• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan hak dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan Otonomi daerah di Indonesia yang hingga saat ini merupakan wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Dimana Pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah dimulai secara efektif pada tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi yang sesungguhnya.

Desentralisasi sendiri mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah (dalam Sidik et al, 2002). Salah satu

Ketetapan MPR yaitu Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan

Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam

Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Mardiasmo, 2002) merupakan

landasan hukum bagi dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya kebijakan ini diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Kedua UU ini mengatur tentang

Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH) yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil berperan sebagai penyeimbang fiskal antara pusat dan daerah dari pajak yang dibagi hasilkan. DAU berperan sebagai pemerataan fiskal antar daerah di Indonesia. Sedangkan DAK berperan sebagai dana yang didasarkan pada kebijakan yang bersifat darurat. Diluar dari fungsi tersebut, untuk secara detailnya, penggunaan dana tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Disamping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan lain-lain pendapatan. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Seharusnya dana transfer dari pemerintah pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel (Maimunah, 2006).

Pada praktiknya, transfer dari pemerintah pusat merupakan sumber dana utama pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh pemerintah daerah dilaporkan dan diperhitungan dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Tujuan transfer adalah mengurangi kesenjangan

keuangan horizontal antar-daerah, mengurangi kesenjangan vertikal Pusat-Daerah, mengatasi persoalan efek pelayanan publik antar-daerah, dan untuk menciptakan stabilisasi aktifitas perekonomian di daerah (Sidik, dkk, 2002).

Dalam pelaksanaan desentralisasi, peran transfer tidak dapat dihindarkan mengingat otonomi yang dilimpahkan menuntut daerah untuk dapat menyelesaikan berbagai urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah. Bagi pemerintah pusat, transfer memang diusahakan menjadi pendorong agar pemerintah daerah secara intensif menggali sumber-sumber penerimaan sesuai kewenangannya. Sayangnya, alokasi transfer di negara-negara sedang berkembang pada umumnya lebih banyak didasarkan pada aspek belanja tetapi kurang memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak lokal (Naganathan dan Sivagnanam, 1999). Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintah daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar lagi dari pusat (Shah, 1994), bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara lebih optimal (Oates, 1999). Keadaan tersebut juga ditemui pada kasus pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia.

Menurut Kuncoro (2004:26) pada beberapa kasus pemerintahan daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu membiayai belanja Pemerintah Daerah paling tinggi sebesar 20 % baik pada era sebelum maupun sesudah otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Adanya belanja atau pengeluaran pemerintah yang distimulus oleh penerimaan daerah untuk pembiayaan pembangunan daerah dapat memberikan efek multiplier/pengganda

yang dapat mendorong dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Namun perlu dicermati kemungkinan adanya flypaper effect, yaitu bila transfer Pemerintah Pusat lebih kuat menstimulus Pengeluaran Pemerintah Daerah ketimbang pendapatan daerah yang dihasilkan sendiri (PAD) untuk penciptaan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

Penelitian flypaper effect sebelumnya telah banyak yang mengangkat permasalahan transfer ini, di Amerika Serikat, persentase transfer dari seluruh pendapatan mencapai 50% untuk pemerintah federal dan 60% untuk pemerintah daerah (Fisher, 1982 dalam Halim, 203). Khususnya di daerah Winconsin di AS sebesar 47% pendapatan Pemda berasal dari transfer Pempus (Deller et al., 2002). Di negara-negara lain, persentase transfer atas pengeluaran Pemda adalah 85% di Afrika selatan, 67%-95% di Nigeria, dan 70%-90% di Meksiko. Menurut data dari kemendagri, komposisi Pendapatan Daerah pada APBD tahun anggaran 2012 secara nasional dikelompokkan dalam tiga kelompok yakni Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Pada tahun 2012, dana perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan daerah yaitu sebesar sebesar 69,0% atau Rp.380,601 triliun, sedangkan PAD hanya sebesar 20,4% atau sebesar Rp.112,720 triliun dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah sebesar 10,6% atau sebesar Rp.58,262 triliun.

Di Indonesia sendiri, beberapa penelitian tentang flypaper effect di berbagai daerah menghasilkan kesimpulan dan hasil yang berbeda-beda contohnya Maimunah (2006) pernah melakukan pengujian adanya flypaper effect pada belanja daerah pemerintah Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Dari

penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa adanya flypaper effect DAU terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera. Namun hasil penelitian tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh wilayah Indonesia, karena pemerintah daerah Kabupaten/Kota dianggap memiliki kemampuan keuangan berbeda-beda. Listiorini (2011) menghasilkan kesimpulan bahwa secara simultan terjadi fenomena flypaper effect pada Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Secara parsial, fenomena flypaper effect terjadi pada Dana Alokasi Umum (DAU)t-1/(X1) dan Pendapatan Asli Daerah (X4) t-1 terhadap Belanja Daerah di masa yang akan datang. Semakin tinggi alokasi DAU yang diberikan pusat pada tahun tertentu maka akan direspon daerah dengan kenaikan atau meningkatnya Belanja Daerah dimasa yang akan datang. Hal ini menunjukkan bahwa 69.1% variabel Belanja Daerah dapat dijelaskan oleh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Pendapatan Asli Daerah. Sisanya sebesar 30.1% diduga dipengaruhi oleh variabel lain. Fitri yani (2012) Hasil pengujian hipotesis menunjukkan Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan Pendapatan Asli Daerah secara simultan berpengaruh terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh secara parsial terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dan terjadi Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Daerah. Dan menurut Leonard (2011) Secara simultan, variabel dana alokasi umum dan

kapasitas fiskal berpengaruh secara bersama-sama terhadap belanja daerah dan secara parsial, variabel dana alokasi umum berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap belanja daerah dan variabel kapasitas fiskal berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap belanja daerah. Tidak terjadi fenomena

flypaper effect pada belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di propinsi Riau.

Pemerintah kabupaten/kota di propinsi Riau tidak bertumpu pada DAU dalam menentukan besarnya belanja daerah periode ke depan.

Berdasarkan latar belakang yang telah uraikan di atas, maka judul dalam penelitian ini adalah : FLYPAPER EFFECT PADA DANA ALOKASI UMUM, DANA BAGI HASIL, DANA ALOKASI KHUSUS DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA DAERAH

Dokumen terkait