DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian
Lampiran 2 : Surat Izin Penelitian
Lampiran 3 : Surat Keterangan Selesai Penelitian
Lampiran 4 : Master Data
Lampiran 5 : Output
KUISIONER PENELITIAN POLA PENYAPIHAN DENGAN STATUS GIZIANAK
USIA 0-59 BULAN DI KELURAHAN TANJUNG MARULAK, TEBING TINGGI
1. Tidak pernah sekolah/buta huruf 2. Tamat SD/sederajat
1. Bagaimana kondisi ibu sekarang...
a. Sedang hamil c. Tidak hamil/menyusui
b. Sedang menyusui
2. Apakah anak balita ibu sudah disapih/tidak diberi ASI lagi... a. Jika ya, lanjut ke No.4
b. Tidak
3. Jika tidak, alasannya apa ……
5. Makanan atau minuman apa yang diberikan pertama kali kepada anak dalam proses penyapihan..
a. Susu formula d. Pisang
b. Madu e. Air putih
c. Bubur f. Lain-lain, sebutkan ………
6. Apa alasan diberikannya makanan tersebut… a. Agar anak berhenti menangis
b. Agar anak kenyang c. Kebiasaan keluarga d. Lainnya, sebutkan ………
7. Apa alasan utama penyapihan anak ibu... 8. Bagaimana cara ibu menyapih si anak…
*Boleh dicentang lebih dari satu, sesuai yang ibu lakukan dalam proses penyapihan
Kurangi frekuensi menyusui secara bertahap
Tambah frekuensi makanan pendamping air susuu ibu (MP-ASI) dan makanan selingan
Tetap berikan perhatian dan kasih sayang
Menyapih dimulai saat anak berusia diatas 24 bulan Mengoleskan betadin/obat merah pada putting Member perban/plester pada putting
Dioleskan jamu, brotowali, atau kopi pada putting supaya pahit Menitipkan anak ke rumah kakek-neneknya
OUTPUT
pendidikanibu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid SD 14 29.8 29.8 29.8
SMP 16 34.0 34.0 63.8
SMA 17 36.2 36.2 100.0
Total 47 100.0 100.0
pendapatankeluarga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid <1.650.000 27 57.4 57.4 57.4
>1.650.000 20 42.6 42.6 100.0
Total 47 100.0 100.0
jumlahkeluarga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid <4 32 68.1 68.1 68.1
5-6 13 27.7 27.7 95.7
>7 2 4.3 4.3 100.0
Total 47 100.0 100.0
jeniskelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid laki-laki 20 42.6 42.6 42.6
perempuan 27 57.4 57.4 100.0
umurk
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 0-12 4 8.5 8.5 8.5
13-36 30 63.8 63.8 72.3
37-59 13 27.7 27.7 100.0
Total 47 100.0 100.0
statusgizi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid normal 12 25.5 25.5 25.5
kurus 25 53.2 53.2 78.7
sangatkurus 10 21.3 21.3 100.0
Total 47 100.0 100.0
bbmenurutumur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid gizibaik 23 48.9 48.9 48.9
gizikurang 24 51.1 51.1 100.0
Total 47 100.0 100.0
tbmenurutumur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid pendek 8 17.0 17.0 17.0
normal 39 83.0 83.0 100.0
bbmenurutumur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid normal 12 25.5 25.5 25.5
kurus 25 53.2 53.2 78.7
sangatkurus 10 21.3 21.3 100.0
Total 47 100.0 100.0
usiapenyapihan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 21 44.7 44.7 44.7
tidakbaik 26 55.3 55.3 100.0
Total 47 100.0 100.0
alasanpenyapihan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid alasanibu 15 31.9 31.9 31.9
alasananak 32 68.1 68.1 100.0
Total 47 100.0 100.0
carapenyapihan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 11 23.4 23.4 23.4
tidakbaik 36 76.6 76.6 100.0
CROSSTABS
pendidikanibu * usiapenyapihan Crosstabulation
Count
usiapenyapihan
Total baik tidakbaik
pendidikanibu SD 7 7 14
SMP 8 8 16
SMA 6 11 17
Total 21 26 47
pendapatankeluarga * usiapenyapihan Crosstabulation
Count
usiapenyapihan
Total baik tidakbaik
pendapatankeluarga <1.650.000 12 15 27
>1.650.000 9 11 20
Total 21 26 47
jumlahkeluarga * usiapenyapihan Crosstabulation
Count
usiapenyapihan
Total baik tidakbaik
jumlahkeluarga <4 13 19 32
5-6 6 7 13
>7 2 0 2
pendidikanibu * alasanpenyapihan Crosstabulation
Count
alasanpenyapihan
Total alasanibu alasananak
pendidikanibu SD 3 11 14
SMP 5 11 16
SMA 7 10 17
Total 15 32 47
pendapatankeluarga * alasanpenyapihan Crosstabulation
Count
alasanpenyapihan
Total alasanibu alasananak
pendapatankeluarga <1.650.000 10 17 27
>1.650.000 5 15 20
Total 15 32 47
jumlahkeluarga * alasanpenyapihan Crosstabulation
Count
alasanpenyapihan
Total alasanibu alasananak
jumlahkeluarga <4 11 21 32
5-6 4 9 13
>7 0 2 2
pendidikanibu * carapenyapihan Crosstabulation
Count
carapenyapihan
Total baik tidakbaik
pendidikanibu SD 5 9 14
SMP 2 14 16
SMA 4 13 17
Total 11 36 47
pendapatankeluarga * carapenyapihan Crosstabulation
Count
carapenyapihan
Total baik tidakbaik
Pendapatankeluarga <1.650.000 3 24 27
>1.650.000 8 12 20
Total 11 36 47
jumlahkeluarga * carapenyapihan Crosstabulation
Count
carapenyapihan
Total baik tidakbaik
jumlahkeluarga <4 5 27 32
5-6 5 8 13
>7 1 1 2
usiapenyapihan * bbmenurutumur Crosstabulation
Count
bbmenurutumur
Total gizibaik gizikurang
usiapenyapihan baik 11 10 21
tidakbaik 12 14 26
Total 23 24 47
alasanpenyapihan * bbmenurutumur Crosstabulation
Count
bbmenurutumur
Total gizibaik gizikurang
alasanpenyapihan alasanibu 4 11 15
alasananak 19 13 32
Total 23 24 47
carapenyapihan * bbmenurutumur Crosstabulation
Count
bbmenurutumur
Total gizibaik gizikurang
Carapenyapihan baik 5 6 11
tidakbaik 18 18 36
Total 23 24 47
usiapenyapihan * tbmenurutumur Crosstabulation
Count
tbmenurutumur
Total
pendek normal
usiapenyapihan baik 2 19 21
usiapenyapihan * tbmenurutumur Crosstabulation
Count
tbmenurutumur
Total
pendek normal
usiapenyapihan baik 2 19 21
tidakbaik 6 20 26
Total 8 39 47
usiapenyapihan * bbmenuruttb Crosstabulation
Count
bbmenuruttb
Total
normal kurus sangatkurus
usiapenyapihan baik 4 13 4 21
tidakbaik 8 12 6 26
Total 12 25 10 47
alasanpenyapihan * tbmenurutumur Crosstabulation
Count
tbmenurutumur
Total
pendek normal
alasanpenyapihan alasanibu 4 11 15
alasananak 4 28 32
Total 8 39 47
alasanpenyapihan * bbmenuruttb Crosstabulation
Count
bbmenuruttb
Total
normal kurus sangatkurus
alasanpenyapihan alasanibu 3 7 5 15
alasananak 9 18 5 32
carapenyapihan * tbmenurutumur Crosstabulation
Count
tbmenurutumur
Total
pendek normal
carapenyapihan baik 1 10 11
tidakbaik 7 29 36
Total 8 39 47
carapenyapihan * bbmenuruttb Crosstabulation
Count
bbmenuruttb
Total
normal kurus sangatkurus
Carapenyapihan baik 3 6 2 11
tidakbaik 9 19 8 36
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita, 2001. Prinsip Ilmu Gizi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Arisman, 2006. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC.
Aritonang, Irianto, 1996. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Yogyakarta : Kasinus.
Arum, 2012. Hubungan Usia Penyapihan Dengan Status Gizi Balita Di
Posyandu Nusa Indah Desa Bantul. Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan A’isyiyah Yogyakarta.
Bumi C., 2005. Pengaruh Ibu Yang Bekerja Terhadap Status Gizi Anak Balita. Semarang : Universitas Negeri Semarang.
Departemen Kesehatan R.I., 1992. Pedoman Pemberian Makanan Tambahan
Pendamping ASI (MP-ASI). Jakarta:Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan R.I., 2007. Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang
Balita. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan R.I., 1992. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Jakarta : Badan Litbangkes BPS
Ebrahim, G.J., 1974. Perawatan Anak. Yogyakarta : Yayasan Essential Medica.
Dharma, 2010. Saat Dan Cara Tepat Menyapih Si Kecil.
http://tabloidnova.com/Keluarga/Anak/Saat-Dan-Cara-Tepat-Menyapih-Si-Kecil
Evi, N.A., 1992. Sudahkah Bayi Anda Diberi ASI? Warta Demografi, Th XXII, No.8, Agustus 1992, Jakarta.
Fatimatuzzahra, 2009. Hubungan Usia Penyapihan Dengan Status Gizi Balita Di
Dukuh Pundong Srihardono Bantul. Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan A’isyiyah Yogyakarta.
Hadju, Veni. 1997. Penentuan Status Gizi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanudin. Makasar.
Harmani, 1999. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pola Menyusui Di
Wilayah Pemukiman Kumuh. Jakarta : Universitas Indonesia.
Hegar, Badriul. 2006. Penyapihan atau Sapih.
http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/10/12/penyapihan-sapih/ diakses Februari 12, 2015.
Jocelyn, 2007. Pemberian Makanan Untuk Batita. www.ayahbunda.co.id diakses Maret 4 2015.
Jus’at, 1994. Maternal and Child Malnutrition Problem In Indonesia a Literature Survey. Jakarta : Akademik Gizi Departemen Kesehatan, R.I.
Kemenkes RI., 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1995/Menkes/ SK/ XII /2010. Tentang Standart Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak.
Manalu, Ade. 2008. Pola Makan dan Penyapihan serta Hubungannya dengan
Status Gizi Balita di Desa Polip Kec. Silima Pungga-Pungga Kab. Dairi, Sumatera Utara. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
Sumatera Utara.
Maria, Dina, 2001. Menjaga Kesehatan Bayi dan Balita. Jakarta:Puspa Swara.
Moehji, S., 1992. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta : Bharatama Karya Aksara.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta:Rineka Cipta.
Novita, 2012. Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Usia
Penyapihan, Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi Balita di Kelurahan Susia Batu, Bantar Gebang Bekasi.
Jawa Barat : Institut Pertanian Bogor.
Nurvina, 2010. Hubungan Penyapihan Dini Dengan Status Gizi Balita Di Dusun
Jambeyan Desa Banyurejo Tempel Sleman. Yogyakarta : Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan A’isyiyah Yogyakarta.
Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D. (2009). Human Development :
Perkembangan Manusia (Edisi 10, Buku 2). Jakarta : Salemba
Humanika.
Prasetyo, Sunar, D. 2009. Buku Pintar ASI Eksklusif. Yogyakarta : Diva Press. Rahmani, 1997. Hubungan Status Pekerjaan Ibu, Pola Menyusui dan Usia
Pemberian Makanan Pendamping ASI. Medan : Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
Ratna, LB., 1995. Perubahan Perilaku Pemberian ASI di Indonesia. Majalah Kesehatan Perkotaan II (I), Jakarta:84.
Roesli, U., 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta : Trubus Agriwidja.
RSCM dan Persagi, 1994. Penuntun Diet Anak. Jakarta : Gramedia.
Sunartyo, N. 2007. Panduan Merawat Bayi dan Balita. Jogjakarta : Diva Press. Hal 11-19.
Supariasa, I.D.N. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.
WHO, 2006. WHO Child Growth Standards : Lenght/Height-for-Age, Weight-for-Age, Weight-for-Length, Weight-for-Height and Body Mass Index-for-Age:Methods and Development. Geneva : WHO Press.
Widjaja M.C., 2002. Gizi Tepat Untuk Perkembangan Otak dan Kesehatan
Balita. Jakarta : Kawan Pustaka.
Widodo, J., 2005. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang
Pemberian ASI Secara Eksklusif Pada Bayi Indonesia.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain penelitian yang digunakan
adalah sekat silang (cross sectional) yang bertujuan untuk mengetahui gambaran
pola penyapihan dan status gizi anak usia 0-59 bulan di Kelurahan Tanjung Marulak,
Tebing Tinggi.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi.
Alasan penetapan lokasi di desa tersebut adalah ditemui penyapihan dibawah usia
dua tahun (penyapihan dini), pemberian makanan tambahan terlalu dini dan kualitas
makanan tambahan yang diberikan rendah, serta ditemukannya kasus gizi kurang
sebanyak 23 anak (41%).
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi, pada
bulan Januari-Agustus 2015.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 0-59 bulan yang ada di
Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi, pada bulan Mei 2015.
Sampel yang akan diambil untuk diteliti adalah jumlah seluruh anak yang
sudah disapih berjumlah 47 orang, dan dalam hal ini yang menjadi responden adalah
3.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder.
3.4.1 Data Primer
Data primer dikumpulkan dari hasil wawancara langsung dengan responden
di daerah penelitian.
a. Data identitas responden diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner
meliputi :
- Nama responden
- Usia responden
- Pendidikan responden
- Pekerjaan responden
- Jumlah anak responden
b. Data identitas anak diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner
meliputi :
- Nama anak
- Usia anak
- Jenis kelamin anak
- Tanggal lahir anak
- Tanggal pengukuran
c. Data antropometri anak
- Berat badan
- Tinggi badan
d. Data pola penyapihan diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner
- Usia pertama kali anak disapih
- Alasan ibu menyapih anaknya
- Cara ibu menyapih anaknya
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari lembaga atau instansi
serta dinas yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder yang dikumpulkan dari
kantor Kepala Desa yaitu data demografi gambaran geografis Kelurahan Tanjung
Marulak, serta data penduduk lainnya yang registrasi yang ada di Posyandu, meliputi
: jumlah anak yang berusia 0-59 bulan.
3.5 Definisi Operasional
1. Pola penyapihan adalah gambaran mengenai hal-hal yang berkaitan dengan usia
penyapihan, alasan penyapihan, dan cara penyapihan.
2. Usia penyapihan adalah usia pada saat anak disapih atau tidak diberikan ASI lagi.
3. Alasan penyapihan adalah hal-hal yang mempengaruhi si ibu untuk memutuskan
penyapihan anak, baik yang berasal dari si ibu maupun anak.
4. Cara penyapihan adalah semua kegiatan yang dilakukan ibu dari mulai
memperkenalkan makanan tambahan sampai berhenti menyusui.
5. Status gizi anak usia 0-59 bulan adalah keadaan kesehatan anak berusia 0-59
bulan akibat penggunaan zat gizi, yang dihitung dengan menggunakan indeks
BB/U, TB/U, dan BB/TB dibandingkan dengan standar WHO-Anthro 2005.
6. Pendidikan ibu adalah jenis pendidikan formal terakhir yang diselesaikan ibu
sebagai responden.
7. Pendapatan keluarga adalah upah yang didapatkan oleh keluarga dari hasil
8. Usia ibu adalah jumlah waktu hidup responden yang dihitung sejak pertama kali
lahir hingga waktu pengambilan data penelitian (dalam tahun).
9. Jumlah anak adalah banyaknya anak yang dilahirkan oleh ibu.
3.6 Aspek Pengukuran
3.6.1 Pola Penyapihan
1. Usia Penyapihan
Usia penyapihan dikategorikan dengan menggunakan kategori Moehji (1992)
- Baik jika usia 24 bulan
- Tidak baik jika usia kurang dari 24 bulan
2. Alasan penyapihan
- Alasan ibu (alasan yang berasal dari si ibu) : ibu bekerja, ibu sakit, ibu hamil
lagi, ASI tidak keluar.
- Alasan anak (alasan yang berasal dari si anak) : anak sakit, anak cukup usia
untuk disapih, anak tidak mau ASI lagi, anak sudah diberi makan.
3. Cara Penyapihan
- Baik jika
1. Dengan memberikan makanan atau minuman secara perlahan supaya
anak lupa dengan ASI.
2. Menyapih tidak secara mendadak.
- Tidak baik jika tidak sesuai dengan ketentuan diatas.
3.6.2 Status Gizi Balita
Status gizi balita usia 0-59 bulan dinilai berdasarkan standar dihitung
Indeks berat badan/usia BB/U
a) Gizi lebih, bila Z-score terletak > +2 SD
b) Gizi baik, bila Z-score terletak dari ≥ -2 SD s/d +2 SD
c) Gizi kurang, bila Z-score terletak dari < -2 SD s/d ≥ -3 SD
d) Gizi buruk, bila Z-score terletak < -3SD
Indeks tinggi badan/usia TB/U
a) Sangat pendek, bila Z-score terletak < -3 SD
b) Pendek, bila Z-score terletak dari -3 SD s/d < -2 SD
c) Normal, bila Z-score terletak dari -2 SD s/d ≤ 2 SD
d) Tinggi, bila Z-score terletak > 2 SD
Indeks berat badan/tinggi badan BB/TB
a) Gemuk, bila Z-score terletak > +2 SD
b) Normal, bila Z-score terletak dari ≥ -2 SD s/d +2 SD
c) Kurus, bila Z-score terletak dari < -2 SD s/d ≥ -3 SD
d) Sangat kurus, bila Z-score terletak < -3 SD
Cara menghitung Z-score =
3.7 Instrumen Penelitian
1. Daftar Kuisioner
2. Alat ukur panjang badan (microtoise)
3. Alat ukur berat badan (dacin)
3.8 Pengolahan dan Teknik Analisa Data
3.8.1 Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul diolah secara manual dan komputerisasi untuk
mengubah data menjadi informasi. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data
dimulai dari editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan. Coding, yaitu
memberikan kode numerik atau angka kepada masing-masing kategori. Data entry
yaitu memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau database
komputerisasi. Analisis ini untuk mendeskripsikan masing-masing variabel bebas
dan variabel terikat dengan menggunakan tabulasi silang, dan tabel distribusi
frekuensi.
3.8.2 Teknik Analisa Data
Data yang telah diolah akan dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi terletak antara 3090-30210 lintang
utara dan 980090-980110 bujur timur, dengan ketinggian 26-34 meter di atas
permukaan laut. Adapun batas wilayahnya adalah sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kebun Rambutan
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Padang Hilir
Luas Kelurahan Tanjung Marulak adalah 0.4819 km2. Untuk melayani
kesehatan masyarakat di kelurahan ini, tersedia fasilitas kesehatan antara lain
puskesmas ada satu unit, balai pengobatan umum ada satu unit, dan posyandu
sebanyak empat unit. Sedangkan tenaga medis yang terdapat di kelurahan ini antara
lain dokter ada empat orang, bidan ada 12 orang, dan perawat sebanyak lima orang.
4.2 Demografi Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
Penduduk di Kelurahan Tanjung Marulak mayoritas beragama islam
(74,41%). Selebihnya memeluk agama katolik (5,01%) dan kristen protestan
(16,01%). Mata pencaharian penduduk di kelurahan ini bersumber dari sektor
industri, perdagangan dan jasa. Hal ini dikarenakan seluruh lahan Kelurahan
Tanjung Marulak dipergunakan untuk pemukiman dan pekarangan. Di kelurahan ini
Tabel 4.1 Data Penduduk di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
Sumber : Kantor Kelurahan Tanjung Marulak, 2015
4.3 Karakteristik Keluarga Balita
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada keluarga yang berjumlah 47
keluarga balita, adapun karakteristik keluarga meliputi data balita (usia dan jenis
kelamin), data orang tua balita (usia, pendidikan), jumlah anggota keluarga dan
lebih banyak perempuan yaitu 27 orang (57,4%) dan status gizi lebih banyak pada
kategori kurus yaitu 25 orang (53,2%).
4.3.2 Orang Tua Balita
Dari hasil penelitian dapat dilihat karakteristik orangtua balita (ibu sebagai
responden) yang meliputi pendidikan responden, pendapatan keluarga, dan jumlah
anggota keluarga.
Tabel 4.3 Distribusi karakteristik orangtua balita (pendidikan, pendapatan keluarga, dan jumlah anggota keluarga) di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
3. Jumlah anggota keluarga
≤ 4
besar jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang yaitu 32 keluarga (68,1%).
4.4 Gambaran Pola Penyapihan
Penyapihan merupakan suatu proses berhentinya masa menyusui secara
dimaksud mencakup tiga hal, yaitu usia anak disapih pertama kali, alasan
penyapihan, dan cara penyapihan.
4.4.1 Usia Penyapihan
Usia penyapihan merupakan usia pertama kali dimana anak berhenti
menyusui. Hasil penelitian di daerah Kelurahan Tanjung Marulak menunjukkan
sebanyak 26 anak (55,3%) disapih saat masih berusia kurang dari 24 bulan.
Tabel 4.4 Distribusi Usia Penyapihan Anak di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
Sebagian besar tingkat pendidikan ibu di daerah penelitian berada pada
kelompok SMA yaitu 17 orang (36,2%) dengan usia penyapihan anak diatas 24
bulan sebanyak enam orang (30,0%), dan usia penyapihan dibawah 24 bulan
sebanyak 11 orang (55%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Distribusi Usia Penyapihan Anak Berdasarkan Pendidikan Ibu di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Pendidikan Ibu Usia penyapihan Jumlah
baik Tidak baik
Tingkat penghasilan keluarga terbanyak berada pada kelompok dibawah upah
minimum kota Tebing Tingi Rp 1.605.000 yaitu 27 orang (57,5%) dengan usia
penyapihan anak diatas 24 bulan sebanyak 12 orang (34,3%), dan usia penyapihan
Tabel 4.6 Distribusi Usia Penyapihan Anak Berdasarkan Pendapatan Keluarga di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Pendapatan
Sebagian besar jumlah keluarga di Kelurahan Tanjung Marulak berada pada
kelompok ≤ 4 orang yaitu 32 keluarga (68,1%) dengan usia penyapihan anak diatas
24 bulan sebanyak 13 orang (35,1%), dan usia penyapihan dibawah 24 bulan
sebanyak 19 orang (51,4%).
Tabel 4.7 Distribusi Usia Penyapihan Anak Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Jumlah Anggota
Proses penyapihan dapat disebabkan dengan berbagai alasan, baik alasan
yang berasal dari ibu maupun alasan yang berasal dari anak. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Kelurahan Tanjung Marulak, dapat dilihat pada tabel
4.8, bahwa alasan penyapihan terbanyak adalah alasan yang berasal dari anak yaitu
sebanyak 32 orang (68,1%). Alasan tersebut antara lain anak tidak mau menyusui,
anak sakit, dan anak sudah diberi makan oleh ibu.
Tabel 4.8 Distribusi Alasan Penyapihan Anak di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
Alasan Penyapihan n %
Alasan yang berasal dari anak Alasan yang berasal dari ibu
32 15
68,1 31,9
Sebagian besar tingkat pendidikan ibu berada pada kelompok SMA yaitu 17
orang (36,2%) dengan alasan penyapihan yang berasal dari anak sebanyak 10 orang
(58,8%), dan alasan penyapihan yang berasal dari ibu sebanyak 7 orang (41,2%).
Tabel 4.9 Distribusi Alasan Penyapihan Anak Berdasarkan Pendidikan Ibu di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Pendidikan Ibu Alasan penyapihan Jumlah
Alasan dari anak Alasan dari ibu
N % N % N % Sebagian besar tingkat penghasilan keluarga berada pada kelompok dibawah
Rp 1.605.000 yaitu 27 orang (57,4%) dengan alasan penyapihan yang berasal dari
anak sebesar 17 orang (62,9%), dan alasan penyapihan yang berasal dari ibu sebesar
10 orang (37,1%).
Tabel 4.10 Distribusi Alasan Penyapihan Anak Berdasarkan Pendapatan Keluarga di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Pendapatan
Keluarga
Alasan penyapihan Jumlah
Alasan dari anak Alasan dari ibu
N % N % N % Jumlah anggota keluarga sebagian besar berada pada kelompok ≤ 4 orang
yaitu 32 keluarga (68,1%) dengan alasan penyapihan yang berasal dari anak
sebanyak 21 orang (65,6%), dan alasan yang berasal dari ibu sebanyak 11 orang
Tabel 4.11 Distribusi Alasan Penyapihan Anak Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Jumlah Anggota Keluarga
Alasan penyapihan Jumlah
Alasan dari anak Alasan dari ibu
N % N % N %
Penyapihan seharusnya dilakukan dengan tidak memaksa dan mengikuti
tahap perkembangan anak. Setiap anak sebetulnya memiliki tahapan perkembangan
alami yang menandai anak siap untuk disapih. Berdasarkan hasil penelitian, pada
tabel 4.12 dapat dilihat bahwa cara penyapihan terbanyak adalah cara penyapihan
yang tidak baik yaitu sebanyak 36 orang (76,6%). Cara penyapihan yang tidak baik
tersebut antara lain menyapih anak secara mendadak dibawah usia 24 bulan,
mengoleskan betadin/jamu pada puting agar anak tidak mau ASI lagi, sampai
menitipkan anak di rumah kakek-nenek agar anak lupa menyusui.
Tabel 4.12 Distribusi Cara Penyapihan Anak di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
Sebagian besar tingkat pendidikan ibu berada pada kelompok SMA yaitu 17
orang (36,2%) dengan cara penyapihan yang baik sebanyak 4 orang (23,5%), dan
Tabel 4.13 Distribusi Cara Penyapihan Anak Berdasarkan Pendidikan Ibu di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Pendidikan Ibu Cara penyapihan Jumlah
Baik Tidak baik Sebagian besar tingkat penghasilan keluarga berada pada kelompok dibawah
Rp 1.605.000 yaitu 27 orang (57,4%) dengan cara penyapihan yang baik sebanyak
tiga orang (11,1%), dan cara penyapihan yang tidak baik sebanyak 24 orang
(88,9%).
Tabel 4.14 Distribusi Cara Penyapihan Anak Berdasarkan Pendapatan Keluarga di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Pendapatan
Sebagian besar jumlah keluarga berada pada kelompok ≤ 4 orang yaitu 32
keluarga (68,1%) dengan cara penyapihan yang baik sebanyak 5 orang (15,5%), dan
cara penyapihan yang tidak baik sebanyak 27 orang (84,4%).
Tabel 4.15 Distribusi Cara Penyapihan Anak Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
4.5 Status Gizi Balita
Ada 3 indikator penelitian status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U,
BB/TB. Berdasarkan hasil penelitian, pada tabel 4.16 dapat dilihat bahwa sebagian
besar status gizi anak balita (BB/U) berada pada kategori baik yaitu sebanyak 23
orang (48,9%), sedangkan kategori gizi kurang sebanyak 24 orang (51,1%). Status
gizi anak balita (TB/U) berada pada kategori normal yaitu sebanyak (83,0%). Status
gizi anak balita (TB/BB) berada pada kategori kurus sebanyak (53,2%).
Tabel 4.16 Distribusi Status Gizi Balita Berat Badan Menurut Usia (BB/U),
Menurut indeks BB/U, sebagian besar anak memiliki status gizi baik (38,3%)
berada pada kategori usia 13-36 bulan, dan status gizi kurang sebesar 25,5%.
Tabel 4.17 Distribusi Pola Penyapihan Berdasarkan Status Gizi Balita (BB/U) di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Usia (bulan)
Status Gizi (BB/U)
Jumlah
Gizi baik Gizi Kurang
N % N % N %
1. 0-12 3 75,0 1 25,0 4 100,0
2. 13-36 18 60,0 12 40,0 30 100,0
Menurut indeks TB/U, sebagian besar anak memiliki status gizi normal yaitu
26 anak (55,3%) yang berada pada kategori usia 13-36 bulan. Pada kategori pendek,
terdapat 8 anak (17,1%).
Tabel 4.18 Distribusi Pola Penyapihan Berdasarkan Status Gizi Balita (TB/U) di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Usia (bulan)
Menurut indeks BB/TB, sebagian besar anak memiliki status gizi kurus yaitu
16 anak (34,0%) yang berada pada kategori usia 13-36 bulan.
Tabel 4.19 Distribusi Pola Penyapihan Berdasarkan Status Gizi Balita (BB/TB) di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing Tinggi
No. Usia (bulan) Status Gizi (BB/TB) Jumlah
Normal Kurus Sangat Kurus
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Pola Penyapihan
WHO (World Health Organization) merekomendasikan penyapihan
dilakukan setelah bayi berusia 24 bulan. Pada usia tersebut, anak sudah punya
pondasi yang kuat bagi perkembangan selanjutnya.
Secara umum, gambaran penyapihan di daerah Kelurahan Tanjung Marulak
tergolong tidak baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu
sudah menyapih si anak pada saat anak belum berusia 24 bulan, yaitu sebesar 46,4%.
Usia penyapihan terbanyak berdasarkan tingkat pendidikan ibu berada pada
kelompok SMA yaitu 20 orang (35,7%) dengan usia penyapihan anak diatas 24
bulan sebesar 30,0%, usia penyapihan dibawah 24 bulan sebesar 55%. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu semakin rendah maka usia penyapihan
akan semakin dini, tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi akan memudahkan ibu
atau keluarga untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam
perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.
Namun pendidikan ibu didukung oleh pengetahuhan gizi ibu yang kurang.
Disamping itu, ada beberapa hasil yang menarik perhatian, yaitu diantara 26
anak yang usia penyapihannya tidak baik atau dibawah usia 24 bulan, ada 12 anak
(46,2%) yang memiliki status gizi baik. Hal ini bisa saja terjadi jika ibu tetap
memperhatikan kualitas makanan anak. Jadi walaupun anak disapih sedini mungkin,
belum tentu status gizinya tidak baik.
Hasil penelitian ini didukung pendapat Notoatmodjo bahwa pendidikan adalah
kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan untuk
pelaku pendidikan (2003). Pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan ibu karena
ibu yang berpendidikan tinggi lebih mudah menerima dan memahami informasi
dibanding ibu yang berpendidikan lebih rendah, sehingga semakin tinggi tingkat
pendidikan ibu maka semakin mudah untuk menerima berbagai informasi dimana
salah satunya adalah pentingnya ASI untuk kesehatan dan tumbuh kembang anak,
sehingga ibu yang memiliki pendidikan rendah cenderung untuk melakukan
penyapihan tidak tepat waktu.
Hal ini juga sejalan dengan pendapat Herman (1990), yang menyatakan bahwa
pengetahuan gizi ibu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
konsumsi pangan. Ibu yang baik pengetahuan gizinya akan dapat memperhitungkan
kebutuhan gizi anak balitanya agar dapat tumbuh kembang secara optimal, selain itu
pengetahuan yang dimiliki ibu akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah makanan
yang dikonsumsi anaknya.
Pengetahuan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan. Seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang
sesuatu hal, maka akan lebih cenderung mengambil keputusan yang tepat. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan gizi ibu dengan usia
penyapihan anak. Pengetahuan gizi terkait dengan keputusan ibu dalam menentukan
waktu memberhentikan anak menyusui.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Jus’at di Jakarta yang
mengemukakan bahwa pemberian MP-ASI yang terlalu dini akan mempercepat
ketidakbergantungan anak pada anak (Jus’at, 1994).
Penyapihan merupakan suatu proses berhentinya masa menyusui secara
sang anak dari menyusu pada ibunya atau bisa juga berhentinya sang ibu untuk
menyusui anaknya atau bisa juga keduanya dengan berbagai alasan. Namun
sebaiknya penyapihan itu terjadi dengan alasan karena anak siap untuk disapih atau
sudah berusia 24 bulan (Manalu, 2008).
Dari hasil penelitian didapat alasan penyapihan terbanyak adalah yang
berasal dari anak yaitu sebesar 57,1%. Alasan-alasan tersebut antara lain anak sudah
cukup usia untuk disapih, anak tidak mau lagi menyusui, dan anak sudah diberi
makan oleh ibu. Jika dilihat dari hasil penelitian berdasarkan pendidikan ibu, ada
sebanyak 78,6% alasan berasal dari anak berada pada tingkat pendidikan SD. Hal ini
berarti kurangnya pengetahuan sang ibu juga mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan penyapihan kepada anak.
Senada dengan hasil penelitian Ade Manalu di Desa Palip Kecamatan Silima
Pungga-Pungga Kabupaten Dairi, mengemukakan bahwa alasan penyapihan
terbanyak di desa tersebut adalah alasan karena anak, yaitu sebesar 54,16% (Manalu,
2008).
Hasil penelitian Jus’at di Jakarta menunjukkan bahwa alasan ibu menyapih
anak adalah karena ibu menganggap anak telah sanggup menerima makanan padat.
Keadaan ini menyebabkan kurang gizi pada anak (Jus’at, 1994).
Penyapihan alami/natural (Child Led Weaning) adalah cara yang terbaik
karena tidak memaksa dan mengikuti tahap perkembangan anak. Tiap anak
sebetulnya memiliki tahapan perkembangan alami yang menandai ia siap untuk
disapih. Cara penyapihan alami antara lain memberi makan dan minum agar anak
selalu kenyang sehingga lupa pada ASI, menjarak-jarakkan waktu pemberian ASI,
Cara penyapihan yang banyak ditemui di daerah penelitian ini adalah cara
penyapihan yang tidak baik yaitu sebesar 64,3%. Hasil penelitian berdasarkan
tingkat pendidikan ibu, cara penyapihan yang tidak baik paling banyak dijumpai
pada kelompok SMP yaitu sebesar 87,5%. Cara penyapihan tidak baik yang
dimaksud antara lain menyapih anak secara mendadak dibawah usia 24 bulan,
mengoleskan betadin/obat merah ataupun jamu di puting ibu, bahkan ada ibu yang
menitipkan anaknya ke rumah kakek-nenek agar anak lupa pada ASI. Pengetahuan
ibu tentang cara penyapihan yang baik sangat kurang sehingga berpengaruh kepada
sikap/tindakan yang diambil. Dari penjelasan yang didapat bahwa cara penyapihan
yang mereka tahu dan terapkan adalah mulai memberikan makanan padat sedini
mungkin agar anak tidak kelaparan, karena ibu menganggap anaknya sudah besar
dan sudah tidak memerlukan ASI lagi, walaupun ternyata anaknya masih kurang dari
24 bulan. Hasil penelitian ini sependapat dengan Nanny yang mengemukakan bahwa
sikap ibu berpengaruh terhadap pola penyapihan dimana hasil hubungan multi
variabel dengan uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa variabel sikap yang paling
berpengaruh terhadap pola menyusui (Nanny, 1999).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menyapih secara mendadak menjadikan
anak kurang menanggapi respon ibu/menyukai ibu dan anak merasa bahwa kasih
sayang ibu kepada anak sudah berubah/tidak menyayangi anak lagi. Hal ini sangat
mempengaruhi perkembangan anak, disamping itu juga anak akan mengalami
dehidrasi, demam, dan kurang gizi. Menurut Ade Manalu, menyapih secara
mendadak juga akan memberikan dampak yang buruk kepada ibu (Manalu, 2008).
Cara penyapihan yang baik belum tentu menghasilkan status gizi anak yang
baik juga. Sebaliknya, cara penyapihan yang salah belum tentu menghasilkan status
tidak baik, terdapat 18 anak (50%) yang memiliki status gizi baik. Hal ini
dikarenakan ibu tetap memberikan makanan yang bergizi baik sebagai pengganti
ASI.
Berdasarkan jumlah anggota keluarga, ada 27 orang (84,4%) dari 32 keluarga
yang jumlah anggotanya ≤ 4 orang, disapih dengan cara tidak baik. Hal ini
menunjukkan tidak adanya hubungan jumlah anggota keluarga dengan cara
penyapihan yang baik. Dari hasil wawancara diketahui bahwa cara menyapih yang
tidak baik ini lebih banyak disebabkan karena kesibukan ibu dan kurangnya
pengetahuan ibu, bukan karena faktor produksi ASI. Mayoritas ibu mengemukakan
bahwa mereka menyapih anaknya dengan cepat karena mereka merasa anak sudah
besar walaupun usianya belum 24 bulan, oleh sebab itu mereka memberikan
makanan padat lebih dini kepada anak. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
Soetjiningsih (1997) bahwa perbedaan produksi ASI berdasarkan usia dan jumlah
anak tidaklah cukup bermakna.
5.2 Status Gizi
Secara keseluruhan, sebagian besar status gizi anak di Kelurahan Tanjung
Marulak berada pada kategori kurus (53,2%). Rata-rata anak yang memiliki status
gizi kurus tersebut berada pada rentang usia 13-36 bulan. Disamping itu juga
terdapat anak dengan status gizi sangat kurus yaitu sebesar 21,3%.
Status gizi berdasarkan indeks BB/U baik untuk mengukur status gizi akut
maupun kronis dan sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil. Sedangkan status
gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U menggambarkan keadaan pertumbuhan
skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahann
usia. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi
nampak dalam waktu yang relatif lama. Status gizi berdasarkan indeks BB/TB
merupakan indeks yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang), serta
dapat memberikan gambaran lingkungan yang tidak baik, kemiskinan, dan akibat
tidak sehat yang menahun. Status gizi pada dasarnya ditentukan oleh dua hal:
makanan yang dimakan dan keadaan kesehatan. Kuantitas dan kualitas makanan
tergantung pada zat gizi makanan tersebut, ada tidaknya pemberian makanan
tambahan di keluarga, daya beli keluarga dan karakteristik makanan dan kesehatan.
Keadaan balita juga berhubungan dengan karakteristik ibu terhadap makanan dan
kesehatan, daya beli keluarga, ada tidaknya penyakit infeksi dan jangkauan terhadap
pelayanan kesehatan ( Supariasa, 2001).
Anak yang memiliki status gizi kurang disebabkan oleh MP-ASI atau
makanan yang diberikan oleh ibu kurang baik jenis maupun kualitasnya. Karena
sering sekali ibu tidak mempertimbangkan apakah makanan itu baik untuk anak atau
tidak. Mereka cenderung kurang perduli terhadap makanan yang dikonsumsi anak,
baik yang diberikan orang lain maupun ibu sendiri. Selain itu masih ada beberapa
ibu yang percaya jika anak cepat diberi makan maka anak tersebut akan cepat besar
dan akan lebih kuat.
Besarnya pengetahuan ibu tentang pola penyapihan dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan ibu. Tingkat pendidikan yang rendah akan mempertahankan kebiasaan
yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru
mengenai gizi. Tingkat pendidikan juga ikut menentukan atau mempengaruhi mudah
tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin tinggi pendidikan maka
seseorang akan lebih mudah menerima informasi gizi (Suhardjo, 1996).
Penelitian Rahmani di Kelurahan Gunung Sitoli menunjukkan bahwa tidak
menunjukkan walaupun frekuensi dan jenis pemberian MP-ASI tepat tetapi masih
ditemukan yang mempunyai status gizi kurang. Hal ini terjadi kemungkinan karena
kualitas MP-ASI yang diberikan masih kurang memadai baik kualitas maupun
kuantitas (Rahmani, 1999).
Penyuluhan kesehatan khususnya mengenai pola penyapihan sangat
dibutuhkan para ibu di kelurahan ini. Menurut keterangan dari para ibu, belum
pernah diadakan penyuluhan kesehatan oleh petugas. Oleh sebab itu,
mudah-mudahan petugas segera melakukan penyuluhan untuk para ibu agar mereka lebih
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan :
1. Pola penyapihan anak usia 0-59 bulan di Kelurahan Tanjung Marulak, Tebing
Tinggi adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan usia penyapihan, sebesar 55,3% ibu menyapih anak sebelum
usia 24 bulan.
b. Berdasarkan alasan penyapihan, sebesar 68,1% penyapihan dilakukan
karena alasan yang berasal dari anak yaitu anak sudah cukup usia untuk
disapih, anak tidak mau lagi menyusui, dan anak sudah diberi makan oleh
ibu.
c. Berdasarkan cara penyapihan, sebesar 76,6% anak usia 0-59 bulan
disapih dengan cara tidak baik, antara lain menyapih anak secara
mendadak dibawah usia 24 bulan, mengoleskan betadin/obat merah
ataupun jamu di puting ibu, dan menitipkan anaknya ke rumah
kakek-nenek agar anak lupa pada ASI.
2. Status gizi anak usia 0-59 bulan berdasarkan indeks BB/U sebagian besar berada
pada kategori gizi kurang 51,1%, TB/U berada pada kategori normal 83,0% dan
BB/TB sebagian besar berada pada kategori kurus 53,2% yang dijumpai pada
keluarga yang memiliki penghasilan rendah (< Rp 1.650.000) dan jumlah
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan beberapa hal berikut :
2. Diharapkan kepada para ibu agar menyapih anak setelah anak berusia 24 bulan
dan dengan cara penyapihan yang baik, karena pada usia 24 bulan anak sudah
memiliki pondasi yang kuat untuk perkembangan selanjutnya.
3. Diharapkan kepada petugas kesehatan di Kelurahan Tanjung Marulak perlu
memberikan penyuluhan bagi ibu tentang cara penyapihan yang tepat, waktu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Penyapihan
Penyapihan adalah suatu proses berhentinya masa menyusui secara
berangsur-angsur atau sekaligus. Proses tersebut dapat disebabkan oleh berhentinya
sang anak dari menyusu pada ibunya atau bisa juga berhentinya sang ibu untuk
menyusui anaknya atau bisa juga keduanya dengan berbagai alasan. Masa menyapih
merupakan pengalaman emosional bagi sang ibu, anak juga sang ayah, dimana dari
tiga pihak tadi (Ibu-Ayah-Anak) merupakan ikatan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Seorang ayah juga berperan dan memberikan pengaruh tersendiri dalam
proses menyusui. Sebetulnya tidak ada ketentuan khusus atau batasan khusus kapan
dan waktu yang tepat untuk menyapih seorang anak, artinya tidak ada aturan bahwa
pada usia sekian anak harus disapih dari ibunya (Manalu, 2008).
Menyapih, secara harfiah berarti membiasakan. Maksudnya, bayi secara
berangsur-angsur dibiasakan menyantap makanan orang dewasa. Selama masa
penyapuhan, makanan bayi berubah dari ASI saja ke makanan yang lazim
dihidangkan oleh keluarga, sementara air susu diberikan hanya sebagai makanan
tambahan (Arisma, 2006). Sedangkan menurut Allan (2006) penyapihan adalah
istilah yang digunakan untuk menyambut periode transisi dimana bayi masih diberi
makanan cair, ASI ataupun susu formula, tetapi juga secara bertahap diperkenalkan
pada makanan padat.
Menurut WHO 1991, pola menyusui terdiri dari menyusui secara eksklusif,
Menyusui secara eksklusif berarti bayi hanya mendapatkan makanan berupa
ASI dari ibunya, tidak ada penambahan cairan lain, tidak tetesan ataupun sirup yang
berisi vitamin, tidak ada makanan tambahan atau jamu. Sasarannya adalah bayi
berusia kurang sampai empat bulan atau sampai enam bulan.
Definisi menyusui secara pre dominan adalah bayi mendapat makanan
berupa ASI dengan penambahan cairan lain, seperti air putih, teh, infuse, air buah,
oralit, tetesan atau sirup vitamin, tidak ada makanan cair. Sasarannya adalah sama
dengan sasaran menyusui secara eksklusif. Sedangkan menyusui secara
komplementari adalah bayi dapat ASI dan makanan padat atau semi padat,
sasarannya adalah bayi dengan usia enam bulan sampai dengan 10 bulan (Rahmani,
1997).
Novita (2012) melakukan penelitian di Kelurahan Susia Batu, Bantar Gebang
Bekasi, dengan hasil menunjukkan sebagian besar anak sudah tidak diberikan ASI
lagi sebanyak 39 anak (67.2%). Penyapihan pada balita rata-rata dilakukan saat anak
berada pada rentang usia 13-24 tahun dengan persentase sebesar 65.8%. Alasan ibu
melakukan penyapihan kepada anaknya adalah karena anak sudah besar (55%)
(Novita, 2012).
Hasil Penelitian Nurvina di Dusun Jambeyan Desa Banyurejo Tempel
Sleman Yogyakarta pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu
menyapih bayinya pada usia tidak dini (24 bulan ke atas) dan bayinya mempunyai
status gizi baik yaitu 21 orang (55,2%) sedangkan ibu yang paling sedikit menyapih
anaknya pada usia tidak dini dan anaknya mempunyai status gizi kurang yaitu 1
orang (2,6%) (Nurvina, 2010).
Penelitian yang dilakukan Arum di Posyandu Nusa Indah Desa Bantul tahun
dengan usia penyapihan yang baik yaitu 22 orang (55%) sedangkan yang
mempunyai status gizi kurang dengan usia penyapihan baik yaitu 1 orang (2,5%)
(Arum, 2012).
Hasil penelitian yang dilakukan Fatimatuzzahra di Dukuh Pundong
Srihardono Bantul, Yogayakarta, menunjukkan bahwa mayoritas ibu menyapih
balitanya pada usia 13-18 bulan yaitu sebanyak 25 orang (49%) dengan status gizi
baik sebanyak 12 orang (Fatimatuzzahra, 2009).
Pola penyapihan mencakup tiga hal, antara lain usia anak disapih pertama
kali, alasan penyapihan, dan cara penyapihan.
2.1.1. Usia Anak Disapih
Pemberian MP-ASI terlalu dini akan mengurangi konsumsi ASI, dan bila
terlambat akan menyebabkan bayi kurang gizi. Sebenarnya pencernaan bayi sudah
mulai kuat sejak usia empat bulan. Pada bayi yang mengonsumsi ASI, makanan
tambahan dapat diberikan pada usia enam bulan, tetapi bila bayi mengonsumsi susu
formula sebagai pengganti ASI, makan makanan tambahan ini dapat diberikan pada
saat usia empat bulan (Rinto, 2005).
Proses penyapihan dimulai pada saat yang berlainan. Ada beberapa
kelompok masyarakat (budaya) tertentu, bayi tidak akan disapih sebelum berusia
enam bulan. Bahkan ada yang baru memulai penyapihan setelah bayi berusia dua
tahun. Sebaliknya, pada masyarakat urban, bayi disapih terlalu dini, yaitu baru
beberapa hari lahir sudah diberikan makanan tambahan (Jelliffe, 1994).
Dampak Penyapihan ASI usia kurang dari enam bulan :
1. Menyebabkan hubungan anak dan ibu berkurang keeratannya karena proses
bounding etatman terganggu.
3. Pengaruh gizi yang mengakibatkan malnutrisi pada anak.
4. Mengalami reaksi alergi yang menyebabkan diare, muntah, ruam, dan
gatal-gatal karena reaksi dari sistem imun (Hegar, Badriul, 2006).
2.1.2 Cara Penyapihan
Hingga kini masih banyak ibu-ibu yang menggunakan cara-cara penyapihan
seperti yang dilakukan ibu-ibu zaman dulu. Dari mengoles putingnya dengan zat-zat
yang berasa pahit seperti jamu dan brotowali, sampai memplester putting. Padahal,
sudah seharusnya cara ini ditinggalkan. Apalagi pada dasarnya, menyapih anak dari
ASI dapat digunakan secara alami, sehingga anak lebih siap menerimanya. Jika
menyapih dilakukan dengan cara yang benar, maka kelekatan anak dengan ibunya
akan berada dalam porsi yang tepat.
a. Penyapihan yang tidak baik dan akibatnya
1. Mengoleskan obat merah pada putting
Cara ini bisa menyebabkan anak mengalami keracunan, juga membuat anak
belajar bahwa puting ibu ternyata tidak enak, bahkan bisa membuatnya sakit.
2. Memberi perban/plester pada putting
Jika diberi obat merah, anak masih bisa menyentuh putting ibunya. Tetapi kalau
sudah diperban/plester, anak belajar bahwa puting ibunya adalah sesuatu yang
tidak bisa dijangkau.
3. Dioleskan jamu, brotowali, atau kopi supaya pahit
Anak bisa mengembangkan suatu kepribadian yang ambivalen, dalam arti ia tidak
mengerti apakah ibu sebetulnya mencintainya atau tidak. “Bunda masih
memberikan ASI, tapi kok tidak seperti biasanya, jadi pahit.”
Kehilangan ASI saja sudah cukup menyakitkan, apalagi ditambah kehilangan
figur ibu. Kondisi seperti ini bisa mengguncang jiwa anak, sehingga tak menutup
kemungkinan anak merasa ditinggalkan.
5. Selalu mengalihkan perhatian anak setiap menginginkan ASI
Kondisi ini membuat anak belajar berambivalensi. Misalnya, ibu selalu mengajak
anak bermain setiap kali meminta ASI. Selalu bersikap cuek setiap anak
menginginkan ASI. Anak jadi bingung dan bertanya-tanya, mengapa dirinya
diperlakukan seperti itu. Dampaknya, anak bisa merasa tak disayang, mereka
ditolak, sehingga padanya berkembanglah rasa rendah diri.
b. Cara Penyapihan Yang Baik
Penyapihan alami/natural (Child Led Weaning) adalah cara yang terbaik karena
tidak memaksa dan mengikuti tahap perkembangan anak. Tiap anak sebetulnya
memiliki tahapan perkembangan alami yang menandai ia siap untuk disapih. Cara
penyapihan secara alami/natural (Child Led Weaning) adalah :
a. Memberi makan dan minum agar anak selalu kenyang sehingga lupa pada
ASI. Cara ini boleh saja dilakukan untuk menyapih, tetapi harus secara
perlahan. Selain itu, infeksi yang terjalin ketika ibu menyusui juga harus
diganti dengan sentuhan lain agar tetap terjaga hubungan kelekatan antara ibu
dan anak. Pada anak yang sudah mengerti jika diajak berbicara, ibu dapat
memberikan penjelasan kepadanya.
b. Memberi empeng atau dot sebagai pengganti putting ibu. Empeng atau dot
bisa menciptakan ketergantungan baru sehingga memengaruhi struktur
gigi-geligi anak. Jadi bila ada cara lain yang lebih baik, hendaknya cara ini tak
c. Menjarak-jarakkan waktu pemberian ASI. Pemberian ASI dilakukan tiga kali
sehari. Lalu beberapa minggu kemudian menjadi dua kali sehari, dan satu kali
sehari hingga berhenti sama sekali. Contoh, si anak usia 0-24 bulan disapih
waktu malam saja atau siang saja.
d. Memberikan penjelasan kepada anak, setelah itu tak sekalipun memberikan
ASI lagi. Cara menyapih seperti ini dilakukan jika usia anak sudah mencapai
24 bulan. Akan tetapi, tidak memberikan ASI sama sekali sebagai pertanda
ketegasan ibu sama saja dengan menyapih secara mendadak (abrupt
weaning). Dampaknya tetap negatif jika penjelasan ibu tidak bisa diterima ;
anak merasa ditolak oleh ibunya (Ester, 2006).
2.2. Pola Makan
Pangan bagi manusia merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi
untuk dapat mempertahankan hidup serta menjalankan kehidupan. Makanan yang
dikonsumsi beragam jenis dengan pengolahan. Di masyarakat dikenal pola makan
atau kebiasaan makan yang ada pada masyarakat dimana seorang anak hidup. Pola
makan kelompok masyarakat tertentu juga menjadi pola makan anak. Seorang anak
dapat memiliki kebiasaan makan dan selera makan, yang terbentuk dari kebiasaan
makan masyarakatnya (Soegeng, 1999).
Pengertian pola makan menurut Yayuk Farida Baliwati (2004) adalah
susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang
pada waktu tertentu.
Menurut Harper (1986), pola makan (dietary pattern) adalah cara yang
ditempuh seseorang atau sekelompok untuk memilih makanan dan
mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya
Tujuan pemberian makanan yang sebaik-baiknya kepada bayi dan anak
adalah untuk mencukupkan kebutuhan mereka agar dapat memelihara kesehatan,
cepat memulihkan kondisi tubuh jika sakit, melaksanakan pelbagai jenis aktifitas,
menjaga pertumbuhan dan perkembangan fisik serta psikomotorik. Di samping itu,
agar mereka terdidik kebiasaan yang baik tentang makanan dan menyukai makanan
yang diperlukan (RSCM dan Persagi, 1994).
Menurut Dina dan Maria (2002) makanan untuk bayi dan anak harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan usia.
2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan
yang tersedia setempat, kebiasaan makan, dan selera terhadap makan.
3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan
keadaan faali bayi/anak.
4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.
2.2.1. Kebutuhan Zat Gizi Pada Bayi dan Anak
1. Karbohidrat
Karbohidrat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan energi. Bagi bayi, ASI
merupakan sumber karbohidrat yang bagus. Di dalam ASI terkandung lactose
rata-rata 7%, sedangkan di dalam susu sapi hanya 4,3%. Laktosa inilah yang
sebenarnya merupakan sumber karbohidrat. Selain mengandung laktosa, ASI juga
mengandung polisakarida laktobasilus bifidus yang membantu proses pencernaan
dalam usus.
2. Kalori
Kalori yang diperoleh bayi atau anak akan digunakan untuk keperluan sebagai
a. Untuk aktifitas fisik sebanyak 15-25 kkal/kg sehari. Pada saat paling aktif
mencapai 50-80 kkal/kg per hari.
b. Untuk pertumbuhan pada fase pertumbuhan. Pada masa hari-hari permulaan
dibutuhkan 20-40 kkal/kg, selanjutnya berkurang, sehingga pada akhir masa
bayi hanya dibutuhkan 15-25 kkal/kg per hari, kemudian meningkat lagi pada
masa remaja.
Kebutuhan kalori pada bayi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1. Tabel Kebutuhan Kalori Pada Masa Bayi Menurut FAO/WHO
Usia (bulan) Keperluan kkal/kg BB
0-3 bulan
dewasa. Angka kebutuhan protein bergantung pada mutu protein. Semakin baik
mutu protein, semakin rendah angka kebutuhan protein. Mutu protein bergantung
pada susunan asam amino yang membentuk. Kecukupan protein pada bayi dan
anak dapat dilihat pada tabel berikut (RSCM dan Persagi, 1994).
Tabel 2.2. KecukupanProtein yang Dianjurkan untuk Bayi dan Anak
Golongan Usia (tahun) Kecukupan Protein (g/kg BB)
0-1
Air sangat penting diberikan pada masa bayi, terutama untuk bayi muda. Karena
protein dan mineral membutuhkan air dalam jumlah yang lebih banyak. Suhu
lingkungan yang tinggi dan derajat kelembapan yang rendah akan mempertinggi
kehilangan cairan pada tubuh anak melalui pernafasan dan keringat. Anak kecil
membutuhkan air lebih banyak untuk tiap kilogram berat badannya disbanding
dengan orang dewasa (Widjaja, 2002). Kebutuhan air pada bayi dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 2.3. Kebutuhan Air Pada Bayi dan Anak Dalam Keadaan Normal
Usia Kebutuhan Sehari (ml/kg BB/hari)
3 hari
ASI adalah makanan alamiah untuk bayi. ASI mengandung nutrisi-nutrisi
dasar dan elemen, dengan jumlah yang sesuai, untuk pertumbuhan bayi yang sehat.
Memberikan ASI kepada bayi, bukan saja memberikan kebaikan bagi bayi. Tapi juga
keuntungan untuk ibu (Anonim, 2004).
ASI mengandung lebih dari 200 unsur-unsur pokok antara lain zat putih telur,
lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, faktor pertumbuhan, hormone, enzim, zat
kekebalan, dan sel darah putih. Semua zat ini secara proporsional dan seimbang satu
sama lainnya (Roesli, 2001).
2.2.3. Keunggulan ASI dan Manfaat Menyusui
Keunggulan dan manfaat menyusui dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu :
aspek gizi, aspek imunologik, aspek psikologi, aspek kecerdasan, neurologis,
1. Aspek gizi
a. Manfaat Kolostrum
Kolostrum mengandung zat kekebalan terutama IgA untuk melindungi bayi
dari berbagai penyakit infeksi terutama diare.
Jumlah kolostrum yang diproduksi bervariasi tergantung dari hisapan bayi
pada hari-hari pertama kelahiran. Walaupun sedikit namun cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi bayi. Oleh karena itu kolostrum harus diberikan
pada bayi.
Kolostrum mengandung protein, vitamin A yang tinggi dan mengandung
karbohidrat dan lemak rendah, sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi bayi
pada hari-hari pertama kelahiran.
Membantu mengeluarkan mekonium yaitu kotoran bayi yang pertama
berwarna hitam kehijauan.
b. Komposisi ASI
ASI mudah dicerna, karena selain mengandung zat gizi yang sesuai, juga
mengandung enzim-enzim untuk mencernakan zat-zat gizi yang terdapat dalam
ASI tersebut.
ASI mengandung zat-zat gizi berkualitas tinggi yang berguna untuk
pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan bayi/anak.
Selain mengandung protein yang tinggi, ASI memiliki perbandingan antara
Whei dan Casein yang sesuai untuk bayi. Rasio Whei dengan Casein
merupakan salah satu keunggulan ASI dibandingkan dengan susu sapi. ASI
mengandung whey lebih banyak yaitu 65:35. Komposisi ini menyebabkan
protein ASI lebih mudah diserap. Sedangkan pada susu sapi mempunyai
c. Komposisi Taurin, DHA dan AA pada ASI
Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak dalam ASI yang
berfungsi sebagai neuro-transmitter dan berperan penting untuk proses
maturasi sel otak. Percobaan pada binatang menunjukkan bahwa defisiensi
taurin akan berakibat terjadinya gangguan pada retina mata.
Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) adalah asam lemak
tak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acids) yang diperlukan untuk
pembentukan sel-sel otak yang optimal. Jumlah DHA dan AA dalam ASI
sangat mencukupi untuk menjamin pertumbuhan dan kecerdasan anak.
Disamping itu DHA dan AA dalam tubuh dapat dibentuk/disintesa dari
substansi pembentukannya (precursor) yaitu masing-masing dari Omega 3
(asam linolenat) dan Omega 6 (asam linoleat).
2. Aspek Imunologik
a. ASI mengandung zat anti infeksi, bersih dan bebas kontaminasi.
Immunoglobulin A (IgA) dalam kolostrum atau ASI kadarnya cukup tinggi.
Sekretori IgA tidak diserap tetapi dapat melumpuhkan bakteri pathogen E. Coli
dan berbagai virus pada saluran pencernaan.
b. Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan yang
mengikat zat besi di saluran pencernaan.
c. Lysosim, enzim yang melindungi bayi terhadap bakteri (E.Coli dan Salmonella)
dan virus. Jumlah lysosim dalam ASI 300 kali lebih banyak daripada susu sapi.
d. Sel darah putih pada ASI pada dua minggu pertama lebih dari 4.000 sel per mil.
Terdiri dari tiga macam yaitu : Brochus-Asociated Lympocyte Tissue (BALT)
pernfasan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT) antibody
jaringan payudara ibu.
e. Faktor bifidus, sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen, menunjang
pertumbuhan bakteri lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga keasaman flora
usus bayi dan berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan.
3. Aspek Psikologik
a. Rasa percaya diri ibu untuk menyusui : bahwa ibu mapu menyusui dengan
produksi ASI yang mecukupi untuk bayi. Menyusi dipengaruhi oleh emosi ibu
dan kasih sayang terhadap bayi akan meningkatkan produksi hormon terutama
oksitosin yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi ASI.
b. Interaksi Ibu dan Bayi : pertumbuhan dan perkembangan psikologik bayi
tergantung pada kesatuan ibu-bayi tersebut.
c. Pengaruh kontak langsung ibu-bayi: ikatan kasih sayang ibu-bayi terjadi karena
berbagai rangsangan seperti sentuhan kulit (skin to skin contact). Bayi akan
merasa aman dan puas karena bayi marasakan kehangatan tubuh ibu dan
mendengar denyut jantung ibu yang sudah dikenal sejak bayi masih dalam rahim.
4. Aspek Kecerdasan
a. Interaksi ibu-bayi dan kandungan nilai gizi ASI sangat dibutuhkan dalam
perkembangan system syaraf otak yang dapat meningkatkan kecerdasan bayi.
b. Penelitian menunjukkan bahwa IQ pada bayi yang diberi ASI memiliki IQ point
4,3 point lebih tinggi pada usi 18 bulan, 4-6 point lebih tinggi pada usia 3 tahun,
dan 8,3 point lebih tinggi pada usia 8,5 tahun, dibandingkan dengan bayi yang