• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

1.1. Latar Belakang

Tata kelola yang baik (good governance) adalah suatu sistem manajemen pemerintah yang dapat merespon aspirasi masyarakat sekaligus meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah melalui pelayanan yang dibutuhkan masyarakat, karena keberadaan pemerintah dasarnya dibentuk atas pemberian mandat atau kepercayaan publik untuk melaksanakan penyelenggaraan urusan bernegara dan berbangsa. Sebagai penyelenggara pemerintahan dan bernegara, dualisme fungsi publik dan negara bagian tidak terpisahkan di dalam pelayanan publik. Kewenangan kekuasaan (power of authority) dan pemberian layanan yang tidak terbatas hanya pada izin dibidang administrasi kependudukan melainkan juga cakupan pelaksanaan program pembangunan pemerintah, diyakini akan membentuk suatu pemerintahan yang kuat atas kepercayaan masyarakat. Namun sebaliknya apabila pemerintah tidak dapat memenuhi keinginan publik (development need), maka gerakan unjuk rasa akibat ketidakpuasan publik terhadap pemerintah akan meningkat.

Saat ini ketidakpuasan terhadap penyelenggara pemerintahan masih sering terdengar dan hampir terjadi di semua lembaga atau instansi pemerintah. Keadaan ini makin terasa sejak Indonesia menganut sistem desentralisasi atau otonomi daerah dalam pelaksanaan pemerintahan. sebagai contoh, pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sering memakan waktu lama, ada yang bisa mencapai sebulan bahkan lebih. Hal sama terjadi saat mengurus berbagai keperluan, seperti perizinan usaha. Lama dan panjangnya pengurusan berbagai pelayanan publik tersebut masih ditambah dengan masih munculnya praktik atau perilaku koruptif oknum pegawai negeri. Menurut publikasi (Februari 2009) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa kualitas pelayanan publik di pelbagai kota di Indonesia pencapaian skornya berada di bawah angka 5,7. Hasil temuan KPK ini menunjukkan realitas kontraproduktif dengan reformasi birokrasi. Bukan saja menggambarkan pelayanan minimalis, tetapi mempresentasikan lemahnya pemahaman aparatur khususnya aparatur akan hakikat pekerjaan mereka (Dwiyanto, dkk. 2002).

Dibidang partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan serta pelaksanaan pembangunan, kritikan publik terhadap kurangnya keterlibatan masyarakat seringkali dikemukakan oleh masyarakat maupun akademisi melalui mass media terutama penjaringan aspirasi perencanaan mulai dari tingkat musyawarah desa/kelurahan, selalu dianggap belum menampung aspirasi masyarakat. Terjadinya kesenjangan apa yang diminta dan dibutuhkan masyarakat terhadap program pemerintah yang diturunkan ke desa/kelurahan akan menimbulkan penolakan melalui sikap tidak peduli bahkan unjuk rasa pelaksanaan program pembangunan. Masyarakat tidak merasakan adanya keterkaitan program pemerintah bagi kepentingannya.

Akumulasi berbagai persoalan pelayanan publik yang terjadi dimana-mana telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur pemerintah, sehingga posisi aparatur senantiasa disudutkan pada posisi yang terdiskreditkan dan digeneralisir. Aparatur masih dipandang sebagai sosok yang lamban, kurang responsif dan berbelit-belit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal itu berdampak akan menjadi penghambat dalam mewujudkan pelaksanaan program-program pemerintah apabila upaya peningkatan pelayanan publik tidak diawali dengan perubahan sikap aparatur pemerintah kepada komitmen awal bahwa pemerintah atau aparaturnya yang berfungsi sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Hal ini didasarkan pandangan bahwa masyarakat adalah pemilik pemerintah oleh karena itu abdi negara harus diubah menjadi pelayan masyarakat, karena sesungguhnya birokrasi adalah pelayan masyarakat. Birokrasi tidak lagi sepenuhnya berorientasi kepada kekuasaan dan aktivitas negara, akan tetapi berusaha bagaimana memberikan pelayanan publik yang terbaik kepada masyarakatnya.

Di sisi lain, masyarakat di daerah saat ini sudah semakin maju (berpendidikan) dan semakin kritis serta sudah lebih mengetahui hak-haknya dalam mendapat pelayanan publik yang berkualitas. Ini tentu menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas, profesional, dan prima kepada masyarakat. Selain itu, pelayanan birokrasi juga menjadi indikator utama bagi masyarakat untuk menilai sejauhmana pelaksanaan good governance di daerah sudah berjalan dengan baik. Ciri birokrasi tradisional yang minta dilayani, mahal biayanya, mempersulit, memperlambat di era otonomi

daerah harus diubah menjadi lebih baik, mau melayani dengan sepenuh hati, murah biayanya, mempercepat pelayanan dan bukan sebaliknya.

Membangun kapasitas profesionalisme aparatur pemerintah daerah merupakan pekerjaan berat, sama beratnya dengan mewujudkan kinerja birokrasi pemerintah daerah. Tetapi bagaimanapun beratnya tantangan tersebut, upaya untuk mewujudkan profesionalisme aparatur pemerintah daerah ke depan merupakan tugas yang harus dilaksanakan. Memprioritaskan masyarakat, berarti menyesuaikan mindset pelayanan publik berdasarkan kebutuhan masyarakat. Tantangan terpenting lain bagi kualitas layanan publik adalah menciptakan budaya pelayanan serta peningkatan kompentensi aparatur yang dapat merubah set mental di kepala setiap aparatur pemerintahan.

Pemerintah daerah harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan (diklat). Diklat birokrasi adalah ”human investment” yang memerlukan proses dan hasilnya akan tampak dan dapat dirasakan setelah beberapa saat kemudian. Diklat yang dilakukan di daerah tidak hanya bersifat penjenjangan, akan tetapi diklat non penjenjangan perlu diintensifkan. Diklat nonpenjenjangan sangat membantu birokrasi dalam membekali pengetahuan dan keterampilannya dalam menghadapi berbagai tantangan dan masalah serta perubahan (dinamika) yang begitu pesat terjadi dalam masyarakat baik pada saat ini maupun di masa yang akan datang.

Bertolak dari kondisi riil yang ada, maka asumsi yang muncul adalah perubahan dari manapun dipandang rasional dan relevan akan saling memfasilitasi, artinya sistem pengelolaan SDM yang berbasis good governance sebaiknya mulai dirintis dan itu akan memfasilitasi terjadinya proses pemberdayaan aparatur daerah untuk menginternalisasikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai good governance dalam sistem birokrasi pemerintah daerah. Sebaliknya, upaya–upaya terhadap peningkatan kualitas kompetensi sumberdaya Aparatur daerah yang selama ini sudah dilakukan secara rutin berupa diklat atau bimtek akan melengkapi pencapaian prinsip-prinsip atau nilai good governance sebagai aparatur penggerak atau penentu tercapainya pemerintahan yang baik untuk masyarakat.

Badan atau lembaga pengelola sumber daya aparatur daerah secara kontekstual berfokus pada fungsi administratif pemerintah lokal dan secara substansi berfokus pada fungsi pelayanan publik. Untuk itu pemerintah daerah

memerlukan sebuah pendekatan baru untuk mengikuti perubahan zaman yang semakin cepat. Sebuah pendekatan yang disebut peningkatan aparatur berbasis pelayanan publik. Dengan perkataan lain pokok kebijakan yang dikembangkan adalah diklat berbasis kompetensi publik

Untuk dapat membentuk kompetensi pegawai negeri sipil (PNS), perspektif penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang mengarah kepada upaya peningkatan citra aparatur bersih di masyarakat mutlak diperlukan, oleh karena itu keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau turut memberikan andil terhadap pencitraan aparatur PNS di Daerah. Tujuan daripada Lembaga UPT ini adalah meningkatkan pengetahuan, keahlian, ketrampilan dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas pokok, serta menciptakan aparatur PNS yang berorientasi kepada pengabdian dan pelayanan masyarakat.

, yang menyatakan bahwa keseluruhan kebijakan, sistem dan proses penyelenggaraan diklat didasarkan dan diarahkan pada pencapaian fungsi administratif dan pelayanan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 yang menegaskan hubungan kedudukan pegawai negeri sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan masyarakat yang berperan dan melaksanakan tugas dan fungsi tertentu sesuai kewajiban yag harus diembannya. Secara umum kompetensi jabatan PNS berarti “kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya”. Sebab itu, standar kompetensi yang perlu dimiliki PNS agar yang bersangkutan mampu mengemban tugas dan fungsinya sebagai “Pegawai Republik” adalah” sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.

Jika selama ini lembaga pendidikan dan pelatihan Pemerintah Provinsi Riau lebih diarahkan kepada penyiapan SDM Aparatur daerah, maka kedepan dibutuhkan suatu metode yang tidak hanya membekali PNS di bidang ilmu dan pengetahuan tetapi juga menyiapkan PNS yang siap menyongsong suatu kondisi yang dapat menimbulkan simpati masyarakat kepada aparatur daerah. Apalagi tantangan yang dihadapi bukan semakin ringan terbukti sikap kritis masyarakat pasca era desentralisasi cenderung semakin meningkat bahkan secara terang-terangan menuntut agar PNS dapat befungsi dan bertugas sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Pemerintah dalam hal ini lembaga teknis pendidikan dan

pelatihan Pemerintah Provinsi Riau diciptakan karena adanya kebutuhan akan kehadiran PNS yang berkualitas SDM tetapi juga mempunyai sikap dan perilaku yang penuh dengan kesetiaan, bermoral dan bermental baik serta sadar akan tanggungjawab sebagai pelayan publik.

Disadari bahwa pembentukan kualitas ilmu pengetahuan PNS, serta sikap dan perilakunya tidak sepenuhnya dapat menghadirkan aparatur yang profesional seperti yang didambakan oleh masyarakat. Namun keberadaan Unit Pelaksana Teknis Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Badan Kepegawaian Provinsi Riau tidak semata-mata kehadirannya untuk melatih dan mendidik aparatur daerah. Ada sesuatu yang harus ditinjau kembali apabila dikaitkan terhadap persepsi masyarakat umum kepada PNS, yaitu sejauh mana kehadiran Lembaga UPT Pendidikan dan Pelatihan dapat memberikan perubahan kepada aparatur PNS yang telah dilatihnya kepada kinerja layanan yang lebih baik. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap performa PNS sebagai abdi masyarakat. Mungkin tidak berlebihan menyikapinya jika terjadinya penyimpangan perilaku PNS yang mengecewakan masyarakat, meskipun penyimpangan hanya dilakukan oleh sebagian kalangan kecil PNS telah menurunkan wibawa aparatur PNS secara keseluruhannya. Timbulnya kekecewaan masyarakat terhadap PNS seharusnya disikapi lebih bijaksana karena menunjukkan masih tingginya empati masyarakat terhadap aparatur PNS, dan salah satu upaya memulihkan kepercayaan masyarakat kepada aparatur PNS dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan.