• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar tempat merupakan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Secara garis besar latar tempat

dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas lakon Makutharama karya Ki Purbo Asmoro adalah sebagai berikut.

a. Tawang Gantungan

Tawang gantungan merupakan Negara dari Prabu Dasamuka setelah perang Alengka dan mati menjadi arwah. Adegan pada Tawang Gantungan terbukti dalam kutipan di bawah ini:

Kutipan:

Dasamuka: He! Mingkema lambemu, ‘parat! Anggepmu apa? Sing kandha dosa sapa, hem? Nyatane Dasamuka mapan ing

Taman Gantungan iki aku rumangsa bungah, aku rumangsa

bombong, dene aku isih bisa madeg nalendra, aku isih bisa jumeneng ratu (hal. 153)

Terjemahan:

Dasamuka: He! Tutup mulutmu, keparat! Menurutmu bagaimana? Yang bilang dosa siapa, hem? Kenyataannya Dasamuka tinggal di Taman Gantungan ini aku merasa senang, aku merasa bangga, dan aku masih bisa menjadi sebagai raja, aku masih bisa menjadi raja.

b. Praja Ngastina

Praja Astina dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro ini merupakan Negara besar, wilayahnya luas, namanya sudah terkenal tetapi tidak dapat berkembang karena yang diperjuangkan bertahun-tahun kini

porak-poranda disebabkan oleh tindakan laknat Sang Raja (Prabu Duryudana) yang terlalu menuruti keinginannya sendiri.

Kutipan:

… Yèn wus kandel panembahé, utama tumindake, suci atine, yekti para penggedhe miwah para nayaka sanesipun badhe tumut. Hanenggih menika ta warnane, gumelaring Praja

Hastinapura, Gajahoya, Limanbenawi, ya Kurujenggala. Negeri

jembar, wewengkon wiyar, hadegé wus kawentar, parandené ‘tan bangkit tumangkar, krana ing mangké hambyar buyar ingkang ginyuh jinangka mataun-taun gagar wigar pating balesar, labet tingkahing ratu kang anasar, nuruti napsu kang dèn-umbar marma katekan sedyané kanthi mayar angukup bandha, hanumpuk dinar … (hal.157-158)

Terjemahan:

Apabila sudah tebal ibadahnya, utama perilakunya, suci hatinya, sungguh para penguasa sampai para abdi lainnya akan mengikuti. Ya itulah wujudnya, berdirinya Negara Hastinapura, Gajahoya, Limanbenawi, ya Kurujenggala. Negeri luas, wilayahnya luas, namanya sudah terkenal, akan tetapi tidak bangkit berkembang, dengan keadaan sekarang terpecah belah yang diinginkan bertahun-tahun gagal total rusak berserakan, karena tingkahnya pemimpin yang kesasar, menuruti nafsu yang diumbar hanya menuruti keinginannya dengan mudahnya merampas harta, menumpuk dinar (uang).

c. Gunung Swelagiri

Gunung Swelagiri merupakan tempat dimana Sang Bayusiwi bersaudara mengabdikan diri kepada seorang resi yang berada di puncak Gunung Swelagiri, tepatnya di pertapan Kutharunggu yang bergelar Begawan Kesawasidi seperti dalam kutipan berikut:

Kutipan:

Ingkang mapan ing sukuning Wukir Swelagiri, nenggih ingkang winastan Duryapura. Ana pandhita rewanda seta nenggih ing nguni bebahu tengening Prabu Ramawijaya, ingkang wus rat

nenggih Hanoman, Kapiwara, Ramandayapati, ya Sang Bayusuta, Prabanca. Nadyan ta ing kono papaning rerungkudan, kajeng agung ‘ting jenggleng kang séla-séla gilang, suprandéné datan wigih ringa-ringa Risang Bayusiwi miwah para kadang Bayu … (hal 217).

Terjemahan:

Yang terletak di kakinya Gunung Swelagiri, yaitu yang disebut Duryapura. Ada pendeta berwujud kera putih yang menjadi tangan kanannya Prabu Ramawijaya, yang sudah mendunia yaitu Anoman, Kapiwara, Ramandayapati, ya Sang Bayusuta, Prabanca. Walaupun di sana tempatnya tumbuh ilalang, kayu besar menjulang, dan batu-batu besar, meskipun demikian tidak menjadi masalah berhati-hati Risang Bayusiwi dan para saudara Bayu …

d. Pertapan Candramanik

Pertapan Candramanik atau Padhepokan Candramanik merupakan tempat dimana Raden Wibisana bersemadi. Pertapan Candramanik terbukti dalam kutipan berikut.

Kutipan:

Marga-marga kawistingal manghayat rumambar lengkehing prabata. Asri lamun tinemu ta dinulu, nenggih pinggiring marga sesekaran hamanca warni: ceplok piring, arum dalu, naga puspa pinulet lunging gadhung. Mbrengengeng sadpada ingkang ngisep sarining kembang, yayah pujining brahmana. Anenggih menika warnane Padhepokan ing Candramanik pertapaning Sang Kunta Wibisana dahat asri lamun ta dinulu … (hal. 235) Terjemahan:

Jalan-jalan tampak berkelok-kelok di lembah pegunungan. Asri jika ditemukan tanpa dilihat, di tepi jalan bunganya berwarna-warni: ceplok piring, arum dalu, naga puspa dililit oleh julai gadung. Terdengar nyaring suara kumbang yang menghisap putik sari, bagaikan pujian brahmana. Inilah Padhepokan Candramanik tempat pertapaan Sang Kunta Wibisana sangat indah nan menyenangkan …

e. Pertapan Kutharunggu

Pertapan kutharungu merupakan tempat dimana Begawan Kesawasidi berada. Pertapan Kutharunggu terletak di Puncak Gunung Swelagiri seperti dalam kutipan berikut:

Kutipan:

… Tan asanés muhung anggénira ngèstu padha dhateng sang mahawiku ingkang dhedhépok ing Swélagiri mapan ing

Pertapan Kutharunggu, nenggih kang bebisik Begawan

Késawasidi … (hal. 217) Terjemahan:

… Tak lain mereka mengabdikan diri kepada Sang Mahawiku (pendeta) yang bertempat tinggal di Gunung Swélagiri bertempat di Pertapan Kutharunggu, yang bergelar Begawan Késawasidi

2) Latar waktu

Latar waktu merupakan kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam cerita fiksi. Latar waktu dapat berwujud waktu-waktu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, rentang waktu, dan satu periode sejarah. Latar waktu dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas karya Ki Purbo Asmoro adalah sebagai berikut.

a. Mendung Kutipan:

Mendhung tumiyung, cemeng hanggembuleng ireng keket

ngèbegi kéblat ing ngawiyat. Sirating Sang Hyang Arka anglayung lir soca ingkang karuna karantan (hal.147)

Terjemahan:

Mendung menggantung, hitam membumbung hitam pekat memenuhi kiblat di angkasa. Tandanya Sang Hyang Arka ( Dewa Surya) melambai seperti raut muka yang sedih terlunta-lunta.

b. Siang hari

Waktu siang hari dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro ditunjukkan pada sebutan Sang Hyang Arka sebagai simbol dari matahari terbukti pada kutipan di bawah ini:

Kutipan:

Mendhung tumiyung, cemeng hanggembuleng ireng keket ngèbegi kéblat ing ngawiyat. Sirating Sang Hyang Arka anglayung lir soca ingkang karuna karantan (hal. 147)

Terjemahan:

Mendung menggantung, hitam membumbung hitam pekat memenuhi kiblat di angkasa. Tandanya Sang Hyang Arka (

Dewa Surya) melambai seperti raut muka yang sedih terlunta-lunta.

c. Malam Hari

Waktu malam hari disimbolkan pada kata sasangka atau yang berarti bulan, seperti dalam kutipan berikut:

Kutipan:

Leng-leng myang sasangka,

Wayahe Lagya rumaras, … (hal.158) Terjemahan:

Kasmaran kepada bulan,

Waktunya baru saja dirasakan, … 2. Sarana Cerita

Sarana cerita dapat diartikan sebagai metode pengarang dalam memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa yang dimaksud dengan fakta-fakta tersebut.sehingga dapat menjadi sebuah pengalaman yang dapat dibagi. Sarana cerita yang terdapat dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas karya Ki Purbo Asmoro adalah sebagai berikut.

a. Judul

Judul merupakan kunci dari pada makna dalam sebuah cerita. Judul berhubungan langsung dengan keseluruhan isi cerita karena menunjukkan tema, latar dan karakter. Judul dalam karya sastra mempunyai tingkatan-tingkatan makna yang terkandung dalam cerita, bisa juga dapat berisi

sindiran terhadap kondisi yang ingin dikritisi oleh pengarang satu atau merupakan kesimpulan terhadap keadaan yang sebenarnya dalam cerita.

Judul dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas karya Ki Purbo Asmoro ini adalah Makutharama. Makutharama berasal dari dua kata yaitu Makutha dan Rama. Makutha merupakan Mahkota dan Rama merujuk pada Raden Ramawijaya. Makna sebenarnya ialah arti khiasan dari mahkotanya Ramawijaya tentang kepemimpinan yang telah dilakukan oleh Sri Rama untuk menjadi seorang pemimpin yang sukses. Makutharama berwujud 8 sifat pada ajaran hasthabrata yang mengambil intisari dari unsur alam seperti matahari, bulan, bintang, bumi, awan, samudera, api, dan angin. Judul Makutharama ini merupakan lakon carangan yang diimplementasikan pada epos Mahabharata dengan menjadikan Begawan Kesawasidi sebagai sosok pemberi ajaran hasthabrata tersebut kepada orang yang tepat yaitu Raden Arjuna seperti dalam kutipan berikut.

Kutipan:

Késawasidi: Sayektiné panjenenganingsun iku minangka dadi warana amedhar warananing ga’ib, amung Makutharama ingkang wis kaujar jroning pawarta, sejatiné walèh-walèh apa yaiku ingkang sinebut Hasthabrata. “Hastha” iku werdiné wolu, “brata” tegesé laku. Dadi ing kéné Hasthabrata mono mujudaké wulang hambeg utama wolung bab, ingkang kudu ditetepi déning ratu. Sapa waé kang jumeneng nata lamun bisa netepi Hasthabrata, panjenengané wenang sinebut nalendra ingkang mawa makutha. Krana apa, makutha mono tandha sejatining ratu, Radèn (hal. 307).

Terjemahan:

Kesawasidi: Sebenarnya dirimulah itu sebagai menjadi cara menjabarkan berbagai hal ga’ib, hanya Makutharama yang sudah terujar dalam berita, sejatinya tidak bosan apa yaitu yang disebut Hasthabrata.

“Hastha” itu artinya delapan, “brata” artinya tindakan. Jadi disini Hasthabrata itu berwujud ajaran sifat utama delapan bab, yang harus dipegang oleh ratu (pemimpin). Siapa saja yang duduk menjadi ratu harus bisa menerapkan Hasthabrata, dirinya berhak disebut raja (pemimpin) yang diberi mahkota. Karena apa, makutha itu tandha sejatinya ratu (pemimpin), Radèn.

Berdasarkan pada kutipan tersebu, judul lakon relevan dengan isi cerita. Pengarang mengambil judul Makutharama berdasarkan epos Ramayana yang diimplementasikan pada epos Mahabharata dengan menjadikannya sebuah lakon carangan (karangan).

b. Sudut pandang

Sudut pandang merupakan pusat kesadaran tempat kita dalam memahami setiap peristiwa dalam sebuah cerita. Sudut pandang yang digunakan dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas lakon Makutharama karya Ki Purbo Asmoro adalah orang ketiga terbatas. Sudut pandang orang ketiga terbatas maksudnya ialah pengarang mengacu kepada setiap karakter dan ia memposisikan dirinya sebagai orang ketiga. Pengarang membuat karakter seolah-olah bagai tersambar petir, lemah lunglai tak bersemangat dan sedih bercurucan air mata ketika tokoh Karna kehilangan senjata andalannya yaitu Kuntawijayadanu sebagai berikut:

Kutipan:

[Karna medal, nawung sungkawa]

Pocapan: yayah sinamber gelap Narpati Ngangga Prabu Karna Basuséna, nglumpruk sirna karekating angga. Pusaka piningit Kyai Wijayadanu ingkang kinarya tamènging angga samangké wus anis, cinepeng mangsah Sang Begawan Kapiwara binet mumbul ndedel nggayuh ngawiyat. Tambuh-tambuh sotaning ndriya. Dadya mangkana, brol mijil ingkang waspa, pegat-pegat pangandikanin wong Agung Ngawangga.

Terjemahan:

[Karna keluar, bersedih]

Narasi: bagai tersambar petir Adipati Awangga Prabu Karna Basusena, lemah lunglai tak bersemangat. Pusaka andalannya Kyai Wijayadanu yang sekarang sudah hilanh, dipegang oleh musuh Sang Begawan Kapiwara, dibawa terbang ke angkasa, tidak jelas apa yang diperbuat, sambil bercucuran air mata ia mengeluh penuh kesedihan.

Berdasarkan kutipan diatas, pengarang memposisikan dirinya sebagai orang ketiga tidak terbatas dan membuat tokoh Karna seolah-olah sedih, lemah lunglai, tak bersemangat, dan bercucuran airmata ketika kehilangan pusaka andalannya yaitu pusaka Kunta Wijayadanu.

c. Gaya dan Tone 1) Gaya

Gaya merupakan cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Gaya bahasa yang digunakan dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas lakon Makutharama ini tidak rumit, jelas dan lugas. Perumpamaan yang terdapat dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro adalah sebagai berikut:

(1) mban cindhé mban siladan

Pengarang menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan watak Durna yang pilih kasih dalam mendidik antara Pandhawa dan Kurawa menurut pendapat Patih Sengkuni seperti pada kutipan berikut.

Kutipan:

Sengkuni: Cetha manawi guru ingkang lenggah wonten ngriki menika mban cindhé mban siladan (hal 164)

Terjemahan:

Sengkuni: Jelas bahwa guru yang duduk disini itu mban cindhe mban siladan (pilih kasih).

(2) mburu uceng kelangan deleg

Perumpamaan yang digunakan oleh pengarang dalam menggambarkan perasaan Adipati karna yang kehilangan pusaka andalannya adalah mburu uceng kelangan deleg. Makna dari perumpamaan tersebut ialah yang dicari belum tentu ketemu malah kehilangan berlebihan. Perumamaan tersebut diumpatan Sengkuni kepada Karna yang kehilangan pusaka andalannya seperti dalam kutipan berikut.

Kutipan:

Karna: Hyang Agung, kénging menapa kula gadhah gegayuhan ingkang mekaten parandéné kula malah kécalan handeling dhiri? Kénging menapa pusaka kedah uwal saking angganing Narpati Ngawangga? Lajeng menapa ginanipun anggèn kula tumitah wonten ing alam padhang menika, Pikulun?

Sangkuni: Adhuh Nggèr, Nggèr, kula ngertos sepinten risaking raos paduka Anggér Ngawangga. Mangmula ta mangmula, kala wau ingkang Sinuwun rak sampun ngèngetaken bilih boten badhé ngupaya wahyu, nanging Paduka mbrekuneng, raos paduka kepéngin ngupaya tumedhaking kanugrahan. Manawi wonten lelampahan kados mekaten menika lajeng kadospundi? Bebasan “mburu uceng kelangan deleg”. (Hal. 232).

Terjemahan:

Karna: Tuhan, kenapa saya mempunyai cita-cita seperti ini walaupun demikian saya malah kehilangan andalan diri? Kenapa pusaka harus lepas dari tangannya Narpati Awangga? Kemudian apa gunanya aku hidup berada di alam terang (dunia) ini, Tuhan?

Sangkuni: Aduh nak, nak, saya mengerti seberapa rusaknya perasaan paduka nak Awangga. Maka dari itu ta maka dari itu, waktu itu yang tadi Sinuwun (Raja) kan sudah mengingatkan apabila jika tidak akan mencari wahyu tetapi paduka bersikeras, rasa paduka ingin mengupayakan datangnya keanugerahan. Apabila ada kejdian yang seperti itu begitu kemudian bagaimana? Bebasan “mburu uceng kelangan deleg”.

2) Tone

Tone merupakan sikap emosional dari pengarang yang dituliskan dalam cerita. Tone dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro pengarang menggunakan tone perasaan yang sia-sia yang diungkapkan melalui Bisma kepada Duryudana ketika Duryudana diminta untuk berbuat kebaikan namun dirinya tidak mau. Terbukti dalam kutipan berikut:

Kutipan:

Bisma: … Mula kang saka kuwi, nèk aku wis nuduhaké dalan bener kowé tak-‘kon golèk Wahyu Pepakem Makutharama ‘ning mbok tamplèk kowé emoh, rumangsamu kowé urip cukup, mung kepéngin mbura-mburu tanpa ngrasakaké marang penandhanging jagad, ora ana gunané ngecipris Begawan Bisma ana kéné. Tiwas iduku muncrat-muncrat ning mung dadi angin, lowung aku bali ‘nyang Talkandha (hal.173).

Terjemahan:

Bisma: .. maka dari itu, kalau aku menjukkan jalan benar kamu saya suruh mencari Wahyu Makutharama tetapi kamu tolak kamu tidak mau, perasaanmu kamu hidup cukup, cumin berkeinginan memburu (harta) tanpa merasakan kepada yang membuat dunia, tidak ada

gunanya Begawan Bisma berbicara disini. Terlanjur ludahku muncrat-muncrat tetapi hanya menjadi angin, lebih baik aku kembali ke Talkandha.

d. Simbolisme

Simbolisme merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi agar tampak nyata. Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual serta memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Ada beberapa simbol dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas karya Ki Purbo Asmoro adalah sebagai berikut:

a. Kebo mulih marang kandhangé

Pengarang menggunakan simbol kebo mulih marang kandhange untuk menggambarkan Bisma tentang dirinya sendiri yang kembali ke rumahnya yaitu Negeri Astina yang terbukti dalam kutipan berikut: Kutipan:

Bisma: Kurupati sumurupa, tumrap mbahmu Talkandha iki, aku prapta ana Negara Astina iki rumangsaku kaya déné kebo mulih marang kandhangé. … (hal. 160)

Terjemahan:

Bisma: Kurawa bangunlah, terhadap eyangmu Talkandha ini, aku bertemu di Negara Astina ini perasaanku seperti kerbau pulang ke rumahnya. …

b. sing nandur bakalé ngundhuh

Penggunaan simbol sing nandur bakalé ngundhuh dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon Makutharama karya Ki Purbo

Asmoro ini menggambarkan Bisma tentang sebab dari hukum karma yang dinasihatinya untuk Duryudana dan para kurawa seperti dalam kutipan berikut:

Kutipan:

Bisma: … ukum darma utawa ukum karma, iku ukuming tumindak sapa sing nandur bakalé ngundhuh, sapa sing nggawé bakalé nganggo (hal. 172)

Terjemahan:

Bisma: … hukum darma atau hukum karma itu hukumnya perilaku siapa yang menanam akan mendapatkan hasilnya, siapa yang berbuat akan menuai.

e. Ironi

Ironi merupakan cara untuk menunjukkan sesuatu yang berlawanan dengan yang telah diduga sebelumnya. Ironi dibedakan menjadi dua jenis yaitu ironi dramatis dan tone ironi. Berikut ironi yang terdpat dalam Teks Pakeliran Garap Sedalu Natas Lakon “Makutharama” karya Ki Purbo Asmoro:

Dokumen terkait