• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1 Sejarah

Sesuai informasi yang diberikan oleh para informan bahwa gua liang dahar bukan buatan manusia. Gua tersebut sudah ada semenjak dahulu kala. Satu orang anggota masyarakat Karo pada umumnya dan penduduk desa Lau Buluh pada khususnya tidak mengetahui kapan gua itu serta asal usulnya, hanya informasi yang dapat diperoleh bahwa gua tersebut semasa penjajahan kolonial belanda di Indonesia, para masyarakat suku Karo banyak yang pergi ke perut gua itu hendak berlindung. Berhubung mulut gua serta di atas tanah yang merupakan atap gua yang banyak tumbuh kayu dan semak maka tentara kolonial Belanda tidak dapat melihat mereka bersembunyi di perut gua walaupun tentara Belanda menggunakan teropong dari dalam pesawatnya.

Masyarakat Karo dapat bertahan amat lama di dalam gua tersebut, karena segala kebutuhan sehari–hari ada tersedia di dalamnya. Artinya beras dan kayu api bisa disim-pan di dalamnya air untuk mandi dan memasak bisa diambil di sungai kecil yang mengalir di dalamnya

Pada jaman penjajahan kolonial Belanda di Indonesia penduduk desa Lau Buluh hanya berjumlah lebih kurang dua puluh kepala keluarga, dan pada umumnya anggota masyarakat suku Karo tidak akan ada masalah walau mereka hidup dalam gua besar tersebut, mereka menganggap bahwa gua itu adalah pemberian tuhan kepada mereka sebagai pengganti rumah mereka. Jadi selama mereka berada di dalam perut gua tersebut tidak pernah mengalami masalah walaupun hari hujan di waktu siang dan malam hari, serta memasang api di malam hari untuk segala keperluan sehari–hari juga tidak ada

masalah. Karena atap gua tersebut termasuk amat tebal sehingga aman dari ancaman hujan walaupun sangat deras sekali. Demikian juga melalui mulut gua pun belum pernah ada air hujan yang masuk dengan jumlah yang banyak.

Sesudah Indonesia mendapat kemerdekaan dari pemerintah kolonial Belanda masyarakat suku Karo cenderung untuk membangun rumah yang besar agar bisa dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Rumah yang paling besar biasa dibangun untuk dua belas kepala rumah tangga, jenis rumah sebesar ini memang tidak seberapa jumlahnya, tetapi yang paling banyak ditemukan di hampir setiap desa di Kabupaten Tingkat II Karo adalah jenis rumah adat yang dihuni oleh delapan kepala rumah tangga. Jenis lain adalah adalah rumah adat yang berisikan enam kepala keluarga, dan empat kepala keluarga. Memang masyarakat suku Karo cinta terhadap demokrasi dan gotong royong .

3.2. Geografis

Gua Liang Dahar terletak di sebelah timur laut desa Lau Buluh. Jarak antara desa Lau Buluh dengan Gua Liang Dahar adalah lebih kurang satu kilometer. Jarak ini biasanya dapat ditempuh dengan jalan kaki selama lima belas menit oleh penduduk desa Lau Buluh tersebut, tetapi bagi orang yang belum biasa berjalan di atas tanah yang biasanya disebut jalan tikus mungkin bisa ditempuh selama tiga puluh menit.

Yang dimaksud dengan jalan tikus ialah jalan yang kiri kanannya dibatasi oleh rumput dan lalang yang tingginya kira-kira delapan puluh sentimeter. Jalan tikus tersebut hanya dapat dilewati oleh manusia dengan berjalan kaki walaupun ada orang yang ingin bersepeda ataupun mengendarai sepeda motor, maka jalan tersebut tidak mendukung dan di sekitar Gua Liang Dahar ada ladang masyarakat penduduk desa Lau Buluh tersebut, mereka para penduduk desa Lau Buluh itu juga pergi ke ladang mereka

dengan bersepeda, dan hasil ladang mereka diangkat dengan tenaga manusia, jadi walaupun ada mereka yang memiliki gerobak yang ditarik oleh lembu ataupun kerbau mereka, maka berhubung kondisi jalan tersebut tidak dapat dipergunakan.

Gua Liang Dahar tersebut berada dalam ketinggian sembilan ratus meter di atas permukaan laut. Bila kita melihat jarak dari kota Medan ke Gua Liang Dahar ada sejauh seratus dua belas kilometer. Dari kota Kabanjahe ke Gua Liang Dahar adalah sejauh tiga puluh tujuh kilometer, sedangkan dari desa Kutabuluh yang merupakan ibukota ke Kecamatannya adalah sejauh empat setengah kilometer.

Gua Liang Dahar berada di antara ladang masyarakat atau boleh juga dikatakan di bawah ladang masyarakat desa Lau Buluh. Dari desa Lau Buluh ke Gua Liang Dahar kita akan dapat menempuhnya dengan berjalan kaki dan menuju ke arah Timur Laut. Lama perjalanan untuk mencapai mulut gua kira-kira 30 menit.

3.3 Keadaan

Mulut Gua Liang Dahar kira-kira mempunyai diameter sepanjang lima belas meter. Luas Gua Liang Dahar keseluruhannya kira–kira seribu dua ratus meter bujur sangkar ditambah dengan beberapa lainnya yang kecil atau kira 250m2 bila kita mengklasifikasikan ruang Gua Liang Dahar tersebut maka dapat dibagi atas tiga bahagian yang besar, yaitu: satu luasnya kira-kira lima ratus meter bujur sangkar, dua luasnya empat ratus meter bujur sangakar, dan yang ketiga luasnya tiga ratus meter bujur sangkar.

Cuaca di dalam Gua Liang Dahar sangat sejuk dan keadaan di dalamnya sangat gelap walaupun di siang hari, apabila waktu malam hari sekalipun jika kita ingin pergi berjalan–jalan ke ruang Gua Liang Dahar tersebut maka kita perlu membuat alat

penerangan, yaitu lampu petromak atau senter yang dapat digunakan selama kita berada di dalam ruangan gua tersebut, dan selain itu kita perlu menyediakan batu bara atau arang sebagai alat pemanas serta memanggang makanan yang sudah kita persiapkan sebelumnya.

Pada langit–langit Gua Liang Dahar dapat kita temukan kelelawar dan kalong yang sedang bergantungan untuk beristirahat dengan jumlah yang sangat banyak. Kelelawar dan kalong tersebut biasanya ke luar di malam hari melalui mulut gua untuk mencari makanan. Selain kalong ada juga burung walet pun ada banyak jumlahnya yang bersarang di langit–langit ruang gua tersebut. Sarang walet tersebut memang agak mahal harganya bila dijual ke Medan, tetapi berhubung langit–langit itu agak tinggi maka belum ada orang yang berusaha untuk mengambilnya sementara kalau di kota medan, Deli Serdang, dan Asahan banyak sekali orang yang membangun gedung bertingkat–tingkat agar waletnya dapat membangun sarangnya. Tentu saja membangun gedung bertingkat akan memakan biaya puluhan juta rupiah dan ada juga sampai ratusan juta rupiah. Dari mulut gua itu kira–kira lima ratus meter dari dasar gua tersebut. Bila kita memandang ke langit melalui mulut gua maka sinar matahari akan dapat terlihat sbesar mulut drum saja. Warna cahaya tersebut terlihat sangat indah. Tidak terlalu sering, ada juga mahasiswa dari Perguruan Tinggi Universitas Sumatera Utara Medan yang bertamasia ke Gua Liang Dahar tersebut, serta menghabiskan malam hari di dalam perut gua. Artinya memasuki gua di waktu siang hari dan menghabiskan malam hari di dalam perut gua.

Para muda-mudi penduduk desa di wilayah Kabupaten Tingkat II Karo juga sering berkunjung ke gua itu dengan kegiatan serupa sebagaimana yang di lakukan oleh para mahasiswa tadi.

Satu atau dua orang wisatawan manca negara juga ada yang berpergian ke dalam perut gua tersebut. Angka yang pasti tentang jumlah orang yang mengetahuinya tidak ada, berhubung petugas kepariwisataan dari kantor Bupati Tingkat II Karo belum pernah ada yang mencatat tentang pemerintah desa Lau Buluh belum ada yang berpikir untuk mencatat jumlah orang yang berkunjung ke Gua.

Di atas dasar lantai Gua Liang Dahar ada ditemukan tanah kering yang tidak berupa debu ataupun lumpur disertai dengan bebatuan bila hujan sedang turun maka kita temukan tumpahan air hujan yang jumlahnya sedikit saja yaitu yang masuk melalui mulut gua, tetapi tumpahan air hujan yang jatuh di sekeliling mulut gua atapun di atas gua tidak ada yang mengalir ke dalam perut gua melalui mulut gua. Jadi dengan keadaan seperti ini bila kita ingin menjelajahi perut gua akan tidak ada masalah yang akan kita temukan demikian juga untuk mencari tempat untuk membentang kan koran ataupun sehelai plastik tempat duduk ataupun tikar tidak basah, api unggun pun dapat dipasang di seluruh lokasi perut gua.

Di dasar gua ada juga terdapat satu sungai kecil, air sungai tersebut kondisinya sangat bersih dan jernih. Air sungai tersebut sering juga dikonsumsi oleh para pengunjung dan sepanjang pengetahuan penduduk desa Lau Buluh bahwa belum pernah ada orang yang mengkonsumsi air sungai yang mengalir melalui perut gua itu mempunyai suatu keluhan, malah mereka mengkonsumsi air tersebut sebelum dimasak dan bila ditanya mereka yang sudah pernah ada yang meminumnya maka mereka

menjawab bahwa sewaktu meminumnya terasa segar seperti meminum air masak yang sudah disimpan di dalam kulkas.

Sesuai dengan informasi yang diperoleh dari informan khusus maupun umum bahwa mata air sungai kecil tersebut berada di bawah kaki gunung Sinabung memang tidak ada satu orang pun yang mengetahui dari mana tempat yang pasti tentang keberadaan mata air tersebut mengalir banyak sekali orang yang memberikan informasi bahwa air tersebut ke luar di desa Bakerah.

Desa Bakerah terjadi tersebut di sebelah timur gua itu, tetapi jaraknya ada sekitar tujuh belas kilometer. Alasan mereka mengatakan hal tersebut ialah bahwa tempoh hari ada beberapa orang penduduk desa Bakerah yang bepergian ke gua tersebut, mereka kebetulan sering mandi siang di sungai kecil tersebut. Tanpa disengaja salah seorang di antara mereka mengalami kejatuhan sisir ke dalam sungai itu sehingga mengakibatkan hanyut.

Satu orang yang lain di antara mereka, dan juga tanpa disengaja setelah dia selesai menggulung rokok yang daunnya dari nipah, kotak tempat penyimpan tembakau rokoknya jatuh ke sungai tersebut dan akhirnya hanyut. Untuk kita tidak merasa heran perlu kita ketahui bahwa sungai itu muncul dari dinding perut gua di sebelah Barat dan mengalir meninggalkan perut gua ke sebelah Timur melalui dinding perut gua yang berada di sebelah Timur.

Ceriteranya setelah kira-kira tiga minggu berlalu, mereka yang kehanyutan sisir dan kotak tembakau tadi pergi berburu babi hutan di wilayah perladangan Bakerah. Setelah mereka membakar hasil buruannya di pinggir suatu sungai kecil yang mempunyai lubuk di sungai itu. Namun tanpa disengaja mereka ingin membersihkan

jeroan hasil buruan mereka tersebut mereka ada yang menemukan sisir dan kotak tembakau tersebut di dalam lubuk tersebut. Benda tersebut dapat dilihat dari atas sungai yang berlubuk yang air sangat jernih. Mereka sangat yakin bahwa sisir dan kotak tembakau itu adalah milik mereka yang hanyut pada saat mereka sudah selesai mandi di atas sungai yang mengalir di dalam perut gua itu, tetapi hingga hari ini belum pernah ada orang yang mencoba menelusuri terowongan yang dilewati oleh air sungai tersebut, mungkin alasannya ialah mengingat terowongannya sangat kecil lubangnya.

Semenjak mereka menemukan sisir dan kotak tembakau milik mereka maka mereka pun menyampaikan hal tersebut kepada beberapa orang penduduk daerah Kuta Buluh. Akhirnya semua penduduk yang berdomisili di daerah itu percaya dan mengetahui bahwa air sungai kecil yang mengalir melalui perut gua Lliang Dahar ke luar di desa Bakerah.

Di dalam perut Gua Liang Dahar itu belum pernah ada orang yang menemukan binatang buas seperti harimau, singa, maupun beruang atau ular. Demikianlah informasi yang dapat diterimadari orang yang pernah berkunjung ke gua tersebut. Yang mereka dapat lihat di sana adalah hewan atau binatang seperti kalong, wallet, dan kelelawar yang bergantungan di langit–langit gua. Hal ini menandakan bahwa ular, harimau, tikus, ataupun babi hutan tidak ada yang ingin masuk ke dalam perut gua tersebut menurut cerita orang yang sering berburu babi hutan ke sekitar mulut gua bahwa anjing mereka sedang mengejar babi hutan tersebut, maka tidak ada seekor babi hutan pun yang berlari masuk untuk berlindung masuk ke dalam perut gua.

Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa situasi ataupun keadaan di dalam perut gua adalah aman dari serangan binatang liar. Jarak yang memisahkan kaki gunung

Sinabung dengan Gua Liang Dahar hanya tiga kilometer, kaki Gunung Sinabung tersebut penuh dengan kekayuan (hutan belantara). Hutan tersebut ada terdapat di binatang liar dan buas, antara lain harimau sering ke luar dari hutan tersebut hendak memakan ternak penduduk desa. Kejadian tersebut sering terjadi di waktu malam maupun di siang hari hewan primata, seperti monyet, siamang, beruk, dan lainnya akan dapat ditemukan dengan jumlah yang banyak. Demikian juga rusa, unggas, dan melata.

Di dalam perut gua tidak ada tumbuhan yang tumbuh, tetapi di sekeliling mulut dan luar gua ada banyak tumbuhan semak.

3.4 Pengembangan

Sebagaimana kita dapat mengetahuinya bahwa Gua Liang Dahar mempunyai karakteristik yang menarik serta unik. Gua itu dapat dikatakan menarik dan unik karena tidak akan kita temukan gua sebesar itu di Indonesia, maupun di luar negeri. Untuk itu perlu kiranya dilakukan pengembangan dengan cara pemugaran.

Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh para pakar di bidang kepari-wisataan bahwa untuk mengembangkan suatu objek wisata kita harus memikirkan perangkat keras dan perangkat lunak yang dapat menunjang kelajiman objek wisata tersebut dengan sarana lunak dan sarana keras yang sudah memadai dan menunjang kepentingan para pengunjung, maka arus wisatawan dari manca negara dan domestik akan bertambah laju.

Umpamanya jalan yang menghubungkan desa Lau Buluh dengan Gua Liang Dahar harus dibangun sehingga dapat dilalui oleh kendaraan bermotor baik yang roda dua ataupun roda empat dan demikian juga jalan dari atas gua melalui mulut gua, dan menuju dasar perut gua juga perlu dibangun dengan semen sehingga menyerupai tangga.

Dengan demikian para wisatawan pun akan merasa nyaman untuk menyelusurinya, tetapi kalau situasi ataupun keadaan sekarang bila kita berpergian dari desa Lau Buluh menuju mulut gua maka pakaian kita yang menutupi lutut hingga pergelangan kaki akan menjadi basah, karena bila diwaktu pagi hari air hujan maupun kabut yang berada di daun rumput yang merupakan pagar jalur tersebut belum kering. Air hujan dan kabut yang berada di daun rumput akan kering bila ada sinar matahari hingga pukul sepuluh pagi. Hal tersebut juaga serupa akan dialami pada saat kita mengikuti jaln ke dasar gua dari mulut gua. Artinya sebelum bergeak menuju ke dalam gua terlebih dahulu ada perasaan hati yang tidak menyenangkan di dalam hati.

Untuk itu perlu kiranya peremajaan dengan memperbaiki sarana jalan dari desa Lau Buluh hingga dasar perut gua. Sarana perangkat lainnya juga perlu diperhatikan, antara lain hotel atau penginapan di desa Lau Buluh, karena bagi orang yang berkunjung ke gua itu selama ini bermalam di koa Berastagi. Keadaan ini membuat para wisatawan was–was dengan waktu, karena harus pulang hari, sementara orang belum selesai atau puas untuk melihat lihat keadaan ruangan gua, mereka harus sudah pulang mengingat waktu yang selalu bergeser dan tidak pernah menunggu kita. Bayangkan saja kalau wisatawan bermalam di Berastagi tentu sudah banyak waktu yang terpakai di perjalanan.

Dan satu hal lagi yang tidak kurang penting nilainya ialah rumah makan, karena bila ada seseorang yang malas membawa perlengkapan makan siang ke gua itu, maka bisa banyak masalah yang muncul, antara lain pada saat mereka ke luar dari perut gua sudah terasa lapar dan membeli makanan akhirnya tidak ada rumah makan.

Jadi untuk menanggulangl masalah serupa ini harus juga dibangun rumah makan yang masakannya halal. Untuk mendapatkan suatu pengembangan yang berhasil, maka

kita harus mempunyai dasar tentang perencanaan. Sebagaimana Tarigan (2004) menjelaskan bahwa sesuatu hal yang tidak dimulai dengan suatu perencanaan yang mapan, maka tujuan tidak akan dapat menemukan hasil yang baik selain menyatakan bahwa perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan serta memilih langkah–langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Di lain hal dapat diketahui bahwa perencanaan akan berbeda dengan tujuan yang berbeda pula

Bila kita lihat secara umum maka maksud suatu perencanaan adalah sangat rumit. Supaya perencanaan kita dapat dijadikan sebagai suatu perencanaan di wilayah objek wisata di Lau Buluh, maka kita harus juga memehami lokasi dengan baik. Jadi untuk menentukan suatu perencanaan tentang pembangunan/ pengembangan objek wisata sebagaimana dimaksud untuk Gua Liang Dahar, maka kita harus dapat menga-nalisis kondisi gua tersebut pada masa sekarang ini, dan dari data tersebut kita akan dapat membayangkan atau memikirkan perkembangan dengan berbagai faktor.

BAB IV

Dokumen terkait