• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lelaku Manusia

Dalam dokumen Mereka yang Melampaui Waktu Waktu (Halaman 41-48)

Pengalaman hidup yang luar biasa dalam suasana pendudukan Jepang, perang revolusi dan pembantaian politik terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia) pada 1965 membekas dalam dirinya. Pun begitu dengan berbagai rupa penderitaan, kelaparan, penyakit, kekejian fitnah dan kehancuran solidaritas Jawa, telah dia alami sebagai saksi mata.

Menjadi saksi sekaligus berhasil melewati gelombang kegawatan itu membuat, batin dan spiritualitasnya teruji.

Keyakinannya menjalankan pantangan dan berbagai ritual

Jawa semakin mendedah di dirinya. Salat 5 waktu, puasa wajib Ramadhan, salat sunah seperti tahajud tak pernah lewat dari kesehariannya. Mbah Ponco adalah identitas Jawa yang cair itu.

***

Harinya dimulai sebelum suara azan subuh berkumandang

dan solah-solah sayup terdengar dari rumahnya.

Begitu terjaga dari tidurnya, ia bersegera ke dapur untuk

minum air putih, memasak air hangat untuk kopi dan teh.

Ia menikmati minuman hangat di pagi hari sebagai teman kegemarannya merokok. Ketika beres, ia merendam pakaian yang akan dicuci. Tak lupa lampu-lampu penerangan di malam hari dimatikannya. Kadang jika kambing peliharaannya mengembik, ia akan segera ke kandang, melihat keadaan atau sekadar menambah makanan untuk peliharaannya.

Dia tidak pernah mengeluh, jika setiap hari harus terjaga sedini itu. Terlebih pada tengah malam Mbah Ponco sudah

bangun untuk salat malam. Sebagai perempuan sepuh, ia

merasakan, semakin bertambah umur semakin berkurang jatah tidurnya. Ia pikir itu alamiah, selain ada keinginan di dalam

Di ruangan ini Mbah Ponco biasa menerima tamu yang ingin berobat ataupun berkonsultasi tentang makna hidup.

Dar

Beraktivitas lebih dari 18 jam dalam sehari adalah

kebahagiaan tersendiri di usia senjanya. Meski bukan aktivitas berat, tapi bagi orang sesepuh dia tentu aktivitas itu terasa luar biasa. Dia membandingkan dirinya dengan tokoh-tokoh yang muncul dalam berita di televisi dan para tetangganya. Banyak di antara mereka telah terserang stroke. Padahal umur mereka jauh lebih muda. Ia termasuk perokok berat sejak muda. Bukan sembarang rokok, tapi rokok racikan sendiri, tembakau dan

cengkeh: Tingwe (mlinthing dewe).

Mbah Ponco bukanlah orang yang mengatur diet makan

secara ketat. Menu utamanya adalah tiwul, sayur-sayuran dan sedikit nasi. Ia hanya menghindari makan daging binatang berkaki empat dan jenis kacang-kacangan. Pantangan itu telah dilakukan sedari remaja. Situasi sulit pangan, prihatin dan lelaku Jawa menjadi latarnya.

Mbah Ponco ingat kakek dan neneknya adalah seorang haji. Seorang haji yang tekun bekerja dan beribadah. Dari merekalah

ia mendapatkan ajaran berpantang makan pada binatang berkaki

empat dan kacang-kacangan. Kenapa harus berpantang? “Ben

oleh pitulungan Gusti Allah lan beja terus uripe,” terang menantu

Mbah Ponco, duduk tidak jauh darinya.

***

Ingatan perempuan ini masih sangat kuat. Sekuat isapan rokok yang selalu menyertainya. Pandangannya jauh ke depan melayang ketika bercerita tentang peristiwa 1965. Entah ada apa. Dia hanya menceritakan, di desa tempat tinggalnya dan di desa orang tuanya, situasi begitu gawat dan mencekam. Orang tidak bisa sembarangan keluar rumah tanpa alasan jelas. Saat itu ia sedang merawat sang bapak yang sakit keras ketika banyak orang mencari anggota dan simpatisan PKI.

Fitnah bertebaran. Siapa saja bisa dijadikan PKI atas dasar fitnah, dengki dan iri. Atau alasan apapun yang tidak jelas. Semua orang seperti tidak kenal siapa saudara dan siapa kawan atau lawan. Berhati-hatilah berucap dan betindak, karena semua adalah mata negara yang siap menangkap, dan bahkan membunuh, orang yang dianggap sebagai simpatisan PKI.

Dar

Dia mengenang masa-masa penjajahan Belanda. Ketika suatu perang hebat terjadi di Bantul, tempat bapak ibunya mengungsi, ia sempat hilang di antara kerumunan orang. Belanda datang. Semua orang dewasa yang

bersamanya telah berpencar. Suara senapan menderu bising di sana-sini. Ia hanya bisa mengomat-kamitkan bibir sembari berdoa. Mbah Ponco menangis.

Konon seorang dari pengungsi telah menjadi mata-

Mbah Ponco telah menikah dan memiliki anak besar kala itu merasa beruntung. Keluarganya lepas dari marabahaya itu. Padahal banyak orang di sekitarnya hilang. Konon “diambil” lantaran PKI. Entah benar atau tidak tuduhan itu, semua bisa terjadi. Dari sorot matanya ada trauma yang tersimpan terhadap

pagebluk 1965.

Sesungguhnya ia tidak bisa memaklumi kekejian dilakukan sesama manusia. Apalagi sesama bangsanya sendiri. Atas nama apapun. Namun apa boleh buat, ia hanyalah perempuan desa biasa. Suaranya tidak pernah terdengar dan didengarkan.

mata, hingga lokasi pengungsian warga dan tentara Indonesia terendus Belanda. Mata-mata itu kemudian ditemukan gantung diri di sebuah pohon, tidak jauh dari pengungsian. Entah siapa yang membunuh.

Peristiwa itu terjadi ketika ia berumur 10 tahun. Dia dan keluarganya di Bantul itu, sedang menumpang di rumah keluarga jauh. Tentara Belanda menyelamatkannya, bahkan seorang keluarga Belanda hendak merawatnya. Ia dikiranya sudah yatim piatu. Mbah Ponco menolaknya. Ia memilih bertahan di rumah keluarga jauhnya.

Jaman itu adalah era Agresi Belanda. Ia ingat perang pada Kamis wage itu. Sempat terpikir kedua orang tuanya akan pergi selamanya. Firasatnya tak benar. Sang bapak

datang pada malam

hari, berpelindung anyaman daun kelapa, mengendus-endus melalui sebuah sungai kecil di dekat rumah. Kekejaman Belanda dan Jepang tidaklah sekeji kekejaman orang terhadap sesama bangsanya. Pada waktu kecilnya dengan riang ia diajari bernyanyi dalam bahasa Jepang. Ia masih hapal lagu itu dengan baik. Sayang, ketika ditanya apa artinya, Mbah Ponco menjawab tidak tahu. Ia hanya ingat, di pengungsian

itu ia juga belajar parikanJawa, sejenis pantun bernada perang

melawan Belanda. []

Dar

H

ujan rintik-rintik pada pagi hari di pinggiran Tihingan, Klungkung, Bali. Gerimis disertai tiupan angin tak mampu membuatnya berhenti bekerja. Perhelatan kontes ratu sejagad yang digelar di Bali pun tak digubrisnya. Perempuan itu tetap membersihkan pura keluarga. Ia seperti berdamai dengan dunianya. Sembari mencabut rumput di luar pelataran pura, sesekali ia menghisap rokoknya.

Perempuan itu bernama Sudharma, atau bernama sipil Ni Wayan Kentel. Perawakannya kecil, kulit keriput dan rambut memutih. Namun sisa-sisa kecantikan di masa mudanya masih membekas. Sorot matanya tajam tapi penuh kasih.

Perempuan kelahiran Klungkung pada 1935 ini adalah sosok ibu yang sempurna. Ibu yang berhasil menjalani beban ganda sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya, dan seorang pekerja bagi

Darma

Dalam dokumen Mereka yang Melampaui Waktu Waktu (Halaman 41-48)