• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Lilis Anifiah Zulfa

Lebaran kali ini Indonesia dan dunia tengah dilanda kekhawatiran karena virus corona. Masyarakat merasa was-was untuk berkumpul

dan berkunjung. Begitu pula di Tulungagung.

ebaran adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Lebaran disebut juga dengan Idulfitri. Lebaran di Indonesia adalah momen kemenangan yang selalu ditunggu karena mayoritas masyarakatnya yang muslim. Lebaran menjadi momen yang akan selalu ramai dan disiarkan di seluruh stasiun televisi karena tradisinya yang khas.

Lebaran juga selalu ditunggu oleh masyarakat Tulungagung. Lebaran di Tulungagung identik dengan keramaian. Jalanan pasti akan penuh dengan masyarakat Tulunggung yang akan berkunjung ke rumah saudara atau sering disebut dengan tradisi

bakdan. Bakdan sebenarnya bersinonim dengan lebaran dan

idulfitri, tetapi masyarakat lebih menganggapnya sebagai tradisi yang dilekatinya daripada makna harfiahnya. Ya, lebaran sebagai bentuk kemenangan setelah menahan lapar dan hawa nafsu selama satu bulan menjadi harapan manusia kembali suci dari

dosa-dosa atau kembali nol dengan saling memaafkan. Bakdan atau saling berkunjung merupakan bentuk sudah meminta maaf dan memaafkan kesalahan sesama.

Di beberapa daerah, lebaran pada umumnya diisi dengan keliling keluarga dan tetangga di hari pertama saja. Hari selanjutnya digunakan untuk liburan ke tempat wisata. Berbeda dengan di Tulungagung, masyarakat Tulungagung akan menggunakan tujuh hari penuh untuk berkunjung ke keluarga. Hari pertama, akan dijumpai rombongan muda-mudi, rombongan keluarga kecil, keluarga besar, tua muda, anak-anak yang bakdan ke tetangga, baik berjalan kaki ataupun bersepeda motor. Pertemuan di jalan sering tak terelakkan, tetapi malah menjdi keseruan yang ditunggu. Hari kedua sampai ketujuh merupakan hari ramainya jalanan karena masyarakat akan berkunjung ke saudara yang rumahnya jauh. Lalu, hari kedelapan atau hari ketujuh malam masyarakat akan menggelar kupatan massal. Lebaran yang ramai seperti itulah yang selalu ditunggu di Tulungagung. Hal yang menjadi kekhasan lebaran di Tulungagung.

Selain keberkahan menyambung tali silaturahmi, lebaran di Tulungagung juga menjadi berkah tersendiri bagi penyedia jasa tukar uang baru. Pemberian sangu saat lebaran sudah menjadi tradisi yang begitu lekat di masyarakat. Hal tersebut menjadi ladang bagi para penyedia jasa tukar uang baru untuk mendapatkan rezeki tambahan. Mengapa uangnya harus baru? Rasanya, lebaran identik dengan hal baru, akhirnya memberikan uang baru pun menjadi kebahagiaan bagi pemberinya, apalagi bagi penerimanya.

Lebaran juga identik dengan penyediaan jajanan khas seperti nastar, kue kacang, madumongso, dan berbagai jajanan lain. Sudah menjadi hal yang biasa ketika menjelang lebaran

banyak masyarakat yang beralih profesi menjadi pedagang jajanan khas lebaran. Tentunya, momen mendapatkan banyak keuntungan menjelang lebaran sudah sangat ditunggu.

Tradisi lain yang tidak bisa ditinggalkan saat lebaran adalah semua yang serba baru. Baju baru, sepatu baru, tas baru, toples baru, gorden baru, bahkan kursi baru pun sering menunggu momen lebaran. Anjuran untuk mengunakan yang terbaik saat lebaran membuat masyarakat cenderung membeli baju baru untuk merayakan momen ini. Selain itu, tradisi saling mengunjungi menyebabkan masyarakat memilih barang-barang baru saat lebaran agar tamunya merasa betah. Tentunya tradisi berbelanja menjelang lebaran akan ditunggu pula oleh para pedagang baju, sepatu, peralatan rumah tangga, dan lainnya. Omset para penjual tersebut bisa meningkat drastis pada bulan-bulan menjelang lebaran. Promo dan diskon besar juga sering dihadirkan pedagang pada bulan-bulan ini. Perancang baju pun sering menunggu momen lebaran untuk meluncurkan desain terbarunya.

Tidak hanya bagi pedagang besar. Lebaran juga ditunggu oleh pedagang kecil. Salah satunya adalah pedagang balon helium karakter. Pedagang ini biasanya banyak dijumpai di perempatan-perempatan saat lebaran. Karena anak-anak keluar rumah, lebih lama di jalan, dijadikan kesempatan bagus bagi mereka untuk menjajakan dagangan tanpa promosi berarti.

Warung makanan juga ramai pengunjung saat lebaran karena mayoritas masyarakat keluar dan seharian di jalanan sehingga lebih memungkinkan membeli makan di warung daripada pulang ke rumah. Bukan pemandangan aneh ketika lebaran banyak pedagang makanan yang bermunculan.

Tradisi lain adalah tradisi mudik. Lebaran sering kali menjadi momen untuk berkumpul dengan keluarga. Mudik

sudah menjadi berita utama yang akan disiarkan ramai. Mengapa mudik? Lebaran pada umumnya disertai libur panjang sehingga banyak masyarakat di perantauan yang memilih pulang ke kampung halaman. Bahkan, lebaran juga sering menjadi pilihan masyarakat untuk melaksanakan reuni, baik dengan keluarga maupun teman.

Lebaran juga menjadi ajang tiap lingkungan untuk memamerkan kekompakan dan keindahan desanya. Ada yang satu lingkungan memasang lampu warna-warni, lampu minyak di jalanan kecil, memasang bendera, dan hiasan-hiasan lain yang menjadi kebanggaan setiap lingkungan. Pada malam takbir, keliling untuk merasakan kemeriahan desa-desa seperti ini sungguh mengasyikkan. Bahkan, satu desa pun bisa banyak kemeriahan yang berbeda sehingga kemeriahan seolah tak ada habisnya.

Namun, lebaran kali ini berbeda. Lebaran kali ini Indonesia dan dunia tengah dilanda kekhawatiran karena virus corona. Masyarakat merasa was-was untuk berkumpul dan berkunjung. Begitu pula di Tulungagung. Masyarakat sempat bingung dengan kondisi yang ada. Bakdan atau tidak? Sedia jajanan atau tidak? Sedia sangu lebaran atau tidak? Bahkan, masjid-masjid yang biasanya ramai dengan masyarakat yang tarawih juga menjadi sepi. Hanya segelintir orang saja yang tetap berani pergi ke masjid. Apalagi, setiap hari masyarakat disuguhi berita perkembangan penyebaran virus corona yang semakin meningkat. Ketakutan semakin dipupuk. Berdiam di rumah menunggu keputusan pemerintah pun menjadi pilihan terbaik.

Awal puasa, suasana lebaran yang akan datang biasanya sudah tampak dengan aktivitas masyarakat yang berbelanja di toko-toko baju dan perlengkapan rumah tangga, kini sepi. Masyarakat seolah takut keluar rumah. Sempat ada rasa syukur

karena ada harapan masyarakat sudah mulai sadar dan mematuhi aturan pemerintah. Namun, ternyata semakin dekat dengan lebaran, masyarakat semakin berani keluar rumah. Toko-toko baju sangat ramai pengunjung. Begitu pula dengan Toko-toko perlengkapan rumah tangga. Tampaknya, menunggu keputusan pemerintah terkait perayaan lebaran menjadi kegiatan membosankan.

Keramaian di toko maju dan mal yang diberitakan menyebabkan masyarakat yang semula santai pun mulai panik. Banyak yang mendadak membeli jajanan, tukar uang baru, dan bersih-bersih rumah yang menjadi kekhasan kegiatan menjelang lebaran. Hal tersebut dilakukan bukan karena tak takut pada

corona, tetapi masyarakat lebih takut dianggap tak mengormati

tamu yang datang.

Edaran dari pemerintah pun beragam dan membuat bingung. Ada pernyataan pemerintah yang mengharuskan masyarakat menutup total rumahnya selama tiga hari. Namun, pemerintah desa memiliki kewenangan yang berbeda-beda. Ada pemerintah desa yang memberikan kebebasan bakdan selama satu hari, ada yang tutup total tiga hari, ada yang menutup total selama tujuh hari dan bakdan hanya dengan keluarga kandung saja. Hal tersebut tentu membingungkan. Pergi berkeliling atau tidak? Membuka rumah atau tidak? Apakah yang dikunjungi mau menerima? Apakah jika ada yang datang dan meminta bersalaman akan kita ladeni? Perlukah memberi tanda pada tempat duduk agar jaraknya sesuai protokol kesehatan yang berlaku saat ini?

Begitu takbir berkumandang, ucap syukur tetap tercurahkan. Meskipun tak ada lagi takbir keliling yang meriah, tak ada cahaya obor, dan keriuahan anak-anak meramaikan jalanan, kumandang takbir dari pengeras suara masjid dan

musala tetap terdengar merdu. Namun, masyarakat harus kecewa lagi karena ada sebagian desa yang tidak mengadakan salat Id berjamaah di masjid. Kali ini, di rumah seolah menjadi keharusan yang tak bisa ditawar.

Hari pertama lebaran, pintu-pintu rumah pun tertutup rapat. Ada yang di pintu rumahnya ditempeli surat edaran dari pemerintah terkait imbauan untuk tidak membuka pintu saat lebaran. Bahkan, ada yang sudah menyiapkan banner khusus yang berisi ucapan khas saat lebaran dan ucapan permintaan maaf karena lebaran kali ini tidak menerima tamu. Tetangga depan rumah, samping, paling dekat pun tak ada yang berkunjung. Jajanan khas lebaran berjajar rapi di meja, tetapi tak ada keramaian dan keriangan yang biasa. Hanya ada suara kerupuk yang dimakan sendiri, hanya ada suara dengungan gawai yang tiada henti. Entah kemana masyarakat yang kemarin berbondong-bondong membeli baju lebaran. Entah berisi apa toples baru yang mereka beli. Entah dipamerkan siapa sandal dan sepatu baru mereka. Entah untuk siapa amplop yang mereka beli mendadak itu. Sepi dan mungkin jika ada kunjungan sing

diparani ora bungah, sing moro pun susah.

Berkumpul bersama keluarga dan teman, berjabat tangan, bercanda ria yang selalu menghiasi lebaran kini hanya ada di angan. Kembang api, petasan, keriuahan penuh bahagia, selalu dirindukan menjelang lebarantak lagi bisa dirasakan. Tak ada lagi perayaan meriah, hanya duduk dan rebah di rumah. Namun, apapun itu, semua harus tetap disyukuri. Kita tak sendiri mengahadapi ini. Seluruh masyarakat Indonesia dan dunia merasakannya.

Bagi yang tetap bisa berkumpul bersama keluarga, itu sungguh berkah yang besar. Bayangkan mereka yang harus berlebaran di ruang isolasi. Tak ada jajanan khas yang bisa

dirasa, apalagi bertemu sanak saudara. Mereka berlebaran harus terpisah dari keluarga. Lebaran kali ini pun tentunya menjadi kesedihan sebagian masyarakat Indonesia yang tidak lagi bisa mudik seperti tahun-tahun sebelumnya. Banyak orang tua yang tidak bisa bertemu dengan anak cucunya karena larangan mudik. Namun, tentu tak kalah sedihnya dengan para tenaga kesehatan yang secara langsung menangani kasus corona. Tak ada keluarga, tak ada teman lainnya, bahkan pulang ke rumahnya sendiri pun belum tentu bisa.

Bagi yang rezekinya yang masih mengalir lancar, tengoklah mereka yang kini harus gigit jari. Penyedia jasa tukar uang baru harus rela omsetnya turun drastis, jasanya tak lagi ramai dicari. Pedagang jajanan lebaran yang sudah memproduksi, yang hanya penjual kedua, yang tentunya sudah menunggu keuntungan besar saat lebran, kali ini juga harus kecewa. Masyarakat ragu untuk membeli jajanan karena takut tidak boleh menerima tamu. Lebaran kali ini pun, tak dijumpai pedagang balon karakter di perempatan-perempatan. Entah, beralih kemana mereka untuk mencari rezeki. Warung-warung makanan pun menjadi sepi. Sepi pengunjung, sepi rezeki.

Dengan lebaran bersama corona, akhirnya kita tahu rasanya jauh dari keluarga. Tahu rasanya tak bercengkrama dengan tetangga. Tahu rasa sepinya rumah tanpa kunjungan sesama. Lebaran bersama corona kita tahu tak penting lagi baju baru, sandal baru, sepatu baru, atau perhiasan yang dipunya. Lebaran bersama corona mengajarkan kita waktu bersama keluarga, saudara, sahabat, dan tetangga begitu berharga. Lebaran bersama corona mengajarkan kita mensyukuri apa yang telah kita punya. Kita tak sendiri menghadapi ini.

Biografi Penulis:

Lilis Anifiah Zulfa, lahir di Tulungagung, 29 Desember 1985.

penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan H. Malik dan Hj. Siti Nihayati. Penulis menempuh pendidikan formal tingkat dasar sampai menengah di Tulungagung, yaitu di SDN 2 Karangsari, SMPN I Ngunut, dan SMAN 1 Boyolangu. Jenjang pendidikan tinggi ditempuh penulis di Universitas Negeri Malang dan Universitas Islam Malang. Saat ini, penulis menjadi dosen di Tadris Bahasa Indonesia IAIN Tulungagung.