• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Gizi Anak Usia 0-59 Bulan

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukan sedini mungkin sejak anak masih dalam kandungan. Upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih dalam kandungan sampai lima tahun pertama kehidupannya, ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik fisik, mental, emosional maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai dengan potensi genetiknya (Depkes, 2007).

Fase terpenting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak adalah ketika masa bayi dan balita, karena pada masa itulah saat yang paling vital bagi orang tua dalam membangun fondasi pertumbuhan dan perkembangan buah hati. Proses pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi dan balita merupakan proses yang teramat penting dalam menentukan masa depan anak baik secara fisik, mental maupun perilaku (Sunartyo, 2007).

Menyusui merupakan cara memberi makan yang paling ideal untuk 4-6 bulan pertama sejak dilahirkan bila kesehatan ibu setelah melahirkan baik, karena ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. Setelah ASI tidak lagi cukup mengandung protein dan kalori, seorang bayi mulai memerlukan minuman/makanan pendamping ASI (Anwar, 1992).

Gambaran mengenai pemberian ASI pada bayi ditunjukkan dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). SKRT tersebut menunjukkan bahwa pada bayi usia 0-2 bulan yang mulai diberi makanan pendamping cairan sebesar 21,2%; makanan lumat/lembik 20,1%; dan makanan padat 13,7%. Pada bayi berusia 3-5 bulan, yang mulai diberi makanan pendamping cairan sebesar 60,2%; lumat/lembik 66,2%; dan padat 45,5% (Badan Litbangkes-BPS, 1992).

Menurut World Health Organization (WHO) / United Nations Children’s Fund (UNICEF), lebih dari 50% kematian anak balita terkait dengan keadaan kurang gizi, dan dua pertiga diantara kematian tersebut terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat pada bayi dan anak, seperti tidak dilakukan inisiasi menyusu dini dalam satu jam pertama setelah lahir dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat atau terlambat diberikan. Keadaan ini akan membuat daya tahan tubuh lemah, sering sakit dan gagal tumbuh. Oleh karena itu upaya mengatasi masalah kekurangan gizi pada bayi dan anak balita melalui pemberian makanan bayi dan anak yang baik dan benar, menjadi agenda penting demi menyelamatkan generasi masa depan.

WHO, UNICEF, dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia melalui SK Menkes No.450/Men.Kes/SK/IV/2004 tanggal 7 April 2004 telah menetapkan rekomendasi pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Dalam rekomendasi tersebut, dijelaskan bahwa untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan yang optimal, bayi harus diberi ASI eksklusif selama enam bulan pertama. Selanjutnya, demi tercukupinya nutrisi bayi, maka ibu mulai memberikan makanan pendamping ASI dan ASI hingga bayi berusia 24 bulan atau lebih (Prasetyo, 2009).

Penyebab gangguan pertumbuhan pada anak usia muda, antara lain dalam penggunaan ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI yang kurang

tepat, kurang memenuhi zat gizi baik macam maupun jumlahnya (Hadju, 1997). Hasil penelitian Rahmani menyatakan hampir semua anak diberi makanan tambahan pada usia dibawah empat bulan di Kelurahan Gunung Sitoli yaitu sebesar 79,31%. Alasan ibu memberikan anak cepat makanan tambahan adalah karena faktor pekerjaan (Rahmani, 1997).

Masa penyapihan selama usia enam bulan sampai 24 bulan adalah masa berbahaya bagi anak karena risiko tidak mendapat energi dan zat gizi cukup bila anak tidak mendapat cukup makanan pendamping ASI, dan berhenti menyusui sebelum usia 24 bulan misalnya karena ibunya hamil lagi, anak akan sering menderita diare bila makanan pendamping ASI atau minuman terkontaminasi kuman. Pemberian makanan sapihan sebaiknya berangsur-angsur mulai dari yang paling lembut sampai yang lebih keras. Pada saat penyapihan yang terpenting adalah pemberian ASI masih terus diberikan yang dapat diteruskan sampai usia anak 24 bulan, selain anak diuntungkan oleh pemberian susu terbaiknya, sekaligus sebagai salah satu cara ikut Keluarga Berencana, karena selama masih tetap menyusui bayi, sel telur tidak gampang terbentuk (Samsudin, 1999).

Keputusan penyapihan yang dilakukan oleh ibu biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kesibukan ibu yang bekerja, pengetahuan ibu, status kesehatan ibu dan bayi, status gizi anak, anak dalam keadaan sakit, sedang tumbuh gigi, feeling saat yang tepat untuk penyapihan. Tetapi terkadang keputusan penyapihan dapat terjadi kesulitan, hal ini disebabkan karena ketidakmampuan anak menghadapi penyapihan, dimana kemampuan anak menghadapi amat bervariasi, ada yang mudah dan ada pula yang sulit. Untuk itu perlu suatu stategi dalam memutuskan penyapihan diantaranya lakukan secara berlahan, hindari penyapihan disaat anak menyusu digantikan ke benda lain seperti empeng, hindari menyapih secara mendadak,

mengenali tingkat kemampuan anak menghadapi proses penyapihan, pastikan sang anak mendapat perhatian eksklusif setiap hari serta batasi kegiatan menyusui dengan penunjuk waktu, maka dapat disimpulkan bahwa jika proses penyapihan dilakukan dengan baik, maka anak-anak akan tumbuh menjadi anak yang cerdas, sehat, dan berakhlak baik karena sang ibu mendidiknya melalui masa menyusu dan masa menyapih dengan penuh perhatian dari kedua orangtua dan keluarga (Uci, 2007).

Dewasa ini di Indonesia 80-90% ibu di daerah pedesaan masih menyusui bayi sampai usia lebih dari 12 bulan, tetapi di kota-kota ASI sudah banyak diganti dengan susu botol. Banyak faktor yang menyebabkan penurunan penggunaan ASI. Di perkotaan ibu-ibu ikut bekerja untuk mencari nafkah, sehinggga tidak dapat menyusui bayinya dengan baik dan teratur. Sebelum tahun 1970-an pemberian ASI turun hingga tingkat terendah dan pada tahun 1970-an pemberian ASI semakin meningkat. Pada tahun 2001, pemberian ASI mencapai tingkat tertinggi yaitu hampir 70 %. Pada saat itu banyak ibu mulai memberikan ASI dan terus memberikannya selama enam bulan. (WHO, 2006).

Sehubungan dengan fenomena di atas permasalahan yang juga ditemui pada masyarakat Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi adalah adanya 23 anak dari 56 anak, atau sekitar 41% anak yang memiliki status gizi kurang, penyapihan yang terlalu dini (< 24 bulan), pemberian makanan padat terlalu dini dan kualitas makanan tambahan yang diberikan tidak memenuhi kebutuhan. Menurut salah satu pegawai di Puskesmas Kelurahan Tanjung Marulak, Ibu TH, mayoritas ibu-ibu di daerah tersebut adalah ibu rumah tangga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Para ibu juga kurang memahami penyapihan yang baik, sehingga cara penyapihan yang dilakukan kepada anak tidak sesuai dengan usia anak. Bahkan hanya sedikit ibu yang memberikan ASI eksklusif.

Mengacu pada permasalahan tersebut di atas penulis ingin meneliti lebih tentang “Hubungan Pola Penyapihan dengan Status Gizi Anak Usia 0-59 Bulan di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi”.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : bagaimanakah gambaran pola penyapihan dan status gizi bayi usia 0-59 bulan di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi.

Dokumen terkait