• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEPAS SANGKAR - III

Dalam dokumen Bulan Jatuh Di Lereng Gunung 1-10 (Halaman 88-123)

Dalam pada itu, bungkusan racun yang dilemparkan Sarayuda sebentar tadi menghantam tiang rumah dan jatuh berceceran. Debu mengepul dari celah bungkusan yang terobek. Sekarang ditambah dengan sengat api yang mulai membakar rumah. Sebentar saja asapnya merata memenuhi ruangan.

Sondong Landeyan tadinya masih berusaha menggebah batang-batang panah berapi. Sewaktu melihat bungkusan racun berceceran teringatlah dia kepada tutur kata Surasekti bertiga. Terus saja ia berbalik menolong Haria Giri .

- Bukankah kakang Sondong Landeyan? - tegur sapa Haria Giri dengan nada gembira.

- Jangan berbicara ! - Sondong Landeyan memperingatkan sambil melepaskan ikatan. Tetapi Haria Giri sudah sempat berbatuk-batuk. Itu suatu tanda, bahwa asap racun mulai merasuk melalui hidung dan tenggorokannya.

- Celaka - Sondong Landeyan mengeluh di dalam Kati. Dengan cepat ia membobol dinding rumah dan melesat ke luar melintasi api. Gesit luar biasa ia membuang diri diatas rimbun ilalang. Setelah meletakkan Haria Giri di atas rerumputan ilalang, segera ia balik kembali. Memang watak Sondong Landeyan tidak mau sudah, kalau belum dapat mentaklukkan musuh... Setidak-tidaknya harus ada kejelasan.

Pemimpin laskar kepatihan terperanjat melihat datangnya Sondong Landeyan. Semua anak buah nya seperti tersapu kalangkabut. Sekarang ia melihat datangnya Surasekti bertiga. Terus saja ta berseru :

- Munduuuur -

Dengan serentak anak buahnya lari berserabutan. Tetapi dua orang yang sebentar tadi tertendang Sondohg Landeyan nyaris tidak sanggup berkisar dan tempatnya. Maka dengan mudah Sondong Landeyan mencekuknya dan dibawa mundur ke tempat Haria Girl berada.

Di depan Haria Giri, mereka bertiarap mencium tanah memohon betas kasihan. Katanya :

- Kami hanya taat pada perintah.-

- Perintah apa? - bentak Sondong Landeyan.

- Untuk merampas barang bawaan Sarayuda.

- Siapa yang memberimu perintah? -

Diwaktu mereka akan memberi keterangan, Haria Giri mendahului :

- Kakang Sondong Landeyan. Mereka hanya patuh pada perintah. Bebaskan ! - Mereka berdua semenjak dahulu mengutamakan sifat satria. Karena Haria Girl merninta agar membebaskan mereka yang justru hendak mencelakakannya, Sondong Landeyan tidak banyak berbicara lagi. Segera ia membebaskannya. Akan tetapi racun yang sudah terlanjur terhisap Haria Giri mempunyai akibatnya sendiri.

Tiba-tiba saja ia tidak pandai berbicara selancar biasanya. Tatkala hendak berdiri, pada saat itu pula jatuh terduduk.

- Hai, mengapa? - ia heran bercampur cemas.

- Itulah kehebatan racun buatan kami. - sahut seseorang. Dialah Surasekti yang datang dengan diikuti kedua saudara-seperguruannya. - Sarayuda terlalu jahat Dia mencelakakan majikannya sendiri. Untung, kita sudah sempat membereskan.-

- Membereskan bagaimana? - Haria Giri minty keterangan dengan suara patah-patah.

- Mereka berdua sudah kami bunuh mati.- Suratenung menjawab.

Haria Giri tertegun sejenak, lalu berpaling kepada Sondong Landeyan. Minta keterangan :

- Siapa mereka? -

- Sahabatku Surasekti, Surapringga dan Suratenung.-

- Oh. - Haria Giri terkejut. Kemudian tidak berbicara lagi.

Surasekti bertiga maju memeriksa urat nadi Haria Giri. Setelah saling pandang, mereka mengeluarkan obat pemunahnya. Kata Surasekti :

- Kami sengaja memisahkan obat pemunahnya. Masing-masing satu jenis. Harus diramu jadi satu. Bila kurang, tidakkan berhasil jadi, andaikata seseorang dapat memaksa dua orang di antara kita menyerahkan obat pemunah, tetap tiada gunanya.-

- Terima kasih. - Sondong Landeyan mengangguk lalu mengangsurkan limabelas ringgit milk Suratenung.

- Hai, apa artinya ini? - Suratenung tercengang. - Aku lupa mengembalikan. Terimalah -

- Suratenung berpaling kepada kedua saudara-perguruannya. Surasekti memberi isyarat mata. Dan oleh isyarat mata itu, Suratenung menerima uangnya kembali. Mereka bertiga kemudian mengundurkan diri, dan balik kembali dengan menuntun seekor kuda.

- Adik tentunya membutuhkan seekor kuda untuk tuan Haria Giri. - ujar

Surasekti. - Adik tidak akan menolak, kan? -

Sondong Landeyan memang membutuhkan seekor kuda untuk sampai ke kedai makan. Syukur, selamanya ia dapat menerima suatu kenyataan. Maka pemberian itu, diterimanya dengan anggukkan.

- Terima kasih. - katanya. - Entah kapan kita bisa bertemu lagi.-

Sondong Landeyan kemudian mengangkat Haria Giri ke atas pelana kuda dan ia sendiri duduk di belakangnya. Sekali lagi ia mengucapkan terima kasih kepada Surasekti bertiga, lalu menjalankan kudanya perlahan-lahan menyeberang hutan ilalang.

Tatkala tiba di kedai tempat ia menitipkari kudanya, pelayan yang mengurusi dihadiahi satu ringgit. Dan dengan menuntun kudanya berjalan di belakang kuda tunggangannya, ia melanjutkan perjalanannya pulang ke kampung. Karena perjalanan itu tidak dapat dilakukan dengan cepat, ia baru tiba di rumahnya pada keesokan harinya. Haria Giri nampak makin payah. la perlu ditolong secepat-cepatnya.

Sekar Mulatsih heran melihat suaminya membawa pulang seorang asing tetapi berparas cakap. Dengan tergopoh-gopoh ia menyongsongnya. Lalu menyapa ;

- Siapa dia ? -

- Dialah sahabatku. Tolong siapkan tempat tidurnya. Dia harus kita rawat sampai sembuh kembali. -

Hati-hati ia turun ke tanah lalu menggendong Haria Giri masuk ke dalam rumah. Haria Giri belum kehilangan kesadarannya, akan tetapi ia sudah tidak dapat bergerak sama sekali. Setelah ditidurkan, segera Sondong Landeyan mengeluarkan tiga botol ramuan pemunah racun. Selagi hendak meminumkannya, Pitrang datang menghampiri dengan tertatih-tatih .

- Ayah...! -

Kedua mata si bocah bersinar terang Sondong Landeyan memutar badan dan memondong anaknya erat-erat.

- Pitrang ! Kau tentunya mencari ayah. - katanya penuh haru. - Ayah....ayamnya mati satu. - Pitrang mengadu.

Sondong Landeyan tertawa gelak. Lalu berkata kepada Sekar Mulatsih :

- Tolong campurkan ramuan tiga botol ini menjadi satu. Setelah kau aduk menjadi satu kesatuan, minumkan sedikit demi sedikit. Bagilah tiga kali sehari dalam waktu empatbelas hari. Aku akan membawa Pitrang bermain sebentar - Dengan mendekap Pitrang, Sondong Landeyan menghampiri kuda pemberian Surasekti bertiga. Melihat kuda asing, Pitrang memekik-mekik senang. Serunya :

- Ayah...! Da..da..da... -

- Ya, kuda. Kuda baru. - ayahnya menciumi pipinya. - Turun dulu, ya Ayah akan melepaskan pelananya. -

Pitrang mengangguk. Dan setelah diturunkan di atas tanah, Sondong Landeyan kemudian melepaskan pelananya. Begitu diangkat, ia terkejut. Di balik pelana tergantung tiga kantong uang. Buru-buru ia meletakkan pelana di atas palang kandang, kemudian memeriksa kantong. Ternyata masing-masing berisikan le-mabelas ringgit. Sondong Landeyan tercenung sebentar. Akhirnya tersenyum lebar. Siapa lagi yang menaruhkan tiga kantong uang itu, kalau bukan Surasekti bertiga. Tentunya dimaksudkan untuk membantu beaya perawatan Haria Giri, karena betapapun juga mereka merasa ikut bertanggung jawab.

Kedua kuda itu kemudian dimasukkan dalam satu kandang. Bukankah kedua binatang itu sudah saling mengenal? Setelah itu, kembali lagi ia menggendong Pitrang sambil menyimpan tiga kantong uang pemberian Surasekti bertiga ke dalam almari yang terbuat dari bambu (grobog).

Sekar Mulatsih sendiri saat itu sedang disibukkan oleh tugasnya. Hati-hati ia menyenduk adukan ramuan obat pemunah, kemudian menolong Haria Giri meneguknya. Pada saat itu, ia mempunyai kesempatan menatap wajah orang yang dirawatnya. Entah apa sebabnya, hatinya bergetar lembut. Dengan kata hatinya, ia menyelimutinya mengingat hawa pegunungan mungkin terlalu sejuk dan dingin bagi orang kota. la menunggu sampai Haria Giri tertidur, lalu mengundurkan diri dengan bedingkit-jingkit .

Tiba di ruang tengah, ia menjadi gelisah. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Akhirnya menyusul suaminya yang sedang bermain dengan Pitrang di halamari depan.

- Kakang ! Sebenarnya siapa dia? -

Seperti biasanya, Sondong Landeyan tidak pandai berbicara. Tanggapannya dingin dan selalu menjawab seperlunya saja. sahutnya :

- Namanya Haria Giri. Dulu temanku sepekeijaan. Sama-sama pengawal Sri Baginda Amangkurat IV. -

- Kenapa dia? -

- Menghisap racun. Rawatlah baik-baik. Dua minggu lagi akan sembuh. Mudah-mudahan dia sudah bisa berbicara satu minggu lagi. -

Sekar Mulatsih tercenung. Lalu balik kembali ke dalam rumah. Hati-hati ia menjenguk Haria Giri yang tertidur dengan tenteram. Setelah itu ia ke dapur menyiapkan makan siang.

Tetapi sianghari itu, Haria giri tidak boleh terganggu. Dia harus beristirahat benar-benar. Karena itu, ia hanya melayani suami dan anaknya makan. Ia sendiri tidak bernafsu makan. Rasanya seperti harus menunggu sampai Haria Giri menyenakkan mata. Ia percaya, menjelang malam hari dia akan bangun. Kalau tidak, harus dibangunkan. Bukankah dia harus minum obat penawar lagi? Malam hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Namun Haria Giri masih belum bergerak. Ia menghampiri lalu mencoba membangunkan. Ternyata tidak mudah. Sebab selain oleh pengaruh racun, ia terlalu capai. Syukur, Sekar Mulatsih selalu telaten bila merawat orang sakit Dulu, diapun telaten sewaktu merawat Sondong Landeyan.

Penyebabnya juga racun buatan Surasekti bertiga. Mengapa harus sama?

Akhirnya, ia berhasil membangunkan Haria Giri. Kemudian dengan penuh pengamatan, ia menegukkan sebagian obat pemunah racun. Setelah itu ia menyuapinya dengan bubur yang diaduk dengan telur. Hanya beberapa kali saja,namun lumayan daripada sama sekali tidak. Setelah di tidurkan kembali, ia menunggu di tepi pembaringan.

Larut malam telah lewat, tatkala Haria Giri tiba-tiba menggigil dan menggigau. Sekar Mulatsih yang duduk menunggu di tepi pembaringan terkejut sampai terlompat. Ia lari ke kamar suaminya. Tetapi suaminya sudah tertidur lelap di samping Pitrang karena sudah dua hari dua malam tidak sempat memejamkan matanya. Maka terpaksa ia menolong Haria Giri seorang diri dengan menyeka wajahnya dengan air hangat. Tak lupa pula ia mengucuri ubun-ubun dan tengkuk Haria Giri dengan air dingin. Lalu mengusap keringat nya yang meruap dengan derasnya dari pori-pori. Hampir dua jam ia berkutat dan ber juang. Akhirnya, Haria Giri tenang kembali dan terlena tidur 0, alangkah bahagianya. Semenjak saat itu, ia merasa dirinya menjadi bagian hidupnya Haria Giri.Hatinya ikhlas dan penuh pengabdian dalam merawat dan menyuapi makan minumnya. Di sianghari ia selalu menilik dan di malam hari ia kurang tidur. Sekalipun demikian, sepercik rasa yang syandu menyelimuti sekujur badannya. Sondong Landeyan sendiri sudah mempercaya kan perawatan Haria Giri kepada isterinya. Diapun kembali disibukkan oleh tugasnya sehari-hari. Yalah menggarap sawah dan ladang sambil membawa Pitrang bermain.

Ladangnya penuh dengan tanaman-tanaman yang berguna bagi keperluan dapur. Bawang merah dan putih, kubis, bayem, lombok dan sejenisnya. Tanah pegunungan selain subur, cocok dengan macam sayuran yang ditanam. Biasanya hasilnya sudah dapat dipetik dalam jangka waktu sebulan sampai tiga bulan.

Bila pulang dari sawah dan ladangnya, Sondong Landeyan selalu menjenguk keadaan sahabatnya. Melihat isterinya begitu telaten merawatnya, hatinya terhibur dan bersyukur.

Beberapa hari lagi, tentunya sahabatnya itu akan dapat diajaknya berbincang-bincang. Benar saja. Setelah satu minggu, Haria Giri mulai pulih kembali. Ia mulai dapat berbicara dengan lancar. Seperti biasanya kata-kata dan lagu suaranya mempunyai daya tarik. Kalau tidak, mustahil dulu ia berhasil menggaet ayah Ratu Sumarsa sampai rela menyerahkan puterinya. Yang dibicarakan selain warta berita di ibukota, sebagian besar berkisar soal berbagai ragam ilmu kepandaian.

Aneh adalah sikap Sekar Mulatsih. Biasanya ia paling sebal bila mendengar suaminya berbincang-bincang dengan tetamunya mengenai ilmu tempur macam apapun. Tetapi kali ini, tidak. Bahkan sama sekali tidak. Apalagi bila Haria Giri membicarakan masalah kesenian, agama, tata-negara, filsafat dan peri kehidupan penduduk ibu kota: Sekar Mulatsih seperti wajib mempersolek diri, suatu hal yang tidak pernah dilakukan semenjak menjadi isteri Sondong

Landeyan. Dasar ia sudah dilahirkan sebagai wanita cantik, kini mau bersolek ditambah hatinya tegar gembira.

Maka kecantikannya ibarat bunga merekah di pagi hari, sedap dilihat segar dipandang.

Pada suatu hari ia menemukan kantong uang Surasekti bertiga. Tatkala suaminya datang dari sawah segera ia minta keterangan dari mana is memperoleh uang sebanyak itu. Seperti biasanya Sondong Landeyan menjawab singkat dan sederhana saja. Dari orang untuk membantu kesehatan Haria Giri, katanya.

Ah, pikir Sekar Mulatsih. Bukankah bisa dibuat membeli ayam atau kambing atau sapi? itu terjadi pada hari ke tujuhbelas, setelah Haria Giri pulih seperti sediakala. Berkatalah ia kepada suaminya :

- Belilah sepuluh ekor ayam dan anak sapi untuk disembelih. Aku akan merayakan hari kesehatan sahabatmu Haria Giri. Biarlah aku yang menjaga Pitrang. - katanya dengan suara manis dan bersemangat.

Sondong Landeyan mengangguk. Dengan menunggang kuda ia berangkat meninggalkan rumah untuk memenuhi permintaan isterinya. Ia membawa uang lima ringgit. Uang Surasekti yang tak pernah disentuhnya, Tetapi kini diterimanya melalui pemberian isterinya. Dengan membawa uang sebanyak itu, ia tidak hanya mampu membeli 10 ekor ayam saja, tetapi seekor kambing dan anak sapi. Dan ia balik pulang sewaktu matahari sudah condong ke barat. Tetapi suasana rumahnya nampak sepi. Hatinya tersirap, sewaktu mendengar tangis Pitrang yang bersedu-sedan. Kenapa? Mengapa? Bergegas ia melompat turun dari kudanya. Begitu masuk ke dalam rumah,Pitrang lari menyambutnya

dengan berisak-isak :

- Ayah .... Ibu nakaaalll.... -

Ia menggendong Pitrang dan memeriksa seluruh rumah dengan tanya tanya. kamar sunyi sepi. Isterinya tiada. Haria Giri tiada. Ia lari ke luar. Kuda pemberian Surasekti bertiga tiada di tempatnya. Sejenak ia tertegun. lalu kembali ke dalam rumah. Dengan tegas ia melihat almari Sekar Mulatsih terjeblak lebar. Tiada lagi terdapat sehelai pakaiannya. Dan yang membuat jantungnya berdegupan adalah almari tempat ia menyimpan uang Surasekti. isinya lenyap. Juga pedang Sangga Buwana.

******

ENTAH SUDAH berapa kali Sondong Landeyan bertempur melawan musuh-musuh tangguh. Dalam sekian banyaknya pertempuran itu, beberapa kali ia pernah berada dalam bahaya. Akan tetapi berkat kepercayaan diri sendiri selalu ia dapat mengatasi dan akhirnya menang. Tetapi kali ini, ia benar-benar merasa terpukul. Dia merasa gugup, bingung, cemas dan takut.Hebatnya, ia tidak tabu apa yang harus dilakukan.

Pitrang yang berada dalam gendongannya, tiba-tiba memberontak-berontak. Menangis sambil menggeliat-geliatkan tubuhnya seakan-akan ingin meloncat untuk mencari, mengejar atau menubruk ibunya.

- Ibuuuu ibuuu ibu nakal.... - si anak menangis mengadu.

Sondong Landeyan tertegun beberapa saat lamanya. Ia merasakan sesuatu yang hilang dari dirinya. sesuatu yang merupakan kekuatan utama untuk melintasi badai kehidupan apapun. Itulah isterinya alias ibu dari Pitrang yang berontak dalam pelukannya. Bahkan melebihi hal itu. Andai kata Sekar Mulatsih mati tertembus pedang oleh sekawanan musuh yang tangguh, ia masih mudah untuk memutuskan tindakannya. Hanya dengan berbekal dendam kesumat ia akan mencari musuh-musuh itu.

Tetapi sekarang keadaannya lain. Orang yang berperan sebagai musuhnya justru adalah sahabatnya yang dirindukan. Selain itu, ia tidak dapat terlalu menyalahkan, karena mungkin sekali....mungkin sekali....nah, inilah yang membuatnya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin sekali, isterinya yang mengajak Haria Giri meninggalkan rumah. Kalau benar demikian, apakah ia hendak membunuh isterinya? bagaimana. dengan Pitrang? Di kemudian hari, Pitrang pasti akan membencinya setinggi langit. Bukan mustahil sampai turun-temurun.

- Ibuuuuu ...ibuuu...nakaaaaall ... - tangis Pitrang menyayatkan hati. - Ya, diam sayang Ibu tidak nakal. Nanti kuusulkan.- bujuk Sondong Landeyan. Mengucapkan kata-kata ibu, hatinya terasa teriris-iris. Akhirnya dengan menggendong Pitrang ia melompat ke atas pelana kudanya. Lalu pelahan-lahan turun gunung dengan pikiran kacau-balau. Sore hari telah tiba dengan diam-diam. Sorehari yang cerah, namun tidak merasuk dalam perhatian Sondong Landeyan.

Sepanjang jalan, Sondong Landeyan mencoba membujuk Pitrang. Dengan suatu kesabaran dan ketelatenan, lambat-laun Pitrang dapat dikuasainya. Si kecil tertidur dalam pelukannya. Mungkin oleh rasa kesal dan lelah. Sondong Landeyan jadi perasa.

- Sayang, ayah pasti dapat menyusul ibu. tidurlah yang nyenyak. Begitu bangun, kau akan berada dalam gendongan ibu. - Sondong Landeyan membujuk Pitrang dengan berkomat-kamit.

Akan tetapi bujukan itu sendiri, sesungguhnya pantas disebut menghibur hatinya sendiri. Terus-terang sap sampai saat itu, hatinya masih sangsi luar biasa. Sebagai seorang pendekar, ia akan dapat dengan mudah menjejak bekas tapak kuda. Tetapi entah apa sebabnya, ia justru merasa takut bila dapat menyusulnya. Apa yang harus dilakukan manakala isterinya yang mengambil prakarsa? Tentunya Sekar Mulatsih tidak sudi dibawa pulang. Kalau sampai begitu, maka bukan hanya dirinya seorang yang kalah, tetapi si kecil Pitrang pula. Benar-benar menakutkan .

Selagi hatinya terombang-ambing oleh gelombang kesangsian yang tiada menentu, tiba-tiba ia melihat seorang gadis sedang memeluk seorang pemuda yang luka bermandikan darah. Melihat gadis itu, hati Sondong Landeyan tercekat Bukankah dia Sukesi ? siapakah pemuda yang dipeluknya itu? Bergegas ia menghampiri. Ternyata pemuda itu si Wigagu. Kenapa?

- Paman Sondong Landeyan, bukan? - tegur Sukesi dengan suara pelahan. Sondong Landeyan mengangguk dari atas kudanya. Pikimya, bagaimana gadis itu mengenal dirinya?

- Setelah kami bertempur mengadu pedang, kami bersembunyi di depan kuil. Semua yang terjadi kemudian, kami ketahui dengan jelas. Sebenamya, Wigagu bukan sepekerjaan dengan paman Sarayuda. Wigagu ingin mengabdikan diri kepada raja. Sedang paman Sarayuda dan Haria Giri kaki-tangan Patih Danureja.-

- Bukan begitu.- bantah Wigagu dengan suara parau. - Paman Sarayuda dan aku sarna-sama mengabdi raja. Sayang, paman Sarayuda tidak tahu kalau akhir-akhir ini Haria Giri mata-mata Patih Danureja. -

Mendengar keterangan Wigagu, hati Sondong Landeyan tertarik. Pelahan-lahan ia turun ke tanah sambil menggendong Pitrang dengan memelukkan tangan kirinya. Melihat luka Wigagu tahulah dia, bahwa pemuda itu kena tikaman pedang. Untung, tidak berbahaya. Segera ia menolong menghentikan darahnya yang mengalir. Lalu berpaling kepada Sukesi. Menegas :

- Haria Giri mata-mata Patih Danureja? -

Sukesi menyenak nafas. Menjawab :

- Wigagu, biar aku yang berbicara. Kalau salah, kau betulkan !- Wigagu mengangguk.

- Sebenamya Wigagu baru mengetahui permainan sandiwara mereka dirumah terpencil itu. - Sukesi berhenti sebentar mencari pembenaran Wigagu. Karena Wigagu tidak membantah keteranggannya, ia melanjutkan :

- Paman Sarayuda suami-isteri sudah mempertaruhkan jiwa raganya demi mengabdi Sri Baginda , Ia masih mengira, bahwa Haria Giri masih pengawal Sri Baginda seperti pada jaman mudanya. Sama sekali tidak diketahui, ia terperangkap permainan Haria Giri . Sewaktu hendak menyerahkan bungkusan yang dicurinya, ia dikepung oleh laskar Kepatihan. Diluar perhitunggan, begitu merasa dirinya terjepit„ paman Sarayuda melemparkan bungkusan racun ke dalam rumah. Akibatnya, paman sendiri tahu. Itulah yang dinamakan senjata makan majikan sendiri. Hm....- sayang sampai pada saat-saat terakhir, paman Sarayuda belum juga menyadari dirinya diperalat atasannya. Padahal, Wigagu sudah berusaha memperingatkan dengan berlagak menyamakan dirinya se-bagai paman. Maksudnya, ingin mengingatkan semuanya bahwa - ia merasakan sesuatu yang tidak beres. Dengan membawa-bawa nama paman, ia bermaksud mencanangkan kesetiaan paman yang tulus sewaktu menjadi pengawal Sri Baginda. -

- Aku sendiri kurang jelas. Sebab aku orang asal Blitar. sahut Sukesi_ - Tetapi aku sempat mendengarkan tutur-kata Wigagu. Menurut dia, Patih Danureja berfihak kepada Kompeni (V.O.C.) Pemberontakan Pangeran Blitar adalah gara-gara akal adudomba Kompeni. Sekarang raja ingin menjemput permaisuri pulang. Tentu saja, pihak Kepatihan berusaha manghalang-halangi.-

Sondong Landeyan tercenung-cenung beberapa saat lamanya. Setelah menarik nafas, ia berkata :

- Kalian sungguh pandai bermain sandiwara. Akupun kena kalian kelabui. Bagus ! Lalu siapakah yang melukai Wigagu? -

- Wigagu pengaguni paman. - sahut Sukesi. - Apalagi dia sudah menaruh curiga kepada Haria Giri. Celakanya, justru paman melindungi dan mau menolong akibat dari ulahnya sendiri. Maka dengan diam-diam ia mengajak aku mengintai gerak-gerik Haria Giri dan apa yang terjadi di padepokan paman. Ternyata....ternyata....-

Sukesi tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya. Wajahnya berubah menjadi merah muda.

Dengan tajam, Sondong Landeyan menatap wajah Sukesi menunggu lanjutan ucapannya. Tetapi Sukesi justru menundukkan kepalanya. Sesaat kemudian, Sukesi merasa memperoleh jalan keluar. Katanya :

- Tetapi andaikata tidak ada bibi, Wigagu pasti sudah mati tertembus pedang. Untung sewaktu Haria Giri hendak menikamkan pedangnya karena marah, buru-buru bibi berkata. Kakang, mengapa kau ributkan omongan kanak-kanak? Kalau sampai terluka parah, Sondong Landeyan mempunyai alasan untuk membunuh kita. Lebih baik kita kabur sejauh mungkin, sebelum dia sempat menyusul. -

Sondong Landeyan mengenal tabiat dan watak isterinya. Sekar Mulatsih memang halus perasaannya. Dia benci terhadap tindak kekerasan macam apapun. Tetapi mendengar kesan percakapan tiruan Sukesi, hati Sondong Landeyan seperti tersayat. Kedengarannya sudah mesra dan seperti sudah scaling berkenalan. Apakah....apakah....mereka sudah bergaul terlalu jauh, manakala dia sedang berada di tengah sawah atau ladang bersama Pitrang? - Hm, inilah yang dinamakan mata melek dibutakan orang. - ia setengah mengutuk di dalam hati.

Sondong Landeyan tidak pandai berbicara. Akan tetapi bukan berarti dungu, bodoh, tolol atau tidak pandai berpikir. Sekiranya demikian, mustahil dia

Dalam dokumen Bulan Jatuh Di Lereng Gunung 1-10 (Halaman 88-123)

Dokumen terkait