Uraian sebelum ini bermuara pada faham bahwa KS adalah Sabda Allah dalam kata-kata manusia. Kata-kata manusia itu selalu terkondisikan oleh latar belakang sosio-historis terbentuknya KS. Dari situ dapat disimpulkan bahwa untuk memahami KS perlulah dipahami konteks sosio-historis KS, yaitu situasi sosio-historis abad pertama kekristenan di wilayah Laut Tengah.
A. Antara Yahudi Palestina dan Yahudi Hellenis?
Bila kita membaca buku Sean Freyne yang diolah dan disederhanakan oleh I. Suharyo, Dunia
Perjanjian Baru, akan kita dapati bab-bab terpisah: “Dunia Yunani”, “Dunia Romawi”,
“Dunia Yahudi”. Namun janganlah kita membayangkan bahwa pada abad-abad pertama Masehi itu ada tiga dunia yang terpisah-pisah semacam itu. Setelah studi Martin Hengel,
Judaism and Hellenism (Philadelphia: Fortress Press, 1974; dua jilid) kini orang ragu-ragu
untuk bicara mengenai Yahudi Palestina dan Yahudi Hellenis (Diaspora) seakan kedua dunia tersebut sama sekali berbeda dan terpisah. Studi Hengel mengetengahkan fakta bahwa keduanya saling bertumpang tindih karena pada masa itu ada proses Hellenisasi yang tersebar luas di wilayah Laut Tengah.
Tanah Palestina yang cuma secuil itu punya kedudukan strategis dari sudut politik, ekonomi, budaya. Dan sudah sejak dari zaman baheula selalu menjadi ajang perebutan oleh bangsa Babilon, bangsa Persia, bangsa Siria, dan pada th. 333 BCE (Before the Common
Era) oleh Aleksander Agung yang saat itu menguasai seluruh wilayah Yunani, Siria
Palestina, Mesir, Italia dll. Dalam zaman pemerintahan Aleksandaer Agung itu proses Hellenisasi itu meluas ke mana-mana. Palestina menghubungkan dunia Timur, Barat, Utara, Selatan.
Proses Hellenisasi itu tidak berjalan mulus. Di Palestina terjadi perlawanan hebat. Maklum tradisi Yahudi begitu mendarah-daging dan ketat. Di kota-kota besar, bahkan di Yerusalem, didirikan juga gelanggang-gelanggang olahraga (gymnasium), seperti fitness
centre di zaman modern ini (bhs. Inggris, gymn). Para pria Yunani biasa berlaga dan bergulat
skandal, terlebih lagi bila hal itu dilakukan oleh para pria Yahudi yang keranjingan meniru tingkah laku orang Yunani dengan bertelanjang di muka umum. Tentu saja orang-orang Yahudi yang bersunat menjadi bahan tertawaan orang Yunani yang tidak bersunat! Lebih keterlaluan lagi tingkah Yahudi kaum helenis itu yang karena malu akan sunat mereka kemudian “memulihkan kulup mereka” (1 Makabe 1:14-15), entah bagaimana caranya! Dan dengan demikian menurut pengarang faham Yahudi, “murtadlah mereka dari perjanjian kudus” (1 Mak 1:15).
Perlawanan demi perlawanan terjadi (lihat 1 & 2 Mak). Lebih-lebih setelah bangsa Romawi menguasai Palestina sejak 63 B.C.E (ketika jendral Pompei menduduki Siria dan Palestina), memuncak dengan dihancurkannya Bait Allah oleh Titus tahun 70 CE, dan dihancurkannya Yerusalem dan diusirnya orang Yahudi dari sana pada tahun 135 CE. Yesus hidup dalam situasi kekerasan seperti itu. Maka pesan perdamaian Yesus tentunya terdengar aneh di telinga orang sebangsanya. Bahkan pada zaman ini pun banyak orang tak rela kalau Yesus itu dianggap tak termasuk golongan pejuang kemerdekaan. Berbagai hipotesa muncul tentang Yesus yang revolusioner model Che Guevara, termasuk golongan Zelot (golongan penentang penjajah). Dalam konteks ini juga dapat dimengerti perlawanan yang dihadapi Paulus dan jemaat kristen awal dari kalangan Yahudi sehubungan dengan sunat dan pewartaan kepada bangsa-bangsa lain.
B. Perbudakan dalam dunia Romawi-Yunani abad pertama:
Orang zaman ini pada umumnya menerapkan kategori pemikiran mereka terhadap masalah-masalah zaman dulu. Begitu juga dalam hal perbudakan. Kita sudah terbiasa berpikir bahwa perbudakan itu bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Lebih-lebih karena kita punya gambaran tentang situasi perbudakan di Amerika Serikat. Di sana memang situasi itu amat gawat, sampai-sampai terjadi perang saudara antara pihak Selatan dan Utara. Apakah seperti itu pulakah situasi budak-budak zaman dulu di Dunia Romawi?
Para ahli tafsir KS sudah sejak lama kebingungan, mengapa Paulus justru memakai metafor “perbudakan” itu untuk menggambarkan “penyelamatan”. Ia berkata bahwa orang kristen dibebaskan dari dosa dan menjadi budak kebenaran (Rom 6:18). Bahkan dalam 1 Kor 9:19 ia menulis bahwa ia menjadikan diri “budak dari semua orang”. Ia kerap menyebut diri “budak Kristus”. Ada yang mengira bahwa istilah itu khas Paulus dan merupakan skandal besar bagi orang-orang Romawi. Ada juga yang berpendapat bahwa faham itu tak berasal
dari dunia Romawi Yunani melainkan dari dunia Yahudi (PL). Ada yang mengira tradisi itu berasal dari kuil suci Delphi. Pada saat budak mau dibebaskan ia dijual kepada dewa. Jadi sebenarnya ia menjadi bebas total, hanya saja dikatakan menjadi milik dewa tertentu. Tapi mengapa peristilahan seperti itu begitu biasa pada Paulus? Dan tampaknya tak ada bantahan apa pun dari pihak lain terhadap Paulus? Seakan sudah memang seharusnya demikian?
Kalau hanya berpedoman pada tulisan para filsuf atau pun para pujangga, yang berasal dari kelas atas, memang dunia perbudakan tampak serba negatif dan dikecam karena memang budak-budak dibenci dan diremehkan oleh klas atas. Tapi kalau orang menyelidiki peninggalan-peninggalan tulisan dari kalangan bawah (batu nisan makam, kumpulan makna mimpi, novel-novel, dll.) maka muncul gambaran yang lain. Ternyata dunia para budak tak seburuk yang kita duga.
Ada beberapa faham umum tentang budak yang ternyata tak tepat. Sering dikira, para budak tak punya tempat tinggal sendiri, mereka tinggal di rumah tuan mereka. Tapi dari beberapa naskah kontrak kerja atau dagang; jelas dikatakan di situ bahwa kontrak ditandatangani di rumah para budak itu sendiri. Ternyata para budak punya uang dan harta kekayaan. Bahkan mereka kerap membebaskan diri sendiri dengan membayar harga tinggi yang dituntut tuan mereka; atau bahkan mempersembahkan batu nisan mewah bagi mendiang majikan. Budak dapat ditemukan bekerja dalam pekerjaan apa pun yang dapat dilakukan oleh orang merdeka: dokter, pengacara, tentara, penanggung jawab perusahaan, pembersih rumah dll. Selain budak kelas bawah, ada juga budak kelas menengah yang menjadi manager. Ini diketahui a.l. dari buku petunjuk mimpi karangan Artemidorus. Ada mimpi yang baik bagi budak kelas rendah, tapi mimpi yang sama punya makna buruk bagi budak kelas atas dan sebaliknya. Mimpi disalib baik bagi budak rendahan (artinya: bakal dibebaskan) tapi buruk bagi budak manager (artinya: akan dilucuti dari kekuasaannya).
Ternyata posisi budak memberi kemungkinan untuk naik pangkat dalam skala sosial. Budak orang terkenal atau kaya akan mencicipi juga kekayaan dan kedudukan itu. Budak orang kaya bisa dengan mudah mencari pekerjaan. Sebaliknya orang merdeka yang tanpa jaminan, akan menganggur dan sengsara. Dalam dunia itu hidup subur pola patron-client (pelindung dan klien). Menjadi budak juga dianggap sebagai sarana untuk merambat ke atas (mobilitas ke atas), apalagi setelah nanti dibebaskan. Tapi banyak budah lebih memilih jadi budak tapi kaya dan berpengaruh daripada merdeka tapi kere!
Karena itulah, tindakan Paulus yang menyuruh Onesimus kembali ke Filemon dapat dipahami dalam konteks abad pertama tersebut. Terlebih lagi, Paulus berusaha agar Filemon
memperlakukan Onesimus bukan lagi sebagai budak melainkan saudara dalam iman. Dengan tindakan itu, Paulus mengerjakan tindakan pendamaian antara tuan dan budaknya, seperti Kristus sendiri yang mendamaikan Allah dan manusia (2 Kor 5:18).
Nah, dalam konteks dunia seperti itulah Paulus hidup. Maka bahasa positif tentang perbudakan memang bisa ditangkap dan diterima. Lihat Dale B. MARTIN, Slavery as
Salvation. The Metaphor of Slavery in Pauline Christianity (New Haven - London: Yale
BAB LIMA