• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

Dalam dokumen Oleh: Endang Kusumah Ayu NIM: (Halaman 36-42)

a. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

Dalam UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.

LKM merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal dan telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis (Amalia, 2016).

Menurut KNKS (2019) LKMS merupakan Lembaga penyedia produk dan/atau jasa keuangan (kredit mikro, tabungan mikro, transfer mikro, asuransi mikro) sesuai prinsip-prinsip pendekatan islam secara berkelanjutan kepada orang miskin, masyarakat yang terpinggirkan, dan/atau masyarakat berpendapatan rendah dimana status ekonominya yang rendah menyebabkan mereka tidak dapat masuk ke sistem keuangan formal.

Hadis terkenal Sunan Abu Dawood, Kitab al-Zakah, Buku 9, Number 1637 menjelaskan, langkah demi langkah, bagaimana merancang dan menerapkan strategi penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi (KNKS, 2019). Berdasarkan kitab tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondisi mendasar dari program keuangan mikro syariah yang sukses meliputi:

1. Akses yang terbuka bagi masyarakat miskin terhadap program keuangan mikro syariah;

2. Penilaian yang cermat terhadap kondisi keuangan kaum miskin;

3. Transformasi aset yang tidak produktif menjadi aset produktif dengan cara melibatkan komunitas dalam proses transformasi aset tersebut;

4. Pemenuhan kebutuhan dasar berdasarkan prioritas dan investasi surplus dalam aset produktif;

19

5. Keterlibatan langsung dalam program pengembangan kapasitas dan aktivitas usaha;

6. Bantuan teknis dalam bentuk pelatihan dan pengawasan yang diperlukan kepada penerima manfaat untuk melaksanakan usaha yang menghasilkan pendapatan;

7. Transparansi proses dan hasil usaha;

8. Pemberdayaan ekonomi adalah solusi untuk membangun kemandirian dan menghilangkan ketergantungan pada orang lain;

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.03/2016 tentang Transformasi Lembaga Keuangan Mikro Konvensional Menjadi badan Perkreditan Rakyat Dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah Menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, menetapkan bahwa Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) bertransformasi menjadi Badan Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

b. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)

1) Pengertian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)

Pada UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa BPRS adalah Lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah. Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2008 pasal 1 tentang ketentuan umum menyebutkan bahwa pengertian BPRS adalah bank syariah yang kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Selanjutnya pada pasal 2 dijelaskan bahwa dalam melakukan kegiatan usahanya perbankan syariah berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Pengaturan pelaksanaan BPR yang menggunakan prinsip syari’ah tertuang pada surat Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah tanggal 12 Mei 1999. Pada teknisnya, BPR Syari’ah beroperasi layaknya BPR konvensional, tetapi menggunakan prinsip syari’ah.

BPR merupakan penjelmaan dari Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan

20

Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Lembaga-lembaga keuangan tersebut merupakan Lembaga-lembaga yang berpengaruh atas berdirinya BPR Syari'ah. Keberadaan lembaga keuangan tersebut memunculkan pemikiran untuk mendirikan Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri pada tahun 1992, tetapi pada kenyataannya cakupan wilayah untuk BMI terbatas pada wilayah tertentu, seperti kecamatan, kabupaten, dan desa sehingga diperlukan adanya BPR untuk menangani masalah keuangan di wilayah-wilayah yang tidak dijangkau oleh BMI (Wardiyah, 2019).

2) Tujuan BPR Syariah

Tujuan didirikannya BPR Syari'ah adalah sebagai berikut (Wardiyah, 2019): a) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat

golongan ekonomi lemah yang pada umumnya di daerah pedesaan;

b) Menambah lapangan kerja, terutama di tingkat kecamatan sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi;

c) Membina semangat ukhuwah islamiyyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.

Untuk mencapai tujuan operasionalnya, BPR Syari'ah menggunakan strategi operasional berikut.

a) BPR Syari'ah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, tetapi bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal sehingga memiliki prospek bisnis yang baik.

b) BPR Syari'ah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil.

c) BPR Syari'ah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan.

21

3) Kegiatan Usaha BPR Syariah

Dalam Wardiyah (2019) usaha BPR Syari'ah untuk melangsungkan kegiatan operasionalnya, antara lain:

a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam simpanan deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk tabungan lainnya yang dipersamakan dengan itu; b) Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syari'ah

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

c) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito. berjangka, serifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.

UU BPR Syari'ah kemudian dipertegas dalam kegiatan operasional BPR Syari'ah dalam Pasal 27 SIK DIR. BI 32/36/1999 sebagai berikut.

a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi: tabungan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah. deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah. bentuk lain yang menggunakan prinsip wadiah atau mudharabah.

b) Melakukan penyaluran dana melalui: transaksi jual beli melalui prinsip murabahah, istishna, salam, ijarah, dan jual beli lainnya. pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah, dan bagi hasil lainnya. pembiayaan lain berdasarkan prinsip rahn dan qardh.

c) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPR Syari'ah sepanjang disetujui oleh Dewan Syari'ah Nasional.

4) Aset Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)

Sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan ETAP (2009) Aset adalah sumber daya yang dikuasai entitas sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh entitas. Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi dari aset tersebut untuk memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap aliran kas dan setara kas kepada entitas.

Dalam Wardiyah (2019) aset merupakan sesuatu yang mampu menimbulkan aliran kas positif atau manfaat bagi ekonomi lainnya, baik dengan dirinya sendiri

22

maupun dengan aset lainnya, yang haknya di dapat oleh bank syari’ah sebagai hasil dari transaksi atau suatu peristiwa di masa lalu.

Aset memiliki beberapa jenis, yaitu:

1) Jenis-jenis aset berdasarkan keberadaaan fisik: - Aset Berwujud

Aset berwujud adalah aset yang ada bentuk fisiknya. Contoh dari aset ini ialah rumah, tanah, alat kantor, uang, kas, emas, surat berharga, mesin, barang dagang, dan benda lain yang bisa dilihat.

- Aset Tak Berwujud

Aset tak berwujud adalah aset terinditifikasi tanpa wujud fisik, yaitu hak istimewa atau posisi yang menguntungkan guna menghasilkan pendapatan. Jenis utama aset tak berwujud adalah hak cipta, hak oksplorasi dan oksploitasi, paten, merek dagang dan goodwil. Aset jenis ini mempunyai umur lebih dari satu tahun dan dapat diamortisasi selama periode pemanfaatannya yang biasanya lebih dari 40 tahun.

2) Jenis-jenis Aset menurut Konvertibilitas - Aset lancar

Aset lancar atau current asset adalah jenis aset yang dapat digunakan dalam jangka waktu dekat, biasanya satu tahun. Contoh aset lancar yaitu kas, piutang, investasi jangka pendek, persediaan dan beban dibayar dimuka. Pada suatu neraca, aset biasanya dikelompokkan menjadi aset lancar dan aset tidak lancar.

- Aset Tetap

Aset tetap ialah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode. Jenis aset tidak lancar ini biasanya diberi guna untuk operasi dan tidak dimaksudkan untuk dijual kembali. Contoh aset tetap antara lain adalah properti, bangunan, pabrik, alat – alat produksi, dan lain – lain. Kecuali tanah atau lahan. Aset tetap merupakan subyek dari depresiasi atau penyusutan.

23

3) Pembiayaan

Dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syari'ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Penyaluran dana dalam bank konvensional dikenal dengan istilah kredit atau pinjaman, sementara dalam bank syari’ah dikenal dengan istilah pembiayaan. Jika dalam bank konvensional keuntungan bank diperoleh dari bunga yang dibebankan, dalam bank Syari’ah tidak ada istilah bunga, tetapi bank syari’ah menetapkan sistem bagi hasil. Prinsip bagi hasil dalam bank Syariah yang telah ditetapkan dalam pembiayaan dapat dilakukan dengan empat akad utama, yaitu musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah, dan al-musaqah (Wardiyah, 2019).

4) Non Performing Financing (NPF)

Non Performing Financing (NPF) meliputi kredit di mana peminjam tidak dapat melaksanakan persyaratan perjanjian kredit yang telah ditandatanganinya, yang disebabkan oleh berbagai hal sehingga perlu ditinjau kembali atau perubahan perjanjian. Dengan demikian, ada kemungkinan risiko kredit bisa bertambah tinggi. Non Performing Financing (NPF) merupakan pembiayaan yang buruk yaitu pembiayaan yang tidak tertagih. Besarnya NPF mencerminkan tingkat pengendalian biaya dan kebijakan pembiayaan/kredit yang dijalankan oleh bank (Darmawi, 2014).

NPF (non performing financing) merupakan salah satu indikator kesehatan kualitas aset bank dalam mengelola penyaluran pembiayaan. Penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset Bank dan kecukupan manajemen risiko kredit (Wardiyah, 2019). Menurut peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 april 2004 tentang sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Bank Syariah, semakin tinggi nilai NPF (di atas 5 %), maka bank tersebut tidak sehat.

24

NPF dihitung dengan rumus:

NPF =Pembiayaan Bermasalah

Total Pembiayaan 𝑥 100%

Dalam dokumen Oleh: Endang Kusumah Ayu NIM: (Halaman 36-42)

Dokumen terkait