adalah petani dan pedagang. Sebagian besar petugas tinggal di wilayah kecamatan. Selain Puskesmas Raja Maligas juga terdapat Puskesmas Hutabayu di wilayah kecamatan yang sama. Fasilitas kesehatan yang ada hanyalah 1 praktek dokter umum, beberapa toko obat dan klinik bidan dan perawat yang bersedia dipanggil jika pasien membutuhkan. Hal ini juga memiliki peluang memengaruhi jumlah kunjungan ke puskesmas.

perawatan kesehatan juga diduga sebagai faktor penyebab. Pekerjaan masyarakat yang kebanyakan adalah petani yang lebih mementingkan pergi ke ladang daripada hanya sekedar pergi ke puskesmas bisa juga menjadi alasan untuk tidak melakukan kunjungan ke puskesmas.

Dari survey awal juga ditemukan faktor sosiopsikologis yaitu persepsi pasien tentang sehat-sakit yang berbeda-beda. Bila sakitnya tidak sembuh dengan beli obat dari toko obat baru akan pergi ke fasilitas kesehatan. Tingkat kepercayaan yang rendah terhadap pelayanan medis di puskesmas. Faktor pelayanan kesehatan di puskesmas seperti lambatnya pelayanan yang diterima, ketidakhadiran dokter sehingga pasien hanya dilayani perawat atau bidan, ketidakramahan petugas dan daya tanggap tenaga kesehatan yang kurang pada kebutuhan pasien.

Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah keluarga, tingkat pendidikan, dan pekerjaan), faktor sosiopsikologi (persepsi terhadap penyakit dan kepercayaan terhadap pelayanan medis), dan pelayanan kesehatan (kecepatan pelayanan, pelayanan personil, ketersediaan pelayanan dan biaya pelayanan) terhadap pemanfaatan Puskesmas Raja Maligas Kecamatan Hutabayu Raja Kabupaten Simalungun.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya pemanfaatan Puskesmas Raja Maligas Kecamatan Hutabayu Raja Kabupaten Simalungun pada tahun 2011.