BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.5 Kerangka Konsep
Gambar 2.3Diagram kerangka konsep Kultur jamur
Dugaan tinea kruris
Spesies jamur
PCR-RFLP Spesies jamur
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian yangbersifat deskriptif dengan pendekatan potong lintang.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2013 sampai jumlah sampel terpenuhi.
3.2.2 Tempat penelitian
1. Penelitian dilakukan di Unit Rawat JalanIlmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Divisi Mikologi, RSUP. H. Adam Malik, Medan.
2. Pemeriksaan kultur jamur dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan PCR-RFLPdilakukan di Laboratorium terpadu, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi
1. Populasi target Penderita tinea kruris
2. Populasi terjangkau
Penderita tinea kruris yang datang ke Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Divisi Mikologi, RSUP. H. Adam Malik, Medan, sejak bulan September 2013.
3.3.2 Sampel
Penderita tinea kruris yang datang ke Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Divisi Mikologi, RSUP. H. Adam Malik, Medan sejak bulan September2013 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
3.4 Besar Sampel
Untuk menghitung besar sampel penelitian, maka digunakan rumus sebagai berikut:
Rumus :
n = Zα2 PQ
Maka :
36
d2
Keterangan :
n =besar sampel
Zα =tingkat kesalahan ditetapkan sebesar 5% sehingga Zα = 1,96 P = prevalensi tinea kruris: 16,7%: 0,167 37
Q =1 - P
d = presisi penelitian ditetapkan sebesar 13,5%
n = (1,96)2 x 0,167x (1 – 0,167) (0,135)2
= (1,96)2 x 0,167 x 0,833 0,0182
= 3,8416x 1391 0,0182 = 0,5344 0,0182
= 29,36 = 30 sampel
Jadi jumlah sampel minimal dalam penelitian ini sebanyak30 orang.
3.5 Cara Pengambilan Sampel Penelitian
Cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling.
3.6 Identifikasi Variabel
3.6.1. Variabel bebas : kultur jamur dan PCR-RFLP.
3.6.2. Variabel terikat : spesies jamur.
3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.7.1 Kriteria inklusi:
1. Penderita yang didiagnosissecara anamnesis dan dermatologis sebagai tinea kruris.
2. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.
3.7.2 Kriteria eksklusi:
Sedang mendapatkan pengobatan tinea kruris berupa anti jamur topikal dalam 1 minggu terakhir dan anti jamur oral dalam 2 minggu terakhir.
3.8 Defenisi Operasional
1. Tinea kruris merupakan dermatofitosis pada kulit daerah sela paha, genitalia, daerah pubis, perineal, dan perianalditandai dengan lesi bulat atau lonjong, eritema disertai rasa gatal,bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif ditandai dengan adanya papul atau vesikel, bagian tengah lesi relatif lebih tenang membentuk gambaran polisiklis, arsinar atau sirsiner.2-4,6,27,33
2. Anti jamur topikal merupakan obat-obat anti jamur yang dioleskan pada daerah lesi yang hanya mempengaruhi daerah yang dioleskan tersebut;
obat-obat anti jamur topikal tersebut seperti golongan imidazol, allilamin, benzilamin dan polien.38
3. Anti jamur oral merupakanobat-obat anti jamur yang diberikan secara oral yang memberikan efek sistemik; obat-obat anti jamur oral tersebut seperti golongan allilamin, triazol, imidazol dan miselaneus (griseofulvin).39
4. Kultur jamur merupakan pemeriksaan dengan menggunakan mediaSDA yang ditambahkan sikloheksamid (0,5 g/l) dan kloramfenikol (0,05 g/l) kemudian diinkubasi pada temperatur ruangan (26 0C) yang akan dinilai pada minggu ke dua sampai empat.2-4,34,35
5. PCR-RFLP merupakan suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro dengan penambahan enzim setelah amplifikasi.19,20,22
6. Spesies jamur merupakanspesies jamur patogen penyebab dermatofitosis.
7. PrimerITS1 dan ITS4 merupakan primer yang digunakan pada penelitian ini, dengan urutan pada primer ITS1 (5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCG G-3’) dan primer ITS4 (5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’) yang akan dibaca pada gel agarose 2% dengan ukuran 800 bp, 780 bp, 740 bp, 720 bp, 690 bp, 680 bp atau 550 bp.15,21,24
8. Enzim MvaI merupakan enzim ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini, yang membaca T. mentagrophytes dengan ukuran 250 bp, 160 bp, dan 120 bp; 400 bp; 360 bp, 250 bp, 160 bp dan 120 bp; 250 bp, 180 bp, 160 bp dan 120 bp, T. rubrum dengan ukuran 370 bp dan 160 bp;
400 bp, 180 bp, dan 120 bp, Trichophyton tonsurans(T. tonsurans) dengan ukuran 360 bp dan 250 bp; T. verrucosum dengan ukuran 450 bp; 350 bp dan 200 bp; dan E. floccosum dengan ukuran 360 bp, 230 bp dan 170 bp; 400 bp, 250 bp dan 180 bp pada gel agarose 2%.15,24
3.9 Alat, Bahan dan Cara Kerja 3.9.1 Alat dan bahan
1. Alat yang digunakan adalah skalpel, wadah spesimen (amplop), tabung PCR (Biologix), microsentrifuge tube (Sorenson), white tip (Biologix), yellow tip (Biologix), blue tip (Sorenson), micropipet (Rainin), kulkas, sentrifuge (Biofuge, Jerman), inkubator (Mammert), thermocycler (applied biosystem tipe Veriti 96 well thermal cycler, Singapura),
aparatus elektroforesis dengan power supply (Scie-plas, UK) dan vortex (Biosan).
2. Bahan yang digunakan adalah kerokan kulit lesi, media Sabaroud’s dextrose agar,lysis buffer, proteinase k (Promega), kloroform (Merck), EDTA (Sigma), ekstraksi DNA kit(Promega), PCR kit (Promega), primerInternal Transcribed Spacer 1 ((ITS 1) 5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCG G-3’) dan Internal Transcribed Spacer 4 ((ITS 4) 5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’) (1st Base), gel agarose 2%
(Promega), isopropanol (Merck), etanol 70% (Merck), ethidium bromide (Promega), penanda DNA (Promega) dan enzim restriksi MvaI (Fermentas).
3.9.2 Cara kerja
1. Pencatatan data dasar
Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik, Medan meliputi identitas penderita seperti nama, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, alamat dan nomor telepon.
2. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis.
3. Dilakukan pengambilan spesimen dengan metode kerokan kulit untuk kultur jamur dan PCR-RFLP dalam menegakkan diagnosis tinea kruris.
Langkah-langkah pengambilan kerokan kulit:
a. Bersihkan terlebih dahulu daerah lesi dengan alkohol 70%.6 b. Dilakukan pengerokan dengan skalpel pada tepi lesi.3,6
c. Hasil kerokan dibagi dalam 2 bagian spesimen, sebagian untuk kultur jamur dan sebagian untuk PCR-RFLP.
4. Spesimen untuk kulturdimasukkan ke dalam wadah spesimen (amplop), kemudian dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Spesimen ditaburkan pada permukaan media SDA yang ditambahkan sikloheksamid (0,5 g/l) dan kloramfenikol (0,05 g/l), kemudian diinkubasi pada temperatur ruangan (26 oC). Pengamatan dilakukan hingga terdapat pertumbuhan jamur (maksimal ditunggu sampai minggu ke empat), kemudian diidentifikasi secara makro dan mikroskopis.2-4,21,34,35
Pembacaan hasil pemeriksaan kultur jamur pada sampelrata-rata dinilai pada minggu kedua, dikatakan negatif jika pada minggu keempat tidak dijumpai pertumbuhan jamur.
Interpretasi hasil pemeriksaan kultur jamur yaitu:3
a. E. floccosum: makroskopis dijumpai koloni berbentuk bulu yang rata dengan lipatan pada sentral dan berwarna abu-abu gelap kehijauan. Mikroskopis dijumpai tidak ada mikrokonidia, makrokonidia berbentuk seperti pentungan.
b. M. auduinii: makroskopis dijumpai koloni datar berwarna putih abu-abu dengan celah radial agak besar. Mikroskopis dijumpai klamidokonidia terminal, hifa seperti sisir.
c. M. canis: makroskopis dijumpai koloni berbentuk datar berwarna putih kuning terang, agak berambut dengan celah sempit.
Mikroskopis dijumpai mikrokonidia sedikit, makrokonidia
berdinding tebal dengan jumlah yang banyak dan terdapat tonjolan terminal.
d. M. gypseum: makroskopis dijumpai koloni berbentuk datar dan granular, berwarna gelap kekuningan. Mikroskopis dijumpai mikrokonidia sedikit, makrokonidia tanpa tonjolan berdinding tipis dengan jumlah yang banyak.
e. T. mentagrophytes: makroskopis dijumpai koloni berwarna putih-krim seperti kapas dengan permukaan lembut. Mikroskopis dijumpai mikrokonidia bulat berkelompok, makrokonidia berbentuk cerutu jarang dijumpai, kadang dijumpai hifa berbentuk spiral.
f. T. rubrum: makroskopis dijumpai koloni dengan permukaan lembut dan bagian tengah berwarna putih, bagian pinggir berwarna marun. Mikroskopis dijumpai sedikit mikrokonidia berbentuk tetesan air, makrokonidia berbentuk pensil namun jarang.
g. T. schoenleinii: makroskopis dijumpai koloni berjonjot/lipatan dan berwarna putih. Mikroskopis dijumpai hifa berbentuk tanduk rusa dan klamidokonidia berjumlah banyak.
h. T. tonsuran: makroskopis dijumpai koloni dengan bagian tengah seperti kulit dan bagian tepi yang berbulu, berwarna putih kuning atau marun. Mikroskopis dijumpai berbagai bentuk mikrokonidia yang banyak, makrokonidia berbentuk cerutu namun jarang.
i. T. verrucosum: makroskopis dijumpai koloni kecil dan berjonjot, kadang datar berwarna kuning keabuan. Mikroskopis dijumpai
klamidokonidia berbentuk rantai, makrokonidia panjang seperti ekor tikus kecil.
j. T. violaceum: makroskopis dijumpai koloni seperti madu dan berjonjot berwarna ungu kemerahan gelap. Mikroskopis dijumpai hifa ireguler dengan klamidokonidia, tidak ada mikrokonidia atau makrokonidia.
5. Spesimen untuk PCR-RFLP dimasukkan ke dalam wadah spesimen (amplop), kemudian dibawa ke Laboratorium terpadu, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara untuk diproses.15,19,24,40
a. Ambil 500 µl lysis buffer dimasukkan ke dalam microcentrifuge tube, lalu masukkan spesimen, kemudian masukkan 5 µl proteinase K, vortex 3 detik. Dilakukan inkubasi pada 60 oC, selama 2 jam.
b. Tambahkan 200 µl kloroform, vortex 3 detik, kemudian sentrifus pada 14.000 rpm selama 10 menit.
c. Transfer supernatant ke dalam microcentrifuge tube baru, lalu tambahkan 50 µl Nuclei Lysis Solution (DNA stripping solution), vortex 3 detik, kemudian inkubasi pada 60 oC selama 10 menit.
d. Setelah itu tambahkan 100 µl Protein Precipitation Solution kemudian sentrifus pada 14.000 rpm selama 5 menit.
e. Transfer supernatant ke dalam microcentrifuge tube baru, lalu tambahkan 300 µl isopropanol dingin, kemudian sentrifus kembali pada 14.000 rpm selama 2 menit.
f. Buang supernatant.Pellet cell kemudian dicuci dengan memasukkan 300 µl etanol 70%, kemudian sentrifus kembali pada 14.000 rpm selama 2 menit.
g. Buang supernatant, lalu keringkan pellet cell+ 15 menit.
h. Setelah itu tambahkan 100 µl TE buffer.
i. Kemudian simpan pada suhu 4 oC selama satu malam dan dapat disimpan pada suhu -20 oC untuk seterusnya.
j. Hasil dari ekstraksi DNA diambil 2 µl dan volume reaksi diambil 23 µl (green master mix 12,5 µl, primer reverse 1 µl, primer forward 1 µl, nuclease free water 8,5 µl, DNA templet 2 µl) dimasukkan ke dalam tabung PCR. Lalu dimasukkan ke dalam mesin termocycler.
Preheat pada suhu 94 oC, selama 10 menit; denaturasi pada suhu 94
oC, selama 1 menit; annealing pada suhu 58 oC, selama 1 menit;
extention pada suhu 72 oC, selama 1 menit (untuk 35 siklus) dan finalextention pada suhu 72 oC, selama 7 menit.
k. Hasil amplifikasi PCR diambil 10 µl, kemudian di running di dalam gel agarose 2% yang diwarnai dengan ethidium bromide bersamaan dengan penanda DNA, selama 1 jam 10 menit dengan voltase 80 volt. Lalu dibaca dengan ukuran 800 bp, 780 bp, 740 bp, 720 bp, 690 bp, 680 bp atau 550 bp menggunakan lampu UV yang dihubungkan dengan komputer.
l. Hasil amplifikasi PCR diambil 5 µl dan volume reaksi restriksi diambil 10 µl (enzim MvaI 0,2 µl, buffer 1 µl, nuclease free water3,8
µl, PCR product 5 µl) dimasukkan pada tabung PCR kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC, selama 3 jam.
m. Hasil restriksi enzim MvaI, diambil 10 µl dan di running di dalam gel agarose 2% bersamaan dengan penanda DNA, yang diwarnai dengan ethidium bromide, selama 1 jam 10 menit, voltase 80 volt, kemudian dibaca dengan T. mentagrophytes dengan ukuran 250 bp, 160 bp, dan 120 bp; 400 bp; 360 bp, 250 bp, 160 bp dan 120 bp; 250 bp, 180 bp, 160 bp dan 120 bp, T. rubrum dengan ukuran 370 bp dan 160 bp; 400 bp, 180 bp, dan 120 bp, Trichophyton tonsurans (T.
tonsurans) dengan ukuran 360 bp dan 250 bp; T. verrucosum dengan ukuran 450 bp; 350 bp dan 200 bp; dan E. floccosum dengan ukuran 360 bp, 230 bp dan 170 bp; 400 bp, 250 bp dan 180 bp pada gel agarose 2% menggunakan lampu UV yang dihubungkan dengan komputer.
n. Pemeriksaan PCR-RFLP pada sampel rata-rata dilaksanakan dalam waktu 3 hari.
3.10 Kerangka Operasional
Gambar 3.1Diagram kerangka operasional
3.11 Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terhimpun ditabulasi dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan hasil literatur lain.
3.12 Ethical Clearance
Penelitian ini telah memperoleh ethicalclearance dari Komite Etik Penelitian bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dari subyek yang diduga tinea kruris, mulai bulan September 2013 sampai dengan Mei 2014. Pada penelitian ini, telah dilakukan kerokan kulit dari 31 subyek penelitian, dimana kerokan kulit dari 1 subyek penelitian dibagi menjadi 2 sampel yang masing-masing akan dilakukan pemeriksaan kultur jamur di Laboratorium Mikrobiologi dan PCR-RFLP di Laboratorium terpadu.
4.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Karakteristik subyek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan distribusi jenis kelamin dan kelompok usia.
Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan tabel 4.1 dari total 31 subyek penelitian didapatkan sebanyak 15 orang (48,4%) berjenis kelamin perempuan dan 16 orang (51,6%) berjenis kelamin laki-laki.
Hajar (1999) dari penelitiannya didapati yaitu laki-laki lebih banyak dijumpai menderita tinea kruris dibandingkan wanita yaitu sekitar
Jenis kelamin n %
Laki- Laki 16 51.6
Perempuan 15 48.4
Total 31 100.0
26,67%.10Gupta, et al. (2003) dan Daili, et al.(2005) menyatakan bahwa tinea kruris banyak mengenai laki-laki dibandingkan wanita.8,27
Schieke, et al (2012); Patel, et al. (2009) dan Wiederkehr, et al juga menyatakan bahwa tinea kruris tiga kali lebih banyak mengenai laki-laki dibandingkan wanita.3,6,41
Penelitian oleh Chinelli, et al. (2003) didapati penderita tinea kruris lebih banyak pada laki-laki yaitu 80,2% dibandingkan dengan perempuan.42
Pada penelitian ini didapati laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu sekitar 51,6%. Tinea kruris lebih sering pada pria dibandingkan wanita kemungkinan salah satu alasannya dikarenakan skrotum menciptakan kondisi yang hangat dan lembab.4 Selain itu pakaian yang digunakan oleh pria cenderung lebih tertutup sehingga meningkatkan kelembaban.43
Distribusi subyek penelitian berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 4.2 Tabel 4.2Karakteristik subyek penelitian berdasarkan kelompok usia
Berdasarkan tabel 4.2 dari total 31 subyek penelitian menunjukkan bahwa subyek penelitian terbanyak adalah pada kelompok umur 12-21 tahun, yaitu sebanyak 38,7%.
Havlickova, et al. (2008) menyatakan tinea kruris lebih sering pada laki-laki usia muda yang bertempat tinggal di daerah panas.4 Patel, et al. (2009) dan Fernandes, et al. (2001) menyatakan insidensi tinea kruris tinggi pada laki-laki usia dewasa muda dan remaja.41,44 Andrews, et al (2008) menyatakan tinea kruris paling sering dijumpai pada laki-laki dewasa muda.45
Pada penelitian ini usia terbanyak adalah 12-21 tahun (38,7%). Menurut Patel, et al. (2009), obesitas pada anak-anak dan remaja dikatakan meningkat, hal ini yang memungkinkan sebagai penyebab peningkatan kasus tinea kruris pada usia tersebut.41 Anak-anak yang menggunakan pakaian dalam atau baju yang ketat, banyak berkeringat atau terjadi gangguan sistem imun meningkatkan resiko tinea kruris.46
4.2 Spesies Jamur dari Kultur Jamur dan PCR-RFLP
Hasil pemeriksaan kerokan kulit dengan menggunakan kultur jamur dan PCR-RFLP dapat dilihat pada tabel 4.3
Tabel 4.3Hasil pemeriksaan kerokan kulit dengan kultur jamur dan PCR-RFLP
No.
Sampel
Kultur Spesies Kultur PCR-RFLP Spesies PCR-RFLP
1 Negatif TAPJ Negatif -
2 Negatif TAPJ Positif T. mentagrophytes
3 Negatif TAPJ Negatif -
4 Positif T. rubrum Positif T. rubrum
5 Negatif TAPJ/Paecilomyces Negatif -
6 Negatif TAPJ/Aspergillus flavus Positif T. mentagrophytes
7 Positif T. rubrum Positif T. rubrum
13 Negatif TAPJ/Aspergillus flavus Positif E. floccosum
14 Positif M. rivalieri Positif O
15 Negatif TAPJ/Aspergillus flavus Negatif - 16 Negatif TAPJ/Aspergillus fumigatus Negatif - 17 Negatif TAPJ/Aspegillus niger Negatif - 18 Negatif TAPJ/Aspergillus flavus Negatif -
19 Positif T. rubrum Positif O
20 Negatif TAPJ/Aspergillus fumigatus Positif T. verrucosum
21 Positif T. tonsuran Positif T. tonsuran
22 Positif T. ericinae Negatif -
23 Positif T. tonsuran Positif O
24 Positif T. rubrum Positif T. rubrum
25 Negatif TAPJ/Aspergillus flavus Negatif -
26 Positif T. rubrum Negatif -
27 Positif T. rubrum Positif T. rubrum
28 Negatif TAPJ/Paecilomyces Positif T. verrucosum
29 Positif T. rubrum Positif T. rubrum
30 Positif T. rubrum Positif O
31 Positif T. schoenleinii Positif O
TAPJ : tidak ada pertumbuhan jamur o: tidak terdeteksi
Berdasarkan tabel 4.3 dari total 31 subyek penelitian didapatkan 16 subyek positif pada kultur jamur dan 17 subyek positif pada PCR-RFLP.
Distribusi spesies jamur berdasarkan kultur jamur dapat dilihat pada tabel4.4
Tabel 4.4 Distribusi spesies jamur berdasarkan kultur jamur
TAPJ : tidak ada pertumbuhan jamur
Berdasarkan tabel 4.4 total 31 subyek penelitian dari pemeriksaan kultur jamur didapatkan 16 subyek positif dengan T. rubrum merupakan spesies jamur terbanyak yaitu sekitar 25,8%.
Distribusi spesies jamur berdasarkan PCR RFLP dapat dilihat pada tabel 4.5
Tabel 4.5Distribusi spesies jamur berdasarkan PCR-RFLP
O : spesies jamur tidak terdeteksi
TAPJ/Aspegillus niger 1 3.2
TAPJ/Aspergillus flavus 5 16.1
TAPJ/Aspergillus fumigatus 2 6.5
TAPJ/Cladosporium 1 3.2
TAPJ/Paecilomyces 2 6.5
Total 31 100.0
Berdasarkan tabel 4.5 dari total 31 subyek penelitian dari pemeriksaan PCR-RFLP didapatkan 17 subyek positif dengan T. rubrum merupakan spesies jamur terbanyak yaitu sekitar 16,1%.
Disimpulkan bahwa spesies jamur terbanyak dari pemeriksaan kultur jamur dan PCR-RFLP adalah T. rubrum.
Hajar (1999) dan Nasution (2005) mendapatkan T. rubrum dan T.
mentagrophytes sebagai spesies jamur penyebab terbanyak tinea kruris.10,12 Schieke, et al (2012) serta Wiederkehr, et al menyatakan bahwa spesies penyebab tinea kruris paling sering adalah T. rubrum dan E. floccosum selanjutnya diikuti oleh T. mentagrophytes dan T. verrucosum.3,6
Havlickova, et al. (2008) serta Arenas, et al (2001) menyatakan E.
floccosum, T. mentagrophytesdan T. rubrum merupakan spesies penyebab tinea kruris paling sering.4,29
Penelitian oleh Chinelli, et al. (2003) didapati spesies dermatofita terbanyak pada penderita tinea kruris adalah T. rubrum yaitu sekitar 67%
kemudian terbanyak kedua adalah E. floccosum sekitar 18,7%.42
Distribusi spesies jamur berdasarkan kultur jamur dan PCR-RFLP dapat dilihat pada tabel 4.6
Tabel 4.6Distribusi spesies jamur berdasarkan kultur jamur dan PCR-RFLP
TAPJ : tidak ada pertumbuhan jamur
o: spesies jamur tidak terdeteksi pada PCR-RFLP
Berdasarkan tabel 4.6 dari total 31 subyek penelitian didapatkan 12 subyek (38,71%) positif jamur baik dari kultur jamur dan PCR-RFLP. Empat subyek (12,90%) positif pada kultur jamur dan negatif pada PCR-RFLP. Lima subyek (16,13%) positif pada PCR-RFLP dan negatif pada kultur jamur. Duabelas subyek yang dijumpai positif jamur pada kultur jamur maupun PCR-RFLP, didapati 6 subyek (50%) memiliki spesies yang sama dan 6 subyek (50%) didapati spesies jamur pada kultur jamur sedangkan PCR-RFLP tidak dijumpai spesies jamur. Hal ini dimungkinkan karena basepair dari PCR sangat halus sehingga ketika digunakan enzim untuk memotong basepair tersebut sudah tidak terlihat lagi atau spesies dari jamur tersebut tidak terdeteksi oleh enzim yang digunakan.
Spesies Jamur
Penelitian Bergman, et al (2013) menggunakan real-time PCR, terdapat 5 sampel yang diidentifikasi berbeda oleh PCR dan kultur yaitu 2 sampel pada kultur diidentifikasikan sebagai T. rubrum pada PCR sebagai T. interdigitale; 1 sampel pada kultur diidentifikasikan sebagai Trichophyton violaceum(T.
violaceum) pada PCR sebagai T. rubrum; 1 sampel pada kultur diidentifikasikan sebagai T.interdigitale pada PCR sebagai T. rubrum;1 sampel pada kultur diidentifikasikan sebagai T.tonsuran pada PCR sebagai T. interdigitale.47 Penelitian Irime, et al (2011), didapati perbedaan spesies hasil pemeriksaan kultur danreal time PCR pada 4 sampel. Dua sampel oleh kultur diidentifikasi sebagai T.
rubrum namun oleh PCR diidentifikasi sebagai T. interdigitale. Dua sampel lagi oleh kultur diidentifikasi sebagai T. interdigitale namun oleh PCR diidentifikasi sebagai T. rubrum.17Penelitian oleh Wissenlik, et al (2011) menggunakan real-time PCR untuk identifikasi dermatofita, terdapat 4 sampel yang berbeda spesies antara kultur jamur dan real-time PCR.48 Penelitian oleh Girgis, et al (2006) terdapat 7 sampel yang berbeda spesies antara PCR dan kultur.49
Penelitian oleh Garg, et al (2009), dari 20 spesimen yang negatif pada pemeriksaan kultur jamur, 13 spesimen positif pada pemeriksaan PCR.1 Penelitian Arabatzis, et al. (2007), didapati 7 spesimen negatif secara mikoskop dan kultur jamur namun positif pada PCR.50
Indetifikasi spesies ini penting untuk terapi, dikarenakan spesies Epidermophyton dan Trichophyton sangat sensitif terhadap terbinafin sedangkan spesies Microsporum kurang sensitif, sehingga apabila hasil spesies dapat diketahui dengan jelas dan cepat, dapat diberikan pengobatan yang tepat dan penyembuhan diharapkan semakin cepat.23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan:
1. Hasil pemeriksaan spesies jamur yang terbanyak dari kultur jamur maupun PCR-RFLP adalah T. rubrum.
2. Pemeriksaan dengan kultur jamur didapatkan T. rubrum merupakan spesies jamur terbanyak yaitu sebanyak 25,8%.
3. Pemeriksaan dengan PCR-RFLP didapatkan T. rubrum merupakan spesies jamur terbanyak yaitu sebanyak 16,1%.
4. Presentase persamaan spesies hasil pemeriksaan antara PCR-RFLP dengan kultur jamur adalah 50 % dari 12 subyek yang positif dijumpai jamur baik dari kultur jamur dan PCR-RFLP.
5. Presentase hasil pemeriksaan dengan kultur jamur dijumpai spesies jamur sedangkan PCR-RFLP tidak dijumpai spesies jamur adalah 50%
dari 12 subyek yang positif dijumpai jamur baik dari kultur jamur dan PCR-RFLP.
5.2 Saran
1. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan teknik PCR yang lain sehingga mendapatkan spesies jamur yang lebih bervariasi.
2. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan primer-primer yang lain sehingga mendapatkan spesies jamur patogen.
3. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan enzim-enzim yang lain untuk mengetahui lebih banyak spesies jamur patogen.
2. Hay RJ, Moore J. Mycology. In: Burn T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editor. Rook’s Text Book of Dermatology.7thEd. United State: Black-Well; 2004.p.1425-7.
3. Schieke SM, Garg A. Superficial fungal infection. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchesrt BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff Klaus, editor. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8thEd. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2012.p.2277-97.
4. Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. Epidemiological trends in skin mycoses worldwide. Mycoses. 2008; 51 (suppl.4):2-15.
5. Nadalo D, Montoya C. What is the best way to treat tinea cruris?. The Journal of Family Practice. 2006; 55(3):256-8.
6. Wiederkehr M, Schwartz RA. Tinea cruris. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1091806-overview#showall.
Accesced on28March 2013.
7. Lakshmipathy DT, Kannabiran K. Riview on dermatomycosis:
pathogenesis and treatment. Natural Science. 2010; 2(7): 726-31.
8. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia Sebuah Panduan Bergambar. Jakarta Pusat: PT Medical Multimedia Indonesia; 2005.p.30.
9. Nasution MA. Mikologi dan mikologi kedokteran beberapa pandangan dermatologis [Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap]. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2005.
10. Hajar S. Penyebab infeksi jamur dermatofitosis di rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi Medan [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara;
1999.
11. Bilkes. Spektrum klinis dan faktor predisposisi dermatofitosis di beberapa Puskesmas wilayah kota Medan [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2005.
12. Nasution EI. Spektrum dermatofita penyebab dermatofitosis di beberapa Puskesmas wilayah kota Medan [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2005.
13. Liu D, Coloe S, Baird R, Pedersen J. Application of PCR to the indentification of dermatophyte fungi. J Med Microbiol. 2000; 49: 493-7.
14. Sylvia L, Widya S. Pemeriksaan penunjang laboratorium pada infeksi jamur subkutan. Media Dermato-Venereologica Indonesiana. 2010;
37(3):113-22.
15. Elavarashi E, Kindo AJ, Kalyani J. Optimization of PCR-RFLP directly from the skin and nails in cases of dermatophytosis, targeting the ITS and the 18 S ribosomal DNA regions. JCDR. 2013:1-6.
16. Gutzmer R, Mommert S, Küttler U, Werlfel T, Kapp A. Rapid identification and differentiation of fungal DNA in dermatological specimens by LightCycler PCR. J Med Microbiol. 2004; 53: 1207-14.
17. Irimie M, Tătaru A, Oanţă A. Evaluation of real time polymerase chain reaction assay for idetification of common dermatophyte species. Bulletin of the Transilvania University of Braşov. 2011; 4(53):65-72.
18. Alexander CL, Shankland GS, Carman W, Williams C. Introduction of a dermatophyte polymerase chain reaction assay to the diagnostic mycology service in Scontland. Br J Dermatol. 2011; 164: 966-72.
19. Handoyono D, Rudiretna A. Prinsip umum dan pelaksanaan polymerase
19. Handoyono D, Rudiretna A. Prinsip umum dan pelaksanaan polymerase