• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu sub-etnik Batak yang ada di Indonesia di samping Batak Simalungun, Karo, Pakpak, dan Mandailing. Tidak jauh berbeda dengan sub-etnik lain yang ada di Indonesia, masyarakat Batak Toba mempunyai bahasa Batak Toba sebagai lambang identitas dan manifestasi eksistensi. Eksistensi yang dimaksud adalah makhluk yang bermanfaat atau makhluk sosial di mana kemasyarakatan itu sendiri terbentuk dengan adanya bahasa (Subyakto, 1992: 1).

Pada dasarnya bangsa Indonesia berlatar belakang kedaerahan. Masing-masing daerah atau suku bangsa mempunyai bahasa daerahnya sendiri. Bahasa-bahasa daerah perlu dibina dan dikembangkan karena Bahasa-bahasa daerah merupakan satu unsur kebudayan nasional yang dilindungi oleh Negara. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 menyatakan di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Batak, Madura, dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.

Lebih lanjut ditekankan di dalam Politik Bahasa Indonesia (Halim, 1984: 22) bahwa dalam rangka merumuskan fungsi dan kedudukan bahasa daerah perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:

1. Bahasa daerah tetap dibina dan dipelihara oleh masyarakat pemakainya, yang merupakan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

2. Bahasa daerah sebagai kekayaan budaya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bahasa nasional serta untuk pembinaan dan

pengembangan bahasa-bahasa daerah itu sendiri. 3. Bahasa daerah tidak berbeda dalam struktur kebahasaannya, tetapi juga

berbeda jumlah penutur aslinya.

4. Bahasa-bahasa daerah tertentu dipakai sebagai alat penghubung baik lisan maupun tulis, sedangkan bahasa daerah dipakai secara lisan.

Bahasa Batak Toba terus berkembang dan berfungsi sebagai alat komunikasi, pendukung, dan lambang identitas masyarakat Batak Toba. Fungsi tersebut dapat diamati melalui kegiatan-kegiatan anggota masyarakat dalam berkomunikasi antar sesamanya. Untuk mengungkap maksud dan isinya seorang penutur bahasa sering menyampaikannya melalui karya sastra. Salah satu karya sastra lisan yang lahir, hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Batak Toba dan diwariskan secara turun-temurun dari mulut ke mulut adalah

Sebagai sastra lisan umpasa ‘pantun’ digolongkan ke dalam bentuk puisi lama, karena umpasa diubah dengan syarat-syarat berbait, bersajak dan berirama, dan terdiri dari dua baris sebait, dan empat baris sebait, baris pertama terdiri sampiran dan baris kedua berupa isi, dua baris pertama berupa sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.

Dahulu pemakaian umpasa Batak Toba sering digunakan oleh kaum muda-mudi dan orang tua ketika mengadakan suatu kegiatan, misalnya kaum muda-mudi dalam kegiatan acara martandang ‘berkunjung’ dan kaum orang tua dalam kegiatan rapat adat, upacara-upacara adat, seperti marhata sinamot (musyawarah membicarakan uang emas kawin), marunjuk (upacara perkawinan) dan lain-lain. Umpasa dalam konteks budaya masyarakat Batak Toba tidak hanya memperindah untaian kata-kata, tetapi juga memiliki makna yang sangat luas, berisi falsafah hidup, etika kesopanan, undang-undang, dan kemasyarakatan. Tetapi umpasa lebih cenderung berisi falsafah hidup yang menjadi cita-cita hidup masyarakat Batak Toba berupa hamoraon ‘kekayaan’,

hagabeon ‘mempunyai keturunan’, dan hasangapon ‘kehormatan’.

Frekwensi pemakaian umpasa lebih sering digunakan apabila dibandingkan dengan jenis karya sastra milik masyarakat Batak Toba lainnya. Seperti umpama ‘perumpamaan’, turi-turian ‘cerita’ dan lain-lain. Pemakaian

umpasa selalu dilakukan pada setiap berlangsung upacara adat. Upacara adat

tersebut adalah lebih bermaknak apabila dibarengi dengan penggunaan umpasa karena raja parhata ’juru bicara’ adat dapat bertanya jawab untuk melaksanakan

tugasnya sambil menunjukkan kebolehannya menggunakan umpasa sebagai lambang kewibawaan.

Keberadan umpasa di tengah masyarakat pada saat sekarang terutama masyarakat yang berada di perantauan dapat dikatakan mengkhawatirkan walaupun penggunaan dilakukan pada setiap upacara adat. Hal ini diakibatkan banyak orang tua masyarakat Batak Toba yang tidak dapat lagi mengetahui makna dan mempergunakan umpasa tersebut. Tentunya keadaan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap perkembangan umpasa. Para generasi muda nantinya akan kewalahan untuk belajar dan mendapatkan imformasi akurat tentang makna yang dikandung umpasa tersebut.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, penelitian terhadap umpasa masyarakat Batak Toba sangat diperlukan sekarang agar generasi muda dan pemerhati budaya Batak Toba dapat belajar dan mendapatkan imformasi yang akurat tentang umpasa. Selain itu dapat juga sebagai inventarisasi umpasa.

Pada pelaksanaan rapat adat atau musyawarah uang emas kawin (marhata

sinamot) pada masyarakat Batak Toba tidak berbeda untuk beberapa daerah yang

dikenal seperti di Toba Humbang, Silindung, dan Holbung. Namun adanya perbedaan yang mendasar pada ketiga daerah ini adalah dalam hal pelaksanaan adat khususnya dalam pembagian Jambar (penghargaan) dan Ulos (selendang) sedangkan kesamaannya adalah alat komunikasi yang digunakan yaitu sama-sama bahasa Batak Toba.

Masyarakat Batak Toba mempunyai sistem adat istiadat tertentu yang berazaskan Daliha Na Tolu “tungku yang berkaki tiga” disingkat “tungku nan tiga”. Dalihan Na Tolu merupakan dasar hidup masyarakat Batak Toba. Setiap anggota masyarakat wajib berbuat dan bertindak menurut aturan adat istiadat yang berazaskan Dalihan Na Tolu.

Pengertian rapat adat adalah musyawarah membicakan uang emas kawin (marhata sinamot) yang dihadiri oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu,, yaitu

hulahula ‘pemberi istri’, dongan sabutuha/dongan tubu ‘kerabat semarga’, dan

boru ‘penerima istri’ dari kedua belah pihak.

Penelitian ini memuat tentang Umpasa Masyarakat Batak Toba dalam Rapat Adat: Suatu Kajian Pragmatik. Di dalam penelitian ini, lokasi penelitian penulis adalah Kota Medan. Peneliti membatasi rapat adat atau musyawarah uang emas kawin (marhata sinamot) yang mempergunakan umpasa sebagai tindak tutur pada masyarakat Batak Toba.

Masing-masing pihak mempunyai ketiga komponen adat yaitu: hulahula,

dongan sabutuha, boru dan inilah yang menjadi satu keluarga besar Dalihan Na Tolu yang baru. Apabila ketiga komponen dari kedua pihak tidak hadir maka apa

yang disebut adat tidak memenuhi kualifikasi adat. Dengan kata lain, keterikatan ketiga komponen tersebut merujuk pada satu kesatuan yang terintergrasi sehingga rapat adat dapat berlangsung dengan baik.

Dalam rapat adat pada masyarakat Batak Toba dilaksanakan apabila kitiga komponen yang dikenal dengan Dalihan Na Tolu telah hadir berserta

dongan sahuta ‘kawan sekampung’ pada situasi tersebut, hulahula ‘sebagai pemberi istri’, dongan sabutuha sebagai ‘kerabat semarga’, boru sebagai

‘penerima istri’, dan dongan sahuta sebagai ‘kawan sekampung’. Dalihan Na

Tolu ini ialah suatu kerangka yang meliputi hubungan kekerabatan dari

hubungan perkawinan di mana ada pertemuan dua marga dari kedua pihak yaitu pihak boru ‘penerima istri’ dan pihak hulahula ‘pemberi istri’.

Rapat adat adalah musyawarah membicarakan uang emas kawin/uang mahar atau disebut juga dengan istilah dalam bahasa Batak Toba marhata

sinamot merupakan suatu awal yang harus dilaksanakan sebelum acara

dilanjutkan ke tahap pesta perkawinan bagi setiap suku Batak Toba. Pada saat rapat adat (marhata sinamot) di sinilah dimusyawahkan banyaknya tuhor boru

‘uang emas kawin/uang mahar yang harus diberikan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan’. Dalam hal rapat adat bagi suku Batak bukanlah persoalan bagi pihak laki-laki dan pihak perempuan semata, termaksud saudara-saudara kandung masing-masing, akan tetapi merupakan ikatan berdasarkan Dalihan Na

Tolu dari masing-masing pihak. Dalam hal membicarakan uang mahar peran dari tulang ‘paman’ dari kedua belah pihak juga menentukan banyaknya uang mahar yang diberikan dari pihak laki-laki. Akibatnya bila tidak terjadi kesepakatan dari kedua belah pihak, maka rapat adat tersebut dikatakan gagal. Namun bila terdapat kesepakatan dari kedua belah pihak, maka ditentukan kapan hari, tanggal, dan bulan pelaksanaan pesta perkawinan dilangsungkan.

Pada rapat adat (marhata sinamot) merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Na Tolu dari orangtua pihak laki-laki dan Dalihan Na

Tolu dari orangtua pihak perempuan. Artinya karena adanya musyawarah

membicarakan uang mahar (sinamot) inilah maka Dalihan Na Tolu dari orang tua pihak laki-laki menjadi berkerabat dengan Dalihan Na Tolu dari pihak perempuan dan sebaliknya. Jadi segala istilah sapaan dan acuan yang digunakan oleh pihak yang satu terhadap pihak lain demikian pula sebaliknya adalah istilah-istilah kekerabatan berdasarkan Dalihan Na Tolu.

Istilah “pragmatik” sebagai bidang kajian di dalam ilmu linguistik, diberi batasan yang berbeda-beda oleh pakar-pakar linguistik. Namun dari batasan-batasan itu dapat ditelusuri adanya dua tradisi prakmatik, yaitu tradisi Anglo Amerika dan tradisi continental (Lavinson, 1983: 5). Yang pertama itu lebih terbatas dan lebih erat kaitannya dengan apa yang secara tradisional menjadi kajian linguistik seperti struktur kalimat dan tata bahasa. Yang Kontinental itu lebih luas dan meliputi analisis wacana, etnografi komunikasi, beberapa aspek psikolinguistik dan bahkan kajian tentang kata sapaan (Fasold, 1987: 119).

Salah satu batasan pragmatik yang berterima oleh para pengikut kedua tradisi itu adalah bidang ini adalah bidang di dalam linguistik yang mengkaji maksud ujaran, bukan makna kalimat yang diujarkan itu. Makna kalimat dikaji di dalam semantik, sedangkan maksud atau daya (force) ujaran dikaji dalam pragmatik.

Pragmatik selain mempelajari maksud ujaran juga mempelajari fungsi ujaran: untuk apa suatu ujaran dibuat atau dilakukan. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa pragmatik termasud dalam fungsionalisme di dalam linguistik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, satuan analisisnya bukanlah kalimat (karena kalimat adalah satuan tata bahasa), melainkan tindak ujaran atau tindak tutur (speech act). Sebagaimana tindak ujaran bukan kalimat. Thomas (1995: 22) mendefinisikan ilmu pragmatik sebagi arti dalam interaksi, ini menggambarkan bakwa “makna” itu bukan sesuatu arti yang melekat pada kata itu sendiri, bukan juga kata-kata yang dikeluarkan oleh pembicara dan pendengar, juga konteks ujaran (seperti konteks fisik, sosial, budaya, dan bahasa) dan arti yang mungkin muncul dari sebuah ujaran. Ini merupakan definisi interpretasi dari sudut pandang pendengar.

Crystal (1985: 240) mendefinisikan pragmatik sebagai pengkajian bahasa dari sisi pengguna bahasa, khususnya tentang pilihan-pilihan yang dibuat, kendala-kendala yang ditemukan pada pengguna bahasa dalam interaksi sosial dan pengaruh pengguna bahasa itu terhadap peserta lainnya dalam tindak komunikasi. Dengan kata lainnya pragmatik ialah pengkajian tindak komunikatif di dalam kontek sosiokultural tindak itu. Dalam pengertian ini tindak komunikatif tidak hanya meliputi tindak tutur seperti memuji, memohon, memberi salam, dan sebagainya, tetapi juga mencakup peran serta di dalam percakapan, keterlibatan di dalam beberapa jenis wacana, dan menjaga

kesinambungan interaksi di dalam beberapa jenis wacana, dan menjaga kesinambungan interaksi di dalam peristiwa bahasa yang kompleks.

Tindak tutur melakukan tindak tertentu melalui kata, misalnya memuji, memohon sesuatu, menolak (tawaran, permohonan), berterima kasih, memberi salam, meminta maaf dan mengeluh. Bentuk lahiriah tindak tutur yang sama tidak saja dapat berbeda, tetapi daya atau kekuatan tindak tutur mungkin pula berbeda. Selain itu, dalam kebudayaan tertentu menolak (tawaran, permohonan) dapat dilakukan secara langsung, sementara dalam kebudayaan lainnya dilakukan harus dengan berbasa-basi tertentu sebelum penolakan diucapkan atau bahkan tanpa diucapkan sama sekali. Akibatnya adalah dalam beberapa kasus tertentu kemungkinan terjadinya salah tafsir apakah seseorang penutur telah melakukan penolakan atau tidak sedangkan kemungkinan lainnya terjadinya kesalahpahaman terhadap maksud ucapan penutur.

Dalam melakukan sesuatu tindak tutur, selain menyatakan maksud dan keinginannya, penutur juga secara alami bertujuan untuk menciptakan dan menjaga hubungan sosial tertentu antara diri penutur dengan petutur. Penutur mempertimbangkan berbagai kendala dalam menyampaikan maksudnya secara tepat dan sesuai dari segi kedekatan atau jarak antara penutur dan petutur, situasi bahasa dan sebagainya. Siasat bahasa (komunikasi) yang digunakan untuk menciptakan dan menjaga hubungan sosial ini sering disebut siasat kesantunan. Kesantunan pada dasarnya hanya digunakan pada dua fungsi, yaitu fungsi kompetitif yang meliputi tindak tutur seperti meminta, memerintah, menuntut,

dan fungsi konvival yang meliputi menawarkan, mengundang, memberi salam, berterima kasih, memberi selamat. Fungsi pertama berorientasi pada petutur sedangkan yang kedua pada penutur. Selanjutnya Leech (1983) menyatakan tujuan konpetitif pada dasarnya bersifat keras (kasar) dan tujuan konvivial sebaliknya bersifat halus. Fungsi kompetitif lebih mengancam muka penutur bila dibandingkan dengan fungsi konvivial.

Lakoff (1972, 1973b) mengembangkan teori kesantunan yang meramalkan bahwa penambahan kebebasan pada pihak penutur untuk menolak suatu permohonan akan berkorelasi dengan penambahan kesantunan. Dengan kata lainnya, maka makin tinggi kesantunan atau kesantunan bertambah bersamaan dengan berkurangnya pembebanan pada pihak petutur.

Leech (1983) mengatakan bahwa kesantunan merupakan siasat yang digunakan untuk menjaga dan mengembangkan hubungan. Menurut Brown dan Levison (1983) kesantunan ialah menjaga muka petutur. Semua peserta tutur dalam suatu interaksi percakapan berkeinginan menjaga dua jenis muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah merupakan citra positif yang dimiliki orang terhadap dirinya sendiri dan hasrat untuk mendapatkan persetujuan, sementara muka negatif ialah tututan dasar terhadap wilayah, bagian pribadi, dan hak-hak untuk tidak diganggu.

Pengertian muka menurut Brown dan Levinson membedakan kesantunan positif dan kesantunan negatif. Siasat kesantunan positif dan negatif keduanya digunakan untuk menambah keakraban dan mengurangi pemaksaan. Keduannya

berinterasi dengan cara yang rumit sesuai dengan sifat tindak tutur dan status penutur dan petutur. Siasat kesantunan positif mencakup: memperhatikan keinginan penutur, menggunakan pemarkah kelompok dalam, bersifat optimis, mengusahakan persetujuan, menunjukkan kesamaan latar, dan menawarkan atau menjanjikan. Sementara itu siasat kesantunan negatif mencakup: bersifat tidak langsung, bertanya atau kalimat berpagar, bersifat pesimis, meminimalkan pemaksaan, memberi hormat dan meminta maaf.

Pragmatik berhubungan erat dengan tindak tutur karena pragmatik menelaah makna dalam kaitan dengan situasi tuturan (Leech, 1983: 19). Dalam menelaah tindak tutur, konteks amat penting, telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara kita menafsirkan kalimat disebut pragmatik (Tarigan, 1990: 34). Dengan demikian melalui pragmatik makna-makna yang secara semantik ganjil, dapat berterima karena pertimbangan secara pragmatik atau lebih khusus lagi karena konteks.

Leech (1983: 2) menyatakan untuk itu konteks merupakan suatu yang sangat mendasar dalam pemakaian bahasa kenyataan ini membuktikan bahwa semantik tidak selalu mudah dibedakan dengan pragmatik.

Parker (1986: 11) menyatakan berbeda dengan fonologi, sintaksis, morfologi, dan semantik yang memiliki kajian secara internal, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara ekternal, yakni bagaimana kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi.

Tarigan (1990: 32) mendefinisikan pragmatik menelaah acuan-acuan khusus dalam situasi-situasi khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial performasi bahasa yang dapat mempengaruhi tafsiran atau interprestasi.

Wijana (1996: 1) mendefinisikan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Berbeda dengan fonologi, sintaksis, morfologi, dan semantik yang mengkaji bahasa secara internal.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pragmatik seperti semantik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual. Adapun yang menjadi kajian pragmatik tentang makna berbeda dengan semantik. Pragmatik mengkaji makna secara eksternal sedangkan semantik mengkaji bahasa secara internal.

Kajian tindak tutur, merupakan hal yang perlu dikaji. Tindak tutur merupakan pengejewantahan kompetisi seseorang. Schiffrin (1994: 365) mengemukakan, “people can use language to do things to perform speech acts because the rules throngh which speech acts are realized are part of linguistic competence”. Kompetensi tersebut terbentuk sejak dini, dari masa kanak-kanak hingga dewasa, berkembang sesuai deangan aturan yang merupakan konvensi dalam komunikasi bahasa tiap manusia.

Grass (1996: 127) mengemukakan, tindak tutur bersifat fundamental pada komunikasi manusia, “that fundamental to human communication is nation of speech act”. Sementara Cohen (1996: 384) mengatakan bahwa, a speech act is

functional unit in communication”, yang berarti tindak tutur merupakan unit yang berfungsi penting dalam komunikasi.

Schiffrin (1994: 190) mengemukakan “pragmatics deals with three consepts (meaning, contexs, communication)”. Pragmatik berkaitan dengan tiga konsep yaitu makna, konteks, komunikasi.

Chaer dan Agustina (1995: 3) mengatakan sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat. Selanjutnya Nababan (1984: 2) mengatakan sosiolingustik merupakan studi atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sendiri sebagai anggota masyarakat, mempelajari atau membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa. Siregar (2002b: 172-173) mengatakan bahwa komunikasi sehari-hari atau siasat bahasa dalam tindak tutur dan penutur bertujuan untuk menciptakan dan menjaga hubungan sosial, berhubungan dengan kesantunan.

Dokumen terkait