• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Penggerek batang padi kuning S. incertulas hidup dan makan di dalam batang padi. Hal ini menyebabkan hama S. incertulas sulit untuk dikendalikan sehingga sering menimbulkan kegagalan panen dan kehilangan hasil. Sampai saat ini insektisida adalah andalan petani untuk mengendalikan hama S. incertulas. Untuk mengurangi penggunaan insektisida telah dikembangkan tanaman padi transgenik yang tahan S. incertulas. Untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas, penelitian tahap lapangan terbatas dilakukan di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada November 2007–April 2008. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan), varietas Rojolele (tanpa insektisida), Rojolele (dengan insektisida), Cilosari, dan Ciherang. Ukuran plot yang digunakan adalah 9 m x 5 m, dan jarak antar plot 0.5 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) efektif dalam menekan serangan S. incertulas baik pada stadium vegetatif (sundep) maupun pada stadium generatif (beluk). Pada stadium vegetatif, protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) mampu menekan serangan S. incertulas (sundep) sebesar 3-4 kali dan pada stadium generatif sebesar 5-75 kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. Keefektifan protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) sama dengan perlakuan insektisida dengan bahan aktif karbofuran dan dimehipo. Hasil panen padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) sangat rendah, yaitu hanya 1/7 jika dibandingkan dengan varietas Rojolele.

Abstract

The rice yellow stemborer S. incertulas lives and feeds inside the stems of rice plant. This behavior causes S. incertulas difficult to control and resulted in failures of harvest and yield loss. At present, most of farmers depend the rice stemborer control on insecticide. To reduce insecticide use, development of transgenic rice plant that are resistant to S. incertulas that effort a promising opportunity. To study the effectiveness of transgenic Rojolele rice to the rice yellow stemborer S. incertulas, a limited field test was conducted at Pusakanegara Research Station - Indonesian Centre for Rice Research, Subang-West Java from November 2007-April 2008. Randomize complete block design with 5 treatments and 5 replications were used. The treatments were transgenic Rojolele rice T9- 6.11-420 line (cryIAb by particle bombardment), Rojolele (non insecticide), Rojolele (with insecticide), Cilosari, and Ciherang varieties. The plot size was 9 m x 5 m, and the distance between plot was 0.5 m. The result showed that protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line (cryIAb by particle bombardment) effective to suppress S. incertulas infestation at the vegetative and the generative stages. At the vegetative stage, protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line (cryIAb by particle bombardment) could suppress S. incertulas infestation (deadhearts) about 3-4 fold and at the generative stage (whiteheads) about 5-57 fold compared to non insecticide treatment. Protoxin in transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line (cryIAb by particle bombardment) was as effective as insecticide treatment with active ingredient were carbofuran and dimehipo. The yield of transgenic Rojolele rice T9-6.11-420 line (cryIAb by particle bombardment) was the lowest, i.e. it was only1/7 than Rojolele.

Key words: effectiveness, transgenic rice, S. incertulas

Pendahuluan

Di Indonesia terdapat enam spesies penggerek batang padi (Hattori & Siwi 1986). Dari keenam spesies penggerek batang padi tersebut, penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) adalah yang paling dominan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Lombok (Manwan et al. 1990; Hendarsih et al. 2002).

Larva penggerek batang padi kuning S. incertulas makan bagian dalam batang padi. Pada saat menetas, larva instar-1 S. incertulas segera menyebar mencari anakan tanaman padi dan segera masuk ke dalam batang tanaman padi, yang normalnya satu larva menginfestasi satu anakan. Hal tersebut menyebabkan larva S. incertulas terlindungi dari musuh alami dan insektisida (Bandong & Litsinger 2005), sehingga hama S. incerulas ini sulit untuk dikendalikan sehingga sering menimbulkan kegagalan panen dan kehilangan hasil.

Sampai saat ini insektisida adalah andalan petani dalam mengendalikan hama S. incertulas. Kondisi tersebut sangat beresiko karena penggunaan insektisida yang terus menerus berdampak negatif terhadap lingkungan seperti hama menjadi resisten, resurjensi atau ledakan hama sekunder, berpengaruh negatif terhadap organisma non target, dan residu insektisida (Metcalf 1982; Sutanto 2002).

Untuk mengurangi penggunaan insektisida dalam pengendalian hama penggerek batang padi, pada saat ini telah dikembangkan tanaman padi transgenik dengan menggunakan gen Bt baik dengan gen cry tunggal ataupun dua gen cry (Ho et al. 2006).

Hasil penelitian National Center for Food and Agricultural Policy (NCFAP) pada tanaman kapas menunjukkan pemanfaatan kapas Bt mampu menekan penggunaan insektisida. Data dari enam sentra produksi kapas mengindikasikan terjadinya pengurangan penggunaan insektisida untuk bollworm/budworm, dan pink bollworm sekitar >2 juta lbs pada tahun 1998 dan 2.7 juta lbs pada tahun 1999. Jumlah aplikasi insektisida juga menurun sekitar 8.7 juta pada tahun 1998 dan 15 juta pada tahun 1999, atau 13% dan 22% dari total jumlah aplikasi insektisida pada tahun 1995 (Berenbaum et al. 2002). Penggunaan kapas Bt di Arizona untuk pink bollworm pada tahun 1997 mengurangi 5.4 aplikasi insektisida dan petani dapat menghemat $80 per hektar (William dalam Berenbaum et al. 2002).

Di India, penggunaan kapas Bt efektif mengendalikan bollworms (Manjunath 2005) dan dapat mengurangi 70% aplikasi insektisida, serta menghemat biaya insektisida sekitar US$30 per hektar. Pengurangan aplikasi pestisida pada pertanaman kapas Bt dilaporkan juga di Cina, dan proporsi penggunaan pestisida berkurang dari 22% sampai 4.7% (Christou et al. 2006).

Dengan tujuan untuk mengendalikan serangan hama padi dari ordo lepidoptera, terutama hama penggerek batang padi kuning S. incertulas, penggerek batang padi bergaris C. suppressalis, dan penggulung daun Cnaphalocrocis medinalis beberapa laboratorium di dunia saat ini telah mentransformasi padi dengan gen Bt, dan mengevaluasinya di rumah kaca dan

lapangan, tetapi belum ada varietas padi Bt yang dilepas ke petani (Berenbaum et al. 2002).

Gen cryIAb (Bt) telah berhasil ditransformasi ke varietas Rojolele (Javanica) melalui teknik penembakan (Slamet-Loedin et al. 1998). Berdasarkan pengujian sampai dengan generasi kelima, telah terbukti bahwa gen cryIAb (Bt) tetap diwariskan pada turunannya dan telah teridentifikasi galur-galur potensial tahan S. incertulas (Satoto 2003). Namun demikian, keefektifan galur tersebut belum teruji pada tahap lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keefektifan padi Rojolele transgenik yang mengandung gen cryIAb terhadap hama penggerek batang padi kuning S. incertulas di lapangan terbatas.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada November 2007–April 2008.

Bahan dan Alat

Materi penelitian yang digunakan terdiri dari tanaman padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 yang mengandung gen cryIAb melalui teknik penembakan dan tanaman padi bukan transgenik yang meliputi varietas Rojolele, Cilosari, dan Ciherang.

Untuk mendeteksi keberadaan gen pada tanaman padi Rojolele transgenik yang diuji, dilakukan uji PCR. Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dikemukakan oleh Van Heusden et al. (2000). Total DNA diekstraksi dari daun tanaman padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan). Sekitar 10 cm daun muda dimasukkan ke dalam tube 1.5 ml dibekukan dengan nitrogen cair, digerus hingga menjadi halus, dan ditambah dengan 750 µl buffer isolasi yang mengandung buffer lisis [0.2 M Tris- HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl, 2% (b/v) CTAB], buffer ekstraksi [0.35 M sorbitol, 0.1 M Tris-HCl pH 7.5, 5 mM EDTA], dan 5% (b/v) sarkosil dengan perbandingan 2.5 : 2.5 : 1. Kemudian diinkubasi 1 jam pada suhu 65 oC sambil dikocok perlahan. Selanjutnya ditambah 750 µl kloroform : isoamil alkohol (24:1)

dan dikocok. Kemudian sampel disentrifus (12 000 rpm, selama 5 menit pada suhu ruang). Lapisan atas diambil dan dipindah ke tube 1.5 ml yang baru dan ditambah 500 µl isopropanol dan dikocok. Sampel disentrifus (12 000 rpm, selama 6 menit pada suhu ruang). Supernatan dibuang, pellet dicuci dengan 500 µl 70% etanol dan disentrifus (12 000 rpm selama 3 menit). Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan. DNA dilarutkan dalam 50 µl TE (10 mM Tris-HCl pH 8.0, dan 1 mM EDTA). Sampel DNA disimpan di -20 oC.

Amplifikasi PCR untuk gen cryIAb dilakukan dengan total reaksi 20 µl [1x buffer PCR: 2.5 mM MgCl2, 0.05 mM dNTPs, 0.05 µ/µl taq polymerase, 2.5 ng/µl primer forward cry, 2.5 ng/µl primer reverse cry, 2.5 ng/µl primer goss forward, 2.5 ng/µl primer goss reverse, 1 µl sample DNA, dan H2O]. Primer untuk mendeteksi gen cryIAb mempunyai urutan basa sebagai berikut: forward 5’ cat tgt gtc tct ctt ccc 3’ dan reverse 5’ ccg tta gag aag ttg aaa gg 3’. Kondisi PCR untuk amplifikasi gen cryIAb adalah 95 oC (3 menit) 1 siklus, 95 oC (1 menit), 55 oC (1 menit), 72 oC (1 menit) 40 siklus; 72 oC (10 menit) 1 siklus. DNA hasil amplifikasi dengan PCR dianalisis melalui elektroforesis pada gel agarosa 0.8% dan diwarnai dengan ethidium bromida. Elektroforesis dilakukan selama 1 jam dengan tekanan 100 volt dalam buffer 0.5x Tris Boric Acid EDTA (TBE). Larutan buffer berasal dari stok 5xTBE dengan susunan bahan: 54 g Tris base, 27.5 g Boric acid dan 20 ml 0.5 M EDTA pH 8.0 untuk setiap satu liter. Hasil elektroforesis diamati dan difoto dengan menggunakan Bio Rad Gel Doc UV 1000.

Tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR memberikan hasil positif selanjutnya digunakan untuk pengujian, sementara tanaman-tanaman yang berdasarkan uji PCR hasilnya negatif dibuang.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan meliputi padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan), varietas Rojolele (tanpa insektisida), Rojolele (dengan insektisida), Cilosari, dan Ciherang. Bibit galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) berumur 36 hari

setelah sebar (HSS), varietas Rojolele berumur 27 HSS, dan Cilosari serta Ciherang berumur 13 HSS ditanam pada petak percobaan berukuran 9 m x 5 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, dan jarak antar plot 0.5 m. Pada saat tanam, dilakukan pemupukan dengan 40 kg N/ha dan 40 kg P2O5/ha, pada 25 hari setelah tanam dengan 40 kg N/ha, dan pada 50 hari setelah tanam dengan 40 kg N/ha. Plot perlakuan varietas Rojolele yang diaplikasi insektisida diberi insektisida berbahan aktif karbofuran dan dimehipo. Insektisida berbahan aktif karbofuran diaplikasikan pada periode pertumbuhan vegetatif dengan dosis 20 kg/ha dan interval pemberian setiap 2 minggu sekali. Insektisida berbahan aktif dimehipo diaplikasikan pada saat tanaman padi mencapai stadium generatif dengan dosis 2 l/ha (konsentrasi 4 cc/l) dan interval pemberian setiap 2 minggu sekali sampai 10 hari menjelang panen. Di sekeliling percobaan ditanam varietas Rojolele selebar 3 m sebagai isolasi terhadap varietas yang ditanam di sekitarnya.

Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali, sejak 2 minggu setelah tanam sampai 10 hari menjelang panen. Variabel yang diamati adalah tingkat serangan S. incertulas pada 72 rumpun sampel secara acak pada setiap plot perlakuan dan hasil panen dari setiap plot perlakuan.

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) dan perbedaan antar perlakuan dievaluasi dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf nyata 5% dengan menggunakan program SAS (1990).

Hasil

Penggerek batang padi kuning S. incertulas dapat menyerang pada semua stadium pertumbuhan tanaman padi (Alam et al. 1998). Serangan S. incertulas pada stadium vegetatif dapat menimbulkan gejala sundep dan pada stadium generatif dapat menimbulkan gejala beluk. Pada pengujian lapangan terbatas ini populasi hama S. incertulas di lokasi pengujian tinggi pada 2 dan 4 minggu setelah tanam dan sangat rendah sampai menjelang panen. Kondisi populasi S. incertulas seperti ini berpengaruh pada besarnya tingkat intensitas serangan yang ditimbulkan.

Pada 2 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas (sundep) cukup tinggi berkisar 0.46-10.63%. Namun demikian, pada padi Rojolele

transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) belum terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas (sundep) jika dibandingkan dengan varietas Rojolele (tanpa insektisida), varietas Rojolele (dengan insektisida), varietas Cilosari, dan varietas Ciherang. Sebaliknya intensitas serangan S. incertulas (sundep) pada varietas Cilosari dan varietas Ciherang terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele (tanpa insektisida) dan Rojolele (dengan insektisida) (P=0.0193) (Gambar 5.1).

Pada 4 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas (sundep) meningkat pada semua varietas dan galur padi yang diuji. Intensitas serangan S. incertulas (sundep) tertinggi terlihat pada varietas Rojolele (tanpa insektisida) dengan tingkat intensitas serangan sebesar 13.26% dan terendah terlihat pada varietas Ciherang dengan tingkat intensitas serangan sebesar 2.61%. Intensitas serangan S. incertulas (sundep) pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele (tanpa insektisida), tetapi tidak berbeda dengan varietas Rojolele (dengan insektisida), Cilosari, dan Ciherang (P=0.0168) (Gambar 5.1).

Pada 6 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas (sundep) menurun pada semua varietas dan galur padi yang diuji dengan tingkat intensitas serangan kurang dari 1%. Namun demikian masih terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas antar varietas dan antar galur padi yang diuji. Intensitas serangan S. incertulas pada varietas Rojolele (dengan insektisida) terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele (tanpa insektisida) dan Cilosari dengan tingkat intensitas serangan sebesar 0.09%. Namun demikian intensitas serangan S. incertulas pada varietas Rojolele (dengan insektisida) tersebut tidak berbeda dengan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11- 420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dan varietas Ciherang. Pada varietas Rojolele (tanpa insektisida) tidak terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas (sundep) dengan varietas Cilosari (P=0.0042). Hal ini menunjukkan bahwa padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) efektif dalam menekan serangan S. incertulas (sundep) dan keefektifannya sama dengan varietas Ciherang dan perlakuan dengan insektisida (Gambar 5.1).

Pada 8 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas (sundep) rendah dengan tingkat intensitas serangan kurang dari 2%. Intensitas serangan S. incertulas (sundep) pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) terlihat tidak berbeda dibandingkan dengan varietas Rojolele (tanpa insektisida), Rojolele (dengan insektisida), dan Cilosari. Sebaliknya intensitas serangan S. incertulas (sundep) pada varietas Ciherang terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan), varietas Rojolele (tanpa insektisida), dan Cilosari. Namun demikian intensitas serangan S. incertulas (sundep) pada varietas Ciherang tersebut tidak berbeda dengan Rojolele (dengan insektisida) (P=0.0295) (Gambar 5.1). ab a a b b bc a ab bc c b a b a b ab abbca c 0 2 4 6 8 10 12 14 R ata -r ata in te n sita s s e ra n g an S in c ert u la s (% ) 2 4 6 8 Waktu pengamatan (MST) Rjl trans T9-6.11-420 (CryIAb) Rojolele (tanpa insektisida) Rojolele (dengan insektisida) Cilosari

Ciherang

Gambar 5.1 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada tanaman padi transgenik dan bukan transgenik pada stadium vegetatif. MST– Minggu setelah tanam.

Pada stadium generatif sampai menjelang panen, intensitas serangan S. incertulas (beluk) pada semua varietas dan galur padi yang diuji sangat rendah dengan intensitas serangan kurang dari 2%. Pada 10 minggu setelah tanam, belum terlihat adanya perbedaan intensitas serangan S. incertulas (beluk) pada semua varietas dan galur padi yang diuji (P=0.2869) (Gambar 5.2).

Pada 12 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas (beluk) pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele (tanpa insektisida) dengan tingkat intensitas serangan sebesar 0.4%. Namun demikian, intensitas serangan S. incertulas (beluk) pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) tersebut tidak berbeda jika dibandingkan dengan varietas Rojolele (dengan insektisida), Cilosari, dan Ciherang (P=0.0192) (Gambar 5.2). a a a a a b a b b b c a b b ab 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 R ata -r ata in te n sita s s er an g an S . in ce rtu la s ( % ) 10 12 14 Waktu pengamatan (MST)

Rjl trans T9-6.11-420 (CryIAb) Rojolele (tanpa insektisida) Rojolele (dengan insektisida) Cilosari

Ciherang

Gambar 5.2 Rata-rata intensitas serangan S. incertulas pada tanaman padi transgenik dan bukan transgenik pada stadium generatif. MST– Minggu setelah tanam.

Pada 14 minggu setelah tanam, intensitas serangan S. incertulas (beluk) pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele (tanpa insektisida), Rojolele (dengan insektisida), Cilosari, dan Ciherang. Intensitas serangan S. incertulas (beluk) pada varietas Ciherang terlihat tidak berbeda dengan varietas Rojolele (tanpa insektisida), Rojolele (dengan

insektisida), dan Cilosari. Intensitas serangan S. incertulas (beluk) pada varietas Cilosari terlihat nyata lebih rendah dibandingkan dengan Rojolele (tanpa insektisida), tetapi tidak berbeda dengan Rojolele (dengan insektisida) (P=0.0049) (Gambar 5.2).

Hasil panen

Salah satu tujuan perakitan varietas unggul tahan hama adalah untuk mendapatkan varietas yang mampu menangkal kerusakan oleh hama sehingga tanaman mampu berproduksi secara optimal. Dalam penelitian ini ada indikasi hasil yang bertolak belakang. Padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) terbukti mampu menangkal kerusakan dan menghambat pertumbuhan hama S. incertulas. Tetapi dari sisi produksi, tanaman padi Rojolele transgenik tersebut tidak mampu berproduksi secara optimal. Hal ini dapat terlihat dari hasil panen yang diperoleh pada saat pengujian.

Pada pengujian lapangan terbatas, hasil panen (GKP maupun GKG) padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) nyata paling rendah dibandingkan dengan varietas Rojolele (tanpa insektisida), Rojolele (dengan insektisida), Cilosari, dan Ciherang. Hasil panen (GKP dan GKG) padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) adalah 2.76 kg/45 m2 dan 2.18 kg/45 m2 atau setara dengan 0.61 t/ha dan 0.48 t/ha. Hasil panen tertinggi terlihat pada varietas Ciherang yang tidak berbeda dengan Cilosari. Hasil panen (GKP dan GKG) varietas Ciherang adalah 32.19 kg/45 m2 dan 27.82 kg/45 m2 atau setara dengan 7.15 t/ha dan 6.18 t/ha, dan hasil panen (GKP dan GKG) varietas Cilosari adalah 32.14 kg/45 m2 dan 27.09 kg/45 m2 atau setara dengan 7.14 t/ha dan 6.02 t/ha. Sementara itu, hasil panen varietas Rojolele (tanpa insektisida) dan Rojolele (dengan insektisida) terlihat sedang dan antar kedua varietas tersebut tidak terlihat adanya perbedaan hasil panen. Hasil panen (GKP dan GKG) varietas Rojolele (dengan insektisida) adalah 19.50 kg/45 m2 dan 15.81 kg/45 m2 atau setara dengan 4.33 t/ha dan 3.51 t/ha, dan hasil panen (GKP dan GKG) varietas Rojolele (tanpa insektisida) adalah 18.44 kg/45 m2 dan 15.24 kg/45 m2 atau setara dengan 4.09 t/ha dan 3.39 t/ha (P=0.0001; P=0.0001) (Gambar 5.3).

c b b a a c b b a a 0 5 10 15 20 25 30 35 R a ta -r a ta ha si l pa ne n ( kg/ 45 m 2 GKP GKG Kondisi gabah

Rjl trans T9-6.11-420 (CryIAb) Rojolele (tanpa insektisida) Rojolele (dengan insektisida) Cilosari

Ciherang

Gambar 5.3 Rata-rata hasil panen pada tanaman padi transgenik dan bukan transgenik. GKP- Gabah kering panen; GKG- Gabah kering giling

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengujian pada lapangan terbatas ini dapat dikatakan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) efektif dalam menekan serangan S. incertulas baik pada stadium vegetatif (sundep) maupun pada stadium generatif (beluk). Pada stadium vegetatif, padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) mampu menekan serangan S. incertulas (sundep) sebesar 3-4 kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. Pada stadium generatif, padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) mampu menekan serangan S. incertulas (beluk) lebih tinggi yaitu sebesar 5-75 kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida. Selain itu terlihat bahwa keefektifan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) ini sama dengan perlakuan insektisida dengan bahan aktif karbofuran dan dimehipo. Tingginya keefektifan galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) dalam menekan serangan S. incertulas ini disebabkan

galur T9-6.11-420 mengandung gen cryIAb dengan promoter yang bersifat constitutive. Tanaman transgenik dengan kontrol ekspresi gen seperti ini, gennya akan terekspresi terus menerus diseluruh jaringan tanaman dan sepanjang umur tanaman. Dengan demikian tanaman akan mendapat perlindungan sepanjang umur tanaman tersebut (Datta et al. 1998; Fontes et al. 2002). Selain itu, galur T9-6.11- 420 (cryIAb melalui teknik penembakan) mempunyai jumlah salinan gen (copy number) cukup banyak yaitu 5 (Novalina 2000). Dengan jumlah salinan gen (copy number) yang banyak tersebut kemungkinan ekspresi protein menjadi lebih tinggi. Jumlah salinan gen (copy number) pada beberapa kasus berkorelasi dengan ekspresi gen, meskipun tidak selalu demikian. Selain itu gen cryIAb mempunyai aktivitas insektisida yang sangat tinggi dan mampu menekan perkembangan larva S. incertulas instar-1 dengan tingkat mortalitas mencapai 100% pada 4 hari setelah infestasi (Wu et al. 1997; Datta et al. 1998; Cheng et al. 1998). Hasil pengujian pada tahap in vitro juga menunjukkan mortalitas 50% larva instar-1 S. incertulas pada galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) tercapai dalam waktu 12 jam setelah infestasi dan pada 72 jam setelah infestasi mortalitasnya mencapai 94%. Demikian pula pada pengujian tahap in planta terbukti padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) mempunyai nilai ketahanan tertinggi dengan skala 0.

Selain itu, pada pengujian lapangan terbatas ini ada indikasi bahwa varietas Cilosari dan Ciherang tahan terhadap serangan S. incertulas. Namun demikian, ketahanan kedua varietas tersebut terlihat tidak konsisten. Adanya fenomena seperti ini di duga disebabkan varietas Cilosari dan Ciherang ini mendapatkan ketahanan ekologi (pseudoresistance) yaitu sifat ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik, tetapi sepenuhnya oleh faktor lingkungan yang memungkinkan munculnya penampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama. Sifat ketahanan ini tidak tetap dan biasanya merupakan sifat sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama (Panda & Khush 1995; Untung 2006) seperti varietas Cilosari dan Ciherang.

Berdasarkan hasil panen pada pengujian lapangan terbatas ini dapat dikatakan padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik

penembakan) hasilnya sangat rendah, yaitu hanya 1/7 jika dibandingkan dengan varietas Rojolele. Rendahnya hasil pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11- 420 (cryIAb melalui teknik penembakan) diduga antara lain disebabkan sebagian besar energi tanaman dialokasikan untuk pertahanan. Keadaan ini sesuai dengan teori hubungan antara tingkat pertahanan dan hasil yang dikemukakan oleh Kogan (1986) bahwa jika pertahanan rendah, produktivitas mencapai maksimum dalam keadaan tidak ada hama. Tetapi ketika tanaman meningkatkan infestasi energinya pada pertahanan, mereka mencapai suatu batas atas metabolic cost (harga/biaya metabolisme), pada batas ini tidak ada reproduksi dan tanaman dengan gen untuk ketahanan yang ekstrim dihilangkan. Selain itu, rendahnya hasil pada padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) ini disebabkan adanya indikasi pengurangan hasil (yield penalty) yang dapat diakibatkan oleh variasi somaklonal akibat kultur jaringan atau pengaruh posisi insersi gen pada genom tanaman. Dalam pengembangan tanaman transgenik secara komersial seharusnya dilakukan backcrossing dari galur tahan untuk menghindari dampak dari variasi somaklonal akibat perlakuan kultur jaringan dan galur yang dihasilkan umumnya dalam jumlah besar sehingga seleksi fertilitas dapat dilakukan pada tahap awal.

Kesimpulan

1. Protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) efektif dalam menekan serangan S. incertulas baik pada stadium vegetatif (sundep) maupun pada stadium generatif (beluk).

2. Pada stadium vegetatif, protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9- 6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) mampu menekan serangan S. incertulas (sundep) sebesar 3-4 kali dan pada stadium generatif sebesar 5-75 kali jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa insektisida.

3. Keefektifan protoxin dalam padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) sama dengan perlakuan insektisida dengan bahan aktif karbofuran dan dimehipo.

4. Hasil panen padi Rojolele transgenik galur T9-6.11-420 (cryIAb melalui teknik penembakan) sangat rendah, yaitu hanya 1/7 jika dibandingkan dengan varietas Rojolele.

Daftar Pustaka

Alam MF et al. 1998. Production of transgenic deepwater rice plants expressing a synthetic Bacillus thuringiensis cryIAb gene with enhanced resistance to yellow stem borer. Plant Science 135:25-30.

Bandong JP, JA Litsinger. 2005. Rice crop stage susceptibility to the rice yellow stemborer Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Pyralidae). Inter Jour Pest Manag 51(1):37-43.

Berenbaum MR, RT Carde, GE Robinson. 2002. Economic, ecological, food safety, and social consequences of the deployment of Bt transgenic plants. Annu Rev Entomol 47:845-881.

Cheng X, R Sardana, H Kaplan, I Altosar. 1998. Agrobacterium-transformed rice plants expressing synthetic cryIA(b) and cryIA(c) genes are highly toxic to