SUNGGUH Semenjak Amangkurat IV naik tahta, di dalam negeri terasa terjadi perpecahan kekuasaan. Blok Raja, Blok Patih Danurejo dan Kompeni Belanda. Lalu disusul pecahnya para penguasa daerah yang jadi saling curiga dan saling mengamati. Pangeran Cakraningrat dari Madura, Adipati Jayaningrat di Pekalongan, Adipati Citrasoma Jepara, Arya Jayasentika Kudus dan Tumenggung Puspanagara Adipati Batang.
Masih ditambah lagi dengan permaisuri Ratu Pakubuwana dan selir-selirnya. Dan karena merasa bermusuhan, masing-masing membuat kekuasaan dan menyusun kekuatan secara diam-diam.
Orang-orang pandai, para pendekar dan dukun-dukun sakti dihimpun dan ikut memegang peranan. Bahkan begal-begal, perompak, maling dan bangsat tak terkecuali. Dan yang jadi korban tentunya rakyat jelata yang tidak tahu menahu .
Mereka saling memfitnah. Saling membunuh. Saling membegal. Saling menipu. Dan yang menjadi korban pertama adalah Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya dan Arya Mangkunagara Putera sulung Ratu Mas Ayu Sumarsa. Arya Mangkunegara di asingkan dan akhirnya meninggal di pengasingan pula. Dan kekuasaan Patih Danureja makin menjadi-jadi. Siapa yang tidak tunduk dan patuh padanya, disingkirkan atau hilang begitu saja dari peredaran hidup. Dalam hal ini pendekar Sondong Landeyan adalah salah seorang yang terkena getahnya pula. Isterinya dilarikan orang. Pedang Sangga Buwana lenyap dari pinggangnya. Padahal dia seorang ahli pedang satu-satunya yang pantas menyoren pedang pusaka tersebut.
Syukur, ia seorang pendekar yang berwatak sederhana dan tidak berambisi. Dilupakan semua kepedihan hatinya yang memukul dirinya dengan mendaki gunung lebih tinggi lagi agar dapat mengasuh Pitrang, anak satu-satunya, dengan aman damai. Sebaliknya, pamannya yang bemama Ki Ageng TelagaWarih tidak demikian. Tanpa permisinya, ia turun gunung dan melakukan pencarian terhadap pedang Sangga Buwana Sekar Mulatsih boleh dirampok orang, akan tetapi di dunia ini hanya ada sebatang pedang pusaka yang pantos diperebutkan dengan darah dan jiwa.
Telaga Warih adalah seorang sakti yang mempunyai watak aneh Kecuali ilmu kepandaiannya sangat tinggi, orangnya rada-rada sinting. Apalagi dia sedang turun untuk mewakil balas dendam kemenakan-muridnya. Tangan dan kakinya jadi gapah. Siapa yang dicurigai dipaksa mengaku. Setelah menuruti kehendaknya lalu dibunuh. Dan yang dibunuh bukan pendekar-pendekar picisan.
Justru yang dipilih adalah para ketuanya. Paling tidak yang termasuk tokohnya.Dia tidak Pandang bulu. Apakah mereka dari golongan pihak raja, kepatihan atau antek-antek kompeni. Kadang ia membunuh tokoh-tokoh kepercayaan Adipati Cakraningrat, Jayaningrat,Citrasoma, Jayasentika atau Tumenggung Puspanegara. Karen itu adalah wajar, bila dia dimusuhi sekalian pendekar di seluruh dunia.
Demikianlah setelah puas mengaduk-aduk tanpa ampun, ia bersembunyi di sebuah tempat terpencil di antara telaga yang terlindung. Ia membuat daerah kekuasaan limabelas kilometer keliling. Siapa saja yang berani memasuki wilayahnya, lantas saja dibunuhnya. Dan di dunia ini hanya seorang saja yang diperkenankan masuk. Dialah Sondong Landeyan.
Tetapi Sondong Landeyan dulu hampir saja mengadu jiwa dengannya. Sebab kecuali dirinya, dia membawa Pitrang, Wigagu, Sukesi dan Puruhita. Untung
pendekar edan itu bisa dibuatnya yakin. Dia datang semata-mata demi Pitrang. Dan ketiga muridnya ditinggalkan sebagai pengasuh si Pitrang.
- Baik. - ia memutuskan. - Bocah itu biar kumakannya di sini. Kau boleh mampus dulu ! -
Sondong Landeyan yang mengcnal watak dan perangai paman-gurunya, tidak bersakit hati. Ia bahkan merasa tenteram, karena Pitrang berada di sautu tempat yang asing dan rahasia. Hanya saja, Sondong Landeyan tidak tahu, bahwa para pendekar seluruh bumi Jawa sedang mencari paman gurunya itu demi membalaskan dendam jiwa pemimpin-pemimpinnya yang melayang tanpa sebab yang jelas.
Tetapi dua tahun berpisah dan anak satu-satunya ternyata merupakan pengorbanan dan penderi taan sendiri. Akhirnya ia menyuruh ketiga muridnya menjemput si Pitrang. Dan pada hari itu juga, berangkatlah Wigagu, Sukesi dan Puruhita ke Jalatunda Setelah bertemu dengan Ki Ageng Telaga Warih, orang tua itu berkata diluar dugaan. Katanya :
- Kalian mau bawa anak ini pulang ? -
- Ya. - sahut Wigagu bertiga .
- Kalau begitu antarkan aku dulu ke pulau Bawean. -
- Pulau Bawean? - mereka tercengang.
- Hm, apakah engkau mengharapkan aku marnpus? - bentak Telaga Warih. Dan tiba-tiba saja ia menghunus sebilah pedang yang rnembersitkan cahaya menyilaukan. - Kau tahu pedang apa ini? Inilah pedang Sangga Buwana. Karena pedang ini aku sudah membunuh ribuan orang. Sebaliknya karena pedang ini Pula, manusia seluruh dunia akan mencari dimana tempatku berada. Daripada aku mati di tangan mereka, bukankah lebih baik aku menggorok leherku sendiri? -
- Ayah -
Mendengat suara Pitrang yang menyebut dirinya ayah, Telaga Warih tercengang. Seketika itu juga la meletakkan pedang Sangga Buwana di atas meja batu. Lalu memeluk Pitrang dengan erat .
- Anakku ! Ya benar, kau menyebut aku ayahmu. Memang aku ayahmu. - Dan ia membawa Pitrang berputar-putar seperti orang menandak-nandak. Menyaksikan adegan itu, Wigagu, Sukesi dan Puruhito sating pandang Namun mereka tidak berani mengganggu.
Memang siang-malam Pitrang berada di pelukan orang tua itu. Lambat-laun, si anak bisa menyesuaikan diri dan menganggap Ki Ageng Telaga Warih sebagai ayahnya pula. Meskipun demikian, mengingat kesaktian orang tua itu, timbul rasa cemas dalam hati Sukesi. Dengan memberanikan diri ia berseru :
- Eyang, jangan sampai melukai Pitrang -
- Nah, bagaimana? Kalian rnau mengantarkan aku ke Bawean atau tidak ? - Tentu saja mereka tidak berani membantah. Dengan berdiam diri, mereka mengikuti Ki Ageng Telaga Warih yang melompat ke atas rakit. Pedang Sangga
Buwana yang menjadi perebutan orang berada di pinggangnya. Karena Ki Ageng Telaga Warih seorang pendekar yang berpetawakan tinggi besar pedang itu menjadi penghias kegagahan tubuhnya yang tepat.
Perjalanan ke pulau Bawean tidak perlu diceritakan Setelah tiba, orang aneh itu terbang tinggi di atas permukaan taut dan mendarat di atas pantai bagaikan
Dewa Maut.
Lalu berseru :
- Siapa yang berani ikut mendarat, kubunuh berangkatlah pulang ! -
Pitrang menangis karena harus berpisah dengan orang tua yang mempunyai tempat tersendiri di dalam hatinya. anak itu berteriak-teriak :
- Ayah .... Ayah .... Ayah -
Sementara itu rakit sudah terbawa arus makin lama makin menjauhi pantai Bawean. Lambat-laun tubuh Ki Ageng Telaga Warih yang menyoren pedang Sangga Buwana di pinggangnya makin kecil dan kecil. Akhirnya lenyap dari penglihatan.
Tetapi Pitrang masih saja memusatkan penglihatannya ke arah pantai. Air matanya meleleh tiada berkeputusan. Syukur, di antara mereka terdapat seorang gadis yang memiliki naluri seorang ibu.
Dengan sabar dan telaten ia membujuk dan membesarkan hati si bocah. Sewaktu matahari condong kebarat, Pitrang tertidur oleh rasa capai di pangkuan Sukesi.
Berlayar di atas lautan yang luas, dengan sendirinya tidak dapat memilih arah yang tepat. Apalagi di waktu malam hari tiba. Mereka hanya memasang layar. Tujuannya ke seberang pantai. Hanya itu saja. Tetapi bakal tiba di pantai mana, mereka tidak tahu.
Setelah berlayar dua hari lamanya, akhirnya mereka memasuki suatu muara yang asing. Pada jaman itu, sungai berukuran sangat lebar. Kabarnya banyak perompak hidup di perairan demikian Namun Wigagu bertiga adalah murid Sondong Landeyan. Mereka tiada gentar menghadapi golongan perompak demikian. Meskipun demikian, mereka wajib berhati-hati dan waspada.
Sedang Wigagu dan Puruhita memusatkan perhatiannya kepada arah perjalanan, Sukesi menggunakan kesempatan untuk bergaul rapat dengan Pitrang. Di dalam hati sebenarnya sudah lama timbul suatu pertanyaan, apa sebab gurunya mengirimkan Pitrang menerima ajaran dasar kepada Ki Ageng Telaga Warih. Padahal kepandaian gurunya belum tentu kalah melawan kakek tua itu. Didorong oleh kein,ginan untuk mengetahui, pelahan-lahan ia mulai mengorek pengalaman Pitrang yang hidup.selama dua tahun bersama Ki Ageng Telaga Warih.
- Sebenarnya engkau diajar apa oleh ayah....ayah-angicatmu? - Sukesi minta keterangan.
- Menghafal dan mendengarkan dongeng.- jawab Pitrang sederhana. - Hanya itu saja ? -
- Tetapi yang harus kuhafalkan sangat banyak. Macam dongengnyapun aneka ragam.-
- Dongeng apa saja ? -
- Dongeng manusia.Kata ayah-angkat, semua manusia itu jahat. Maka wajib dibunuh.-
- Wajib dibunuh ? - Sukesi tercengang dan hatinya tergetar. Ia mencoba mau mengerti. Menegas :
- Yang wajib dibunuh tentunya manusia jahat bukan? -
- Ya -
- Tetapi bagairnana caranya ayah-angkatmu membedakan antara manusia
jahat dan tidak ? -
- Semua manusia jahat. - jawab Pitrang singkat
- Semua manusia jahat ? - Sukesi menirukan ucapan Pitrang sarnbil berpikir diarn-diam. - Apakah bibi ini manusia jahat atau tidak ? - - Tentu saja, tidak.-sahut Pitrang tertawa geli.-Bibi orang baik.- - Dan Paman itu ? Paman Wigagu dan paman Puruhita ? -
- Mereka juga manusia baik. -
- Mengapa engkau bisa berkata bahwa rnereka berdua orang baik ? - - Bibi dan paman adalah manusia yang sudah kukenal. Seperti Ayah. Seperti
ayah-angkat. Mereka semua orang baik. -
Sukesi memanggut-manggut. Tahulah dia, bahwa Ki Ageng Telaga Warih mengajar Pitrang agar berwaspada terhadap siapapun yang belum dikenaL akan tetapi ajaran demikian amat berbahaya dan bisa rnembuat orang pendek
akal. Beberapa saat lamanya, Sukesi bermenung-menung. Lalu
mengalihkan.pembicaraan :
- Memang kebanyakan orang bisa jadi jahat. Sekarang apa yang harus kau
hafalkan selama dua tahun itu ? -
- 0, banyak sekali. Banyak sekali. - sahut Pitrang.
- Apa saja ? -
Pitrang berpikir sebentar. Menjawab :
- Di antaianya tentang tenaga kosong dan tenaga kuat. Terhadap semua orang, aku harus bersikap begini. Tenaganya merintangi kulit dan buluku. Tetapi niatku sudah masuk kedalam tulangnya. Dua Langan saling bertahan. Hawa menembus. Yang di kiri berat, yang kanan kosong. Artinya yang kanan sudah pergi. Yang kanan berat, yang kiri kosong. Artinya yang kiri sudah pergi.- Mendengar bunyi hafalan Pitrang, Sukesi terlongong-longong. Aneh, tetapi menarik. la jadi bernafsu untuk ikut menghafal lebih banyak lagi. Agar tidak kentara, pelahan-lahan ia memperbaiki letak duduknya. Lalu dengan tersenyum ia berkata lagi :
- Apa lagi ? -
- Hati dan badan. Lebih dulu gunakanlah hati untuk memerintah badan. Mengikuti orang lain berarti tidak mengikuti kemauannya sendiri. Kelak, badan
bisa mengikuti kemauan hati. Tetapi kemauan hati yang tetap mengikuti kemauan orang. Mengikuti kemauan sendiri berarti berhenti, Mengikuti kemauan orang artinya hidup. Dengan mengikuti kemauan orang itu, bisa mengukur besar kecil tenaga orang itu. Juga bisa mengenal panjang dan pendeknya pernafasan orang. Dengan begitu, kita bisa leluasa maju dan mundur -
Sukesi mengerutkan keningnya. Akhimya ia bergeleng kepala. Berkata di dalam
hati :
- Tidak benar Tidak tepat ! Guru sering berkata, bila berhadapan dengan lawan, tempolah yang memegang peranan. Kita harus mendahului lawan sebelum dikuasai lawan. Kalau kita mengikuti kemauan lawan justru kita yang menjadi bulan-bulanan. Tidak tepat -
Selagi berpikir demikian, Pitrang tiba-tiba lari keburitan rakit, karena kedua pamannya sedang sibuk menepikannya. Sukesi melongokkan kepalanya. Sebuah perkampungan yang agak ramai tersembul di antara pepohonan dan belukar. Melihat tebingnya,agaknya menjadi tempat persinggahan orang-orang yang berlayar masuk ke pedalaman.
- Mari kita mencari perbekalan - ajak Wigagu.
Semuanya mendarat dan dengan santai memasuki perkampungan yang ternyata sibuk dikunjungi kaum pedagang. Dari pembicaraan orang, perkampungan itu disebut Majawarna. Kalau begitu hampir dekat Jalatunda, pikir Sukesi bertiga.
Sementara mereka masuk ke sebuah kedai, Pitrang ke luar jalanan melihat lalu-lalang orang. Tiba-tiba ia tertarik kepada seorang tua yang sedang bermain dua bilah pedang pendek di tangannya. dua pedang pendek yang dilemparkan bergantian di udara. Pitrang belum pernah melihat pertunju kan demikian. Sampai umur tujuh tahun, la hidup di atas pegunungan dan di pertapaan Ki Ageng Telaga Warih yang sunyi dan terasing dari pergaulan.
Setapak demi setapak, Pitrang mendekati. la heran bukan main. Suatu kali orang itu melemparkan sebilah pedangnya tinggi di udara dan dibiarkan turun amat derasnya. Sewaktu hampir menancap di dadanya dengan tangkas ia menyongsongnya dengan pedangnya yang lain yang ditegakkan di atas dadanya. Kedua pedang pendek itu saling beradu ujung dan berdiri tegak seperti kena lem.
Pitrang ternganga-nganga.
- Kemari - °rang itu melambaikan tangannya sambil tertawa manis.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pitrang Iari menghampiri, Orang itu kemudian membuka sebuah kantong seraya berkata :
- Di dalamnya terdapat bermacam-macam barang mainan. Kau boleh mengambil, tetapi jangan terlalu banyak lho -
Melihat keramahan orang, Pitrang membungkuk dan melongokkan kepalanya. Bertanya :
- Mainan apa sih ? -
Lihatlah sendiri Coba masukkan kepalamu Nah, kau bisa melihat dengan jelas. - Pitrang melongokkan kepalanya lebih rendah lagi. Ternyata tidak melihat esuatu. Selagi ia hendak menarik kepalanya, secepat kilat orang itu justru menungkrap kepalanya Keruan saja Pitrang kaget dan memekik-mekik.
- Sst ! - dan orang itu membekap mulutnya.
Pekikan Pitrang sebenarnya sangat Iemah oleh lalu-lalang orang. Akan tetapi Wigagu, Sukesi dan Puruhita kini adalah murid Sondong Landeyan. Mereka sudah termasuk golongan ahli-ahli kelas satu yang memiliki pendengaran sangat tajam. Dengan serentak mereka melesat keluar kedai dan melihat Pitrang sudah ditawan orang itu.
- Jangan begerak ! Berhenti ! Siapa yang berani maju selangkah lagi, jiwa anak ini akan kucabut.- bentak orang itu sambil mengancamkan sebilah pedang pendeknya di punggung Pitrang. la merobek baju Pitrang di bagian punggung dan menempelkan ujung pedangnya di atas kulitnya.
Sukesi marah bukan main. Tanpa memikir lagi, tangannya bergerak hendak melepaskan panah jarumnya. Buru-buru Wigagu membentak petahan :
- Jangan -
Wigagu tahu, pedang orang itu bukan pedang biasa. Pasti sudah dilumuri semacam racun yang mematikan. Andaikata Sukesi berhasil melepaskan jarumnya tepat pada sasarannya, orang itu masih sempat menggores kulit Pitrang. Mungkin dia mati terbunuh oleh jarum Sukesi. Akan tetapi Pitrang akan mengalami demikian pula. Sebab, orang itu tentunya tidak membawa obat pemunah racunnya .
- Saudara Mengapa engkau menawan seorang anak yang tidak berdosa ? - ia minta keterangan dengan suara tenang.
- Mundurlah delapan langkah dulu, sebelum aku menjawab.- sahut orang itu membentak.
Wigagu mengeluh di dalam hati. Mundur delapan langkah berarti makin jauh jaraknya dari Pitrang yang tertungkrap karung. Tetapi karena Pitrang menghadapi bahaya, tiada jalan lain kecuali menuruti kehendak orang itu. Segera ia memberi isyarat kepada Sulesi dan Puruhita untuk mundur. delapan langkah.
Dan oleh isyarat itu, mereka mundur delapan langkah dengan sekali gerak. Menyaksikan kepandaian mereka, orang itu berubah wajahnya. Pikirnya di dalam hati : - Mereka bisa melesat mundur dengan satu kali gerakan. Apalagi kalau maju ke dpart. Oleh pertimbangan itu ia membentak lagi :
- Mundur empat langkah Eh lima ! Eh, enam langkah lagi -
- Apakah tidak sepuluh langkah lagi? Puruhita mendongkol.-
- Kalian bisa melompat dengan cukup menjejak tanah ke belakang. Kalau maju, mungkin kalian bisa dua atau tiga kali sejauh lompatan kalian ke belakang. -
orang itu tertawa, - Karena itu, meskipun kalian kini berada empatbelas langkah jauhnya dari padaku, masih merupakan ancaman besar. -
Apa boleh buat. Memang masing-masing masih merasa mampu melesat cepat sejauh duapuluh langkah ke depan. Maka mereka terpaksa mundur lagi menuruti tuntutan orang itu.
- Nah, cukup bukan? -ujar Wigagu menahan diri,- Sekarang bolehkan aku mengenal namamu?-
- Ah, aku ini hanya berpangkat perajurit saja. Perajurit Cakraningrat. Namaku cukup kalian panggil Polan. -
Wigagu, Sukesi dan Puruhita mendongkol., Mereka tahu, nama itu bukan namanya sendiri. tetapi karéna dia sudah memperkenalkan namanya, mereka memutuskan untuk memanggil si polan saja.
- Hai Polan ! - seru Sukesi dengan suara lantang. - Orang Madura yang bernama Polan biasanya tukang potong babi. Apakah kerjamu memang tukang potong babi ? -
Jelas sekali, Sukesi sedang mengejeknya habis-habisan. Siapapun tahu, orang Madura adalah rakyat pemeluk Agama Islam yang baik. Dan siapapun tahu, babi adalah salah satu jenis hewan yang diharamkan. Sekarang, Sukesi menuduhnya sebagaitukangpotong babi alias si jagal babi. Keruan saja, wajahnya merah padam karena rasa gusarnya. Tetapi sebelum ia sempat menyemprot, Sukesi berkata lantang lagi :
- Hai jagal babi Awas Sekali engkau mengganggu sehelai rambut anakku, kau bakal kucincang hidup tidak matipun tidak. Kau tahu siapa aku? Akulah anak tunggal Telaga Warih. -
Mendengar Sukesi menyebut diri sebagai puteri Ki Ageng Telaga Warih, wajah Polan jadi pucat lesi. Beherapa saat lamanya ia berkutat untuk menguasai keadaan hatinya. Lalu berkata :
- Siapa engkau ? -
- Sukesi.-
- Hrn....kau puteri Telaga Warih ? -
- Ya. Mengapa? - bentak Sukesi.
- Aku justru sedang berurusan dengan ayahmu.-
- Kau berani ? -
- Nyonya, sebenarnya tiada maksudku hendak menggangumu. Apalagi engkau adalah puteri Ki Ageng Telaga Warih. Aku akan segera membebaskan puteramu ini, asal saja engkau berkenan menjawab pertanyaanku.- - Pertanyaan apa? -
- Kalau nyonya benar-benar putera Ki Ageng Telaga Warih, tentunya pemah mendengar bahwa ayahmu pemah membunuh putera satu-satunya majikanku. Hal itu terjadi gara-gara ayahmu menuduh Sang Adipati menyimpan pedang Sangga Buwana Haria Giri. Tolonglah kasihanilah majikanku...harap ayahmu sudi datang ke kadipaten untuk menebus dosanya. -
Sukesi mengerutkan alisnya. Sesungguhnya ia tidak tahu, bahwa Ki Ageng Telaga Warih membu nuh putera Adipati Cakraningrat. Sebaliknya juga bukan mustahil pendekar gila itu membunuh siapapun yang dicurigai. Akan tetapi untuk memohon kepada pendekar itu agar berkenan datang ke kadipaten untuk menebus dosa samalah halnya bermimpi di sianghari bolong. Maka dengan lantang ia menjawab :
- Meskipun aku ini puterinya, tetapi tidak mempunyai kekuasaan untuk memerintah ayah sendiri. Pendek kata,.aku tidak bisa. -
- Kalau begitu, tolong kabarkan di mana ayahmu kini berada. - Polan mau mengalah.
- Ayahku mempunyai kaki, tangan, otak dan hati. Selamanya dia hidup merantau. Jangan lagi aku, setanpun rasanya tidak sanggup mencarinya. - sahut Sukesi cepat.
Polan memanggut-manggut. Setelah menimbang-nimbang sejenak berkatalah ia :
- Baiklah....memang siapapun tidak dapat memaksa dia untuk keluar dari persernbunyiannya. Kalau begitu, tolonglah kami agar engkau berkenan menghisap-hisap berita di mana kiranya ayahmu kini berada. Tentunya tidak mungkin dalam waktu yang singkat. Mungkin setahun atau dua tahun. Tetapi aku berjanji, selama itu aku akan merawat puteramu dengan baik-baik. -
Dalam sekejap mata, berbagai bayangan berkelebat dalam benak Sukesi. Muncallah bayangan. gurunya yang sangat dihormatt Gurunya yang hidup menderita karena ditinggat pergi isterinya yang dicintainya. Kalau saja tidak demi anak satu-satunya, barangkali gurunya sudah raenghahisi hidupnya sendiri. Dan anak satu-satuaya itu, ditawan orang gara-gara sepak-terjang Ageng Telaga Warih. Sebenamya terhadap pendekar gila itu, ia tidak menaruh sayang atau hormat dengan hati tutus. Kalau saja tidak teringat bahwa gurunya menghornat Ki Ageng Telaga Warih, mau rasanya membuka rahasia di mana dia kini berada Tetapi apakah Wigagu dan Puruhita menyetujui ? Oleh pertimbangan itu dengan tak setahunya sendiri ia mengerling kepada mereka. - Saudara Polan. - ujar Wigagu dengan suara sabar. - Sebenarnya kami kurang jelas alasanmu menawan anak itu. -
- Apanya yang kurang jelas ? -
- Kalau tidak salah tangkap, engkau menawan anak itu sebagai sandera, bukan ? Sandera terhadap rasa balas dendammu terhadap Ageng Telaga Warih karena pendekar itu membunuh putera rnajikanmu. -
- Jelas -
- Lalu apa hubungannya dengan kita ? -
- Jelas.-
- Yang pertama, nyonya itu mengaku terus terang sebagai anak Telaga Warih. Yang kedua, bocah ini putera pendekar Sondong Landeyan, bukan Bagaimana
engkau tahu ? -
- Baiklah. - Wigagu Menyenak nafas. - Aku tahu kau tentunya menyembunyikan teman-temanmu yang memberi perintah atau memberi kisikan kepadamu.
Memang benar, anak itu adalah pute-
ra pendekar Sondong Landeyan. Mengapa kau jadikan sandera ? -
- Siapapun tahu, Sondong Landeyan adalah murid Telaga Warih.-
- Salah. potong Wigagu cepat. -
- Salah? Mengapa bisa salah? -
- Sebab kami bertiga ini sebenarnya murid Sondong Landeyan. -
- Dan perempuan itu? -
- Sebenarnya dia bukan anak K Ageng Telaga Warih.-
- Lho. Polan terperanjat. -
- Kaulah yang kurang cermat Selama hidupnya, Ki Ageng Telaga Warih tidak pemah berumah tangga. - Wigagu menerangkan dengan suara tenang luar biasa. - Maka sampai disini, engkau sudah membuat dua kesalahan. Yang pertama, mengira Ki Ageng Telaga Warih mempunyai anak. Yang kedua, menganggap Ki Ageng Telaga Warih adalah guru Sondong Landeyan.-
- Kalau bukan gurunya, mengapa selalu membawa-bawa nama Sondong
Landeyan? -
- Membawa-bawa bagaimana ? -
- Selalu dia berkaia, bahwa pedang Sangga Buwana adalah milik Landeyan.
Dan dia datang demi muridnya. Itulah Sondong Landeyan. -