• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang di harapkan peneliti yaitu : 1. Secara teoritis

a. Peneltian ini diharap kan mampu memberikan sumbangsi pemikiran terhadap kolaborasi pemerintah dan masyarakat dalam percepatan pengendalian COVID-19 (Studi Kasus kebijakan Penerapan PSBB) di Kota Makassar.

8

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelti selajutnya yang sejenis.

2. Secara praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi bagi pemerintah Kota Makassar agar lebih maksimal dalam menangani percepatan pengendalian COVID-19 ( Studi Kasus Kebijakan Penerapan PSBB) di Kota Makassar.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran saran terhadap pemerintah dalam menangani percepatan pengendalian COVID-19 (Studi Kasus Kebijakan Penerapan PSBB) di Kota Makassar.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan salah satu acuan penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memerbanyak teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan, salain itu Penelitian terdahulu bertujuan sebagai bahan perbandingan untuk menghindari anggapan kesamaan dengan penelitian ini. Maka peneliti mencantumkan hasil-hasil penelitian terdahulu sebagai berikut: menyatakan bahwa pembentukan aturan terkait pencegahan Covid-19 di Indonesia sangat penting dan mendesak untuk dilakukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kesehatan.

Berdasarkan hasil penelitian upaya mencegah mata rantai penyebaran Covid-19 yang berdampak besar di semua sektor kehidupan masyarakat, negara dalam hal ini pemerintah harus

9

10

Pemberantasan

Pandemi Coronavirus Disease (Covid)-19

tegas dalam menerapkan sanksi pidana dan pidana denda sebagai alternatif untuk menjadikan masyarakat jera, teredukasi dan sebagai sarana pengendalian sosial.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan serta Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dapat dijadikan

dasar untuk menjerat pidana terhadap pelanggar PSBB. Meningkatnya jumlah kasus positif Covid 19 di Indonesia membawa masalah yang serius. Prevalensi penyebaran virus Covid 19 telah menyentuh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari remaja hingga kalangan tua.

Pemerintah dituntut untuk segera mengeluarkan kebijakan yang ampuh dalam menangani wabah Covid 19.

Berkaca pada penanganan Covid 19 di negara lain, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa kebijakan.

Diantaranya yaitu kebijakan

11

Adapun Kelebihan dan kekekurangan pada peneltian terdahulu yaitu :

1. Dalinama Telaumbanua, (2020) : Pada Penelitian ini hanya menjelaskan tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penanganan COVID-19 namun tidak menjelaskan mengenai sanksi-sanksi serta aturan yang mengatur tentang pelanggaran yang di lakukan oleh masyarkat.

2. Kartono,(2020) : Pada Penelitian ini menjelaskan peraturan yang di terapkan pemerintah yaitu penerpan Pembatasan Sosial Brskala besar serta respon masyarkat terhadap peraturan yang telah di terapkan kekurangan pada

meliburkan sekolah, universitas, bekerja dari rumah, beribadah dari rumah, melakukan tes rapid secara massal, memberi bantuan sosial, mengeluarkan himbauan untuk melakukan social distancing dan physical distancing, hingga menerapkan pembatasan sosial berskala besar . Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah menunjukkan nalar rasional. Dari sisi kesehatan, kebijakan untuk menjaga jarak dan menghindari kerumunan secara rasional dapat diterima sebagai cara menghindari penularan virus Covid 19.

12

penelelitian ini tidak menjelaskan dampak yang timbul akibat penerpan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

3. Zulfa Harirah, MS (2020) : Pada penelitian ini menjelaskan bagaimana respon mayarakat terkait kebijakan yang telah di terapkan oleh pemerintah dalam menekan persebaran covid-19 di Indonesia kekurangan pada penelitian ini yaitu Penelitian ini lebih banyak menjelaskan tentang peraturan-peraturan serta bebagai kebijakan yang di terapkan di negara lain ketimbang menjelaskan respon masyrakat dalam kebijakan atau peraturan yang di terapkan.

Berdasarkan ketiga penelitian terdahulu terdapat perbedaan dengan penelitian yang saat ini akan peneliti lakukan ketiga penelitian di atas secara umum menjeleskan berbagai peraturan serta kebijakan yang di terapkan oleh pemerintah di Indonesia sedangan peneltian yang akan peneliti lakukan berfokus pada bagaimana kolaboasi pemerintah dengan masyarakat dalam menekan persebaran COVID-19 melalui penerapan PSBB khusus nya di Kota Makassar.

B. Konsep Kolaborasi

1. Pengertian Kolaborasi

Secara epistimologi, kata kolaborasi berasal dari bahas Inggris yaitu

‘co-labour’yang artinya bekerja bersama. Pada abad ke-19 kata kolaborasi mulai digunakan ketika industrialisasi mulai berkembang.

Organisasi pada masa itu menjadi semakin kompleks. Divisi-divisi dalam pembuatan struktur organisasi mulai dibuat untuk pembagian tugas bagi tenaga kerja dalam organisasi tersebut. Kompleksitas

13

organisasi menjadi titik awal sering digunakannya kolaborasi dalam berbagai organisasi (Arrozaaq, 2016).

Sedangkan Menurut Sabaruddin (2015, p. 25) kolaborasi adalah kerja sama antar aktor, antar organisasi, antar institusi dalam rangka pencapaian tujuan yang tidak bisa dicapai atau dilakukan secara independent.Kolaborasi dikenal sebagai kerja sama dengan para aktor baik secara kelompok ataupun secara individu sebagai bentuk komitmen kerja, kesamaan visi dan misi serta tujuan untuk diwujudkan secara bersama-sama dan memungkinkan akan sulit untuk dicapai ketika masing-masing aktor bekerja secara individu atau persomalisme (A.Umar, Burhanuddin, 2019).

Dari Pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa kolaborasi adalah kerja sama yang dilakukan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencapai suatu tujuan bersama.

2. Tahapan-tahapan Kolaborasi

Tahapan-tahapan dalam Pembentukan Kolaborasi Untuk melaksanakan kolaborasi diperlukan beberapa tahapan. Menurut Steven Lewis Yaffee (2003) Ada tiga tahap penting dalam kolaborasi:

1) Tahap I Problem Setting. Problem setting adalah upaya menentukan permasalahan, mengidentifikasikan sumber-sumber, dan membuat kesepakatan untuk melakukan kolaborasi dengan pihak lain.

2) Tahap II Direction Setting. Yaitu menentukan aturan dasar, menyusun agenda dan mengorganisasikan sub-sub kelompok. Menyatukan

14

informasi yang ada, meneliti pilihan, dan memperbanyak persetujuan yang diinginkan.

3) Tahap III Implementation. Aturan dasar yang telah disepakati tersebut merupakan ketentuan yang telah disepakati sehingga dalam pelaksanaannya harus selalu dimonitor (Cahya et al., 2019).

3. Collaborative governance

Menurut Ansell dan Gash (2008) dalam Collaborative governance konsep dan aplikasi mendefinisakan tentang collaborative governance merupakan suatu model pengendalian dimana satu atau lebih lembaga publik secara langsung melibatkan para pemangku kepentingan stakeholder non state dalam proses pegambilan keputusan kolaboratif yang bersifat formal ,berorentasi consensus ,deliberatif dan bertujuan untuk membuat atau menerapkan kebijakan publik ,mengelola program publik atau aset publik. Indikator proses kolaboratif dalam model Collaborative Governance menurut Anshell dan Gash tahun (2008 )berikut :

1) Face to face dialogue (dialog tatap muka) Menurut Ansell and Gash, Collaborative Governance dibangun melalui dialog atau komunikasi secara tatap muka antar pemangku kepentingan (stakeholders). Proses dari Collaborative Governance berorientasi pada konsensus atau kesepakatan, maka komunikasi dengan tatap muka merupakan tahap yang sangat penting pada proses kolaborasi.

15

2) Trust building (membangun kepercayaan) tidak hanya melakukan negosiasi antar aktor, namun lebih kepada membangun kepercayaan antar pemangku kepentingan. Karena, kurangnya kepercayaan diantara para stakeholder merupakan salah satu munculnya collaborative governance.

3) Commitment to the process (komitment terhadap proses) kepemimpinan dalam menggali nilai-nilai kemanfaatan bersama untuk mencapai komitmen para aktor dalam proses kolaboratif sehingga kepemimpinan yang ada harus mampu mendorong menggerakan memfasilitasi dan memperdayakan para aktor yang terlibat.

4) hared Understanding (saling memahami) para aktor harus menyamakan pemahaman atau persepsi akan tujuan yang dapat mereka capai secara bersama. Inilah yang dimaksud shared understandingoleh Ansell dan Gash. Shared understanding merupakan kesepakatan tentang pengetahuan yang relevan yang diperlukan untuk mengatasi masalah. Dalam proses collaborative governance, harus memiliki pemahaman bersama untuk menjadi tujuan bersama.

5) Itermediate outcomes diartikan sebagai hasil proses yang penting untuk membangun momentum yang dapat menyebabkan keberhasilan kolaborasi (La Ode Syaiful Islamy H, 2018).

Menurut Ansell dan Gash Collaborative Governance , perjanjian yang mengatur satu atau lebih lembaga publik yang secara langsung

16

menghubungi pemangku kepentingan non-publik, dan tujuannya adalah untuk membentuk atau melaksanakan kolektif formal, dinegosiasikan dan dinegosiasikan yang bertujuan untuk merumuskan atau melaksanakan kebijakan publik Pengambilan keputusan Prosedur. Kelola prosedur atau aset. Beberapa kata kunci dapat digunakan untuk menekankan definisi ini.

Kata kunci tersebut menekankan enam karakteristik, antara lain:

1) Forum tersebut diinisiasi atau dilaksanakan oleh lembaga publik maupun aktor-aktor dalam lembaga publik.

2) Peserta di dalam forum tersebut juga termasuk aktor non publik.

3) Peserta terlibat secara langsung dalam pembuatan dan pengambilan keputusan dan keputusan tidak harus merajuk pada aktor-aktor publik.

4) Forum terorganisir secara formal dan pertemuan diadakan secara bersama-sama.

5) Forum bertujuan untuk membuat keputusan atas kesepakatan bersama, dengan kata lain forum ini berorientasi pada konsensus.

6) Kolaborasi berfokus pada kebijakan publik maupun manajemen publik. Defenisi ini dapat dimaknai bahwa forum tersebut ada pada sebuah keterkaitan formal sehingga disebutkan hanya berkisar pada kerjasama antara lembaga publik, aktor publik dengan aktor non publik (Febrian, 2016).

17

C. Kebijakan Publik

1. Pengertian Kebijakan Publik

Menurut W.N. Dunn bahwa kebijakan publik adalah serangkaian pilihan Tindakan terkait yang diselenggarakan oleh lembaga atau pejabat Pemerintah, serta pertahanan nasional, kesehatan, pendidikan, Kesejahteraan, pengendalian kejahatan dan pembangunan perkotaan (Isnawati, 2017).

Dari pengerian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan suatu tindaka atau keputusan yang di ambil untuk kepentingan bersama baik itu dalam bentuk kesehatan,pendidikan ,kesejahtraan ,pengendalian dan pembangunan perkotaan. Terutama saat ini seluru dunia di hebohkan dengan mewabahnya virus baru yaitu covid-19 olehnya itu di perlukan kebijakan dalam menangani hal tersebut.

Sedangkan menurut (Nugroho, 2012) kebijakan publik (public policy) adalah :“jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai masayarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan) dan UUD 1945 (Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasrkan hukum dan tidak semata-mata kekuasaan), maka kebijakan publik adalah seluruh prasarana dan sarana untuk mencapai “tempat tujuan” tersebut (Nurfurqon, 2020).

Sehingga dapat di simpulkan bahwa kebijakan publik meruapakan suatu pencapaian tujuan untuk kepentingan bersama terutama untu

18

masyarakat,baik itu sarana maupun prsarana untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat.

Menurut Dunn (1990:609) kemudian, evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisa kebijakan, yaitu sebagai berikut:

a) Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu tentang seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu (misalnya perbaikan kesehatan) dan target tertentu telah dicapai.

b) Evaluasi memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuandan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secar sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuandan sasaran, analis dapat menguji alternatif sumber nilai (kelompok kepentingan, pegawai negeri, dam kelompok-kelompok klien) maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis, ekonomid, legal sosial dan substantif).

c) Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya terutama bagi “Perumusn masalah “dan

“rekomendasi”. Infomasi tentang memadai atau tidaknya kinrja dapat

19

memberi pada perumusan ulang masalah kebijakan. Dengan menunjukkan bahwa tujuandan target perlu didefinisikan. Evaluasi juga dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain

Adapun tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan menurut Dunn adalah sebagai berikut:

1. Fase Penyusunan Agenda (Agenda Setting); di sini para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah kebijakan pada agenda publik.

2. Fase Formulasi Kebijakan (Policy Formulation); di sini para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah.

3. Adopsi Kebijakan(Policy Adoption); di sini alternatif kebijakan dipilih dan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas dan/atau konsensus kelembagaan.

4. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation); di sini kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi dengan memobilisir sumber daya yang dimilikinya, terutama finansial dan manusia.

5. Penilaian Kebijakan (Policy Assesment); di sini unit-unit pemeriksaan dan akuntansi menilai apakah lembaga pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan telah memenuhi persyaratan

20

pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang telah ditentukan (Rokim, 2019).

2. Kebijakan publik di Indonesia dipengaruhi oleh dua aliran pe-mikiran

1) Kontinentalis dan Anglo-Saxonis.A.Pemahaman kontinentalis kebijakan publik adalah turunan dari hukum, bahkan ka-dang mempersamakan antara kebijakan publik dan hu-kum, utamanya hukum publik atau-pun hukum tata negara,sehingga kita melihatnya sebagai proses interaksi di antarainstitusi-institusi negara. Lihat saja, Undang-Undang di Indonesia, sebagai salah satu bentuk terpenting kebijakanpublik, dipahami sebagai produk dari legislatif dan ekse-kutif, dengan meniadakan keberadaan publik dalam inti prosesnya. Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pasca-amandemen, tidak menyebutkan kebijakan publik di da-lamnya; demikian juga UU No. 10 Tahun 2004 tentang per-undang-undangan. Dengan demikian, undang-undang ha-nya dipahami sebagai sebuah produk dari legislatif (DPRatau DPRD) dan disahkan oleh eksekutif (presiden/ kepalanegara, atau kepala daerah). Keberadaan publik tidakmempunyai dukungan secara politik dan yuridis formal.Kebijakan publik di Indonesia cenderung top down.Kontinentalis Hukum adalah salah satu bentuk dari kebi-jakan publik, baik dari sisi wujud maupun produk, proses,atau dari sisi muatan. Dari sisi produk atau wujud:

kebija-21

kan publik dapat berupa hukum, konvensi atau kesepaka-tan, bahkan pada tingkat tertentu berupa keputusan lisanatau perilaku dari pejabat publik. Dari sisi proses, hukummerupakan produk dari negara atau pemerintah, sehinggaposisi rakyat atau publik lebih sebagai penerima produkatau penerima akibat dari perilaku Negara (dalam prosespembuatan kebijakan/hukum, publik tidak dilibatkan.

Pa-dahal kebijakan publik adalah produk yang memperjuang-kan kepentingan publik, artinya pelibatan publik sejak awal hingga akhir adalah mutlak).

2) Pemahaman Anglo-Saxon

Kebijakan publik adalah turunan dari politik-demokrasi se-hingga melihatnya sebagai sebuah produk interaksi antaranegara dan publik. Sistem politik yang ideal adalah demokrasi, dan demokrasiberarti pelibatan rakyat dalam proses politik yang tidakberhenti setelah pemilu usai, dan kemudian para wakilrakyat bebas mendiktekan kemauannya “atas namakepentingan rakyat”. Partisipasi publik adalah proses yangmelekat dalam sistem politik. Dari sisi pandang inilah ke-bijakan publik mendapat-kan pemahaman yang lebih me-madai, dan lebih relevan untuk dijadikan isu tata kelolasetiap negara demokrasi (Nugroho,2009 : 22- 32 )Kedua pemahaman ini menimbulkan bias atau kerancuan da-lam menerjemahkan kebijakan-kebijakan di bawahnya, ditambahdengan rendahnya

22

kualitas legislatif (secara integral) saat ini. Da-lam realitas interaksi selama ini, legislatif kita memiliki “wajah gan-da” atau memiliki dua muka yaitu sebagai agen dan principal.Pemerintah tidak berhadapan langsung dengan rakyat dalam me-nampung aspirasi, apalagi dalam menuangkan aspirasi tersebutberupa kebijakan publik. Rakyat (principal) diwakili oleh legislatif (agen) yang bersama eksekutif merumuskan kebijakan publik. Ide-alnya, ketika legislatif berhadapan dengan eksekutif maka legislatifberperan sebagai principal yang memonitor dan mengendalikaneksekutif (agen). Tetapi realitas juga menunjukkan bahwa kewe-nangan legislatif sebagai wakil rakyat memberikan diskresi yangkerapkali dimanfaatkan untuk kepentingan individu maupun kelompok (partai politik). Dengan demikian, kualitas kebijakan publikmenjadi sangat tergantung pada negosiasi kepentingan tertentu (vested interest), bukan pada kepentingan rakyat (publik) (Kridawati Sadhana, 2011).

D. Kebijakan Penanggulangan COVID-19

1. Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Di Kota Makassar

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam rangka melakukan percepatan penanganan pandemi COVID-19 yang sedang mewabah. Pembatasan kegiatan masyarakat

23

meliputi sekolah diliburkan dan perkantoran, pembatasan kegiatan di tempat keramaian atau fasilitas umum dan pembatasan khusus lainnya yang berkaitan dengan aspek keamanan. Efektivitas diberlakukannya PSBB dalam praktiknya di lapangan hanya akan sukses apabila setiap warga masyarakat mau melakukan pembatasan-pembatasan yang telah disebutkan sebelumnya (Ni Nyoman Pujaningsih 1, 2020).

Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 untuk melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan status darurat kesehatan masyarakat, dimana pemberlakuan PSBB ini tidak seragam di semua daerah namun berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan berdasarkan permintaan daerah yang bersangkutan. Dikutip dari PP No. 21 tahun 2020 tersebut bahwa dasar pertimbangan pemerintah memberlakukan PSBB adalah bahwa penyebaran COVID-19 dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia, bahwa dampak penyebaran COVID-19 telah mengakibatkan terjadi keadaan tertentu sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan, salah satunya dengan tindakan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Peraturan Pemerintah ini kemudian diikuti oleh Keputusan Menteri Kesehatan No. 9 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial

24

Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penangangan COVID-19 dengan dasar pertimbangan yang sama dengan PP yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi (Mollita Rusi, 2020).

Pemberlakuan kebijakan PSBB menuai beragam reaksi yang beragam dimasyarakat. Mayoritas warga mengeluhkan dampak yang dialami diantaranya sulitnya ekonomi karena tidak dapat bekerja seperti biasa khususnya masyarakat kelas bawah. Kodisi fisik yang menurun akibat ruang gerak yang dibatasi serta efek psikologis akibat perasaan khawatir yang berlebihan terhadap virus ini.

Pemerintah juga memberikan Ancaman terhadap pelanggar PSBB yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada.

Antara lain, UndangUndang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan serta Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Selain itu, juga ada Maklumat dari Kopolisian Republik Indonesia Nomor:

Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran COVID-19 dengan menyertakan ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 212 dan atau Pasal 218 KUHP.12 (Nasruddin & Haq, 2020).

Berdasarkan penjelasakan di atas dapat di simpulkan bahwa pemberlakukan sanksi perlu di lakukan agar kebijakan yang telah di

25

tetapkan oleh pemerintah dapat berjalan dengan maksimal atau dapat mengurangi pelanggaran yang terjadi di tengah masyarakat.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang telah disetujui oleh menteri kesehatan, sehingga pemerintah daerah dapat melakukan PSBB atau dengan kata lain pembatasan pergerakan orang atau barang dalam satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu (Ririn Aswandi, Zulistiani Nur Marwah Puteri Madjid, 2020).

Berdasarkan peraturan yang telah disetujui oleh menteri kesehatan, pemerintah daerah dapat melakukan PSBB atau dengan kata lain pembatasan pergerakan orang atau barang di Kota Makassar. Pemerintah daerah melalui aparatur pemerintahannya berkewajiban melaksanakan kebijakan PSBB dengan bekerja sama dengan unsur lainnya seperti dengan unsur Kepolisian dan unsur Tentara Nasional Indonesia.

Dalam pelaksanaan melaksanakan kebijakan PSBB tidak hanya ditujukan secara langsung kepada masyarakat, tetapi juga ditunjukan dengan adanya anggaran baik yang berasal dari APBN maupun yang berasal dari APBD yang secara langsung ditunjukan untuk membiayai implementasi kebijakan PSBB, hal lainnya yaitu membuat instrumen aturan pelaksana/ operasional guna mendukung keberhasilan implementasi kebijakan PSBB baik itu

26

yang berasal dari pemerintah pusat maupun yang berasal dari pemerintah daerah (Herdiana, 2020).

Berdasarkan regulasi tersebut, Pemerintah telah melakukan langkah-langkah dasar. Beberapa langkah-langkah dasar diambil mulai anjuran melakukan:

1) Social/physical distancing.

2) Penggunaan masker (sakit maupun sehat), disinfektan, hand sanitizer, serta Alat Pelindung Diri (khusus tenaga medis dan sejenisnya)

3) Bekerja/belajar/beribadah di rumah saja

4) Pembatasan dan penutupan fasilitas publik secara bertahap

5) Pembatasan dan penutupan akses masuk secara bertahap. Bagi yang melanggar (tetap berkerumun), tidak mendisiplinkan diri maka akan dikenakan sanksi:

a. UU Nomor 6 Tahun 2018 Pasal 93,setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan menghalangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dapat dipidana maksima l tahun penjara dan/ denda maksimal Rp.

100.000.000.00,-

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)Pasal 212, tidak mengindahkan petugas berwenang dapat dipidana maksimal 1 tahun 4 bulan penjara. Padahal telah diperingatkan sebelumnya pada Pasal 216, menghalang-halangi pihak

27

berwenang bertugas diancam pidana maksimal 4 bulan 2 minggu Pasal 218, tetap berkerumun setelah diperingatkan diancam pidana maksimal 4 bulan 2 minggu (Muh. Hasrul, 2020).

2. Kebijakan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar a. Penjagaan setiap perbatasan

Untuk menekan persebaran covid 19 dikakukan penjagaan serta pegecekan bagi setiap masyarakat yang keluar masuk di Kota Makassar

b. Pembatasan bidang transportasi

Dalam bidang transporatasi jumlah penumpang di kurangi 50%

serta untuk transportasi pelayanan ojek online tidak diperbolehkan untuk mengantar penumpang.

c. Penutupan Fasilitas Umum

Penutupan fasilitas yang di maksud seperti tempat wisata ,mall dan larangan untuk makan di tempat untuk penyedia makanan cepat saji.

d. Aturan aktivitas diluar rumah

Masyarkat untuk semntara tidak dapat melakukan aktivitas di luar rumah dan di gantikan dengan WFH (wrok From Home, belajar online,serta penutupan tempat-tempat ibadah

e. Wajib menggunakan masker

28

Bagi masyarakat yang tetap melakukan bekerjaan di luar rumah di wajibkan menggunakan masker serta melakukan Physical Distancing (Muin, n.d.).

E. Keranga Fikir

Kerangka fikir merupakan gambaran alur pemikiran peneliti sebagai kelanjutan dari kajian teori pada tinjauan pustaka untuk memberikan penjelasan ,maka berdasarkan judul penelitian “Kolaborasi pemerintah dengan masyarakat dalam perceptan pengendalian COVID-19 (Studi Kasus Kebijakan Penerapan PSBB) di Kota Makassar“.

Untuk mengetahui kolaborsi pemerintah dengan masyarakat dalam pengendalian percepatan covid 19 serta hasil dari kolaborasi pemerintah dengan masyarakat olehnya itu kerangka fikir yang di gunakan teori Steven Lewis Yaffee (2003).

29

Di dalam teori Steven Lewis Yaffee (2003) menjelaskan ada tiga tahapan yaitu tahapan problem setting,derection setting,dan impementation.

F. Fokus Penelitian

Fokus penelitian digunakan sebagai dasar dalam pengumpulan data, sehingga tidak terjadi bias terhadap data yang diambil. Untuk

Fokus penelitian digunakan sebagai dasar dalam pengumpulan data, sehingga tidak terjadi bias terhadap data yang diambil. Untuk