BAB LIMA PAULUS
B. Peristiwa Damsyik sebagai kunci tafsir Paulus
Bila dibandingkan antara hidup Paulus sebelum dan sesudah peristiwa Damsyik akan kelihatan bagaimana sesudah Damsyik pengenalan akan Yesus merupakan segala-galanya bagi Paulus. Segala sesuatu sebelum itu dianggap sampah bila dibandingkan dengan pengenalan itu (Fil 3:8). Jadi bisa dikatakan bahwa di jalan ke Damsyik itu terjadi perubahan drastis akibat perjumpaan pribadi antara Paulus dengan Yesus yang bangkit.
Orang cenderung menerima ujaran-ujaran Paulus seperti uraian ilmiah traktat teologis atau dogmatis. Padahal, kata-kata Paulus itu dituliskan dalam rangka surat kepada jemaat tertentu, dalam rangka hubungan pribadi Paulus dengan jemaat tsb. Dari surat-suratnya bisa dilihat bagaimana pengalaman Damsyik itu mewarnai cara pandang Paulus. Dari ketiga unsur conversio, missio, revelatio, unsur yang dominan adalah unsur revelatio, konkretnya berupa pengenalan akan Kristus yang bangkit. Bila diamati dalam Kis, akan tampak bagaimana segala macam perselisihan yang dialami Paulus tampaknya berkisar seputar kebangkitan. Misalnya, dalam Kis 25:19 dikisahkan mengenai laporan Festus pada Agrippa, pertentangan Paulus dan orang sebangsanya, disebabkan karena Paulus mengatakan dengan pasti bahwa Yesus, yang sudah mati itu, hidup. Justru Yesus yang hidup itu menjungkirbalikkan pengertian Paulus sebagai orang Yahudi. Menurut hukum Taurat, Yesus terkutuk karena mati disalib di atas kayu (Ul 21:23). Ternyata di jalan ke Damsyik Paulus mengalami bahwa orang yang dikutuk menurut Taurat itu ternyata dibenarkan oleh Allah, sebagaimana nyata dari kebangkitan-Nya dan bahwa ia bukan lagi kutuk melainkan menjadi berkat bagi kita (Gal 3:13).
Hubungan Paulus dengan Yesus yang bangkit itu dan pengenalannya akan Dia diwarnai atau didasari bukan sekedar oleh pengenalan intelektual, melainkan oleh kasih. Dalam Rom 8:39 ia meyakini bahwa tak ada yang bisa melepaskan dia dari kasih Allah dalam Yesus. Dalam Ef 3:18dst ia bicara dari pengalaman betapa dalam dan luasnya kasih Yesus itu. Jelas bahwa bagi Paulus pengenalan akan Kristus adalah segala-galanya. Dan pengalaman ini juga bermakna sekali bagi pengalaman pastoralnya. Ketika Paulus menguraikan pandangannya tentang Kristus dalam surat-suratnya, yang dikira merupakan kristologi, sebenarnya konteks uraian Paulus itu bukanlah mengajar siapa Yesus itu, melainkan apa konsekuensinya bagi penghayatan iman kita. Lihat David Sanders, “A Lived Christology in Paul”, dalam The Month 27(1994), hal. 475-479.
Misalnya, 1 Kor 1-4. Konteks uraian Paulus itu adalah problem perpecahan dalam jemaat. Ada segolongan orang yang menganggap diri milik Apolos, ada yang merasa milik Petrus, ada yang merasa milik Paulus. Tampaknya Paulus dituduh terlalu duniawi, kurang karismatis (II Kor 10:2). Paulus memberikan solusi atas problem konkret jemaat itu dengan mengingatkan jemaat akan siapakah Yesus yang mereka ikuti itu, yaitu Yesus yang tersalib! Jadi bila "isi" Injil itu sendiri adalah Yesus yang tersalib, maka selayaknyalah "cara" pewartaan Injil itu tak tergantung pada hikmat manusia, pada yang "wah" menurut kriteria manusiawi, melainkan pada kuasa Allah.
Contoh lain adalah I Kor 15. Problem di Korintus saat itu bukanlah bahwa umat tak percaya akan kebangkitan Kristus. Umat percaya saja bahwa Yesus sudah bangkit, tapi yang tak mereka percayai adalah bahwa mereka sendiri kelak juga akan bangkit. Atau ada kemungkinan lain, mereka mengira bahwa mereka sudah termasuk orang-orang rohani berkat ikut Yesus. Paulus mengingatkan mereka bahwa kalau tak ada kebangkitan orang mati, maka Yesus juga tak bangkit. Dan kalau Ia tak bangkit maka sia-sialah iman mereka. Sedangkan kalau Ia bangkit, Ia bangkit sebagai anak sulung. Jadi yang lain akan mengalami nasib seperti Dia juga. Umat diingatkan juga bahwa tubuh jasmani yang mereka miliki sekarang bukanlah tubuh yang abadi, melainkan tubuh kebinasaan. Ada tubuh rohani, tubuh kebangkitan yang tak sama dengan yang jasmani itu.
Dalam 1 Kor 11:17-33 yang terjadi adalah keserakahan umat dalam perjamuan. Yang kaya lupa akan yang miskin dan makan hidangannya sendiri. Paulus mengingatkan mereka bahwa Yesus adalah Yesus yang telah memberikan diriNya bagi semua dalam Ekaristi. Maka hendaknya umat juga berbuat seperti Yesus: rela berbagi dengan yang lain.
Maka dapat dikatakan bahwa baik teologi, kristologi, maupun penyelesaian pastoral bagi Paulus itu didasarkan pada hubungan pribadi Yesus dengan Paulus, dan juga hubungan pribadi Paulus dengan jemaat. Karena itu berulang kali ia menyuruh jemaat menjadikan dia sebagai teladan yang harus ditiru: I Kor 4:15-16; 11:1 (istilah “pengikut” lebih harus diartikan sebagai “peniru”, “peneladan”, “imitator”); 1 Tes 1:6-7; 2 Tes 3:7-9; Fil 3:17; 4:9. Nyatanya, Paulus memang hanya berkata demikian pada umat di Tessalonika, Korintus dan Filipi, yaitu komunitas kristiani yang didirikan oleh Paulus sendiri. Ketiga komunitas itu adalah komunitas yang memang punya hubungan pribadi dengan Paulus. Bahkan umat di Filipi diperlakukan secara khusus, dari mereka Paulus mau menerima sumbangan (Fil 4:15-16), padahal dari jemaat lain ia tidak sudi karena mau mandiri.
Hubungan dengan Yesus dalam kasih itulah yang membuat Paulus menilai segala sesuatu sebagai tak berarti; itu semua menjadi sampah dibandingkan dengan pengenalan akan Dia (Fil 3:8). Apakah observasi itu meneguhkan pandangan umum mengenai faham
iustificatio (pembenaran) Paulus dalam konteks diskusi Katolisisme versus Protestantisme?
Ketaatan pada hukum versus iman akan kasih Allah? Pertentangan itu biasa dianggap sebagai kelanjutan pertentangan antara Yudaisme, yang dengan legalisme mau berpegang pada keselamatan atas usaha sendiri (taat pada hukum), dan Paulus, yang berpegang pada kasih Allah.
Sampai th. 1977, memang banyak yang berpikir dalam dikotomi seperti itu. Tapi dengan hasil studi E.P. Sanders, Paul and Palestinian Judaism, orang mulai berpikir ulang. Menurut Sanders, Yudaisme juga mendasarkan diri pada inisiatif kasih Allah (lih. Ul 7:7). Jadi ketaatan pada hukum bukanlah sekedar demi hukum itu sendiri, melainkan dalam rangka perjanjian, sebagai ungkapan tanggapan manusia atas kasih Allah. Sanders menyebut penghayatan Yudaisme seperti itu sebagai “nomisme perjanjian”. Menurut Sanders, teologi Paulus adalah “teologi partisipasi”, keselamatan diperoleh karena partisipasi pada kematian Yesus (dengan baptis). Jadi Sanders masih melihat perbedaan pokok antara Paulus dan Yudaisme.
Namun, berdasarkan studi Sanders itu, Morna Hooker (ekseget wanita Inggris) menganalisa Paulus dan Yudaisme. Ia berpendapat bahwa dari sudut pola keagamaan tak ada perbedaan antara keduanya. Pada Yudaisme, ada pola keagamaan seperti ini:
Panggilan Allah dan penyelamatan Israel
Tanggapan Israel thd. perjanjian di Sinai
Hidup dalam perjanjian, dalam ketaatan kepada Hukum
Morna melihat bahwa dalam Paulus juga ada skema seperti itu, hanya saja unsur-unsur pembentuk skema itu diganti dalam terang Kristus:
Tindakan penyelamatan Allah dalam Yesus
Tanggapan terhadap tindakan ini lewat baptis
Pola tetap sama, yang berbeda adalah unsur-unsur dalam pola itu, yaitu hukum diganti dengan Roh dan perjanjian dalam Yesus. Lihat M.D. Hooker, “Paul and Covenantal Nomism”, dalam Paul and Paulinism, eds. M.D. Hooker dan S.G. Wilson, hal. 47-56.