• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan naratif terhadap Injil

Dalam dokumen Pengantar Perjanjian Baru (Halaman 46-50)

BAB ENAM INJIL

C. Pendekatan naratif terhadap Injil

Sejak tahun 1970an berkembang pesat salah satu metode tafsir KS, yaitu kritik naratif. Kritik naratif ini melengkapi metode historis-kritis yang selama ini diterapkan pada studi KS. Di bawah ini diuraikan beberapa ciri dasar kritik naratif KS.

(a) Memahami teks sebagai “jendela” dan “cermin”:

Selama ini kita mencoba memakai teks sebagai jendela ke masa lalu. Lewat teks KS kita mau melihat dunia sosial-historis di balik jendela itu. Misalnya lewat surat ke Filemon kita mengenal dunia sosial abad pertama di Asia Kecil: ada tuan dan ada budak. Usaha lain yang tak boleh dilupakan adalah memakai teks sebagai cermin untuk memahami masa kini kita sendiri. Lewat teks kita menjadi lebih kenal dunia kita sendiri. Kedua pendekatan ini tentu saling melengkapi. Kuliah pengantar PB bergerak pada umumnya dengan memakai pendekatan pertama; tapi kalau hanya ini, maka tentulah tak cukup karena kita ingin tahu juga makna suatu teks KS bagi masa kini. Kita ingin lebih mengenal masa kini kita dengan segala permasalahannya berdasarkan terang KS.

b) Perhatian pada keseluruhan unsur kisah:

Dalam pendekatan ini perhatian diberikan kepada segala unsur cerita: tempat, waktu, tokoh-tokoh, interaksi antar tokoh, tindakan tokoh-tokoh dll. Misalnya dalam perumpamaan tentang talenta. Pendekatan moralistis umum selalu terpusat pada hamba yang jahat. Dan talenta diartikan sebagai bakat-bakat manusiawi kita. Atau kadang pesan bahwa yang penting bukan banyak sedikitnya talenta yang diterima, tetapi bagaimana itu diperkembangkan.

Perhatian pada teks secara lebih teliti akan membuka aspek-aspek lain. Sang majikan ternyata bukanlah tuan yang kejam dan serakah seperti kesan yang muncul, melainkan orang yang murah hati luar biasa (satu talenta = 1000 US$) dan amat percaya kepada hamba-hambanya. Hamba yang jahat mengalami nasib yang buruk karena pikiran atau prasangka buruknya. Jawaban tuan atas perkiraan hambanya bahwa ia kejam dan serakah bukanlah suatu pengakuan atau pembenaran melainkan pertanyaan sinis: “Oh jadi kamu sudah kenal siapa aku, menurut kamu aku ini kejam dan serakah, baiklah aku akan bertindak seturut dugaanmu itu” (Lk melaporkan jawaban tuan itu sbb.: “Aku akan menghakimi kamu menurut perkataanmu sendiri”).

Dengan demikian, talenta lebih dapat dipahami sebagai tawaran KerajaanNya atau tawaran cintanya. Talenta diberikan sesuai kesanggupan masing-masing hamba. Ini berarti masing-masing hamba menerima tawaran itu seturut kemampuannya untuk menerima, menghargai dan membalas tawaran cinta itu. Kalau kemampuan menerima dan membalas cinta sedikit, maka ya hanya menerima sedikit saja; dan lama-lama akan hilang sama sekali. Sebaliknya, seperti hamba kesatu dan kedua yang tak punya prasangka apa-apa, dalam arti kemampuan menerima dan membalas cintanya itu besar, maka memang akan diberikan lagi secara berlimpah-limpah.

c) Penting membaca suatu kisah berulang-ulang:

Membaca suatu kisah satu kali saja tak cukup. Kalau begitu kita hanya akan jatuh dalam tafsiran umum tentang teks itu yang pada umumnya sudah kita kenal. Perlulah kisah itu dibaca berulang-ulang sehingga nuansa-nuansa yang ada, makna-makna tersembunyi, yang tadinya dalam pembacaan biasa tak kelihatan, akan segera muncul dan memperkaya pemahaman kita atas kisah itu.

d) Plot (alur) kisah sebagai suatu konfigurasi:

Menarik sekali mengamati bagaimana penghayatan pembaca terhadap kisah, penonton terhadap drama/tragedi Yunani atau wayang. Orang mengalami proses katharsis (pemurnian, pembersihan) dalam hal emosi-emosi yang negatif selama membaca atau menonton. Orang tak bertanya apa kisah itu sungguh terjadi (minat historis) tapi bertanya apa makna kisah itu (minat eksistensial), atau malahan tak bertanya sama sekali dan hanya ikut, larut, hanyut dalam kisah, dan justru dengan demikian setelah kisah itu selesai dibaca atau ditonton, si pembaca atau penonton tanpa sadar telah berubah sikap, kepribadian, tingkah laku dan wawasan hidupnya. Lewat identifikasi dengan tokoh cerita, si pembaca/penonton akan mengalami betapa diri dan hidupnya diubah juga.

Paul Ricoeur (Time and Narrative) bicara tentang “Prefigured Time” (waktu atau hidup sebelum/ di luar teks), “Configured Time” (waktu atau hidup di dalam teks), “Refigured Time” (waktu atau hidup yang diambil alih oleh pembaca). Misal dalam kehidupan nyata, kejadian berlangsung berurutan A--->B--->C---->D. Namun dalam kisah, urutan waktu itu dikonfigurasikan lewat plot (alur) kisah menjadi: D--->C--->B---->A, atau bisa juga D--->A--->C--->B. Masing-masing konfigurasi ini punya dampak tertentu pada diri pembaca. Ini baru dari segi urutan waktu. Dari segi lain pun terjadilah proses konfigurasi.

Dalam arti itu Waktu sebelum/di luar teks diendapkan dalam teks lewat alur cerita dan diambil alih oleh pembaca dan diterapkan dalam kehidupannya. Boleh dibilang Waktu sebelum teks, dikandung dalam teks, dan ditransfigurasikan oleh pembaca dalam diri dan kehidupannya.

Dalam konteks ini maka Yoh 20:30-31 dapat dipahami. Dari sekian banyak tanda yang dikerjakan Yesus (prefigured time) dipilih dan disusun dan dikisahkan dalam Injil Yoh beberapa tanda saja (configured time), namun lewat itu pembaca diharapkan sampai pada iman akan Yesus dan dengan demikian sampai pada hidup (refigured / transfigured time). Inilah sebetulnya tujuan tiap Injil, bukan sekedar bercerita tentang Yesus dari segi historis, melainkan juga membawa kepada pengalaman dan pengenalan akan Yesus yang bangkit dari mati dan terus hidup bersama para pembaca, dan lewat pengalaman ini "hidup lama" pembaca diubah ke "hidup baru".

Hasil kritik naratif yang berguna dalam tafsir KS adalah kesadaran bahwa ada Tiga Dunia, yaitu Dunia Pengarang, Dunia Tekstual, dan Dunia Pembaca. Dalam pendekatan historis kritis diandaikan begitu saja bahwa Dunia Tekstual itu identik dengan Dunia Pengarang, sehingga dari hal-hal yang ditemukan dalam Dunia Tekstual disimpulkan begitu saja bahwa memang demikianlah halnya dalam Dunia Pengarang. Padahal dengan kritik naratif makin jelas bahwa Dunia Tekstual itu benar-benar merupakan hasil rekonstruksi pengarang yang bukan merupakan "jiplakan persis" Dunia Pengarang. Dengan kritik naratif makin disadari pula bahwa makna Dunia Tekstual itu tergantung pula pada Dunia Pembaca. Karena itu kini orang berhati-hati dalam menyimpulkan mis., karena dalam Injil disebutkan demikian (mis. "orang Farisi itu munafik, legalistis dll"), maka pastilah demikian pula kenyataannya dalam zaman Yesus dahulu itu.

Maka penting mendalami juga teori-teori yang ada sehubungan dengan pendekatan narasi. Bisa dibaca misalnya artikel-artikel menarik dalam majalah terbitan Universitas Kristen Dutawacana, GEMA No. 41 (1991) dan No. 46 (1993) yang menyoroti metode eksegese narasi dan teologi narasi. Lihat juga M. Suhartono, Kasih dalam Kisah dan Kisah

dalam Kasih: Dialog antara teori naratif dan narasi Alkitab, Seri Puskat 363, Yogyakarta:

LPKP, 1999; Idem, "Mengadili Ekseget", dalam Orientasi Baru 10 (1997), hlm. 11-23. Buku yang dianggap pionir dalam penerapan kritik naratif terhadap Injil adalah buku dari David Rhoads and Donald Michie, Mark as Story: An Introduction to the Narrative of a

Gospel (Minneapolis: Fortress Press, 1982); terj. Indonesia: Injil Markus sebagai Cerita. Berkenalan dengan Narasi Salah Satu Injil (Jakarta: BPK, 1995). Di situ dijelaskan

bagaimana elemen-elemen naratif seperti "plot", "tokoh", "latar", "retorika" diolah oleh penulis Injil Markus.

Pendekatan historis kritis kerapkali memecah-mecah teks KS menjadi mana yang dianggap teks "asli", mana yang berasal dari hasil pengolahan seorang redaktur, mana yang tambahan belaka. Karena itu makna keseluruhan kisah KS itu kerap malah menjadi kabur. Pendekatan kritik naratif bermaksud mengembalikan keutuhan makna suatu teks dengan memperhatikan teks akhir yang de facto kita miliki sekarang ini dalam KS, tanpa mempersoalkan manakah yang asli, mana yang kurang asli, mana yang "keturunan" dll.

PENUTUP

Demikianlah telah diuraikan serba sedikit mengenai teks Kitab Suci Perjanjian Baru. Uraian di atas hanyalah bersifat sebagai pengantar. Karena dimaksudkan untuk mengantar, maka tentu saja pengantar ini baru berguna jikalau diikuti dengan kontak langsung terhadap teks KS PB itu sendiri. Tanpa kontak langsung ini, pengantar ini tak ada artinya apa-apa. Tak semua yang disampaikan di atas dibahas di dalam ruang kuliah karena kesempatan kuliah selama ini banyak digunakan untuk diskusi kelompok dalam rangka mendalami teks-teks PB tertentu. Lewat diskusi terhadap teks-teks itulah mahasiswa/i dibawa kepada permasalahan yang dibahas dalam pengantar ini. Untuk pengantar masing-masing tulisan KS PB lihat Raymond E. Brown, An Introduction to the New Testament (New York et al: Doubleday, 1997).

Dalam dokumen Pengantar Perjanjian Baru (Halaman 46-50)

Dokumen terkait